Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Makna “Berpegang-teguh
Pada Tali Allah” & Kegagalan Upaya Orang-orang Munafik
Madinah Memisahkan Orang-orang
yang Beriman dari Nabi Besar Muhammad Saw.
Bab 23
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai makna “kebangkitan” suatu kaum (umat beragama) di dunia yang secara ruhani telah mati
mendapat kehidupan baru dengan
perantaraan seorang nabi Allah -- yang diumpamakan sebagai “air hujan” yang turun dari langit”
-- termasuk di Akhir Zaman ini, karena tanpa adanya peran Allah
Swt. maka upaya-upaya yang
dilakukan manusia untuk “mempersatukan hati manusia dalam kecintaan” sehingga
umat manusia dapat keluar dari
berbagai bentuk “kobaran api” --
akibat telah mengerasnya hati pihak-pihak
yang bertikai -- tidak akan pernah berhasil, mengisyaratkan kepada
kenyataan itulah peringatan Allah Swt. berikut ini, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا
تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ
اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ
عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ
اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ
بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ
بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا
حُفۡرَۃٍ مِّنَ
النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ
لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ لَعَلَّکُمۡ
تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan takwa yang
sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali
kamu dalam keadaan berserah diri. وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا -- Dan berpegangteguhlah
kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah kamu berpecah-belah, وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً -- dan
ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا -- lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan
antara satu sama lain maka dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi
bersaudara, وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا -- dan
kamu dahulu berada di tepi jurang Api
lalu Dia menyelamatkan kamu darinya. کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ لَعَلَّکُمۡ تَہۡتَدُوۡنَ -- Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk (Ali ‘Imran [3]:103-104).
Pentingnya Memiliki Ketakwaan Hakiki &
Pentingnya Berpegang Teguh Pada “Tali Allah”
Dari kedua ayat tersebut diketahui bahwa orang-orang
beriman selain harus memiliki ketakwaan
yang hakiki, yaitu berupa penyerahan diri atau kepatuh-taatan
seutuhnya kepada Allah Swt.,
juga mereka harus merupakan satu “kesatuan umat” dengan cara
berpegang teguh pada “Tali Allah”
yang datang dari langit: وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا – “Dan berpegangteguhlah
kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah kamu berpecah-belah,” sebab
tanpa kedua hal tersebut mustahil umat
Islam akan dapat mewujudkan kejayaannya
yang kedua kali di Akhir Zaman ini sebagaimana janji Allah Swt., firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama,
walaupun orang musyrik tidak menyukai (Ash-Shaf [61]:10).
Habl berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan;
suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban
yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan
(Lexicon Lane).
Nabi Besar Muhammad saw. . diriwayatkan
telah bersabda: “Kitab Allah itu tali
Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir,
IV, 30). Walau pun sabda Nabi Besar Muhammad saw. tersebut benar, tetapi dalam
kenyataannya sekali pun hingga saat ini Al-Quran
tetap berada di lingkungan umat Islam
serta tetap mereka percayai sebagai Kitab suci yang terakhir
dan tersempurna (QS.5:4) namun
demikian umat Islam tetap terpecah-belah.
Ada pun penyebabnya adalah karena selain
sebagai petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa dan bahkan merupakan petunjuk bagi umat manusia (QS.2:1-3 & 186), Al-Quran
pun memiliki kemampuan menggelincirkan
orang-orang yang hatinya berpenyakit
atau ada kebengkokan, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ
اُمُّ الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ
فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ
مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ
الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
﴿﴾
Dia-lah Yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran kepada engkau, di
antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,
itulah pokok-pokok Al-Kitab,
sedangkan yang lain ayat-ayat mutasyābihāt. فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ
فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ
تَاۡوِیۡلِہٖ -- Adapun orang-orang
yang di dalam hatinya ada kebengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang
salah, وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ -- padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali
Allah, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam یَقُوۡلُوۡنَ
اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ
رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ
اُولُوا الۡاَلۡبَابِ -- mereka berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya
berasal dari sisi Rabb (Tuhan)
kami.” وَ مَا یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا
الۡاَلۡبَابِ -- Dan tidak
ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang
yang mempergunakan akal (Ali ‘Imran [3]:8).
Makna Lain Berpegang-teguh Pada “Tali Allah” Adalah Beriman Kepada Rasul Allah & ‘Abdullah bin Ubayy bin Salul Pemimpin Kaum Munafik Madinah
Dengan demikian jelaslah bahwa makna lain dari
“Tali Allah” adalah Rasul Allah yang dengan perantaraannya Allah menimbulkan kecintaan di dalam hati
orang-orang yang beriman kepadanya,
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ --
seandainya engkau membelanjakan yang ada
di bumi ini seluruhnya, engkau
sekali-kali tidak akan dapat
menanamkan kecintaan di antara hati mereka, وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ -- tetapi
Allah
telah menanamkan kecin-taan di antara mereka, اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ -- sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana (Al-Anfāl
[8]:64).
Kecintaan
atas dasar keimanan kepada Allah Swt.
dan Rasul
Allah -- yakni “Tali Allah” – itulah yang membuat
harapan orang-orang munafik Madinah
pimpinan ‘Abdullah bin Ubayy untuk memporak-porandakan para sahabat Nabi Besar Muhammad saw. gagal total, firman-Nya:
ہُمُ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰی مَنۡ عِنۡدَ رَسُوۡلِ اللّٰہِ حَتّٰی
یَنۡفَضُّوۡا ؕ وَ لِلّٰہِ خَزَآئِنُ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لٰکِنَّ
الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا یَفۡقَہُوۡنَ ﴿﴾ یَقُوۡلُوۡنَ
لَئِنۡ رَّجَعۡنَاۤ اِلَی
الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ
مِنۡہَا الۡاَذَلَّ ؕ وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
لٰکِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا
یَعۡلَمُوۡنَ ٪﴿﴾
Merekalah orang-orang yang
berkata: “Janganlah kamu membelanjakan
harta bagi orang yang bersama
Rasul Allah, supaya mereka lari karena
kelaparan. Padahal kepunyaan
Allah khazanah-khazanah seluruh
langit dan bumi, tetapi orang-orang
munafik itu tidak mengerti. یَقُوۡلُوۡنَ لَئِنۡ
رَّجَعۡنَاۤ اِلَی الۡمَدِیۡنَۃِ لَیُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ مِنۡہَا الۡاَذَلَّ -- Mereka berkata: “Jika kita kembali ke Medinah, niscaya orang
yang paling mulia akan mengeluarkan
orang yang paling hina darinya.” وَ لِلّٰہِ الۡعِزَّۃُ وَ لِرَسُوۡلِہٖ وَ لِلۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ
لٰکِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَا
یَعۡلَمُوۡنَ -- Padahal kemuliaan
hakiki itu milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (Al-Munāfiqūn [63]:8-9).
Karena tidak ada ketulusan dan kejujuran dalam dirinya, seorang orang munafik memandang orang-orang lain seperti dirinya sendiri. Kaum munafikin
Medinah membuat pikiran totol dan keliru sama sekali mengenai ketulusan tujuan dan keimanan para sahabat Nabi Besar Muhammad saw., sebab mereka menyangka para sahabat
telah berkumpul di sekitar beliau saw.
karena pertimbangan kepentingan duniawi,
dan mereka menyangka apabila mereka
(para sahabat) itu menyadari bahwa harapan
mereka itu tidak terlaksana, mereka
itu akan meninggalkan Nabi Besar Muhammad saw.. Perjalanan masa membatalkan sama sekali segala harapan orang-orang munafik yang sia-sia itu.
Dalam suatu gerakan pasukan (mungkin gerakan
pasukan menggempur Banu Musthaliq), ‘Abdullah bin Ubayy – pemimpin kaum munafik Medinah, yang harapan
besarnya menjadi pemimpin kaum
Medinah telah hancur berantakan
dengan kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. pada peristiwa itu – diriwayatkan pernah
mengatakan bahwa sekembali ke Medinah ia “yang
paling mulia dari antara penduduknya,” – maksudnya ia sendiri – “akan mengusir dia yang paling hina dari
antara mereka,” maksudnya Nabi Besar
Muhammad saw..
Perlakuan Baik Nabi Besar
Muhammad Saw. Terhadap Abdullah bin Ubayy bin Salul
Anak laki-laki ‘Abdullah bin Ubayy –
yang juga bernama ‘Abdullah r.a. yang
telah beriman kepada Nabi Besar
Muhammad saw. -- mendengar kecongkakan kotor ayahnya tersebut, dan ketika rombongan ‘Abdullah bin Ubayy sampai
ke Medinah ia menghunus pedangnya dan menghalangi ayahnya masuk kota sebelum
ayahnya mau mengakui dan menyatakan bahwa ayahnya
sendirilah yang paling hina di
antara penduduk kota Medinah, dan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. adalah
yang paling mulia di antara mereka.
Dengan demikian keangkuhan ‘Abdullah bin Ubayy telah berbalik menimpa kepalanya sendiri.
Diriwayatkan bahwa
‘Abdullah r.a. sebelumnya telah meminta izin
kepada Nabi Besar Muhammad saw. untuk membunuh ayahnya karena penghinaannya
terhadap Nabi Besar Muhammad saw. –
dengan alasan bahwa kalau orang lain yang membunuh
ayahnya maka hal itu akan mengusik
harga dirinya -- namun beliau saw.
tidak mengizinkannya.
Bahkan diriwayatkan ketika ‘Abdullah bin Ubayy mati, Nabi Besar Muhammad saw. atas permintaan Abdullah berkenan memberikan jubah beliau saw. untuk menutup jenazahnya serta berkenan
untuk melakukan shalat jenazahnya.
Tetapi ketika Nabi Besar Muyhammad saw. berdiri hendak
menshalatkannya, Umar bin Khaththab r.a. menarik baju Nabi Besar Muhammad saw. dari belakang dan berkata: “Wahai Rasulullah, engkau
akan menshalatkannya? Bukankah Allah melarang engkau untuk menshalatkannya?
Rasulullah saw. menjawab: “Sesungguhnya
Allah Swt memberikan kepadaku dua pilihan: “Engkau memohonkan ampun bagi mereka atau engkau tidak mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja).
Kendatipun engkau memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah
sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena
mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik” (At-Taubah 80), dan
saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.”
Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang
munafiq”. Setelah Nabi Besar Muhammad
saw. menshalatkannya barulah turun ayat:
وَ لَا تُصَلِّ
عَلٰۤی اَحَدٍ مِّنۡہُمۡ مَّاتَ اَبَدًا وَّ لَا تَقُمۡ
عَلٰی قَبۡرِہٖ ؕ اِنَّہُمۡ کَفَرُوۡا بِاللّٰہِ
وَ رَسُوۡلِہٖ وَ مَا تُوۡا وَ ہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
“Dan selama-lamanya janganlah engkau menshalat-jenazahkan
seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya dan jangan pula eng-kau berdiri berdoa
di atas kuburannya, sesungguhnya mereka
kafir kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka mati dalam keadaan fasik” (QS. At-Taubah:84).
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa Nabi
Besar Muhammad saw. bukan saja merupakan “Tali
Allah” tetapi juga “rahmat bagi
seluruh alam” (QS.21:108). Itulah
sebabnya beriman kepada Rasul Allah merupakan salah satu dari Rukun
Iman setelah beriman kepada Allah Swt. dan beriman kepada Kitab-kitab
Allah.
Upaya Menyederhanakan Cara Menjadi “Penghuni
Surga” yang Bertentangan
dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad
saw.
Dalam beberapa Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai makna beriman
kepada yang gaib dalam hubungannya dengan Rukun Iman dan Rukun Islam, yang apabila diamalkan sesuai dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. akan
menciptakan “kehidupan surgawi” baik
di dunia ini mau pun di akhirat nanti, tanpa harus merugikan atau menzalimi pihak-pihak lain seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yaitu
orang-orang yang menyederhanakan cara menjadi penghuni
surga karena bertentangan
dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad
saw. (QS.3:32; QS.33:22).
Terjadinya upaya-upaya “penyederhanaan” cara masuk surga
yang bertentangan dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. tersebut akibat
telah mengerasnya hati manusia
karena telah jauh dari masa kenabian
yang penuh berkat yakni masa Nabi
Besar Muhammad saw., firman-Nya:
اَلَمۡ
یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ
تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ
لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ
عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ
قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ
فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا
اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ
الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang
beriman, bahwa hati mereka tunduk
untuk mengingat Allah dan mengingat
kebenaran yang telah turun kepada
mereka, dan mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab
sebelumnya, فَطَالَ عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ
فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ -- maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ
مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ -- dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka?
اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا -- Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
قَدۡ
بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ
تَعۡقِلُوۡنَ -- Sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepada
kamu supaya kamu mengerti (Al-Hadid [57]:17-18).
Cara Allah Swt.
“Menghakimi” Masalah yang Gaib
Cara Allah Swt. “menghidupkan bumi setelah kematiannya” dari segi
akhlak dan ruhani -- akibat mengalami “musim kemarau panjang” tersebut – adalah melalui pengutusan Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37), sehingga akan terpisah
antara orang-orang yang pernyataan
imannya kepada Allah Swt. benar
dari yang tidak benar.
Mengapa demikian? Sebab keimanan merupakan hal yang gaib sehingga bukan menjadi wewenang
siapa pun atau wewenang lembaga keagamaan apa pun untuk menilai benar-tidaknya keimanan seseorang atau sekompok orang firman-Nya:
مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ
اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ
رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿ ﴾
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya hingga
Dia memisahkan yang buruk dari
yang baik. وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ -- Dan Allah
sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ
یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآ -- tetapi Allah memilih di
antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, فَاٰمِنُوۡا
بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ -- karena
itu berimanlah kamu kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya, وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ -- dan jika kamu
beriman dan bertakwa maka bagi kamu ganjaran yang besar (Ali
‘Imran [3]:180).
Itulah Sunnatullah mengenai cara
Allah Swt. melakukan “Penghakiman” dalam rangka memisahkan benar-tidaknya masalah keimanan
di kalangan umat beragama yang telah terpecah-belah
menjadi berbagai firqah, yang bukan hanya saling mengkafirkan, saling menteror bahkan
saling memerangi sebagaimana yang terjadi di Akhir Zaman ini. Dengan demikian benarlah firman-Nya berikut
ini:
وَ
نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ
الظّٰلِمِیۡنَ اِلَّا خَسَارًا﴿﴾ وَ
اِذَاۤ اَنۡعَمۡنَا عَلَی الۡاِنۡسَانِ اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ
وَ اِذَا مَسَّہُ الشَّرُّ کَانَ
یَــُٔوۡسًا﴿﴾ قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ
اَعۡلَمُ بِمَنۡ ہُوَ
اَہۡدٰی سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dan Kami
menurunkan dari Al-Quran
suatu penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman,
tetapi tidak menambah kepada orang-orang
yang zalim melainkan kerugian. Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya ia berputus asa. قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ -- Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ
ہُوَ اَہۡدٰی سَبِیۡلًا -- maka Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui si-apa yang lebih
terpimpin pada jalan-Nya dan siapa yang tersesat” (Bani
Israil [17]:83-85).
Kata-kata ‘alā syākilati-hi berarti: sesuai dengan niat, cara berpikir, tujuan-tujuan,
dan maksud-maksud sendiri, karena itu siapa pun tidak bisa menghakimi masalah keimanan sebab termasuk masalah gaib dan sepenuhnya merupakan wewenang Allah Swt. untuk melakukan penilaiannya.
Namun demikian, baik-buruknya pemahaman
atau keimanan seseorang atau sekelompok orang dalam masalah keagamaan
akan nampak dari baik-buruk perbuatan (aksi-aksi) yang dilakukannya.
Jika dalam kenyataan mereka menyukai menebar fatwa kafir (pengkafiran) terhadap pihak-pihak yang tidak mereka
sukai serta melakukan berbagai bentuk tindak-kekerasan,
maka hal tersebut bertentangan dengan
misi kerasulan Nabi Besar Muhammad
saw. sebagai “rahmat bagi seluruh alam”
(QS.21:108) dan bertentangan dengan
gelar “umat terbaik” yang ditetapkan
Allah Swt. bagi orang-orang yang benar-benar
beriman kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:144; QS.3:111).
Apabila umat manusia -- terutama umat
beragama -- kembali kepada petunjuk Allah Swt. dalam Al-Quran maka Sunnatullah berikut ini pasti akan mereka alami di dunia ini juga, yaitu terciptanya “kehidupan surgawi” di dunia, firman-Nya:
وَ بَشِّرِ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ کُلَّمَا
رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا
مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa sesungguhnya
untuk mereka ada
kebun-kebun yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai. کُلَّمَا
رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا -- Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan
dari kebun itu sebagai rezeki, قَالُوۡا
ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا -- akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya, وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ -- dan bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan
mereka akan kekal di dalamnya (Al-Baqarah
[2]:26).
Berbagai Bentuk Azab Ilahi yang Terjadi di Akhir Zaman
Tetapi jika tidak kembali kepada petunjuk
Allah Swt. dalam Al-Quran serta melakukan
berbagai hal yang bertentangan dengan
Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. maka
berkecamuknya berbagai bentuk bencana dan huru-hara yang terjadi di Akhir Zaman ini merupakan bukti benarnya firman Allah Swt. berikut
ini:
قُلۡ
ہُوَ الۡقَادِرُ عَلٰۤی اَنۡ یَّبۡعَثَ عَلَیۡکُمۡ عَذَابًا مِّنۡ
فَوۡقِکُمۡ اَوۡ مِنۡ تَحۡتِ اَرۡجُلِکُمۡ اَوۡ یَلۡبِسَکُمۡ شِیَعًا وَّ یُذِیۡقَ
بَعۡضَکُمۡ بَاۡسَ بَعۡضٍ ؕ اُنۡظُرۡ کَیۡفَ نُصَرِّفُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّہُمۡ
یَفۡقَہُوۡنَ﴿﴾ وَ کَذَّبَ بِہٖ قَوۡمُکَ وَ ہُوَ الۡحَقُّ ؕ قُلۡ
لَّسۡتُ عَلَیۡکُمۡ بِوَکِیۡلٍ ﴿ؕ﴾ لِکُلِّ نَبَاٍ
مُّسۡتَقَرٌّ ۫ وَّ سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Dia-lah Yang berkuasa mengirimkan azab
kepada kamu dari atas kamu atau dari bawah kaki kamu atau mencampur-baurkan kamu menjadi
golongan-golongan yang saling berselisih dan membuat sebagian kamu merasakan keganasan sebagian yang lain.”
Lihatlah bagaimana Kami membentangkan Tanda-tanda supaya
mereka mengerti. Dan kaum engkau telah mendustakannya,
padahal itu adalah kebenaran. Katakanlah: ”Aku sekali-kali bukan
penanggungjawab atas kamu.” Bagi tiap
kabar gaib ada masa yang tertentu dan kamu
segera akan mengetahui. (Al-An’ām
[6]:66-68).
Makna “azab
dari atas” maknanya: kelaparan, gempa bumi, air bah, taufan, penindasan terhadap golongan yang lemah oleh yang kuat,
penderitaan mental, dan sebagainya; dan makna
“siksaan dari bawah” berarti:
penyakit-penyakit, wabah, pemberontakan
orang-orang bawahan, dan sebagainya.
Kemudian ada hukuman berupa kekacauan, perpecahan-perpecahan
dan perselisihan yang kadang-kadang
berakhir dalam perang saudara. Hal
demikian ini diisyaratkan dalam kata-kata
اَوۡ یَلۡبِسَکُمۡ شِیَعًا وَّ یُذِیۡقَ بَعۡضَکُمۡ بَاۡسَ بَعۡضٍ -- “membuat sebagian kamu merasakan keganasan sebagian yang lain.”
Di sini kata ganti “nya” dalam ayat وَ کَذَّبَ بِہٖ قَوۡمُکَ وَ ہُوَ
الۡحَقُّ -- “Dan kaum engkau telah mendustakannya, padahal itu
adalah kebenaran” menunjuk kepada
(1) perkara yang sedang dibahas; (2) Al-Quran;
(3) azab Ilahi. Jika kita ambil arti
yang terakhir (azab Ilahi), maka
kata-kata وَ ہُوَ الۡحَقُّ -- “padahal itu adalah kebenaran” akan berarti bahwa azab Ilahi yang dijanjikan pasti akan tiba, sebab Allah Swt. tidak pernah menimpakan azab kepada manusia sebelum terlebih dulu diutus rasul Allah sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada
mereka (QS.6:132; QS.11:118; QS.17:16-18; QS.20:134-136; QS.26:209-210; QS.28:60)
Ayat لِکُلِّ نَبَاٍ مُّسۡتَقَرٌّ ۫ وَّ سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَ -- “Bagi
tiap kabar gaib ada masa yang
tertentu dan kamu segera akan mengetahui” itu berarti bahwa Allah Swt. sesuai dengan hikmah-Nya yang tidak dapat salah itu, telah menentukan satu saat penggenapan setiap kabar gaib. Maka azab yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang menolak kebenaran akan datang juga pada
saatnya yang tepat.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,
26
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar