Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Hubungan Iman
dan Amal Shaleh Dengan Jannah (Kebun) yang di Bawahnya Mengalir
Sungai
Bab 15
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai makna “beriman
kepada yang gaib” sebagai tanda pertama orang-orang yang bertakwa (QS.2:1-6), yang tercakup dalam Rukun Iman, firman-Nya:
اٰمَنَ
الرَّسُوۡلُ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡہِ مِنۡ رَّبِّہٖ وَ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ؕ کُلٌّ اٰمَنَ
بِاللّٰہِ وَ مَلٰٓئِکَتِہٖ وَ کُتُبِہٖ وَ رُسُلِہٖ ۟ لَا نُفَرِّقُ
بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ ۟ وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا
وَ اَطَعۡنَا ٭۫
غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
Rasul ini beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari
Rabb-nya (Tuhan-nya), dan begitu pula orang-orang
beriman, semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ -- mereka berkata: ”Kami tidak membeda-bedakan
seorang pun dari antara Rasul-rasul-Nya”,
وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ -- dan mereka berkata: “Kami telah mendengar dan kami
taat. Kami mohon ampunan Engkau, ya Rabb (Tuhan) kami, dan kepada Engkau-lah
kami kembali” (Al-Baqarah [2]:286).
Firman Allah Swt. tersebut mengisyaratkan
kepada urutan iman dalam Rukun Iman, yakni (1) beriman kepada Allah Swt., (2) beriman kepada malaikat-malaikat,
(3) beriman kepada Kitab-kitab suci, (4) beriman
kepada rasul-rasul (nabi-nabi). Ada
pun Rukun Iman yang kelima dan keenam yaitu: (5) beriman
kepada “Hari Kiamat” dan (6) beriman
kepada qadha dan qadar -- walau pun diisyaratkan
dalam berbagai Surah Al-Quran lainnya --
tetapi sebenarnya telah tercakup pula di dalam ayat tersebut.
Mengapa demikian? Sebab pengutusan para Rasul Allah juga dari satu segi
merupakan semacam “Hari Kiamat”
karena tujuan pengutusan mereka –
terutama Nabi Besar Muhammad saw. –
adalah untuk menciptakan “langit baru
dan bumi baru” (QS.14:49-53),
menggantikan “tatanan kehidupan lama”
yang kerusakannya meliputi “daratan”
dan “lautan” (QS.30:42-44), sehingga
kebanyakan hati manusia menjadi keras
serta menjadi orang-orang fasik (QS.57:17-18).
Penggunaan Kata As-Saa'ah dan Qiyaamah
Pembahasan mengenai Kiamat dalam Al-Quran dengan
menggunakan kata qiyamah terdapat sekitar 70 ayat, antara lain dalam (QS.2:86;
QS.7:33, 168, 173; 168; QS.75:1-16), sedangkan dengan sebutan as-Sā’ah (QS.75:1-16) antara lain
terdapat dalam QS.7:188-189;
QS.33:64; QS.78:2-6; QS.79:43-47, berikut
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad
saw.:
یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ السَّاعَۃِ اَیَّانَ مُرۡسٰہَا ؕ قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ رَبِّیۡ ۚ لَا یُجَلِّیۡہَا لِوَقۡتِہَاۤ اِلَّا ہُوَ ؕۘؔ ثَقُلَتۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ لَا تَاۡتِیۡکُمۡ اِلَّا بَغۡتَۃً ؕ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ کَاَنَّکَ حَفِیٌّ عَنۡہَا ؕ قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ اللّٰہِ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ النَّاسِ لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ لَّاۤ اَمۡلِکُ لِنَفۡسِیۡ نَفۡعًا وَّ
لَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَآءَ اللّٰہُ ؕ وَ لَوۡ کُنۡتُ اَعۡلَمُ الۡغَیۡبَ لَاسۡتَکۡثَرۡتُ مِنَ الۡخَیۡرِۚۖۛ وَ مَا مَسَّنِیَ السُّوۡٓءُ ۚۛ اِنۡ اَنَا اِلَّا نَذِیۡرٌ وَّ بَشِیۡرٌ
لِّقَوۡمٍ یُّؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾٪
Mereka bertanya kepada engkau mengenai Sa’ah (Kiamat): اَیَّانَ مُرۡسٰہَا -- “Kapan terjadinya?” قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ رَبِّیۡ
-- Katakanlah: ”Pengetahuan mengenai itu hanya ada
pada sisi Rabb-ku (Tuhan-ku). لَا یُجَلِّیۡہَا لِوَقۡتِہَاۤ اِلَّا ہُوَ -- Tidak ada yang dapat menampakkan mengenai waktunya kecuali Dia. ثَقُلَتۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ -- Sangat
berat Kiamat itu di seluruh langit dan bumi, لَا تَاۡتِیۡکُمۡ اِلَّا بَغۡتَۃً -- tidak
akan datang kepada kamu melainkan dengan
tiba-tiba.” یَسۡـَٔلُوۡنَکَ کَاَنَّکَ حَفِیٌّ عَنۡہَا -- Mereka
bertanya kepada engkau seolah-olah engkau
benar-benar mengetahuinya, قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ اللّٰہِ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ
النَّاسِ لَا یَعۡلَمُوۡنَ -- katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan mengenai itu hanya ada pada
sisi Allah, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” قُلۡ لَّاۤ اَمۡلِکُ لِنَفۡسِیۡ
نَفۡعًا وَّ لَا ضَرًّا
اِلَّا مَا شَآءَ اللّٰہُ -- Katakanlah: “Aku tidak memiliki kekuasaan meraih manfaat bagi diriku dan tidak pula
mudarat, kecuali apa yang
dikehendaki Allah. وَ لَوۡ کُنۡتُ اَعۡلَمُ الۡغَیۡبَ لَاسۡتَکۡثَرۡتُ مِنَ الۡخَیۡرِ -- Dan se-andainya
aku mengetahui hal gaib niscaya aku
telah meraih banyak kebaikan dan keburukan sekali-kali tidak akan menyentuhku. اِنۡ اَنَا اِلَّا نَذِیۡرٌ وَّ بَشِیۡرٌ لِّقَوۡمٍ
یُّؤۡمِنُوۡنَ -- Aku
tidak lain melainkan pemberi
peringatan dan pemberi kabar gembira
kepada kaum yang beriman” (Al-A’rāf
[7]:188-189).
Memberikan hukuman
itu bagi Allah Swt. sama pedihnya
seperti halnya bagi manusia menerimanya,
dan itulah arti kata-kata: ثَقُلَتۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ -- "Sangat berat Kiamat itu di
seluruh langit dan bumi”. Kata “langit”
secara kiasan menampilkan Allah Swt. dan para malaikat, sedangkan “bumi”
menampilkan manusia.
Menurut Nabi Besar Muhammad saw. Kiamat ada 3 macam yaitu: Kiamat shugra (kecil), Kiamat wustha
(sedang) dan Kiamat Kubra (besar).
Kiamat wustha contohnya adalah berakhirnya ajal (jangka waktu) suatu kaum
akibat mendustakan dan menentang Rasul Allah yang dibangkitkan
di antara mereka, kemudian
posisinya sebagai “kaum terpilih” digantikan oleh kaum berikutnya, frman-Nya:
وَ لِکُلِّ
اُمَّۃٍ اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَآءَ
اَجَلُہُمۡ لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ
سَاعَۃً وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿﴾ یٰبَنِیۡۤ
اٰدَمَ اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ
رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ
فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ
کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا
خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan bagi tiap-tiap
umat ada batas waktu, maka apabila
telah datang batas waktunya, mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya. Wahai Bani Adam, jika datang
kepada kamu rasul-rasul
dari antaramu yang membacakan Ayat-ayat-Ku (Tanda-tanda-Ku) kepada kamu,
maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, maka tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan
tidak pula mereka akan bersedih hati.
وَ
الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا
خٰلِدُوۡنَ -- Dan
orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal
di dalamnya. (Al-A’rāf [7]:35-37).
Hal ini patut mendapat perhatian istimewa. Itulah sebabnya Allah Swt. menyebut kedatangan para rasul Allah
kepada kaum mereka masing-masing sebagai as-Sā’ah (tanda Kiamat) bagi kaum-kaum
tersebut, contoh lainnya adalah
pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. merupakan as-Sā’ah
(tanda Kiamat) bagi kepada Bani Israil
(QS.43:58-62; QS.61:6-7).
Seperti pada
beberapa ayat sebelumnya berkenaan dengan diturunkan-Nya pakaian dan peringatan
mengenai tipuan syaitan krpda “Bani Adam” dalam QS.7:27, 28 & 32,
seruan dengan kata-kata یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ -- Hai anak-cucu Adam, dalam ayat ini pun ditujukan
kepada umat manusia di zaman Nabi Besar Muhammad saw. dan juga kepada generasi-generasi yang akan lahir, bukan kepada umat yang hidup di masa silam dan yang datang tak lama sesudah masa Nabi Adam a.s..
Jadi, kembali kepada Rukun Iman yang ke-5 yaitu beriman kepada Hari Kiamat dan ke-6: beriman
kepada qadha dan qadar secara tersirat telah tercakup dalam firman Allah Swt. sebelum ini, karena masalah Kiamat
dan serta masalah qadha
dan qadar diterangkan secara terinci dalam Kitab suci Al-Quran, firman-Nya:
اٰمَنَ
الرَّسُوۡلُ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡہِ مِنۡ رَّبِّہٖ وَ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ؕ کُلٌّ اٰمَنَ
بِاللّٰہِ وَ مَلٰٓئِکَتِہٖ وَ کُتُبِہٖ وَ رُسُلِہٖ ۟ لَا نُفَرِّقُ
بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ ۟ وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا
وَ اَطَعۡنَا ٭۫
غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
Rasul ini beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari
Rabb-nya (Tuhan-nya), dan begitu pula orang-orang
beriman, semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ -- mereka berkata: ”Kami tidak membeda-bedakan
seorang pun dari antara Rasul-rasul-Nya”,
وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ -- dan mereka berkata: “Kami telah mendengar dan kami
taat. Kami mohon ampunan Engkau, ya Rabb (Tuhan) kami, dan kepada Engkau-lah
kami kembali” (Al-Baqarah [2]:286).
Pembukaan Pintu “Mutiara
Hikmah Intelektual”
Pembahasan mengenai Rukun Iman dalam Kitab suci
Al-Quran tersebut sesuai dengan
sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai tiga macam
“pembukaan pintu” oleh Al-Quran:
“Pintu
kedua pemahaman Ilahi yang dibuka
lebar oleh Al-Quran adalah mutiara
hikmah intelektual yang karena sifatnya
yang luar biasa bisa dianggap
sebagai mukjizat intelektual.
Bentuknya ada berbagai macam:
Pertama, pengetahuan mengenai wawasan
keimanan, dengan pengertian bahwa semua wawasan luhur yang berkaitan dengan keimanan dan semua kebenaran
sucinya serta mutiara hikmah
pengetahuan tentang Ilahi yang
dibutuhkan di dunia guna penyempurnaan
batin manusia, semuanya ada tersedia
di dalam Al-Quran.
Begitu juga dengan semua keburukan batin yang merangsang munculnya keinginan
melakukan dosa dan nafsu yang
melambarinya serta cara-cara pensucian
batin berikut semua tanda-tanda,
karakteristik dan sifat-sifat dari akhlak
luhur. Tidak ada seorang pun yang akan mampu
mengemukakan kebenaran, hikmah Ke-Ilahi-an, cara-cara mencapai
Tuhan, bentuk atau disiplin suci
ibadah Ilahi lainnya yang belum
termaktub di dalam Kitab Suci
Al-Quran.
Kedua, di dalamnya juga terkandung pengetahuan
mengenai tentang sifat-sifat batin
dan tentang psikologi yang terdapat
secara komprehensif dalam firman ajaib ini, sehingga mereka yang mau berfikir akan sampai pada kesimpulan
bahwa Kitab ini bukanlah hasil kerja siapa pun kecuali Allah Yang Maha Perkasa.
Ketiga, di dalamnya terkandung ilmu
mengenai awal dunia, mengenai akhirat dan hal-hal tersembunyi lainnya yang merupakan bagian pokok dari firman
Allah Yang Maha Mengetahui tentang hal-hal
yang tersembunyi sehingga hati
manusia akan tenteram
jadinya. Semua pengetahuan demikian akan bisa ditemui banyak sekali dan secara
rinci di dalam Kitab Suci Al-Quran
sehingga tidak ada Kitab Samawi
lainnya yang akan mampu menyamainya.
Disamping itu Al-Quran juga mengungkapkan pengetahuan keimanan dari subyek lainnya dengan cara yang indah. Dalam hal ini, Kitab tersebut tetap memperhatikan logika, fisika, filosofi, astronomi, psikologi, medikal, matematika dan pengetahuan tentang komposisi
yang digunakan untuk menguraikan dan
menjelaskan pengetahuan tentang keimanan, guna memudahkan pemahamannya, menarik konklusi darinya, atau untuk
menyangkal keberatan dari
orang-orang yang bodoh.
Dengan kata lain, semua subyek
ini dikemukakan Kitab Suci Al-Quran
bagi kepentingan keimanan manusia
dengan cara sedemikian rupa, sehingga
setiap bentuk intelektualitas manusia
akan dapat menyerap kemaslahatannya.” (Surma Chasm Arya, Qadian,
1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. II, hlm.
73-75, London, 1984).
Keterkaitan Iman dan Amal Shaleh
dengan Jannah (Surga)
Kembali kepada firman Allah Swt. mengenai tanda-tanda orang-orang yang bertakwa sebelumnya -- terutama “beriman kepada yang gaib”:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ
رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Alif Lām Mīm. Inilah
Kitab yang sempurna itu, tidak
ada keraguan di dalamnya,
ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa. الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ -- Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, dan mendirikan shalat, dan
mereka membelanjakan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka. Dan orang-orang
yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga
kepada apa yang telah diturunkan sebelum
engkau dan kepada akhirat pun mereka
yakin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka
itulah orang-orang
yang berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
Perlu diketahui, memang benar bahwa amal-amal baik merupakan cara utama untuk mencapai kesucian ruhani, tetapi amal-amal baik
itu harus bersumber pada kesucian hati yang dapat dicapai hanya dengan berpegang pada itikad-itikad yang benar, maka barulah amal-amal baik tersebut dinamakan amal shaleh.
Sehubungan hal itu maka
dalam QS.2:286 sebelum ini Allah Swt. telah merinci dasar-dasar
kepercayaan yang telah diajarkan oleh Al-Quran
yaitu beriman kepada Allah Swt.,
para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya menurut urutan
atau tertib yang wajar.
Mengapa demikian? Sebab kekeliruan dalam memahami dasar-dasar
keimanan yang utama tersebut -- terutama mengenai Tuhan Yang Hakiki yakni Allah
Swt. -- tidak akan membuat “amal-amal
baik” yang dilakukan orang beragama dapat disebut “amal shaleh”, karena perpaduan
antara keimanan dan amal shaleh itulah yang menjadi penyebab utama orang-orang yang memiliki keduanya (beriman dan beramal shaleh) menjadi “penghuni
surga”, firman-Nya:
وَ بَشِّرِ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ کُلَّمَا
رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا
مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal shaleh
bahwa sesungguhnya untuk mereka ada kebun-kebun
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.
کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا -- Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai
rezeki, قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami
sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا -- akan diberikan
kepada mereka yang serupa dengannya,
وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا
خٰلِدُوۡنَ -- dan
bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan
mereka akan kekal di dalamnya (Al-Baqarah
[2]:26).
Firman Allah Swt. tersebut memberikan gambaran singkat mengenai ganjaran
yang akan diperoleh orang-orang beriman
dan beramal shaleh di akhirat
dalam surga. Para kritikus Islam telah melancarkan
berbagai keberatan atas lukisan atau perumpamaan
itu.
Berada di Luar Daya Nalar dan Daya
Khayal Manusia & “Keadaan Nyata”
Dalam Mimpi
Kecaman-kecaman itu disebabkan oleh karena mereka sama sekali tidak
memahami ajaran Islam tentang nikmat-nikmat
surgawi. Al-Quran dengan tegas mengemukakan bahwa ada di luar kemampuan alam pikiran manusia untuk dapat mengenal hakikatnya, firman-Nya:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ
اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ بِمَا
کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa
mengetahui apa yang tersembunyi bagi
mereka dari penyejuk mata
sebagai balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan (As-Sajdah [32]:18).
Waktu Nabi Besar Muhammad saw. menggambarkan bentuk serta sifat nikmat
dan kesenangan surga, beliau saw.diriwayatkan
pernah bersabda: “Tiada mata pernah melihatnya
(nikmat surga itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula
pikiran manusia dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).
Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat
kehidupan ukhrawi tidak akan bersifat kebendaan,
karena nikmat-nikmat itu akan
merupakan penjelmaan-keruhanian dari perbuatan dan tingkah-laku baik -- yakni
iman dan amal shaleh -- yang telah
dikerjakan orang-orang bertakwa di
alam dunia ini.
Kata-kata yang dipergunakan untuk
menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti
kiasan. Ayat yang sekarang pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi
yang akan dilimpahkan kepada orang-orang beriman yang bertakwa di alam akhirat bahkan jauh
lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau
dibayangkan. Nikmat-nikmat itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya
cipta manusia.
Dengan sendirinya timbul
pertanyaan: Mengapa nikmat-nikmat surga diberi nama
yang biasa dipakai untuk benda-benda di
bumi ini? Hal demikian adalah karena seruan Al-Quran itu tidak hanya semata-mata tertuju kepada orang-orang
yang maju dalam bidang ilmu, karena itu Al-Quran
mempergunakan kata-kata sederhana yang
dapat dipahami semua orang.
Dalam menggambarkan karunia Ilahi dalam surga tersebut Al-Quran
telah mempergunakan nama benda yang
pada umumnya dipandang baik di bumi
ini, dengan demikian orang-orang beriman diajari bahwa mereka
akan mendapat hal-hal itu semuanya dalam bentuk yang lebih baik di alam yang akan datang (akhirat).
Untuk menjelaskan perbedaan penting itulah maka dipakainya
kata-kata yang telah dikenal manusia, selain itu tidak
ada persamaan antara kesenangan
duniawi dengan karunia-karunia
ukhrawi (akhirat). Tambahan pula menurut ajaran Islam (Al-Quran) kehidupan di akhirat itu tidak ruhaniah dalam artian bahwa hanya
akan terdiri atas keadaan ruhani,
bahkan dalam kehidupan di akhirat pun
ruh manusia akan mempunyai semacam tubuh tetapi tubuh itu tidak bersifat benda seperti tubuh
jasmani di dunia ini.
Orang dapat membuat tanggapan
terhadap keadaan di akhirat itu dari gejala-gejala mimpi. Pemandangan-pemandangan yang disaksikan atau dialami orang dalam mimpi tidak dapat disebut keadaan pikiran atau ruhani belaka, sebab dalam keadaan itu pun ia punya jisim
dan kadang-kadang ia mendapatkan dirinya berada dalam kebun-kebun dengan sungainya,
makan buah-buahan, dan minum susu.
Sukar untuk mengatakan bahwa isi mimpi itu hanya keadaan alam pikiran belaka. Susu yang dinikmati dalam mimpi tidak ayal lagi merupakan pengalaman yang sungguh-sungguh, tetapi
tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bahwa minuman
itu susu biasa yang ada di dunia ini dan diminumnya.
Keadaan Surga Merupakan Gambaran Iman
dan Amal Shaleh
Nikmat-nikmat ruhani kehidupan di akhirat bukan akan berupa hanya
penyuguhan subyektif dari anugerah Allah Swt. yang kita nikmati di dunia ini, bahkan apa yang kita peroleh
di sini (di dunia) hanyalah gambaran dari
anugerah nyata dan benar dari Allah Swt. yang
akan dijumpai orang di akhirat.
Tambahan pula bahwa “kebun-kebun“ adalah gambaran iman, sedangkan “sungai-sungai”
adalah gambaran amal shaleh. Jadi
filosofi dari perumpamaan ayat جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ -- “kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” bahwa sebagaimana di dunia ini kebun-kebun tidak dapat tumbuh subur tanpa adanya pengairan
yang memadai dari sungai-sungai,
begitu pula iman tidak dapat tumbuh segar
dan sejahtera tanpa perbuatan baik (amal shaleh), dengan demikiam iman
dan amal shaleh tidak dapat
dipisahkan untuk mencapai najat
(keselamatan).
Di akhirat kebun-kebun itu akan mengingatkan
orang beriman akan imannya dalam kehidupan ini, sedangkan sungai-sungai
akan mengingatkan kembali kepada amal shalehnya maka ia akan mengetahui
bahwa iman dan amal salehnya tidak sia-sia, demikian juga halnya dengan kualitas dan kualitas ganjarannya dari Allah Swt. Inilah salah satu makna ayat: قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا -- “akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya.”
Jadi, sangat keliru mengambil kesimpulan dari kata-kata: ہٰذَا
الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- "Inilah
yang telah diberikan kepada kami dahulu", bahwa di surga orang-orang beriman akan dianugerahi buah-buahan semacam yang dinikmati
mereka di bumi ini, sebab seperti
telah diterangkan di atas keduanya tidak sama. Buah-buahan di akhirat
sesungguhnya akan berupa gambaran mutu
keimanannya sendiri.
Ketika mereka hendak memakannya mereka segera akan mengenali dan ingat kembali bahwa buah-buahan
itu adalah hasil imannya di dunia,
dan karena rasa syukur atas nikmat itu mereka akan berkata: ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- “inilah yang telah diberikan kepada
kami dahulu.” Ungkapan ini dapat pula berarti “inilah apa yang telah dijanjikan kepada kami.”
Kata-kata “yang hampir serupa” tertuju kepada persamaan antara amal ibadah
yang dilakukan oleh orang-orang beriman
dan beramal shaleh di bumi ini dan buah atau hasilnya di surga. Amal
ibadah dalam kehidupan sekarang akan nampak
kepada orang-orang beriman sebagai hasil atau buah di akhirat.
Makin sungguh-sungguh dan makin
sepadan ibadah manusia, makin banyak
pula ia menikmati buah-buah yang
menjadi bagiannya di surga dan makin baik
pula buah-buah itu dalam nilai dan mutunya. Jadi untuk meningkatkan
mutu buah-buahan yang dikehendakinya terletak pada kekuatannya sendiri.
Peringatan Allah Swt. Kepada Pelaku “Perbuatan
Baik” Agar Tidak Sia-sia
Mengisyaratkan kepada hal itu
pulalah peringatan Allah Swt. berikut ini, agar “perbuatan
baik” yang dilakukan orang-orang yang beriman benar-benar merupakan “amal shaleh” dalam pandangan Allah Swt., firman-Nya:
مَثَلُ
الَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ کَمَثَلِ حَبَّۃٍ
اَنۡۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِیۡ کُلِّ سُنۡۢبُلَۃٍ مِّائَۃُ حَبَّۃٍ ؕ وَ
اللّٰہُ یُضٰعِفُ لِمَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ اَلَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ
اللّٰہِ ثُمَّ لَا یُتۡبِعُوۡنَ مَاۤ اَنۡفَقُوۡا مَنًّا وَّ لَاۤ اَذًی ۙ لَّہُمۡ
اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۚ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ صَدَقَۃٍ
یَّتۡبَعُہَاۤ اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ ﴿﴾
Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta mereka di jalan Allah,
adalah seperti perumpamaan sebuah biji
menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap
bulir terdapat seratus biji, Allah melipatgandakan ganjaran-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki,
dan Allah Maha Luas karunia-Nya,
Maha Mengetahui. اَلَّذِیۡنَ
یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ --
Orang-orang yang membelanjakan hartanya
di jalan Allah ثُمَّ لَا یُتۡبِعُوۡنَ مَاۤ اَنۡفَقُوۡا مَنًّا وَّ لَاۤ اَذًی -- kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dibelanjakannya itu dengan menyebut-nyebut
kebaikan dan tidak pula menyakiti
hati, لَّہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۚ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ
یَحۡزَنُوۡنَ -- bagi mereka ada ganjarannya di sisi Rabb-nya
(Tuhan-nya), tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ
مِّنۡ صَدَقَۃٍ یَّتۡبَعُہَاۤ اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ -- Tutur kata yang baik dan ampunan adalah lebih
baik daripada sedekah yang diiringi
dengan sikap menyakiti, dan Allah
Maha Kaya, Maha Penyantun (Al-Baqarah [2]:262-264).
Pernyataan Allah Swt.: اَلَّذِیۡنَ
یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ -- Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah ثُمَّ لَا
یُتۡبِعُوۡنَ مَاۤ اَنۡفَقُوۡا مَنًّا
وَّ لَاۤ اَذًی
-- kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang
dibelanjakannya itu dengan menyebut-nyebut
kebaikan dan tidak pula menyakiti
hati,” dan juga: قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ
مِّنۡ صَدَقَۃٍ یَّتۡبَعُہَاۤ اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ -- ”Tutur kata yang baik dan ampunan
adalah lebih baik daripada sedekah
yang diiringi dengan sikap menyakiti, dan Allah Maha Kaya, Maha
Penyantun,” menyatakan bahwa dalam pandangan Allah Swt. tidak setiap “perbuatan baik” yang dilakukan orang-orang yang beriman merupakan “amal shaleh.”
Tiap-tiap perbuatan
baik dapat disalahgunakan, dan penyalahgunaan belanja harta di jalan
Allah ialah menyertainya dengan mann
(dengan sombong menyebut-nyebut perbuatan baiknya) dan adza
(menyatakannya dengan menyakiti). Karena itu mereka yang membelanjakan kekayaan
mereka di jalan Allah dilarang menyebut-nyebut
tanpa gunanya dan tidak pada tempatnya perihal uang yang dibelanjakan mereka dan bakti yang diberikan mereka demi kepentingan kebenaran, sebab perbuatan demikian termasuk mann (celaan,
ejekan). Demikian pula mereka diperintahkan agar tidak menuntut sesuatu sebagai imbalan
atas bantuan yang mereka berikan kepada orang-orang lain..
Makna ayat
قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ
مِّنۡ صَدَقَۃٍ یَّتۡبَعُہَاۤ اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ -- ”Tutur kata yang baik dan ampunan adalah lebih
baik daripada sedekah yang diiringi
dengan sikap menyakiti, dan Allah
Maha Kaya, Maha Penyantun,” bahwa Lebih baik
mengucapkan kata-kata kasih-sayang
atau minta maaf kepada orang yang meminta pertolongan, daripada mula-mula menolongnya dan kemudian menya-kitinya dan memberinya kesusahan; atau ia sebaiknya berusaha menutupi dan menyembunyikan keperluan orang yang datang kepadanya meminta pertolongan dan menahan diri dari membicarakannya
kepada orang lain sehingga orang yang ditolong itu tidak merasa direndahkan dan dihinakan,
itulah arti maghfirat.
Orang-orang yang “Berbuat
Baik” tetapi Gagal Memperoleh “Kebun-kebun
yang Dibawahnya Mengalir Singai-sungai”
Lebih lanjut Allah Swt. memperingatkan orang-orang beriman agar
“perbuatan-perbuatan baik” yang
dilakukannya benar-benar merupakan “amal
shaleh”, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تُبۡطِلُوۡا صَدَقٰتِکُمۡ بِالۡمَنِّ وَ الۡاَذٰی ۙ
کَالَّذِیۡ یُنۡفِقُ مَالَہٗ رِئَآءَ النَّاسِ وَ لَا یُؤۡمِنُ بِاللّٰہِ وَ
الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِؕ فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ
صَفۡوَانٍ عَلَیۡہِ تُرَابٌ فَاَصَابَہٗ وَابِلٌ فَتَرَکَہٗ صَلۡدًا ؕ لَا یَقۡدِرُوۡنَ عَلٰی شَیۡءٍ مِّمَّا کَسَبُوۡا ؕ
وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ
الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membuat sedekah-sedekahmu sia-sia dengan menyebut-nyebut jasa baik dan sikap menyakiti,
seperti orang yang mem-belanjakan hartanya untuk
dilihat manusia,
sedangkan ia tidak beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian, maka perumpamaannya seperti misal
batu licin yang di atasnya ada tanah, lalu hujan lebat menimpanya dan me-ninggalkannya
keras dan licin. Mereka
tidak akan memperoleh sesuatu da-ri apa
yang mereka usahakan, dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum
yang kafir (Al-Baqarah [2]:265).
Dalam ayat lainnya kaum Muslimin diperintahkan pula untuk membelanjakan kekayaan mereka dengan terang-terangan (QS.2:275), tujuan yang
mendasarinya ialah agar orang-orang
Muslim lainnya akan terpengaruh
dan meniru teladan yang baik itu.
Akan tetapi orang yang tidak
beriman kepada Allah Swt. membelanjakan
uangnya secara terang-terangan hanya semata-mata untuk menarik penghargaan khalayak umum.
Orang-orang yang bersikap seperti itu dalam melakukan “perbuatan baiknya” kehilangan sama sekali hak
memperoleh ganjaran dari Allah
Swt., karena bukannya: اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ -- “bahwa sesungguhnya
untuk mereka ada
kebun-kebun yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai” sehingga
“kebun-kebun keimanannya” menghasilkan buah-buahan
yang berkualitas baik,
melainkan: فَمَثَلُہٗ کَمَثَلِ صَفۡوَانٍ
عَلَیۡہِ تُرَابٌ فَاَصَابَہٗ وَابِلٌ فَتَرَکَہٗ صَلۡدًا -- “maka perumpamaannya seperti misal
batu licin yang di atasnya ada tanah, lalu hujan lebat menimpanya dan meninggalkannya
keras dan licin. لَا یَقۡدِرُوۡنَ عَلٰی شَیۡءٍ مِّمَّا کَسَبُوۡا -- Mereka
tidak akan memperoleh sesuatu dari apa
yang mereka usahakan, وَ
اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ
الۡکٰفِرِیۡنَ -- dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum
yang kafir.”
Dengan demikian jelaslah mengapa Allah Swt. dalam Al-Quran telah mengumpamakan ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dengan "kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai", yakni iman" dengan "kebun" dan amal "shaleh" dengan "aliran sungai"Kembali kepada firman Allah
Swt. sebelumnya mengenai perumpamaan “surga”:
وَ بَشِّرِ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ کُلَّمَا
رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا
مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal shaleh
bahwa sesungguhnya untuk mereka ada kebun-kebun
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.
کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا -- Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai
rezeki, قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami
sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا -- akan diberikan
kepada mereka yang serupa dengannya,
وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا
خٰلِدُوۡنَ -- dan
bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan
mereka akan kekal di dalamnya (Al-Baqarah
[2]:26).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 18
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar