Minggu, 31 Januari 2016

Makna "Berpegang-teguh Pada Tali Allah" Kegagalan Upaya Orang-orang Munafik Madinah Memisahkan Orang-orang Beriman dari Nabi Besar Muhammad Saw.



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Makna “Berpegang-teguh Pada Tali Allah” &   Kegagalan Upaya Orang-orang Munafik Madinah Memisahkan  Orang-orang yang Beriman   dari  Nabi Besar Muhammad Saw.


Bab 23


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya  telah dijelaskan mengenai makna   “kebangkitan” suatu kaum (umat beragama) di dunia  yang secara ruhani telah mati mendapat kehidupan baru dengan perantaraan seorang nabi Allah   -- yang diumpamakan sebagai “air hujan” yang turun dari langit” --  termasuk di Akhir Zaman ini, karena tanpa adanya  peran  Allah Swt. maka upaya-upaya yang dilakukan manusia untuk  “mempersatukan hati manusia dalam kecintaan” sehingga  umat manusia dapat keluar dari berbagai bentuk “kobaran api” -- akibat telah  mengerasnya hati  pihak-pihak yang bertikai  --   tidak akan pernah berhasil, mengisyaratkan kepada kenyataan itulah peringatan Allah Swt. berikut ini, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan  janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri. وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا --   Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah  dan   janganlah kamu berpecah-belahوَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً  -- dan  ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا -- lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا  -- dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkan kamu darinya. کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تَہۡتَدُوۡنَ --  Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk  (Ali ‘Imran [3]:103-104).

Pentingnya Memiliki Ketakwaan Hakiki  &  Pentingnya  Berpegang Teguh Pada “Tali Allah

     Dari kedua ayat tersebut diketahui bahwa  orang-orang beriman selain harus memiliki ketakwaan yang  hakiki,  yaitu berupa penyerahan diri atau kepatuh-taatan seutuhnya kepada Allah Swt., juga  mereka harus  merupakan satu “kesatuan umat”   dengan cara berpegang teguh pada “Tali Allah” yang datang dari langit: وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا  “Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah  dan   janganlah kamu berpecah-belah,”   sebab tanpa kedua hal tersebut mustahil umat Islam  akan dapat mewujudkan  kejayaannya yang kedua kali di Akhir Zaman ini sebagaimana janji Allah Swt., firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama,  walaupun orang musyrik tidak menyukai  (Ash-Shaf [61]:10).
      Habl berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon Lane).
Nabi Besar Muhammad saw. . diriwayatkan telah bersabda:  “Kitab Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30). Walau pun sabda Nabi Besar Muhammad saw. tersebut benar, tetapi dalam kenyataannya sekali pun hingga saat ini Al-Quran tetap berada di lingkungan umat Islam serta tetap  mereka  percayai sebagai Kitab suci yang terakhir dan tersempurna  (QS.5:4) namun  demikian umat Islam   tetap terpecah-belah.
     Ada pun penyebabnya adalah karena selain sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa   dan bahkan merupakan petunjuk bagi  umat manusia (QS.2:1-3 & 186), Al-Quran pun memiliki kemampuan menggelincirkan orang-orang yang hatinya berpenyakit atau ada kebengkokan, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ؃ وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾ 
Dia-lah Yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran  kepada engkau,  di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,  itulah pokok-pokok  Al-Kitab, sedangkan  yang lain  ayat-ayat mutasyābihāt. فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ  --     Adapun   orang-orang yang di dalam hatinya ada kebengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt  karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang salah,  وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ  -- padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ  --  mereka berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ  -- Dan  tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal (Ali ‘Imran [3]:8).

Makna Lain Berpegang-teguh Pada  “Tali Allah” Adalah   Beriman Kepada Rasul Allah  &    ‘Abdullah bin Ubayy bin Salul Pemimpin Kaum Munafik Madinah

       Dengan demikian jelaslah bahwa makna lain dari “Tali Allah” adalah Rasul Allah yang dengan perantaraannya Allah menimbulkan kecintaan  di dalam hati orang-orang yang beriman kepadanya, firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:  
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Dan  Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ   -- seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ   -- tetapi Allah  telah menanamkan kecin-taan di antara mereka, اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ --  sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana  (Al-Anfāl [8]:64).
       Kecintaan atas dasar keimanan kepada Allah Swt. dan   Rasul Allah   -- yakni “Tali Allah” – itulah yang membuat harapan orang-orang munafik Madinah pimpinan ‘Abdullah bin Ubayy untuk memporak-porandakan para sahabat Nabi Besar Muhammad saw.   gagal total, firman-Nya:
ہُمُ  الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ  لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰی مَنۡ عِنۡدَ  رَسُوۡلِ اللّٰہِ  حَتّٰی  یَنۡفَضُّوۡا ؕ وَ لِلّٰہِ خَزَآئِنُ  السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لٰکِنَّ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ  لَا  یَفۡقَہُوۡنَ ﴿﴾  یَقُوۡلُوۡنَ  لَئِنۡ  رَّجَعۡنَاۤ  اِلَی  الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ  مِنۡہَا الۡاَذَلَّ ؕ وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ  وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ لٰکِنَّ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ  لَا  یَعۡلَمُوۡنَ ٪﴿﴾
Merekalah orang-orang yang berkata: “Janganlah kamu membelanjakan harta bagi orang yang bersama Rasul Allah, supaya mereka lari karena kelaparan. Padahal kepunyaan Allah khazanah-khazanah seluruh langit dan bumi,  tetapi orang-orang munafik itu tidak mengerti.  یَقُوۡلُوۡنَ  لَئِنۡ  رَّجَعۡنَاۤ  اِلَی  الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ  مِنۡہَا الۡاَذَلَّ --   Mereka berkata: “Jika kita kembali ke Medinah, niscaya  orang yang paling mulia akan mengeluarkan orang yang paling hina darinya.” وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ  وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ لٰکِنَّ  الۡمُنٰفِقِیۡنَ  لَا  یَعۡلَمُوۡنَ -- Padahal kemuliaan hakiki itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman,  tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (Al-Munāfiqūn [63]:8-9).
    Karena tidak ada ketulusan dan kejujuran dalam dirinya, seorang orang munafik memandang orang-orang lain seperti dirinya sendiri. Kaum munafikin Medinah membuat pikiran totol dan keliru sama sekali mengenai ketulusan tujuan  dan keimanan para sahabat Nabi Besar Muhammad saw., sebab mereka menyangka para sahabat telah berkumpul di sekitar beliau saw. karena pertimbangan kepentingan duniawi, dan mereka menyangka apabila mereka (para sahabat) itu menyadari bahwa harapan mereka itu tidak terlaksana, mereka itu akan meninggalkan Nabi Besar Muhammad saw.. Perjalanan masa membatalkan sama sekali segala harapan orang-orang munafik yang sia-sia itu.
  Dalam suatu gerakan pasukan (mungkin gerakan pasukan menggempur Banu Musthaliq), ‘Abdullah bin Ubayy – pemimpin kaum munafik Medinah, yang harapan besarnya menjadi pemimpin kaum Medinah telah hancur berantakan dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.  pada peristiwa itu – diriwayatkan pernah mengatakan bahwa sekembali ke Medinah ia “yang paling mulia dari antara penduduknya,” – maksudnya ia sendiri – “akan mengusir dia yang paling hina dari antara mereka,” maksudnya  Nabi Besar Muhammad saw..

Perlakuan Baik Nabi Besar Muhammad  Saw. Terhadap Abdullah bin Ubayy bin Salul

  Anak laki-laki ‘Abdullah bin Ubayy – yang juga bernama ‘Abdullah r.a. yang telah beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. --  mendengar kecongkakan kotor ayahnya tersebut,  dan ketika rombongan ‘Abdullah bin Ubayy sampai ke Medinah  ia menghunus pedangnya  dan menghalangi ayahnya masuk kota sebelum ayahnya mau mengakui dan menyatakan bahwa ayahnya sendirilah yang paling hina di antara penduduk kota Medinah, dan bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  adalah yang paling mulia di antara mereka. Dengan demikian keangkuhan  ‘Abdullah bin Ubayy  telah berbalik menimpa kepalanya sendiri.
 Diriwayatkan bahwa ‘Abdullah r.a. sebelumnya telah meminta izin kepada  Nabi Besar Muhammad saw. untuk membunuh ayahnya  karena penghinaannya terhadap Nabi Besar Muhammad saw.   – dengan alasan bahwa kalau orang lain yang membunuh ayahnya maka  hal itu akan mengusik harga dirinya   -- namun beliau saw. tidak mengizinkannya.
  Bahkan diriwayatkan  ketika ‘Abdullah bin Ubayy mati, Nabi Besar Muhammad  saw.  atas permintaan Abdullah berkenan memberikan jubah beliau  saw. untuk menutup jenazahnya serta berkenan  untuk melakukan shalat jenazahnya.
 Tetapi ketika  Nabi Besar Muyhammad saw. berdiri hendak menshalatkannya, Umar bin Khaththab r.a. menarik baju Nabi Besar Muhammad  saw.  dari belakang dan berkata: “Wahai Rasulullah, engkau akan menshalatkannya? Bukankah Allah melarang engkau untuk menshalatkannya? Rasulullah saw. menjawab: “Sesungguhnya Allah Swt memberikan kepadaku dua pilihan: Engkau memohonkan ampun bagi mereka atau  engkau tidak  mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun engkau memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (At-Taubah 80), dan saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.
    Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafiq”. Setelah  Nabi Besar Muhammad saw. menshalatkannya  barulah turun ayat:
وَ لَا تُصَلِّ عَلٰۤی اَحَدٍ مِّنۡہُمۡ مَّاتَ اَبَدًا وَّ لَا تَقُمۡ عَلٰی قَبۡرِہٖ ؕ اِنَّہُمۡ کَفَرُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ  وَ مَا تُوۡا وَ ہُمۡ  فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
“Dan selama-lamanya janganlah engkau menshalat-jenazahkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya dan jangan pula eng-kau berdiri berdoa di atas kuburannya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan  fasik”   (QS. At-Taubah:84).
   Kenyataan tersebut membuktikan bahwa  Nabi Besar Muhammad  saw.  bukan saja merupakan  “Tali Allah” tetapi juga “rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108). Itulah sebabnya beriman kepada Rasul Allah merupakan salah satu dari Rukun Iman setelah beriman kepada Allah Swt. dan beriman kepada Kitab-kitab Allah.  

Upaya Menyederhanakan Cara Menjadi “Penghuni Surga”   yang Bertentangan dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.  
   
   Dalam  beberapa Bab sebelumnya  telah dijelaskan mengenai  makna beriman kepada yang  gaib  dalam hubungannya dengan Rukun Iman  dan Rukun Islam,  yang apabila diamalkan  sesuai dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. akan menciptakan “kehidupan surgawi” baik di dunia ini mau pun di akhirat nanti,  tanpa harus merugikan  atau menzalimi pihak-pihak lain seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yaitu orang-orang yang menyederhanakan  cara   menjadi penghuni surga   karena  bertentangan dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22).
    Terjadinya  upaya-upaya “penyederhanaan” cara masuk surga yang bertentangan dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.  tersebut  akibat telah  mengerasnya hati  manusia karena telah jauh dari masa kenabian yang penuh berkat yakni masa Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:  
اَلَمۡ یَاۡنِ  لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اَنۡ  تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ  لِذِکۡرِ اللّٰہِ  وَ مَا  نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ  ۙ  وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾  اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang beriman, bahwa hati mereka tunduk untuk mengingat Allah dan mengingat  kebenaran yang telah turun kepada mereka, dan mereka tidak  menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ  -- maka  zaman kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu   hati mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ  -- dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka?  اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا  -- Ketahuilah, bahwasanya  Allah  menghidupkan bumi sesudah matinya. قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ  -- Sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu mengerti  (Al-Hadid [57]:17-18).

Cara  Allah Swt. “Menghakimi” Masalah yang Gaib

       Cara Allah Swt. “menghidupkan bumi setelah kematiannya”  dari segi  akhlak dan ruhani  -- akibat mengalami “musim kemarau panjang” tersebut – adalah melalui pengutusan Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37), sehingga akan terpisah  antara orang-orang yang pernyataan imannya kepada Allah Swt.  benar  dari yang tidak benar.
     Mengapa demikian? Sebab  keimanan  merupakan hal yang gaib  sehingga bukan menjadi wewenang  siapa pun atau  wewenang lembaga keagamaan apa pun untuk menilai benar-tidaknya keimanan seseorang atau sekompok orang firman-Nya:
   مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿ ﴾
Allah sekali-kali tidak akan  membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya  hingga  Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ  -- Dan Allah sekali-kali tidak akan  memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآ  -- tetapi Allah memilih  di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ   -- karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ --  dan jika kamu beriman dan bertakwa  maka bagi kamu ganjaran yang besar (Ali ‘Imran [3]:180).
     Itulah Sunnatullah  mengenai cara Allah Swt. melakukan “Penghakiman”   dalam rangka memisahkan benar-tidaknya masalah keimanan di kalangan umat beragama  yang telah terpecah-belah menjadi berbagai firqah,  yang bukan hanya saling mengkafirkan, saling menteror  bahkan  saling memerangi   sebagaimana yang terjadi di Akhir Zaman ini.  Dengan demikian benarlah firman-Nya berikut ini:
وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ  لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ   اِلَّا  خَسَارًا﴿﴾  وَ  اِذَاۤ   اَنۡعَمۡنَا عَلَی  الۡاِنۡسَانِ اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ وَ اِذَا مَسَّہُ  الشَّرُّ کَانَ یَــُٔوۡسًا﴿﴾  قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dan  Kami  menurunkan dari Al-Quran suatu  penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, tetapi tidak menambah kepada orang-orang yang zalim melainkan kerugian.  Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya  ia berputus asa.   قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ  --  Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri  فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا --  maka Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui si-apa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya dan siapa yang tersesat”  (Bani Israil [17]:83-85).
     Kata-kata ‘alā  syākilati-hi berarti: sesuai dengan niat, cara berpikir, tujuan-tujuan, dan maksud-maksud sendiri, karena itu  siapa pun tidak bisa menghakimi  masalah keimanan sebab termasuk masalah gaib  dan sepenuhnya merupakan wewenang Allah Swt. untuk melakukan penilaiannya.
      Namun demikian, baik-buruknya pemahaman atau keimanan  seseorang atau sekelompok orang dalam  masalah keagamaan akan nampak dari baik-buruk  perbuatan (aksi-aksi) yang dilakukannya. Jika dalam kenyataan  mereka menyukai menebar fatwa kafir (pengkafiran) terhadap pihak-pihak yang tidak mereka sukai serta melakukan berbagai bentuk tindak-kekerasan, maka hal tersebut bertentangan dengan misi kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108) dan bertentangan dengan gelar “umat terbaik” yang ditetapkan Allah Swt. bagi orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw.  (QS.2:144; QS.3:111).
       Apabila  umat manusia --  terutama umat beragama --  kembali kepada petunjuk Allah Swt. dalam Al-Quran maka Sunnatullah berikut ini pasti akan mereka alami di dunia ini juga,   yaitu terciptanya “kehidupan surgawi” di dunia, firman-Nya:
وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ  کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa sesungguhnya  untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا --  Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ --  mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا --  akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya, وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ  -- dan bagi mereka di dalamnya ada  jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya  (Al-Baqarah [2]:26).

Berbagai Bentuk Azab Ilahi yang Terjadi di Akhir Zaman  

   Tetapi jika tidak kembali kepada petunjuk Allah Swt. dalam Al-Quran serta melakukan berbagai hal yang bertentangan dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.  maka   berkecamuknya berbagai bentuk  bencana dan  huru-hara  yang terjadi di Akhir Zaman ini merupakan bukti benarnya firman Allah Swt. berikut ini:
قُلۡ ہُوَ  الۡقَادِرُ عَلٰۤی  اَنۡ یَّبۡعَثَ عَلَیۡکُمۡ عَذَابًا مِّنۡ فَوۡقِکُمۡ اَوۡ مِنۡ تَحۡتِ اَرۡجُلِکُمۡ اَوۡ یَلۡبِسَکُمۡ شِیَعًا وَّ یُذِیۡقَ بَعۡضَکُمۡ بَاۡسَ بَعۡضٍ ؕ اُنۡظُرۡ کَیۡفَ نُصَرِّفُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّہُمۡ یَفۡقَہُوۡنَ﴿﴾  وَ کَذَّبَ بِہٖ قَوۡمُکَ وَ ہُوَ الۡحَقُّ ؕ قُلۡ لَّسۡتُ عَلَیۡکُمۡ  بِوَکِیۡلٍ ﴿ؕ﴾  لِکُلِّ نَبَاٍ  مُّسۡتَقَرٌّ ۫ وَّ سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Dia-lah Yang berkuasa mengirimkan azab kepada kamu dari atas kamu atau dari bawah kaki kamu atau mencampur-baurkan kamu menjadi golongan-golongan yang saling berselisih dan membuat sebagian kamu merasakan keganasan sebagian yang lain.” Lihatlah bagaimana Kami membentangkan Tanda-tanda supaya mereka mengerti.    Dan  kaum engkau telah mendustakannya,  padahal itu adalah kebenaran. Katakanlah:  Aku sekali-kali bukan  penanggungjawab atas kamu.”    Bagi tiap kabar gaib ada masa yang tertentu  dan kamu segera akan mengetahui. (Al-An’ām [6]:66-68).
Makna    “azab dari atas” maknanya: kelaparan, gempa bumi, air bah, taufan, penindasan terhadap golongan yang lemah oleh yang kuat, penderitaan mental, dan sebagainya; dan makna  “siksaan dari bawah” berarti: penyakit-penyakit, wabah, pemberontakan orang-orang bawahan, dan sebagainya.
Kemudian ada hukuman berupa kekacauan, perpecahan-perpecahan dan perselisihan yang kadang-kadang berakhir dalam perang saudara. Hal demikian ini diisyaratkan dalam kata-kata  اَوۡ یَلۡبِسَکُمۡ شِیَعًا وَّ یُذِیۡقَ بَعۡضَکُمۡ بَاۡسَ بَعۡضٍ --  “membuat sebagian kamu merasakan keganasan sebagian yang lain.”
Di sini kata ganti “nya”  dalam ayat وَ کَذَّبَ بِہٖ قَوۡمُکَ وَ ہُوَ الۡحَقُّ  -- “Dan  kaum engkau telah mendustakannya, padahal itu adalah kebenaran” menunjuk kepada (1) perkara yang sedang dibahas;   (2) Al-Quran; (3) azab Ilahi. Jika kita ambil arti yang terakhir (azab  Ilahi), maka kata-kata وَ ہُوَ الۡحَقُّ -- “padahal itu adalah kebenaran” akan berarti bahwa azab Ilahi  yang dijanjikan pasti akan tiba, sebab Allah Swt. tidak pernah menimpakan azab kepada manusia sebelum terlebih dulu diutus rasul Allah sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan  kepada mereka (QS.6:132; QS.11:118; QS.17:16-18;  QS.20:134-136; QS.26:209-210; QS.28:60)
Ayat  لِکُلِّ نَبَاٍ  مُّسۡتَقَرٌّ ۫ وَّ سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ  -- “Bagi tiap kabar gaib ada masa yang tertentu dan kamu segera akan mengetahui” itu berarti bahwa  Allah Swt.  sesuai dengan hikmah-Nya yang tidak dapat salah itu, telah menentukan satu saat penggenapan setiap kabar gaib. Maka azab yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang menolak kebenaran akan datang juga pada saatnya yang tepat.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo

Pajajaran Anyar,   26  Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar