Minggu, 10 Januari 2016

Kesempurnaan Ajaran Al-Quran Dalam Masalah "Hukuman" dan "Pengampunan" yang Dilakukan Nabi Besar Muhammad Saw. Dibanding Ajaran Taurat dan Injil

ۡمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


 Kesempurnaan Ajaran Al-Quran Dalam   Masalah Pemberian “Hukuman” dan “Pengampunan” yang Dilakukan Nabi Besar Muhammad  Saw. Dibanding  Ajaran Taurat dan Injil


Bab 7


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya dikemukakan  sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai  pentingnya keberlangsungan wahyu Ilahi yang  bukan-syariat, antara lain beliau a.s. bersabda:
   “…Dengan berjalannya waktu, yang mengembangkan lebih lanjut batas pemikiran manusia maka perlu kiranya bagi Al-Quran untuk selalu memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk mutakhir serta membukakan pengetahuan-pengetahuan baru dan menyangkal khayalan serta bid’ah yang mungkin muncul.
  Karena itu jika Kitab yang dianggap sebagai Khātamal Kutub tidak bisa menanggulangi keadaan-keadaan baru maka pernyataan tersebut tidak akan ada artinya.  Jika nyatanya Kitab ini memang merangkum keseluruhan kebutuhan manusia di setiap zaman,  maka kita harus mengakui kalau Kitab ini telah merangkum jumlah wawasan yang tak ada batasnya.
     Patut diketahui,  bahwa perlakuan Allah Swt. terhadap para penerima wahyu yang sempurna ialah Dia akan selalu mengungkapkan rahasia-rahasia tersembunyi dari Al-Quran kepada yang bersangkutan. Sering terjadi bahwa ada suatu ayat Al-Quran yang diwahyukan kepada seorang penerima wahyu dimana tujuannya agak berbeda dengan pengertian awal saat diturunkannya wahyu tersebut.

Berbagai Makna Ayat Al-Quran yang Tak terbatas & Pemberitahuan Rahasia Gaib Allah Swt. kepada Rasul-Nya

    Maulvi Abdullah Ghaznavi suatu kali menulis dalam sebuah surat bahwa yang bersangkutan pernah menerima sebuah wahyu yang berbunyi:  قُلۡنَا یٰنَارُ کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا -- Kami berfirman, “Hai api, jadilah kamu sarana untuk mendatangkan dingin dan keselamatan,”[1] namun ia tidak memahami apa maksudnya. Ia kemudian menerima wahyu berikutnya yang berbunyi,  Kami berkata: “Hai keteguhan hati, jadilah kamu sarana untuk mendatangkan dingin dan keselamatan.
      Barulah ia menyadari bahwa dalam hal ini yang dimaksud sebagai api adalah keteguhan hati.” (Izalah Auham, Amritsar, Riyaz Hind Press, 1308 H; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. III, hlm.  255-262, London, 1984).

Keistimewaan Pembukaan Rahasia Gaib kepada Rasul Allah

        Sabda Masih Mau’ud a.s. tentang pembukaan khazanah-khazanah  ruhani baru Al-Quran tersebut selaras dengan firman Allah Swt.:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾  لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan  rahasia gaib-Nya kepada siapa pun,  kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka,  dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
  Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti, diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.  Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang beriman dan bertakwa  lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Tuhan dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib   yakni  “penguasaan atas yang gaib”, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang suci lainnya tidak menikmati kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya tidak begitu terpelihara.
 Itulah sebabnya dalam firman-Nya berikut ini melalui pengutusan Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan itulah (QS.7:35-37) Allah Swt. melakukan pemisahan atau pembeda  antara orang-orang yang  keimanannya hakiki dengan yang palsu:
   مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan  membiarkan orang-orang yang ber-iman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya   hingga  Dia memi-sahkan yang buruk dari yang baik. وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ  --  Dan Allah sekali-kali tidak akan  memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di an-tara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ   --  karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,  وَ  اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ  اَجۡرٌ  عَظِیۡمٌ  -- dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar  (Ali’ Imran [3]:180).
      Makna ayat   مَا  کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ  اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ  الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ  -- “Allah sekali-kali tidak akan  membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya  hingga  Dia memisahkan yang buruk dari yang baik” maksudnya adalah,  bahwa percobaan dan kemalangan yang telah dialami kaum Muslimin hingga saat itu tidak akan segera berakhir. Masih banyak lagi percobaan yang tersedia bagi mereka, dan percobaan-percobaan itu akan terus-menerus datang, hingga orang-orang beriman  sejati, akan benar-benar dibedakan dari kaum munafik dan yang lemah iman.
      Kata-kata selanjutnya  وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ --  “Dan Allah sekali-kali tidak akan  memperlihatkan  yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih  di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki” itu tidaklah berarti bahwa sebagian rasul-rasul terpilih dan sebagian lagi tidak. Kata-kata itu berarti bahwa dari orang-orang yang ditetapkan Allah Swt.   sebagai rasul-rasul-Nya, Dia memilih yang paling sesuai untuk zaman tertentu  di zaman rasul Allah itu dibangkitkan, termasuk di Akhir Zaman ini dalam rangka mewujudkan “kejayaan Islam” yang kedua kali (QS.61:10).

 “Menghidupkan Kembali  Bumi Setelah Kematiannya” & Sifat Komprehensivitas Al-Quran

    Jadi, makna sebenarnya dari kejayaan Islam yang kedua kali di Akhir Zaman melalui pengutusan Rasul Akhir Zaman  (QS.61:10) -- yakni Masih Mau’ud a.s.  atau Imam Mahdi a.s.  --  pada hakikatnya adalah “menghidupkan kembali bumi yang telah mati” – yakni “hati manusia” --  karena mengalami masa “kemarau panjang ruhani” selama 1000 tahun masa kemunduran Islam setelah mengalami masa kejayaannya yang pertama selama 3 abad (QS.32:6),  sehingga “kerusakan di daratan dan di  lautan” (QS.30:42-44) kembali merebak di Akhir Zaman ini, firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ  لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا  اَنۡ  تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ  لِذِکۡرِ اللّٰہِ  وَ مَا  نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ  ۙ  وَ لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang beriman, bahwa hati mereka tunduk untuk meng-ingat Allah dan mengingat  kebenaran yang telah turun kepada mereka, dan mereka tidak  menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, فَطَالَ عَلَیۡہِمُ  الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ  َ --  maka  zaman kesejahteraan menjadi panjang atas mereka   lalu   hati mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ -- dan kebanyakan dari mereka menjadi durhaka? اِعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا --  Ketahuilah, bahwasanya  Allah  menghidupkan bumi sesudah matinya. قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ  تَعۡقِلُوۡنَ  --  Sungguh Kami telah menjelaskan Tanda-tanda kepadamu supaya kamu mengerti  (Al-Hadid [57]:17-18).
     Sehubungan dengan terjadinya “kehidupan ruhani” melalui pengutusan Rasul Akhir Zaman --  tanpa melakukan peperangan secara fisik atau kekerasan dan paksaan tersebut   --  selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda:
   “Kesucian dan kesempurnaan ajaran Kitab Suci Al-Quran memberi kehidupan bagi setiap sendi masyarakat manusia. Al-Quran tidak ada menekankan penanganan satu sisi saja. Terkadang Al-Quran menyuruh kepada kesabaran dan pengampunan dalam hal-hal tertentu, tetapi juga bisa menentukan hukuman bagi para pelanggar jika dianggap perlu.
   Sesungguhnya Al-Quran itu merupakan gambaran dari hukum alam Ilahi yang ada di sekeliling kita. Kitab ini sepenuhnya masuk akal dimana firman Tuhan dan hasil kinerja Tuhan adalah bersesuaian satu dengan lainnya. Sebagaimana hasil karya Tuhan itu nampak di alam, maka Kitab Allah yang sempurna ini juga sejalan dengan hasil kinerja tersebut. Kita sendiri ada melihat dalam kinerja Tuhan bahwa tidak selamanya selalu harus ada pengampunan dan kesabaran semata,  karena nyatanya Dia juga menghukum para pendosa dengan berbagai bentuk bala (azab).
      Hukuman demikian ada juga termaktub dalam Kitab-kitab sebelumnya. Tuhan kita tidak saja Maha Pengasih tetapi juga Maha Bijaksana dan siksaan-Nya sungguh berat. Kitab yang haqiqi adalah yang sejalan dengan kaidah hukum alam ini, sedangkan firman-Nya yang haqiqi adalah yang selalu konsisten (selaras) dengan kinerja-Nya. Kita sendiri melihat bahwa Tuhan tidak selalu memperlakukan makhluk-Nya dengan kesabaran dan pengampunan saja, karena sekali-kali bila dianggap perlu Dia akan menurunkan hukuman juga.
   Bahkan sekarang ini pun Allah Yang Maha Kuasa telah menyampaikan nubuat kepadaku bahwa untuk menghukum para pendosa, Dia akan menzahirkan gempa bumi dahsyat yang akan menghancurkan mereka.” (Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XX, hlm. 346-347, London, 1984).

Kekurangan Kitab Injil  dan Kesempurnaan Al-Quran

    Lebih lanjut Masih  Mau’ud a.s. menjelaskan kesempurnaan  syariat Islam (Al-Quran)  serta menjawab kritikan  dari pihak Non-Muslim   bahwa syariat tidak perlu mengurus masalah penghukuman:
      “Kami telah mengemukakan kekurangan-kekurangan Kitab Injil karena kitab ini tidak ada memberikan bimbingan petunjuk bagi pengembangan kemampuan dan sifat manusia, dimana bagian yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak yang ada pun hanya merupakan salinan dari Kitab Taurat.
   Mengenai hal ini beberapa orang Kristen menjawab bahwa: “Kitab-kitab Samawi hanya berkaitan dengan akhlak saja, sedangkan mengenai penghukuman tidak patut diatur oleh Kitab Samawi karena pelanggaran seharusnya dihukum sejalan dengan kaidah hukum yang berlaku mengikuti perubahan masa
    Karena perubahan bersifat tidak terbatas maka tidak tepat adanya ketentuan penghukuman yang bersifat baku. Setiap bentuk hukuman harus sejalan dengan masanya dan berlaku sebagai peringatan dan pencegahan bagi para pelanggar, karena itu ketentuan yang baku dianggap tidak bermanfaat bagi perbaikan manusia.
    Begitu pula dengan hukum pidana, perdata dan perpajakan seharusnya tidak bersifat  baku dan kaku karena akan menimbulkan kesulitan-kesulitan jika ada perubahan suasana. Misalnya, akan merugikan kondisi perdagangan yang ada sekarang, atau adanya hukum pidana tidak akan berguna ketika para pelanggar sudah menjadi terbiasa dengan suatu jenis hukuman.”
   Menurut hematku, jalan fikiran seperti itu berawal dari pandangan mereka yang belum pernah mempelajari Kitab Suci Al-Quran secara baik. Petunjuk yang diberikan Al-Quran mengenai kaidah-kaidah (hukum-hukum) pidana, perdata dan perpajakan ada dua macam. Pertama adalah ditetapkannya rincian prosedur atau penghukuman, sedangkan yang lainnya hanya memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti tanpa memberikan petunjuk spesifik.

Mengakomodasi Perubahan yang Muncul

  Tujuan dari yang disebutkan terakhir itu adalah untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang muncul di masyarakat. Sebagai contoh, di suatu tempat Kitab Suci Al-Quran menetapkan peraturan (hukum pembalasan) tentang penggantian gigi sepadan dengan gigi dan mata sepadan dengan mata,[2] dimana hal seperti ini merupakan kaidah yang terinci. Adapun di tempat lain ditetapkan prinsip seperti:
وَ جَزٰٓؤُا سَیِّئَۃٍ  سَیِّئَۃٌ  مِّثۡلُہَا 
Pembalasan terhadap suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan itu’ (Asy-Syurā [42]:41).
        Jika direnungkan maka prinsip ini telah meletakkan dasar untuk memperluas jangkauan aplikasi (pelaksanaan)  hukum dalam hal jika suatu hukum spesifik tidak dapat dilaksanakan.  Sebagai contoh, kalau seorang yang sudah ompong giginya lalu mematahkan gigi orang lain maka ia tidak akan bisa dikenakan pembalasan setimpal berupa pematahan gigi karena ia sudah tidak memilikinya lagi. Begitu juga seorang yang buta yang kemudian mengakibatkan butanya orang lain, tidak bisa lagi dihukum setimpal dengan cara mengambil matanya.
       Kitab Suci Al-Quran telah meletakkan dasar-dasar umum untuk menghadapi keadaan seperti itu,  dan dengan cara demikian akan merangsang manusia untuk berfikir mencari ketentuan hukum yang sepadan dengan setiap keadaan. Sayang sekali jika Kitab Taurat tidak menganut metoda seperti itu, dan Kitab Injil malah sama sekali tidak ada memberikan pedoman yang tegas dan bisa diikuti. Kitab Injil hanya memberikan beberapa ajakan kepada akhlak yang baik, namun ajakan tersebut tidak merupakan bagian dari suatu kaidah atau sistem hukum.
   Pernyataan umat Kristen bahwa Kitab Injil menyerahkan masalah hukum kepada intelegensia manusia bukanlah suatu hal yang patut dibanggakan, malah sepantasnya disesali, karena apa pun yang tidak diatur menurut prinsip dan ketentuannya akan cenderung menyimpang dan disalahgunakan, betapa pun baik tujuannya.” (Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XIII, hlm.  87-88, London, 1984).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,  10  Januari 2016




[1] S.21 Al-Anbiya:70. (Penterjemah/Khalid A.Qoyum)
                          

[2] QS.5 Al-Maidah:46. (Penterjemah/Khalid A.Qoyum)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar