ۡمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Kesempurnaan Ajaran Al-Quran
Dalam Masalah Pemberian “Hukuman” dan “Pengampunan”
yang Dilakukan Nabi Besar Muhammad Saw. Dibanding Ajaran Taurat dan Injil
Bab 7
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya dikemukakan sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai pentingnya keberlangsungan wahyu Ilahi yang bukan-syariat, antara lain beliau a.s. bersabda:
“…Dengan berjalannya waktu, yang mengembangkan lebih lanjut batas pemikiran manusia maka perlu kiranya bagi Al-Quran untuk selalu memanifestasikan
dirinya dalam bentuk-bentuk mutakhir
serta membukakan pengetahuan-pengetahuan
baru dan menyangkal khayalan serta
bid’ah yang mungkin muncul.
Karena itu jika Kitab yang
dianggap sebagai Khātamal Kutub
tidak bisa menanggulangi keadaan-keadaan
baru maka pernyataan tersebut tidak akan ada artinya. Jika nyatanya Kitab ini memang merangkum
keseluruhan kebutuhan manusia di
setiap zaman, maka kita harus mengakui
kalau Kitab ini telah merangkum jumlah wawasan yang tak ada batasnya.
Patut diketahui, bahwa perlakuan Allah Swt. terhadap para penerima wahyu yang sempurna ialah Dia akan selalu
mengungkapkan rahasia-rahasia
tersembunyi dari Al-Quran kepada
yang bersangkutan. Sering terjadi
bahwa ada suatu ayat Al-Quran yang diwahyukan kepada seorang penerima wahyu dimana tujuannya agak berbeda dengan pengertian
awal saat diturunkannya wahyu
tersebut.
Berbagai Makna Ayat Al-Quran yang Tak terbatas & Pemberitahuan Rahasia Gaib Allah Swt. kepada Rasul-Nya
Maulvi Abdullah Ghaznavi suatu kali menulis dalam sebuah surat bahwa
yang bersangkutan pernah menerima sebuah wahyu
yang berbunyi: قُلۡنَا یٰنَارُ
کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا -- Kami berfirman, “Hai api,
jadilah kamu sarana untuk
mendatangkan dingin dan keselamatan,”[1] namun ia tidak memahami apa maksudnya. Ia kemudian menerima wahyu berikutnya yang berbunyi, Kami
berkata: “Hai keteguhan hati,
jadilah kamu sarana untuk mendatangkan dingin dan keselamatan.”
Barulah ia menyadari bahwa dalam hal ini yang dimaksud sebagai api adalah keteguhan hati.” (Izalah Auham, Amritsar, Riyaz Hind Press, 1308 H; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. III, hlm. 255-262, London, 1984).
Keistimewaan Pembukaan Rahasia Gaib kepada Rasul Allah
Sabda Masih Mau’ud a.s. tentang pembukaan khazanah-khazanah ruhani baru
Al-Quran tersebut selaras dengan firman Allah Swt.:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ
یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ
اَنۡ قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ
بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ
عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui
yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan
rahasia gaib-Nya kepada siapa
pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya
dan di belakangnya, supaya
Dia mengetahui bahwa sungguh
mereka telah menyampaikan
Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia
meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti, diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah
mengenai rahasia gaib bertalian
dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting. Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara
bandingannya guna membedakan
antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang beriman dan bertakwa
lainnya.
Perbedaan itu letaknya
pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul
Tuhan dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni “penguasaan atas yang gaib”, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang suci lainnya tidak menikmati
kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan
oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya tidak
begitu terpelihara.
Itulah sebabnya dalam
firman-Nya berikut ini melalui pengutusan Rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan
itulah (QS.7:35-37) Allah Swt. melakukan pemisahan
atau pembeda antara orang-orang yang keimanannya
hakiki dengan yang palsu:
مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ
اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ
رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan
orang-orang yang ber-iman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya hingga
Dia memi-sahkan yang buruk dari
yang baik. وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ
یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ -- Dan
Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih
di an-tara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki, فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ -- karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, وَ اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ اَجۡرٌ
عَظِیۡمٌ -- dan
jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar (Ali’ Imran [3]:180).
Makna ayat مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ -- “Allah sekali-kali tidak akan
membiarkan orang-orang yang beriman di dalam keadaan kamu berada di dalamnya hingga
Dia memisahkan yang buruk
dari yang baik” maksudnya
adalah, bahwa percobaan dan kemalangan
yang telah dialami kaum Muslimin
hingga saat itu tidak akan segera berakhir. Masih banyak lagi percobaan yang tersedia bagi mereka, dan
percobaan-percobaan itu akan
terus-menerus datang, hingga orang-orang beriman sejati, akan benar-benar dibedakan dari kaum munafik dan yang lemah iman.
Kata-kata selanjutnya وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ
عَلَی الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ -- “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia kehendaki” itu tidaklah berarti
bahwa sebagian rasul-rasul terpilih
dan sebagian lagi tidak. Kata-kata itu berarti bahwa dari orang-orang yang ditetapkan Allah Swt. sebagai rasul-rasul-Nya, Dia memilih yang paling sesuai untuk zaman tertentu di zaman rasul
Allah itu dibangkitkan, termasuk di Akhir
Zaman ini dalam rangka mewujudkan “kejayaan
Islam” yang kedua kali (QS.61:10).
“Menghidupkan Kembali Bumi
Setelah Kematiannya” & Sifat Komprehensivitas Al-Quran
Jadi, makna sebenarnya dari kejayaan Islam yang kedua kali di Akhir Zaman melalui pengutusan Rasul Akhir Zaman (QS.61:10) -- yakni Masih Mau’ud a.s. atau Imam Mahdi a.s. --
pada hakikatnya adalah “menghidupkan
kembali bumi yang telah mati” – yakni “hati
manusia” -- karena mengalami masa “kemarau panjang ruhani” selama 1000 tahun masa kemunduran Islam setelah mengalami masa kejayaannya yang pertama
selama 3 abad (QS.32:6), sehingga “kerusakan
di daratan dan di lautan”
(QS.30:42-44) kembali merebak di Akhir
Zaman ini, firman-Nya:
اَلَمۡ
یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ
تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ
لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ
عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ
ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang
beriman, bahwa hati mereka tunduk
untuk meng-ingat Allah dan mengingat
kebenaran yang telah turun kepada
mereka, dan mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab
sebelumnya, فَطَالَ عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ
فَقَسَتۡ قُلُوۡبُہُمۡ َ -- maka zaman kesejahteraan menjadi
panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, وَ کَثِیۡرٌ
مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ -- dan kebanyakan
dari mereka menjadi durhaka? اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا -- Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
قَدۡ
بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ
تَعۡقِلُوۡنَ -- Sungguh Kami
telah menjelaskan Tanda-tanda kepadamu
supaya kamu mengerti (Al-Hadid [57]:17-18).
Sehubungan dengan terjadinya “kehidupan ruhani” melalui pengutusan Rasul Akhir Zaman -- tanpa melakukan peperangan secara fisik atau kekerasan
dan paksaan tersebut -- selanjutnya
Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Kesucian dan kesempurnaan
ajaran Kitab Suci Al-Quran memberi kehidupan
bagi setiap sendi masyarakat manusia.
Al-Quran tidak ada menekankan penanganan satu sisi saja. Terkadang Al-Quran menyuruh kepada kesabaran dan pengampunan dalam hal-hal
tertentu, tetapi juga bisa menentukan
hukuman bagi para pelanggar jika
dianggap perlu.
Sesungguhnya Al-Quran itu
merupakan gambaran dari hukum alam Ilahi yang ada di sekeliling
kita. Kitab ini sepenuhnya masuk akal dimana firman Tuhan dan hasil
kinerja Tuhan adalah bersesuaian
satu dengan lainnya. Sebagaimana hasil
karya Tuhan itu nampak di alam, maka Kitab Allah yang sempurna ini juga sejalan dengan hasil kinerja
tersebut. Kita sendiri ada melihat dalam kinerja
Tuhan bahwa tidak selamanya
selalu harus ada pengampunan dan kesabaran semata, karena nyatanya Dia juga menghukum para pendosa
dengan berbagai bentuk bala (azab).
Hukuman demikian ada juga
termaktub dalam Kitab-kitab
sebelumnya. Tuhan kita tidak saja Maha
Pengasih tetapi juga Maha Bijaksana
dan siksaan-Nya sungguh berat. Kitab yang haqiqi adalah yang sejalan
dengan kaidah hukum alam ini,
sedangkan firman-Nya yang haqiqi adalah yang selalu konsisten (selaras) dengan kinerja-Nya. Kita sendiri melihat bahwa Tuhan tidak selalu
memperlakukan makhluk-Nya dengan kesabaran dan pengampunan saja, karena sekali-kali bila dianggap perlu Dia akan menurunkan hukuman juga.
Bahkan sekarang ini pun Allah
Yang Maha Kuasa telah menyampaikan nubuat
kepadaku bahwa untuk menghukum para
pendosa, Dia akan menzahirkan gempa
bumi dahsyat yang akan menghancurkan
mereka.” (Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. XX, hlm. 346-347, London, 1984).
Kekurangan Kitab Injil dan Kesempurnaan Al-Quran
Lebih
lanjut Masih Mau’ud a.s. menjelaskan kesempurnaan syariat
Islam (Al-Quran) serta menjawab kritikan dari pihak Non-Muslim bahwa syariat
tidak perlu mengurus masalah penghukuman:
“Kami telah mengemukakan kekurangan-kekurangan Kitab Injil karena kitab ini tidak ada
memberikan bimbingan petunjuk bagi pengembangan kemampuan dan sifat manusia, dimana bagian yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak yang ada pun hanya merupakan salinan dari Kitab Taurat.
Mengenai hal ini beberapa orang
Kristen menjawab bahwa: “Kitab-kitab Samawi hanya berkaitan dengan akhlak saja, sedangkan mengenai penghukuman tidak patut diatur oleh Kitab Samawi karena pelanggaran
seharusnya dihukum sejalan dengan kaidah hukum yang berlaku mengikuti perubahan
masa.
Karena perubahan
bersifat tidak terbatas maka tidak tepat adanya ketentuan penghukuman yang bersifat baku. Setiap bentuk hukuman
harus sejalan dengan masanya dan berlaku sebagai peringatan dan pencegahan bagi para pelanggar,
karena itu ketentuan yang baku
dianggap tidak bermanfaat bagi perbaikan manusia.
Begitu pula dengan hukum pidana, perdata
dan perpajakan seharusnya tidak bersifat baku dan kaku karena akan menimbulkan kesulitan-kesulitan
jika ada perubahan suasana.
Misalnya, akan merugikan kondisi
perdagangan yang ada sekarang, atau adanya hukum pidana tidak akan berguna ketika para pelanggar sudah menjadi terbiasa
dengan suatu jenis hukuman.”
Menurut hematku, jalan
fikiran seperti itu berawal dari pandangan
mereka yang belum pernah mempelajari
Kitab Suci Al-Quran secara baik. Petunjuk
yang diberikan Al-Quran mengenai kaidah-kaidah (hukum-hukum) pidana, perdata dan perpajakan
ada dua macam. Pertama adalah ditetapkannya rincian prosedur atau penghukuman, sedangkan yang lainnya
hanya memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti tanpa memberikan petunjuk spesifik.
Mengakomodasi Perubahan yang Muncul
Tujuan dari yang disebutkan terakhir itu adalah untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang muncul di masyarakat. Sebagai contoh, di suatu tempat Kitab Suci Al-Quran menetapkan peraturan
(hukum pembalasan) tentang penggantian
gigi sepadan dengan gigi dan mata sepadan dengan mata,[2] dimana hal seperti ini merupakan kaidah yang terinci. Adapun di tempat
lain ditetapkan prinsip seperti:
وَ جَزٰٓؤُا سَیِّئَۃٍ سَیِّئَۃٌ
مِّثۡلُہَا
Pembalasan terhadap suatu kejahatan
adalah kejahatan yang setimpal dengan itu’ (Asy-Syurā [42]:41).
Jika direnungkan
maka prinsip ini telah meletakkan dasar untuk memperluas jangkauan aplikasi (pelaksanaan) hukum
dalam hal jika suatu hukum spesifik
tidak dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, kalau seorang yang sudah ompong giginya lalu mematahkan gigi orang lain maka ia
tidak akan bisa dikenakan pembalasan
setimpal berupa pematahan gigi
karena ia sudah tidak memilikinya
lagi. Begitu juga seorang yang buta
yang kemudian mengakibatkan butanya
orang lain, tidak bisa lagi dihukum
setimpal dengan cara mengambil
matanya.
Kitab Suci Al-Quran telah
meletakkan dasar-dasar umum untuk
menghadapi keadaan seperti itu, dan dengan cara demikian akan merangsang manusia untuk berfikir mencari ketentuan hukum yang sepadan dengan setiap keadaan. Sayang sekali jika Kitab Taurat tidak menganut metoda
seperti itu, dan Kitab Injil malah
sama sekali tidak ada memberikan pedoman
yang tegas dan bisa diikuti. Kitab Injil
hanya memberikan beberapa ajakan
kepada akhlak yang baik, namun ajakan tersebut tidak
merupakan bagian dari suatu kaidah
atau sistem hukum.
Pernyataan umat Kristen bahwa
Kitab Injil menyerahkan masalah hukum kepada intelegensia manusia
bukanlah suatu hal yang patut dibanggakan,
malah sepantasnya disesali, karena apa pun yang tidak diatur menurut prinsip dan ketentuannya akan cenderung
menyimpang dan disalahgunakan,
betapa pun baik tujuannya.” (Kitabul Bariyah, Qadian,
Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XIII, hlm. 87-88, London,
1984).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 10
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar