Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Tauhid
Ilahi Identik Dengan “Kesatuan dan Persatuan Umat”
Sedangkan Kemusyrikan Identik Dengan “Perpecahan
Umat” & Cara Allah Swt. Menghidupkan
Bumi
Setelah Mengalami Musim Kemarau
Panjang
Bab 22
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai
makna ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa pasti tidak mungkin terdapat persahabatan atau perhubungan
cinta sejati atau sungguh-sungguh di antara orang-orang beriman kepada Allah
Swt. dan kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan
dengan
orang-orang yang mendustakan dan menentangnya, firman-Nya:
لَا تَجِدُ
قَوۡمًا یُّؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ یُوَآدُّوۡنَ مَنۡ حَآدَّ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ وَ لَوۡ کَانُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ
اَوۡ اَبۡنَآءَہُمۡ اَوۡ اِخۡوَانَہُمۡ
اَوۡ عَشِیۡرَتَہُمۡ ؕ اُولٰٓئِکَ
کَتَبَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمُ الۡاِیۡمَانَ وَ اَیَّدَہُمۡ بِرُوۡحٍ مِّنۡہُ ؕ وَ یُدۡخِلُہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ
مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ
فِیۡہَا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ عَنۡہُمۡ
وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ اُولٰٓئِکَ حِزۡبُ اللّٰہِ ؕ اَلَاۤ اِنَّ حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿٪﴾
Engkau tidak akan mendapatkan
suatu kaum yang menyatakan
beriman kepada Allah dan Hari Akhir یُوَآدُّوۡنَ مَنۡ
حَآدَّ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ -- tetapi mereka mencintai orang-orang yang memusuhi
Allah dan Rasul-Nya, وَ لَوۡ
کَانُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ اَوۡ اَبۡنَآءَہُمۡ اَوۡ
اِخۡوَانَہُمۡ اَوۡ عَشِیۡرَتَہُمۡ
-- walau pun mereka itu bapak-bapak mereka
atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka ataupun keluarga mereka. اُولٰٓئِکَ کَتَبَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمُ الۡاِیۡمَانَ -- Mereka itulah orang-orang yang di dalam hati mereka Dia
telah menanamkan iman وَ اَیَّدَہُمۡ
بِرُوۡحٍ مِّنۡہُ -- dan Dia
telah meneguhkan mereka dengan ilham dari Dia sendiri, وَ یُدۡخِلُہُمۡ
جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا -- dan Dia akan memasukkan mereka ke dalam
kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. رَضِیَ اللّٰہُ عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ -- Allah
ridha kepada mereka dan mereka ridha
kepada-Nya. اُولٰٓئِکَ حِزۡبُ اللّٰہِ -- mereka itulah golongan Allah. اَلَاۤ اِنَّ
حِزۡبَ اللّٰہِ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ -- Ketahuilah,
sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang berhasil. (Al-Mujadalah
[58]:23).
Ikatan Keagamaan Harus
Mengatasi Semua Bentuk Ikatan Duniawi
Lainnya & Penyebab Terjadinya “Perpecahan Umat”
Dikarenakan cita-cita,
pendirian-pendirian, dan kepercayaan agama dari kedua golongan itu satu sama lain bertentangan, dan karena kesamaan dan perhubungan kepentingan itu merupakan syarat mutlak bagi perhubungan
yang sungguh-sungguh erat menjadi
tidak ada, maka orang-orang beriman diminta jangan mempunyai persahabatan yang erat
lagi mesra dengan orang-orang kafir.
Bahkan Allah Swt. selanjutnya menjelaskan bawa ikatan agama harus mengatasi segala perhubungan
lainnya, malahan mengatasi pertalian
darah yang amat dekat sekalipun: وَ لَوۡ
کَانُوۡۤا اٰبَآءَہُمۡ اَوۡ اَبۡنَآءَہُمۡ اَوۡ
اِخۡوَانَہُمۡ اَوۡ عَشِیۡرَتَہُمۡ
-- walau pun mereka itu bapak-bapak mereka
atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka ataupun keluarga mereka.”
Mengisyaratkan kepada sikap orang-orang beriman dari golongan Hizbullāh yang lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah Swt.
dan Rasul Allah seperti itulah yang
diisyaratkan dalam firman-Nya sebelum ini: یُجَاہِدُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ
لَا یَخَافُوۡنَ لَوۡمَۃَ لَآئِمٍ -- “Mereka akan berjuang di jalan Allah dan tidak takut akan celaan seorang pencela”
(QS.5:55).
Surah Al-Mujadalah ayat 23 tersebut merupakan seruan
umum, tetapi secara khusus seruan
itu tertuju kepada orang-orang kafir
yang dalam keadaan berperang
dengan kaum Muslim, seperti contohnya
yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy Mekkah pimpinan Abu Jahal dkk terhadap Nabi Besar
Muhammad saw., padahal kedua
pihak yang bertentangan tersebut tersebut memiliki hubungan darah yang sangat dekat.
Sejarah kenabian membuktikan bahwa Hizbullāh
(golongan Allah) yang hakiki dalam memperjuangkan Tauhid Ilahi tidak pernah melakukan tindakan pemaksaan mau pun kekerasan
secara fisik (QS.2:257; QS.10:100;
QS.11:119; QS.18:30; QS.76:4) sehingga
terjadi penumpahan darah, bahkan yang
terjadi sebaliknya, mereka itulah yang selalu menjadi obyek tindakan pemaksaaan
dan kekerasan secara fisik, sebagaimana prediksi para malaikat mengenai akan munculnya pihak-pihak yang merasa terusik
dan merasa dirugikan oleh Allah Swt. yang bermaksud menciptakan tatanan “langit baru dan bumi baru” (QS.14:49-53)
melalui penciptaan Adam sebagai Khalifah Allah di muka bumi, sehingga terjadi kerusakan dan penumpahan
darah di kalangan para pengikut “Khalifah Allah” (QS.2:31-36).
Pada hakikatnya kemunculan Hizbullāh yang hakiki melalui penciptaan “Khalifah Allah” -- yakni para Rasul
Allah -- tersebut
karena di kalangan umat beragama telah terjadi “kemusyrikan” berupa perpecahan
umat, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ فَرَّقُوۡا دِیۡنَہُمۡ
وَ کَانُوۡا شِیَعًا لَّسۡتَ
مِنۡہُمۡ فِیۡ شَیۡءٍ ؕ اِنَّمَاۤ
اَمۡرُہُمۡ اِلَی اللّٰہِ ثُمَّ
یُنَبِّئُہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan menjadi golongan-golongan, لَّسۡتَ مِنۡہُمۡ فِیۡ شَیۡءٍ -- engkau sedikit pun tidak mempunyai ke-pentingan
dengan mereka. اِنَّمَاۤ اَمۡرُہُمۡ اِلَی اللّٰہِ ثُمَّ یُنَبِّئُہُمۡ بِمَا
کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ -- Sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah,
kemudian Dia akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan. (Al-An’ām 6]:160).
Kata-kata “memecahbelahkan
agama mereka” dalam ayat اِنَّ الَّذِیۡنَ فَرَّقُوۡا
دِیۡنَہُمۡ وَ کَانُوۡا شِیَعًا -- “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka
dan menjadi golongan-golongan”
berarti bahwa bilamana orang-orang mengikuti
angan-angan dan khayalan sendiri
maka akan timbul persengketaan-persengketaan
di antara mereka dan lenyaplah kesatuan pendapat serta “kesatuan umat”.
Tauhid Ilahi Identik Dengan Kesatuan dan Persatuan Umat & Kemusyrikan Identik Dengan “Perpecahan Umat”
Sehubungan
dengan hal itu berikut firman Allah Swt. kepada para rasul Allah mengenai pentingnya mempertahankan “kesatuan dan persatuan umat” sebab hal tersebut identik dengan Tauhid Ilahi:
اِنَّ ہٰذِہٖۤ اُمَّتُکُمۡ
اُمَّۃً وَّاحِدَۃً ۫ۖ وَّ اَنَا
رَبُّکُمۡ فَاعۡبُدُوۡنِ ﴿﴾ وَ تَقَطَّعُوۡۤا
اَمۡرَہُمۡ بَیۡنَہُمۡ ؕ کُلٌّ اِلَیۡنَا رٰجِعُوۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya
umat kamu ini merupakan satu umat, dan Aku
adalah Rabb (Tuhan) kamu
maka sembahlah Aku. Tetapi mereka
telah memotong-motong urusan agama mereka di antara mereka, padahal
semuanya akan kembali kepada Kami
(Al-Anbiya
[21]:93-94).
Makna ayat اِنَّ ہٰذِہٖۤ اُمَّتُکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً -- “Sesungguhnya umat kamu ini merupakan satu
umat, وَّ اَنَا
رَبُّکُمۡ فَاعۡبُدُوۡنِ -- dan Aku adalah Rabb (Tuhan) kamu
maka sembahlah Aku.” Dalam
beberapa ayat yang mendahuluinya beberapa nabi
Allah dan beberapa orang bertakwa disebutkan bersama-sama (QS.21:52-92). Hal
tersebut bukan secara kebetulan saja.
Nabi-nabi Allah itu disebut bersama-sama mempunyai suatu tujuan tertentu, karena semuanya mempunyai satu hal yang sama. Mereka semua mengalami penderitaan-penderitaan dan kemalangan-kemalangan
besar dalam satu bentuk atau lain,
tetapi dalam upaya menegakkan
serta memurnikan kembali Tauhid Ilahi tersebut mereka memperlihatkan kesabaran dan ketabahan yang sangat tinggi
dan sangat mulia di bawah himpitan cobaan-cobaan yang paling
hebat, karena memang tugas utama para Rasul
Allah adalah mengajarkan asas
pokok semua agama yaitu Tauhid
Ilahi (QS.16:37) terutama Nabi Besar Muhammad saw. (QS.74:1-8; QS.98:1-9).
Segolongan manusia yaitu hamba-hamba Allah yang shaleh
telah disebut dalam beberapa ayat
sebelumnya (QS.21:52-92), ayat selanjutnya menunjuk kepada suatu golongan lain — ialah mereka yang menolak nabi-nabi Allah — yang menanggung akibat yakni mereka menjadi korban
perselisihan-perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran
di antara mereka sendiri dan mereka berpegang pada kepercayaan-kepercayaan dan itikad-itikad
yang saling berlawanan: وَ تَقَطَّعُوۡۤا اَمۡرَہُمۡ بَیۡنَہُمۡ ؕ کُلٌّ اِلَیۡنَا
رٰجِعُوۡنَ -- “Tetapi mereka telah memotong-motong urusan agama mereka di antara mereka,
padahal semuanya akan
kembali kepada Kami.” (Al-Anbiya [21]:94).
Mengenai “orang-orang yang memecah-belah agamanya” tersebut Allah Swt. berfirman kepada Nabi
Besar Muhammad saw.: لَّسۡتَ مِنۡہُمۡ فِیۡ شَیۡءٍ -- engkau sedikit pun tidak mempunyai kepentingan dengan
mereka. اِنَّمَاۤ اَمۡرُہُمۡ اِلَی اللّٰہِ -- Sesungguhnya urusan
mereka terserah kepada Allah, یَفۡعَلُوۡنَ ثُمَّ یُنَبِّئُہُمۡ
بِمَا کَانُوۡا -- kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa
yang telah mereka kerjakan. (Al-An’ām
6]:160).
Jaminan Pemeliharaan
Al-Quran
Dalam rangka
memelihara dari terjadinya penyimpangan terhadap makna-makna yang hakiki
dari ayat-ayat Al-Quran oleh orang-orang yang “berhati bengkok” atau yang “hatinya berpenyakit” itulah (QS.3:8-9) -- sehingga terjadi perpecahan umat berupa munculnya berbagai sekte dan firqah Islam (QS.30:31-33) -- maka Allah Swt. telah menjamin akan senantiasa
menjaga Al-Quran, firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ
وَ اِنَّا لَہٗ
لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
”Kami-lah Yang menurunkan
peringatan ini, dan sesungguhnya Kami-lah
pemeliharanya (Al-Hijr [10]:10).
Janji Allah
Swt. mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan dalam
ayat ini telah genap dengan cara yang
sangat menakjubkan, sehingga sekalipun andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya,
kenyataan ini saja niscaya sudah cukup membuktikan bahwa Al-Quran
itu berasal dari Allah Swt..
Surah ini diturunkan di Mekkah
(Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw. beserta para pengikut beliau sangat
morat-marit keadaannya, dan musuh-musuh
dengan mudah dapat menghancurkan agama
yang baru itu. Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap
tenaga mereka guna menghancurkan
Islam, dan mereka diperingatkan
bahwa Allah Swt. akan menggagalkan segala tipu-daya mereka, sebab Dia sendirilah Penjaganya.
Tantangan itu terbuka dan tidak
samar-samar, sedangkan keadaan musuh kuat lagi kejam, kendatipun demikian Al-Quran tetap selamat dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan, serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan yang sempurna. Keistimewaan Al-Quran yang demikian itu
tidak dimiliki oleh Kitab-kitab
lainnya yang diwahyukan.
Sir William Muir, sarjana ahli
kritik yang tersohor, karena sikapnya memusuhi Islam, berkata: “Kita dapat menetapkan berdasarkan dugaan
yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam Al-Quran itu asli dan merupakan
gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami perubahan ......................
Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Al-Quran maupun dari luar, bahwa kita
memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan pergunakan
...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak mengalami perubahan
itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah membandingkan hal-hal
yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction
to “The Life of Mohammad”).
Prof. Noldeke, ahli ketimuran
besar yang berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana Eropa untuk membuktikan adanya
sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian, telah gagal” (Encyclopaedia Britanicca). Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr. Mingana,
beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari
kelemahan dalam kemurnian teks
Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran da'wa kitab itu, bahwa di antara semua kitab suci yang diwahyukan hanya Al-Quran sajalah yang seluruhnya tetap kebal dari penyisipan
atau campur-tangan manusia.
Terjadinya “Musim Kemarau Ruhani” yang Lama Mengakibatkan Hati Manusia Semakin Keras Membatu
Namun perlu diperhatikan, bahwa dengan timbulnya “perpecahan di kalangan umat Islam” maka dapat diketahui bahwa janji
pemeliharaan oleh Allah Swt. tersebut adalah terhadap Kitab suci Al-Quran, bukan terhadap umat Islam secara umum, karena berkenaan dengan keadaan umat Islam sebagai makhluk manusia mereka pun tidak
dapat melepaskan diri dari Sunnatullah
atau “hukum alam” yang telah terjadi di
golongan Ahli Kitab, sebagaimana
diperingatkan Allah Swt. kepada umat Islam dalam firman-Nya berikut ini:
اَلَمۡ
یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ
تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ
لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ
عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ
قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ
فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا
اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ
الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang
beriman, bahwa hati mereka tunduk
untuk mengingat Allah dan mengingat
kebenaran yang telah turun kepada
mereka, dan mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab
sebelumnya, فَطَالَ عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ
فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ -- maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ
مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ -- dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka?
اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا -- Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
قَدۡ
بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ
تَعۡقِلُوۡنَ -- Sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepada
kamu supaya kamu mengerti (Al-Hadid [57]:17-18).
Sunnatullah yang terjadi di kalangan Ahli Kitab (Bani Israil) tersebut
terjadi pula di kalangan umumnya umat Islam -- terutama dari kalangan Bani Isma’il di Timur
Tengah – yang mencapai puncaknya
di Akhir Zaman ini, firman-Nya:
ظَہَرَ
الۡفَسَادُ فِی الۡبَرِّ وَ الۡبَحۡرِ بِمَا کَسَبَتۡ اَیۡدِی النَّاسِ
لِیُذِیۡقَہُمۡ بَعۡضَ الَّذِیۡ عَمِلُوۡا
لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ سِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَانۡظُرُوۡا کَیۡفَ
کَانَ عَاقِبَۃُ الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلُ ؕ
کَانَ اَکۡثَرُہُمۡ مُّشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ فَاَقِمۡ وَجۡہَکَ لِلدِّیۡنِ الۡقَیِّمِ مِنۡ قَبۡلِ
اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا مَرَدَّ لَہٗ مِنَ اللّٰہِ یَوۡمَئِذٍ یَّصَّدَّعُوۡنَ ﴿﴾
Kerusakan telah meluas di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya dirasakan
kepada mereka akibat sebagian
perbuatan yang mereka lakukan, supaya mereka
kembali dari kedurhakaannya. قُلۡ
سِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَانۡظُرُوۡا کَیۡفَ کَانَ عَاقِبَۃُ الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلُ -- Katakanlah: ”Berjalanlah di bumi dan lihatlah
bagaimana buruknya akibat bagi orang-orang sebelum kamu ini. کَانَ اَکۡثَرُہُمۡ مُّشۡرِکِیۡنَ -- Kebanyakan mereka itu orang-orang musyrik. Maka hadapkanlah wajah engkau kepada agama yang
lurus, sebelum datang dari Allah
hari yang tidak dapat dihindarkan,
pada hari itu orang-orang
beriman dan kafir akan terpisah (Ar-Rūm [30]:42-44).
Kata-kata “daratan dan lautan”
dalam ayat ظَہَرَ
الۡفَسَادُ فِی الۡبَرِّ وَ الۡبَحۡرِ بِمَا کَسَبَتۡ اَیۡدِی النَّاسِ
-- “Kerusakan
telah meluas di daratan dan di lautan
disebabkan perbuatan tangan
manusia” dapat diartikan:
(a) bangsa-bangsa yang kebudayaan dan peradabannya hanya semata-mata berdasar pada akal serta pengalaman
manusia, dan bangsa-bangsa yang kebudayaannya
serta peradabannya didasari oleh wahyu Ilahi;
(b) orang-orang yang hidup di benua-benua dan orang-orang yang hidup
di pulau-pulau. Ayat ini berarti,
bahwa semua bangsa di dunia telah menjadi rusak sampai kepada intinya,
baik secara politis, sosial maupun akhlaki.
Pengulangan Sunnatullah
di Akhir Zaman
Dalam ayat 42-43 kita diberi tahu, bahwa bila kegelapan menyelimuti muka bumi dan umumnya umat manusia
telah melupakan Allah Swt. dan menaklukkan diri sendiri kepada penyembahan tuhan-tuhan yang dikhayalkan dan diciptakan oleh mereka sendiri, maka Allah Swt. membangkitkan
seorang nabi (rasul) Allah yang
kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37; QS.61:10; QS.62:3-5) untuk mengembalikan “gembalaan yang tersesat” ke haribaan Majikan-nya, yakni Allah Swt.
“Permulaan abad ketujuh adalah masa kekacauan nasional dan sosial, dan
agama sebagai kekuatan akhlak, telah lenyap dan telah jatuh, menjadi hanya
semata-mata tatacara dan upacara adat belaka; dan agama-agama besar di dunia
sudah tidak lagi berpengaruh sehat pada kehidupan para penganutnya. Api suci
yang dinyalakan oleh Zoroaster, Musa, dan Isa a.m.s. di dalam aliran darah manusia telah
padam. Dalam abad kelima dan keenam, dunia beradab berada di tepi jurang
kekacauan. Agaknya peradaban besar yang telah memerlukan waktu empat ribu tahun
lamanya untuk menegakkannya telah berada di tepi jurang........ Peradaban
laksana pohon besar yang daun-daunnya telah menaungi dunia dan dahan-dahannya telah
menghasilkan buah-buahan emas dalam kesenian, keilmuan, kesusatraan, sudah
goyah, batangnya tidak hidup lagi dengan mengalirkan sari pengabdian dan
pembaktian, tetapi telah busuk hingga terasnya” (“Emotion as the Basis of Civilization” dan “Spirit of Islam”).
Demikianlah keadaan umat manusia
pada waktu Nabi Besar Muhammad saw. --
Guru umat manusia terbesar -- muncul pada pentas dunia, dan tatkala syariat yang paling sempurna dan terakhir diturunkan dalam bentuk Al-Quran (QS.5:4), sebab syariat
yang sempurna hanya dapat diturunkan
bila semua atau kebanyakan keburukan -- teristimewa
yang dikenal sebagai akar keburukan -- menampakkan diri telah menjadi mapan.
Ayat
44, sesudah perhatian kita ditarik dua ayat sebelumnya kepada gejala alam, bila setelah mengalami masa kekeringan yang hebat (QS.57:17),
datanglah hujan yang
dinanti-nantikan, dan bumi yang kering gersang mendapatkan kehidupan baru melalui curahan air hujan dari langit
(QS.57:18), maka dalam ayat ini kita diberitahu, bahwa rumus (kaidah) seperti itu bekerja dalam
kebangunan ruhani suatu kaum yang akhlak dan ruhaninya sudah rusak.
Makna “Kebangkitan”
Suatu Kaum (Umat Beragama) di Dunia
Melalui Pengutusan Rasul Allah
Suatu kaum
yang pada hakikatnya secara ruhani telah mati mendapat kehidupan baru
dengan perantaraan seorang nabi Allah -- yang diumpamakan sebagai “air hujan” yang turun dari langit” -- termasuk di Akhir Zaman ini, karena tanpa adanya peran Allah
Swt. maka upaya-upaya yang
dilakukan manusia untuk “mempersatukan hati manusia dalam kecintaan” sehingga
umat manusia dapat keluar dari
berbagai bentuk “kobaran api” -- akibat
kerasnya hati pihak-pihak yang bertikai -- tidak akan pernah
berhasil (QS.3:103-110; QS.8:64).
Dalam
beberapa Bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai makna beriman kepada yang gaib
dalam hubungannya dengan Rukun
Iman dan Rukun Islam yang apabila diamalkan sesuai dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw. akan
menciptakan “kehidupan surgawi” baik
di dunia ini mau pun di akhirat nanti, tanpa harus merugikan atau menzalimi pihak-pihak lain seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yaitu
orang-orang yang menyederhanakan cara menjadi penghuni
surga karena bertentangan
dengan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw.
(QS.3:32; QS.33:22).
Hal tersebut terjadi akibat telah
mengerasnya hati manusia karena telah jauh dari masa kenabian yang penuh berkat, yakni
masa Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya: فَطَالَ عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ -- maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ
مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ -- dan kebanyakan
dari mereka menjadi durhaka? اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا -- Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
قَدۡ
بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ
تَعۡقِلُوۡنَ --
Sungguh Kami telah menjelaskan
Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu
mengerti (Al-Hadid [57]:17-18).
Cara Allah Swt. “menghidupkan bumi setelah kematiannya” dari segi
akhlak dan ruhani -- akibat mengalami “musim kemarau panjang” tersebut – adalah melalui pengutusan Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37), sehingga akan terpisah
antara orang-orang yang pernyataan
imannya kepada Allah Swt.
benar dari yang tidak benar.
Mengapa demikian? Sebab keimanan merupakan hal yang gaib sehingga bukan menjadi wewenang
siapa pun atau wewenang lembaga keagamaan apa pun untuk menilai benar-tidaknya keimanan seseorang atau sekompok orang firman-Nya:
مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ
اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ
رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿ ﴾
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya hingga
Dia memi-sahkan yang buruk dari
yang baik. وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ -- Dan Allah
sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ
یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآ -- tetapi Allah memilih di
antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, فَاٰمِنُوۡا
بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ -- karena
itu berimanlah kamu kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya, وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ -- dan jika kamu
beriman dan bertakwa maka bagi kamu ganjaran yang besar (Ali
‘Imran [3]:180).
Itulah Sunnatullah mengenai cara Allah Swt. melakukan “Penghakiman” dalam rangka memisahkan benar-tidaknya masalah keimanan
di kalangan umat beragama yang telah terpecah-belah
menjadi berbagai firqah, yang bukan hanya saling mengkafirkan, saling menteror bahkan saling
memerangi sebagaimana yang terjadi di Akhir Zaman ini.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,
25
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar