Sabtu, 23 Januari 2016

Hubungan "Iman" dan "Amal Shaleh" Dengan "Jannah" (Kebun/Surga) yang di Bawahnya "Mengalir Sungai"



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Hubungan Iman dan Amal Shaleh Dengan Jannah (Kebun) yang di Bawahnya Mengalir Sungai


Bab 15


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya  telah dijelaskan mengenai  makna  “beriman kepada yang gaib” sebagai tanda pertama orang-orang yang bertakwa (QS.2:1-6), yang  tercakup dalam Rukun Iman, firman-Nya:
اٰمَنَ الرَّسُوۡلُ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡہِ مِنۡ رَّبِّہٖ وَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ؕ کُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰہِ وَ مَلٰٓئِکَتِہٖ وَ کُتُبِہٖ وَ رُسُلِہٖ ۟ لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ  اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ ۟ وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
Rasul ini beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari  Rabb-nya (Tuhan-nya), dan begitu pula  orang-orang beriman,  semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ  اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ  --  mereka berkata:  ”Kami tidak membeda-bedakan  seorang pun dari antara Rasul-rasul-Nya”, وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ  -- dan mereka berkata: “Kami telah mendengar dan kami taat.  Kami mohon ampunan Engkau, ya Rabb (Tuhan) kami, dan kepada Engkau-lah kami  kembali” (Al-Baqarah [2]:286).
        Firman Allah Swt. tersebut mengisyaratkan kepada urutan iman dalam  Rukun Iman, yakni (1) beriman kepada Allah Swt., (2)  beriman kepada  malaikat-malaikat, (3) beriman kepada Kitab-kitab suci,  (4) beriman kepada  rasul-rasul (nabi-nabi).  Ada pun Rukun Iman yang kelima  dan keenam yaitu: (5)  beriman kepada “Hari Kiamat”  dan (6) beriman kepada qadha dan qadar  -- walau pun diisyaratkan dalam berbagai Surah Al-Quran lainnya  -- tetapi sebenarnya telah tercakup pula di dalam ayat tersebut.
     Mengapa demikian? Sebab pengutusan para Rasul Allah juga dari satu segi merupakan semacam “Hari Kiamat” karena tujuan pengutusan mereka – terutama Nabi Besar Muhammad saw.  – adalah untuk menciptakan “langit baru dan bumi baru”  (QS.14:49-53), menggantikan “tatanan kehidupan lama” yang kerusakannya  meliputi “daratan” dan “lautan” (QS.30:42-44), sehingga kebanyakan hati manusia menjadi keras serta menjadi orang-orang fasik (QS.57:17-18).

Penggunaan Kata As-Saa'ah dan Qiyaamah

      Pembahasan mengenai Kiamat  dalam Al-Quran dengan menggunakan kata qiyamah terdapat  sekitar 70 ayat, antara lain dalam (QS.2:86; QS.7:33, 168, 173; 168; QS.75:1-16), sedangkan dengan sebutan as-Sā’ah (QS.75:1-16) antara lain terdapat dalam  QS.7:188-189; QS.33:64;  QS.78:2-6; QS.79:43-47, berikut firman-Nya  kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ السَّاعَۃِ اَیَّانَ مُرۡسٰہَا ؕ قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ رَبِّیۡ ۚ لَا یُجَلِّیۡہَا لِوَقۡتِہَاۤ اِلَّا ہُوَ ؕۘؔ ثَقُلَتۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ لَا تَاۡتِیۡکُمۡ  اِلَّا بَغۡتَۃً ؕ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ کَاَنَّکَ حَفِیٌّ عَنۡہَا ؕ قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ اللّٰہِ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ  النَّاسِ لَا  یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾  قُلۡ لَّاۤ  اَمۡلِکُ  لِنَفۡسِیۡ  نَفۡعًا وَّ لَا  ضَرًّا  اِلَّا مَا شَآءَ اللّٰہُ ؕ وَ لَوۡ کُنۡتُ اَعۡلَمُ الۡغَیۡبَ لَاسۡتَکۡثَرۡتُ مِنَ الۡخَیۡرِۚۖۛ وَ مَا مَسَّنِیَ  السُّوۡٓءُ ۚۛ اِنۡ  اَنَا  اِلَّا  نَذِیۡرٌ وَّ بَشِیۡرٌ  لِّقَوۡمٍ  یُّؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾٪
Mereka bertanya kepada engkau mengenai Sa’ah (Kiamat):  اَیَّانَ مُرۡسٰہَا -- “Kapan  terjadinya?” قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ رَبِّیۡ  --  Katakanlah:  Pengetahuan mengenai itu hanya ada pada sisi Rabb-ku (Tuhan-ku). لَا یُجَلِّیۡہَا لِوَقۡتِہَاۤ اِلَّا ہُوَ  -- Tidak ada yang dapat menampakkan mengenai  waktunya kecuali Dia. ثَقُلَتۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ  -- Sangat berat Kiamat itu di seluruh langit dan bumi,  لَا تَاۡتِیۡکُمۡ  اِلَّا بَغۡتَۃً --  tidak akan datang kepada kamu melainkan dengan tiba-tiba.” یَسۡـَٔلُوۡنَکَ کَاَنَّکَ حَفِیٌّ عَنۡہَا  -- Mereka bertanya kepada engkau seolah-olah engkau benar-benar mengetahuinya, قُلۡ اِنَّمَا عِلۡمُہَا عِنۡدَ اللّٰہِ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ  النَّاسِ لَا  یَعۡلَمُوۡنَ --  katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan mengenai itu hanya ada pada sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” قُلۡ لَّاۤ  اَمۡلِکُ  لِنَفۡسِیۡ  نَفۡعًا وَّ لَا  ضَرًّا  اِلَّا مَا شَآءَ اللّٰہُ --   Katakanlah: “Aku tidak memiliki kekuasaan meraih manfaat bagi diriku dan tidak pula  mudarat, kecuali apa yang dikehendaki Allah. وَ لَوۡ کُنۡتُ اَعۡلَمُ الۡغَیۡبَ لَاسۡتَکۡثَرۡتُ مِنَ الۡخَیۡرِ  -- Dan se-andainya aku mengetahui hal gaib niscaya aku telah meraih banyak kebaikan  dan keburukan sekali-kali tidak akan menyentuhku.  اِنۡ  اَنَا  اِلَّا  نَذِیۡرٌ وَّ بَشِیۡرٌ  لِّقَوۡمٍ  یُّؤۡمِنُوۡنَ --   Aku tidak lain melainkan pemberi peringatan dan pemberi kabar gembira kepada kaum yang beriman” (Al-A’rāf [7]:188-189).
  Memberikan hukuman itu bagi Allah Swt. sama pedihnya seperti halnya bagi manusia menerimanya, dan itulah arti kata-kata: ثَقُلَتۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ    -- "Sangat berat Kiamat itu di seluruh langit dan bumi”.  Kata   “langit” secara kiasan menampilkan  Allah Swt.   dan para malaikat, sedangkan “bumi” menampilkan manusia.
Menurut Nabi Besar Muhammad saw. Kiamat ada 3 macam yaitu: Kiamat shugra (kecil), Kiamat wustha (sedang) dan Kiamat Kubra (besar). Kiamat wustha  contohnya adalah berakhirnya ajal (jangka waktu) suatu kaum  akibat mendustakan dan menentang Rasul Allah yang dibangkitkan di antara mereka, kemudian  posisinya  sebagai “kaum terpilih” digantikan oleh kaum berikutnya, frman-Nya:
وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ  اَجَلٌ ۚ فَاِذَا  جَآءَ  اَجَلُہُمۡ  لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً  وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿﴾  یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ  اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾   
Dan bagi  tiap-tiap umat ada batas waktu, maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya.   Wahai Bani Adam,  jika datang kepada kamu  rasul-rasul dari antaramu yang membacakan  Ayat-ayat-Ku (Tanda-tanda-Ku) kepada kamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, maka tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ  اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ  --   Dan  orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling  darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-A’rāf [7]:35-37).
   Bila waktu yang ditetapkan untuk menghukum suatu kaum tiba akibat melakukan pendustaan dan penentangan terhadap rasul Allah yang kedatangannnya dijanjikan kepada mereka maka  waktu penghukuman itu tidak dapat dihindarkan, diulur-ulur, atau ditunda-tunda.
  Hal ini patut mendapat perhatian istimewa.  Itulah sebabnya  Allah Swt. menyebut kedatangan para rasul Allah   kepada kaum mereka masing-masing sebagai as-Sā’ah (tanda Kiamat) bagi kaum-kaum tersebut,  contoh lainnya adalah pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  merupakan as-Sā’ah (tanda Kiamat) bagi kepada Bani Israil (QS.43:58-62; QS.61:6-7).
 Seperti pada beberapa ayat sebelumnya berkenaan dengan diturunkan-Nya  pakaian  dan peringatan mengenai tipuan syaitan  krpda “Bani Adam” dalam QS.7:27, 28 & 32, seruan dengan kata-kata یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  --  Hai anak-cucu Adam, dalam ayat ini pun ditujukan kepada umat manusia  di zaman  Nabi Besar Muhammad saw.  dan juga kepada generasi-generasi yang akan lahir, bukan kepada umat yang hidup di masa   silam dan yang datang tak lama sesudah masa Nabi  Adam a.s..
     Jadi, kembali kepada Rukun Iman yang ke-5  yaitu beriman kepada Hari  Kiamat dan  ke-6: beriman kepada qadha dan qadar  secara tersirat telah tercakup dalam firman Allah Swt. sebelum ini, karena masalah   Kiamat dan  serta  masalah qadha dan qadar   diterangkan secara terinci dalam Kitab suci Al-Quran, firman-Nya:
اٰمَنَ الرَّسُوۡلُ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡہِ مِنۡ رَّبِّہٖ وَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ؕ کُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰہِ وَ مَلٰٓئِکَتِہٖ وَ کُتُبِہٖ وَ رُسُلِہٖ ۟ لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ  اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ ۟ وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
Rasul ini beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari  Rabb-nya (Tuhan-nya), dan begitu pula  orang-orang beriman,  semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ  اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ  --  mereka berkata:  ”Kami tidak membeda-bedakan  seorang pun dari antara Rasul-rasul-Nya”, وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ  -- dan mereka berkata: “Kami telah mendengar dan kami taat.  Kami mohon ampunan Engkau, ya Rabb (Tuhan) kami, dan kepada Engkau-lah kami  kembali” (Al-Baqarah [2]:286).

Pembukaan    Pintu “Mutiara Hikmah Intelektual

       Pembahasan mengenai Rukun Iman  dalam Kitab suci Al-Quran tersebut sesuai  dengan sabda Masih  Mau’ud a.s. mengenai tiga macam “pembukaan pintu” oleh Al-Quran:
    “Pintu kedua pemahaman Ilahi yang dibuka lebar oleh Al-Quran adalah mutiara hikmah intelektual yang karena sifatnya yang luar biasa bisa dianggap sebagai mukjizat intelektual. Bentuknya ada berbagai macam:
    Pertama, pengetahuan mengenai wawasan keimanan, dengan pengertian bahwa semua wawasan luhur yang berkaitan dengan keimanan dan semua kebenaran sucinya serta mutiara hikmah pengetahuan tentang Ilahi yang dibutuhkan di dunia guna penyempurnaan batin manusia, semuanya ada tersedia di dalam Al-Quran.
        Begitu juga dengan semua keburukan batin yang merangsang munculnya  keinginan melakukan dosa dan nafsu yang melambarinya serta cara-cara pensucian batin berikut semua tanda-tanda, karakteristik dan sifat-sifat dari  akhlak luhur. Tidak ada seorang pun yang akan mampu mengemukakan kebenaran, hikmah Ke-Ilahi-an, cara-cara mencapai Tuhan, bentuk atau disiplin suci ibadah Ilahi lainnya yang belum termaktub di dalam Kitab Suci Al-Quran.
      Kedua, di dalamnya juga terkandung pengetahuan mengenai tentang sifat-sifat batin dan tentang psikologi yang terdapat secara komprehensif dalam firman ajaib ini,  sehingga mereka yang mau berfikir akan sampai pada kesimpulan bahwa Kitab ini bukanlah hasil kerja siapa pun kecuali Allah Yang Maha Perkasa.
      Ketiga, di dalamnya terkandung ilmu mengenai awal dunia, mengenai akhirat dan hal-hal tersembunyi lainnya yang merupakan bagian pokok dari firman Allah Yang Maha Mengetahui tentang hal-hal yang tersembunyi sehingga hati manusia akan tenteram jadinya.  Semua pengetahuan demikian akan bisa ditemui banyak sekali dan secara rinci di dalam Kitab Suci Al-Quran sehingga tidak ada Kitab Samawi lainnya yang akan mampu menyamainya.
      Disamping itu Al-Quran juga mengungkapkan pengetahuan keimanan dari subyek lainnya dengan cara yang indah. Dalam hal ini, Kitab tersebut tetap memperhatikan logika, fisika, filosofi, astronomi, psikologi, medikal, matematika dan pengetahuan tentang komposisi yang digunakan untuk menguraikan dan menjelaskan pengetahuan tentang keimanan, guna memudahkan pemahamannya, menarik konklusi darinya,  atau untuk menyangkal keberatan dari orang-orang yang bodoh.
      Dengan kata lain, semua subyek ini dikemukakan Kitab Suci Al-Quran bagi kepentingan keimanan manusia dengan cara sedemikian rupa,  sehingga setiap bentuk intelektualitas manusia akan dapat menyerap kemaslahatannya.” (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain,  jld. II, hlm.  73-75, London, 1984).

Keterkaitan Iman dan Amal Shaleh dengan Jannah (Surga

     Kembali kepada firman Allah Swt. mengenai tanda-tanda orang-orang yang bertakwa sebelumnya   -- terutama “beriman kepada yang gaib”:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾   الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ  الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی  لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ  مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ  یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Alif Lām Mīm. Inilah Kitab yang sempurna itu,  tidak ada keraguan di dalamnya,  ہُدًی  لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ  -- Yaitu orang-orang yang beriman kepada  yang gaib, dan mendirikan shalat, dan mereka membelanjakan sebagian dari apa  yang Kami rezekikan  kepada mereka.   Dan orang-orang  yang beriman kepada apa yang  diturunkan kepada engkau, juga kepada apa yang telah diturunkan sebelum engkau  dan kepada  akhirat  pun mereka   yakin.  Mereka itulah orang-orang yang  berada di atas  petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka  dan mereka itulah  orang-orang yang  berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
      Perlu diketahui,    memang benar bahwa amal-amal baik  merupakan cara utama untuk mencapai kesucian ruhani, tetapi amal-amal baik itu harus  bersumber pada kesucian hati yang dapat dicapai hanya dengan berpegang pada itikad-itikad yang benar, maka barulah amal-amal baik tersebut dinamakan amal shaleh.
      Sehubungan hal itu  maka   dalam QS.2:286   sebelum ini Allah Swt. telah  merinci dasar-dasar kepercayaan yang telah diajarkan oleh Al-Quran yaitu  beriman kepada Allah Swt., para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya menurut urutan atau tertib yang wajar.
     Mengapa demikian? Sebab kekeliruan dalam memahami dasar-dasar keimanan yang utama tersebut  -- terutama mengenai Tuhan Yang Hakiki yakni Allah Swt. -- tidak akan membuat “amal-amal baik” yang dilakukan  orang beragama  dapat disebut “amal shaleh”,  karena  perpaduan antara keimanan dan amal shaleh  itulah yang menjadi penyebab utama orang-orang yang memiliki keduanya (beriman dan beramal shaleh) menjadi “penghuni surga”, firman-Nya:
وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ  کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira  orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa sesungguhnya  untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا --  Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ --  mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا --  akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya, وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ  -- dan bagi mereka di dalamnya ada  jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya  (Al-Baqarah [2]:26).
      Firman Allah Swt. tersebut memberikan gambaran singkat mengenai ganjaran yang akan diperoleh orang-orang beriman dan beramal shaleh  di akhirat dalam surga. Para kritikus Islam telah melancarkan berbagai keberatan atas lukisan  atau perumpamaan itu.

Berada di Luar  Daya Nalar  dan Daya Khayal Manusia & “Keadaan Nyata” Dalam Mimpi

   Kecaman-kecaman itu disebabkan oleh karena mereka sama sekali  tidak memahami ajaran Islam tentang nikmat-nikmat surgawi. Al-Quran dengan tegas mengemukakan bahwa ada di luar kemampuan alam pikiran manusia untuk dapat mengenal hakikatnya, firman-Nya:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ  اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ  بِمَا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai  balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan  (As-Sajdah [32]:18).
      Waktu Nabi Besar Muhammad saw.  menggambarkan bentuk serta sifat nikmat dan kesenangan surga, beliau saw.diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).
    Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan bersifat kebendaan, karena nikmat-nikmat itu akan merupakan penjelmaan-keruhanian dari perbuatan dan tingkah-laku baik    -- yakni iman dan amal shaleh  -- yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini.
      Kata-kata yang dipergunakan untuk menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan. Ayat yang sekarang pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi yang akan dilimpahkan kepada orang-orang beriman  yang bertakwa di alam akhirat bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan. Nikmat-nikmat itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia.
      Dengan sendirinya timbul pertanyaan:  Mengapa nikmat-nikmat surga diberi nama yang biasa dipakai untuk benda-benda di bumi ini? Hal demikian adalah karena seruan Al-Quran itu tidak hanya semata-mata tertuju kepada orang-orang yang maju dalam bidang ilmu, karena itu Al-Quran mempergunakan kata-kata sederhana yang dapat dipahami semua orang.
     Dalam menggambarkan karunia Ilahi dalam surga tersebut  Al-Quran telah mempergunakan nama benda yang pada umumnya dipandang baik di bumi ini, dengan demikian orang-orang beriman diajari bahwa mereka akan mendapat hal-hal itu semuanya dalam bentuk yang lebih baik di alam yang akan datang (akhirat).
     Untuk menjelaskan perbedaan penting itulah maka dipakainya kata-kata yang telah dikenal manusia,  selain itu tidak ada persamaan antara kesenangan duniawi dengan karunia-karunia ukhrawi (akhirat). Tambahan pula menurut ajaran Islam  (Al-Quran) kehidupan di akhirat itu tidak ruhaniah dalam artian bahwa hanya akan terdiri atas keadaan ruhani, bahkan dalam kehidupan di akhirat pun ruh manusia akan mempunyai semacam tubuh tetapi tubuh itu tidak bersifat benda seperti  tubuh jasmani di dunia ini.
     Orang dapat membuat tanggapan terhadap keadaan  di akhirat itu dari gejala-gejala mimpi. Pemandangan-pemandangan yang disaksikan atau dialami  orang dalam mimpi tidak dapat disebut keadaan pikiran atau ruhani belaka, sebab dalam keadaan itu pun  ia punya jisim dan kadang-kadang ia mendapatkan dirinya berada dalam kebun-kebun dengan sungainya, makan buah-buahan, dan minum susu.
       Sukar untuk mengatakan bahwa isi mimpi itu hanya keadaan alam pikiran belaka. Susu yang dinikmati dalam mimpi tidak ayal lagi merupakan pengalaman yang sungguh-sungguh, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bahwa  minuman itu susu biasa yang ada di dunia ini dan diminumnya.

Keadaan Surga Merupakan Gambaran  Iman dan Amal Shaleh

    Nikmat-nikmat ruhani kehidupan di akhirat bukan akan berupa  hanya penyuguhan subyektif dari anugerah Allah Swt.  yang kita nikmati di dunia ini, bahkan apa yang kita peroleh di sini (di dunia) hanyalah gambaran  dari anugerah nyata dan benar dari Allah Swt.   yang akan dijumpai orang di akhirat.
    Tambahan pula bahwa “kebun-kebun“ adalah gambaran iman, sedangkan   “sungai-sungai” adalah gambaran amal shaleh. Jadi filosofi dari perumpamaan  ayat جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ -- “kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” bahwa sebagaimana di dunia ini kebun-kebun tidak dapat tumbuh subur tanpa adanya pengairan yang memadai dari sungai-sungai, begitu pula iman tidak dapat tumbuh segar dan sejahtera tanpa perbuatan baik (amal shaleh),   dengan demikiam  iman dan amal shaleh tidak dapat dipisahkan untuk mencapai najat (keselamatan).
      Di akhirat kebun-kebun itu akan mengingatkan orang beriman akan imannya dalam kehidupan ini, sedangkan  sungai-sungai akan mengingatkan kembali kepada amal shalehnya maka  ia akan mengetahui bahwa iman dan amal salehnya tidak sia-sia, demikian juga halnya dengan kualitas dan kualitas ganjarannya dari Allah Swt.  Inilah salah satu makna ayat: قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ --  mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا --  “akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya.”
      Jadi, sangat keliru   mengambil kesimpulan dari kata-kata:  ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- "Inilah yang telah diberikan kepada kami dahulu", bahwa di surga orang-orang beriman  akan dianugerahi buah-buahan semacam yang dinikmati mereka di bumi ini, sebab seperti telah diterangkan di atas keduanya tidak sama. Buah-buahan di akhirat sesungguhnya akan berupa gambaran mutu keimanannya sendiri.
      Ketika mereka hendak memakannya mereka segera akan mengenali dan ingat kembali bahwa buah-buahan itu adalah hasil imannya di dunia, dan karena rasa syukur atas nikmat itu mereka akan berkata: ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ  -- “inilah yang telah diberikan kepada kami dahulu.” Ungkapan ini dapat pula berarti “inilah apa yang telah dijanjikan kepada kami.”
      Kata-kata “yang hampir serupa” tertuju kepada persamaan antara amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang beriman dan beramal shaleh di bumi ini dan buah atau hasilnya di surga. Amal ibadah dalam kehidupan sekarang akan nampak kepada orang-orang beriman  sebagai hasil atau buah di akhirat.
      Makin sungguh-sungguh dan makin sepadan ibadah manusia, makin banyak pula ia menikmati buah-buah yang menjadi bagiannya di surga dan  makin baik pula buah-buah itu dalam nilai dan mutunya. Jadi untuk meningkatkan mutu buah-buahan yang dikehendakinya terletak pada kekuatannya sendiri.

Peringatan Allah Swt. Kepada Pelaku “Perbuatan Baik” Agar Tidak Sia-sia

      Mengisyaratkan kepada hal itu pulalah  peringatan Allah Swt. berikut ini,  agar “perbuatan baik” yang dilakukan  orang-orang yang beriman  benar-benar merupakan “amal shaleh” dalam pandangan Allah Swt., firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ کَمَثَلِ حَبَّۃٍ اَنۡۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِیۡ کُلِّ سُنۡۢبُلَۃٍ مِّائَۃُ حَبَّۃٍ ؕ وَ اللّٰہُ یُضٰعِفُ لِمَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ اَلَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ثُمَّ لَا یُتۡبِعُوۡنَ مَاۤ  اَنۡفَقُوۡا مَنًّا وَّ لَاۤ  اَذًی ۙ لَّہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۚ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ صَدَقَۃٍ یَّتۡبَعُہَاۤ  اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ ﴿﴾
Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta mereka di jalan Allah, adalah seperti perumpamaan sebuah biji menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji, Allah melipatgandakan ganjaran-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui. اَلَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ -- Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah ثُمَّ لَا یُتۡبِعُوۡنَ مَاۤ  اَنۡفَقُوۡا مَنًّا وَّ لَاۤ  اَذًی  -- kemudian mereka tidak mengiringi  apa yang dibelanjakannya itu dengan menyebut-nyebut kebaikan dan tidak pula menyakiti hati, لَّہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۚ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ  --   bagi mereka ada ganjarannya di sisi Rabb-nya (Tuhan-nya),  tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ صَدَقَۃٍ یَّتۡبَعُہَاۤ  اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ --    Tutur kata yang baik dan ampunan  adalah lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sikap menyakiti, dan Allah Maha Kaya, Maha Penyantun  (Al-Baqarah [2]:262-264).
  Pernyataan Allah Swt.: اَلَّذِیۡنَ یُنۡفِقُوۡنَ اَمۡوَالَہُمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ -- Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah ثُمَّ لَا یُتۡبِعُوۡنَ مَاۤ  اَنۡفَقُوۡا مَنًّا وَّ لَاۤ  اَذًی  -- kemudian mereka tidak mengiringi  apa yang dibelanjakannya itu dengan menyebut-nyebut kebaikan dan tidak pula menyakiti hati,”   dan juga:   قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ صَدَقَۃٍ یَّتۡبَعُہَاۤ  اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ --     ”Tutur kata yang baik dan ampunan  adalah lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sikap menyakiti, dan Allah Maha Kaya, Maha Penyantun,”   menyatakan bahwa  dalam pandangan Allah Swt. tidak setiap “perbuatan baik” yang dilakukan orang-orang yang beriman merupakan “amal shaleh.”
      Tiap-tiap perbuatan baik dapat disalahgunakan, dan penyalahgunaan belanja harta di jalan Allah ialah menyertainya   dengan mann (dengan sombong menyebut-nyebut perbuatan baiknya) dan adza (menyatakannya dengan menyakiti).  Karena itu mereka yang membelanjakan kekayaan mereka di jalan Allah dilarang menyebut-nyebut tanpa gunanya dan tidak pada tempatnya perihal uang yang dibelanjakan mereka dan bakti yang diberikan mereka demi kepentingan kebenaran, sebab perbuatan demikian termasuk mann (celaan, ejekan). Demikian pula mereka diperintahkan agar tidak menuntut sesuatu sebagai imbalan atas bantuan  yang mereka berikan kepada orang-orang lain..
      Makna ayat   قَوۡلٌ مَّعۡرُوۡفٌ وَّ مَغۡفِرَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ صَدَقَۃٍ یَّتۡبَعُہَاۤ  اَذًی ؕ وَ اللّٰہُ غَنِیٌّ حَلِیۡمٌ --     ”Tutur kata yang baik dan ampunan  adalah lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sikap menyakiti, dan Allah Maha Kaya, Maha Penyantun,” bahwa  Lebih baik mengucapkan kata-kata kasih-sayang atau minta maaf kepada orang yang meminta pertolongan, daripada mula-mula menolongnya dan kemudian menya-kitinya dan memberinya kesusahan; atau ia sebaiknya berusaha menutupi dan menyembunyikan keperluan orang yang datang kepadanya meminta pertolongan dan menahan diri dari membicarakannya kepada orang lain sehingga orang yang ditolong itu tidak merasa direndahkan dan dihinakan, itulah arti  maghfirat.

Orang-orang  yang “Berbuat Baik”  tetapi  Gagal Memperoleh  “Kebun-kebun yang Dibawahnya Mengalir Singai-sungai

     Lebih lanjut Allah Swt. memperingatkan orang-orang beriman agar “perbuatan-perbuatan baik” yang dilakukannya benar-benar merupakan “amal shaleh”, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تُبۡطِلُوۡا صَدَقٰتِکُمۡ بِالۡمَنِّ وَ الۡاَذٰی ۙ کَالَّذِیۡ یُنۡفِقُ مَالَہٗ رِئَآءَ النَّاسِ وَ لَا یُؤۡمِنُ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِؕ فَمَثَلُہٗ  کَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَیۡہِ تُرَابٌ فَاَصَابَہٗ وَابِلٌ فَتَرَکَہٗ صَلۡدًا ؕ لَا  یَقۡدِرُوۡنَ عَلٰی شَیۡءٍ مِّمَّا کَسَبُوۡا ؕ وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu membuat  sedekah-sedekahmu sia-sia dengan menyebut-nyebut jasa baik dan sikap  menyakiti, seperti orang  yang mem-belanjakan hartanya untuk dilihat  manusia, sedangkan ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka perumpamaannya seperti misal  batu licin  yang di atasnya ada   tanah, lalu hujan lebat menimpanya dan me-ninggalkannya keras dan licin.  Mereka tidak akan memperoleh sesuatu da-ri apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang  kafir  (Al-Baqarah [2]:265).
   Dalam ayat lainnya kaum Muslimin diperintahkan pula untuk membelanjakan kekayaan mereka dengan terang-terangan (QS.2:275), tujuan yang mendasarinya ialah agar orang-orang Muslim lainnya akan terpengaruh dan meniru teladan yang baik itu. Akan tetapi  orang yang tidak  beriman kepada Allah Swt.  membelanjakan uangnya secara terang-terangan hanya semata-mata untuk menarik penghargaan khalayak umum.
    Orang-orang yang bersikap seperti itu dalam melakukan “perbuatan baiknyakehilangan sama sekali hak memperoleh ganjaran dari Allah Swt.,  karena bukannya: اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ   --  “bahwa sesungguhnya  untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”  sehingga “kebun-kebun keimanannya” menghasilkan buah-buahan yang berkualitas baik, melainkan:   فَمَثَلُہٗ  کَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَیۡہِ تُرَابٌ فَاَصَابَہٗ وَابِلٌ فَتَرَکَہٗ صَلۡدًا -- “maka perumpamaannya seperti misal  batu licin  yang di atasnya ada   tanah, lalu hujan lebat menimpanya dan meninggalkannya keras dan licin. لَا  یَقۡدِرُوۡنَ عَلٰی شَیۡءٍ مِّمَّا کَسَبُوۡا --  Mereka tidak akan memperoleh sesuatu dari apa yang mereka usahakan, وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الۡکٰفِرِیۡنَ --  dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang  kafir.”
           Dengan demikian jelaslah  mengapa  Allah Swt.  dalam Al-Quran telah mengumpamakan  ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dengan "kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai", yakni  iman" dengan "kebun" dan amal "shaleh" dengan "aliran sungai"Kembali kepada firman Allah Swt. sebelumnya mengenai perumpamaan  “surga”:
وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ  کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira  orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa sesungguhnya  untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا --  Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ --  mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا --  akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya, وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ  -- dan bagi mereka di dalamnya ada  jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya  (Al-Baqarah [2]:26).
      

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,   18 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar