Senin, 11 Januari 2016

Ajaran Al-Quran Merupakan Puncak Penyempurnaan Hukum Syariat Agama-agama Sebelumnya, Termasuk Ajaran Taurat dan Injil


Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


    Ajaran Al-Quran Merupakan Puncak  Penyempurnaan Hukum Syariat   Agama-agama Sebelumnya, Termasuk  Ajaran Taurat dan Injil


Bab 8


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya dikemukakan  sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai jawaban beliau  terhadap argumen   pihak Kristen mengenai ketidak-perluan syariat (agama)  menetapkan masalah hukuman terhadap pelanggaran   karena keadaan senantiasa berubah-ubah:
     “….Menurut hematku, jalan fikiran seperti itu berawal dari pandangan mereka yang belum pernah mempelajari Kitab Suci Al-Quran secara baik. Petunjuk yang diberikan Al-Quran mengenai kaidah-kaidah (hukum-hukum) pidana, perdata dan perpajakan ada dua macam. Pertama adalah ditetapkannya rincian prosedur atau penghukuman, sedangkan yang lainnya hanya memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti tanpa memberikan petunjuk spesifik.
  Tujuan dari yang disebutkan terakhir itu adalah untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang muncul di masyarakat. Sebagai contoh, di suatu tempat Kitab Suci Al-Quran menetapkan peraturan (hukum pembalasan) tentang penggantian gigi sepadan dengan gigi dan mata sepadan dengan mata,[1] dimana hal seperti ini merupakan kaidah yang terinci. Adapun di tempat lain ditetapkan prinsip seperti:
وَ جَزٰٓؤُا سَیِّئَۃٍ  سَیِّئَۃٌ  مِّثۡلُہَا 
Pembalasan terhadap suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan itu’ (Asy-Syurā [42]:41).
      Jika direnungkan maka prinsip ini telah meletakkan dasar untuk memperluas jangkauan aplikasi (pelaksanaan)  hukum dalam hal jika suatu hukum spesifik tidak dapat dilaksanakan.  Sebagai contoh, kalau seorang yang sudah ompong giginya lalu mematahkan gigi orang lain maka ia tidak akan bisa dikenakan pembalasan setimpal berupa pematahan gigi karena ia sudah tidak memilikinya lagi. Begitu juga seorang yang buta yang kemudian mengakibatkan butanya orang lain, tidak bisa lagi dihukum setimpal dengan cara mengambil matanya.
    Kitab Suci Al-Quran telah meletakkan dasar-dasar umum untuk menghadapi keadaan seperti itu,  dan dengan cara demikian akan merangsang manusia untuk berfikir mencari ketentuan hukum yang sepadan dengan setiap keadaan. Sayang sekali jika Kitab Taurat tidak menganut metoda seperti itu, dan Kitab Injil malah sama sekali tidak ada memberikan pedoman yang tegas dan bisa diikuti. Kitab Injil hanya memberikan beberapa ajakan kepada akhlak yang baik, namun ajakan tersebut tidak merupakan bagian dari suatu kaidah atau sistem hukum.
   Pernyataan umat Kristen bahwa Kitab Injil menyerahkan masalah hukum kepada intelegensia manusia bukanlah suatu hal yang patut dibanggakan, malah sepantasnya disesali, karena apa pun yang tidak diatur menurut prinsip dan ketentuannya akan cenderung menyimpang dan disalahgunakan, betapa pun baik tujuannya.” (Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XIII, hlm. 88, London, 1984).

Ajaran Nabi Isa Ibnu Maryam Dalam Injil Bukan Membatalkan Hukum Taurat Melainkan Menggenapinya (Menyempurnakannya)

    Perlu diketahui alasan mengapa dalam  ajaran Taurat yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s. lebih menitik beratkan kepada “hukum pembalasan” adalah dalam  rangka mengembalikan keberanian atau kejantanan  Bani Israil yang telah mengalami masa  penzaliman selama 400 tahun oleh dinasti Fir’aun di Mesir yang telah membuat mereka kehilangan jiwa kesatria dengan cara “membunuh anak-laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka” (QS.2:50; QS.7:128 &142; QS.28:5), sehingga ketika Nabi Musa a.s. berhasil membawa mereka keluar dari Mesir serta mengajak  mereka untuk memasuki “negeri yang dijanjikan” kepada mereka (Kanaan/Palestina), mereka menolak ajakan Nabi Musa a.s. karena takut terhadap bangsa-bangsa yang  ada di wilayah tersebut, akibatnya   pewarisan “negeri yang dijanjikan” tersebut ditangguhkan selama 40 tahun, firman-Nya:
وَ  اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ اَنۡۢبِیَآءَ وَ جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا ٭ۖ وَّ اٰتٰىکُمۡ مَّا لَمۡ یُؤۡتِ اَحَدًا مِّنَ الۡعٰلَمِیۡنَ  ﴿﴾ یٰقَوۡمِ ادۡخُلُوا الۡاَرۡضَ الۡمُقَدَّسَۃَ الَّتِیۡ  کَتَبَ اللّٰہُ لَکُمۡ وَ لَا تَرۡتَدُّوۡا عَلٰۤی  اَدۡبَارِکُمۡ فَتَنۡقَلِبُوۡا خٰسِرِیۡنَ﴿﴾  قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّ فِیۡہَا قَوۡمًا جَبَّارِیۡنَ ٭ۖ وَ اِنَّا لَنۡ نَّدۡخُلَہَا حَتّٰی یَخۡرُجُوۡا مِنۡہَا ۚ فَاِنۡ  یَّخۡرُجُوۡا مِنۡہَا فَاِنَّا دٰخِلُوۡنَ ﴿﴾  قَالَ رَجُلٰنِ مِنَ الَّذِیۡنَ یَخَافُوۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِمَا ادۡخُلُوۡا عَلَیۡہِمُ  الۡبَابَ ۚ فَاِذَا دَخَلۡتُمُوۡہُ  فَاِنَّکُمۡ غٰلِبُوۡنَ ۬ۚ وَ عَلَی اللّٰہِ  فَتَوَکَّلُوۡۤا اِنۡ کُنۡتُمۡ  مُّؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾  قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّا لَنۡ  نَّدۡخُلَہَاۤ  اَبَدًا مَّا دَامُوۡا فِیۡہَا فَاذۡہَبۡ اَنۡتَ وَ رَبُّکَ فَقَاتِلَاۤ  اِنَّا ہٰہُنَا قٰعِدُوۡنَ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اِنِّیۡ  لَاۤ  اَمۡلِکُ اِلَّا نَفۡسِیۡ وَ اَخِیۡ فَافۡرُقۡ بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَ الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿﴾  قَالَ فَاِنَّہَا مُحَرَّمَۃٌ عَلَیۡہِمۡ اَرۡبَعِیۡنَ سَنَۃً ۚ یَتِیۡہُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ فَلَا تَاۡسَ عَلَی الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan ingatlah ketika  Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah  nikmat Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu, menjadikan kamu raja-raja,  dan Dia memberikan kepada  kamu apa yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa. یٰقَوۡمِ ادۡخُلُوا الۡاَرۡضَ الۡمُقَدَّسَۃَ الَّتِیۡ  کَتَبَ اللّٰہُ لَکُمۡ وَ لَا تَرۡتَدُّوۡا عَلٰۤی  اَدۡبَارِکُمۡ فَتَنۡقَلِبُوۡا خٰسِرِیۡنَ  --  Hai kaumku, masukilah Tanah yang disucikan, yang telah ditetapkan Allah bagi kamu,  dan janganlah kamu berbalik ke belakangmu lalu kamu kembali menjadi orang-orang yang rugi.”   قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّ فِیۡہَا قَوۡمًا جَبَّارِیۡنَ ٭ۖ وَ اِنَّا لَنۡ نَّدۡخُلَہَا حَتّٰی یَخۡرُجُوۡا مِنۡہَا ۚ فَاِنۡ  یَّخۡرُجُوۡا مِنۡہَا فَاِنَّا دٰخِلُوۡنَ  -- Mereka berkata: “Ya Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada suatu kaum  yang kuat lagi kejam, dan sesungguhnya kami tidak akan pernah memasukinya  hingga mereka keluar sendiri darinya, lalu  jika mereka keluar darinya maka kami    akan memasukinya.” قَالَ رَجُلٰنِ مِنَ الَّذِیۡنَ یَخَافُوۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ  عَلَیۡہِمَا ادۡخُلُوۡا عَلَیۡہِمُ  الۡبَابَ ۚ فَاِذَا دَخَلۡتُمُوۡہُ  فَاِنَّکُمۡ غٰلِبُوۡنَ ۬ۚ وَ عَلَی اللّٰہِ  فَتَوَکَّلُوۡۤا اِنۡ کُنۡتُمۡ  مُّؤۡمِنِیۡنَ   -- Dua orang laki-laki  dari antara mereka yang takut kepada Allah dan Allah telah memberi nikmat kepada keduanya berkata: “Masuklah melalui pintu gerbang mereka,  lalu apabila kamu memasuki negeri itu maka sesungguhnya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu  bertawakkal jika kamu benar-benar orang-orang yang ber-iman.” قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّا لَنۡ  نَّدۡخُلَہَاۤ  اَبَدًا مَّا دَامُوۡا فِیۡہَا فَاذۡہَبۡ اَنۡتَ وَ رَبُّکَ فَقَاتِلَاۤ  اِنَّا ہٰہُنَا قٰعِدُوۡنَ  --  Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya kami  tidak akan pernah memasuki negeri itu  selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Rabb (Tuhan) engkau, lalu berperanglah engkau berdua,  sesungguhnya kami hendak duduk-duduk saja di sini!” قَالَ رَبِّ اِنِّیۡ  لَاۤ  اَمۡلِکُ اِلَّا نَفۡسِیۡ وَ اَخِیۡ فَافۡرُقۡ بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَ الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ -- Musa berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya aku tidak berkuasa kecuali terhadap diriku dan saudara laki-lakiku,  maka bedakanlah antara kami dengan  kaum yang fasik itu.” قَالَ فَاِنَّہَا مُحَرَّمَۃٌ عَلَیۡہِمۡ اَرۡبَعِیۡنَ سَنَۃً ۚ یَتِیۡہُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ فَلَا تَاۡسَ عَلَی الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ --   Dia berfirman: “Maka  sesungguhnya negeri itu diharamkan bagi mereka selama empat puluh tahun, mereka akan bertualang kebingungan di muka bumi maka janganlah engkau bersedih atas kaum yang fasik itu.” (Al-Māidah [5]:21-27).
       Ketika orang-orang Bani Israil bertingkah bagai orang-orang pengecut, Allah Swt. menakdirkan mereka harus terus-menerus mengembara di padang belantara selama 40 tahun, agar kehidupan keras padang pasir akan menempa mereka dan memasukkan ke dalam diri mereka suatu jiwa baru dan akan memperkokoh moral mereka. Dalam masa itu generasi tua boleh dikatakan  telah hilang dan generasi muda tumbuh dengan memiliki sifat keberanian serta kekuatan yang cukup untuk menaklukkan “negeri yang dijanjikan”.

Menjadi Bangsa yang “Haus Darah” dan Tujuan Ajaran  Pemaafan Dalam Injil

     Secara berangsur-angsur penekanan hukum pembalasan   dalam ajaran Taurat tersebut memberikan pengaruhnya, bahkan kemudian mereka menjadi bangsa yang haus darah (Matius 23:37-39; QS.2:88-91),  itulah sebabnya Allah Swt. -- dalam rangka menstabilkan jiwa (karakter) kejam Bani Israil -- tersebut telah mengutus Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan membawa ajaran Injil yang menekankan kepada pemaafan yang bertolak belakang dengan penekanan hukum pembalasan dalam Taurat.
   Jadi, tidak benar pandangan Paulus dalam surat-surat kirimannya bahwa pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. serta “kematian terkutuk” beliau di atas tiang salib  adalah guna menebus dosa-dosa manusia  serta guna meniadakan (menghapuskan) hukum Taurat, karena menurut Paulus hukum syariat merupakan “kutuk” bagi  manusia karena membuat manusia menjadi “berdosa”  (Roma 2:17-29 & 3:19-31; Gal 3:15-29).
  Ringkasnya,  sebagaimana  penekanan masalah pembalasan dalam Taurat merupakan hukum syariat, demikian pula  penekanan masalah pemaafan (pengampunan) dalam  Injil pun merupakan hukum syariat pula, mengenai hal tersebut dikemukakan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus) dalam Bible dalam fasal Yesus dan hukum Taurat:
5:17 "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. 5:18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.   5:19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat  sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.  5:20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar  dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 5:17-20).
  Kemudian dalam rangka “menggenapi” atau “menyempurnakan” atau “menyeimbangkan” hukum Taurat  dalam masalah hukuman (pembalasan) tersebut Yesus lebih lanjut menjelaskan:
5:38 Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.   5:39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat   kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.   5:40 Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. 5:41 Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. 5:42 Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. (Matius 5:38-42).   

Diabadikan Dalam Al-Quran Dalam Bentuknya yang Paling Sempurna   

  Kedua jenis hukum syariat yang tercantum dalam Taurat dan Injil tersebut (pembalasan dan pemaafan) diabadikan dalam Al-Quran dalam bentuknya yang jauh lebih sempurna (QS.2:107), serta dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan  tuntutan situasi dan kondisi yang tepat,  yakni dalam kondisi tertentu hukum pembalasan  harus dilaksanakan tetapi dalam kondisi yang berbeda pemaafan (pengampunan) yang harus dilakukan oleh pemegang otoritas hukum (pemerintah)  -- bukan oleh perorangan atau kelompok (golongan)  --contohnya adalah pengampunan massal yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. pada  waktu peristiwa Fatah Makkah sesuai permohonan mereka agar   mendapat pengampunan seperti  yang dilakukan Nabi Yusuf a.s. terhadap kesalahan saudara-saudaranya (QS.12:92-93).
     Pengampuan  massal yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. itulah yang telah mengubah  orang-orang yang tadinya berusaha untuk membunuh beliau saw. telah menjadi orang-orang yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya serta siap untuk “mati terbunuh” di jalan Allah Swt. demi kecintaan mereka kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:
 وَ مَنۡ اَحۡسَنُ  قَوۡلًا  مِّمَّنۡ دَعَاۤ  اِلَی اللّٰہِ  وَ عَمِلَ  صَالِحًا وَّ قَالَ  اِنَّنِیۡ مِنَ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾  وَ لَا تَسۡتَوِی الۡحَسَنَۃُ  وَ لَا السَّیِّئَۃُ ؕ اِدۡفَعۡ  بِالَّتِیۡ  ہِیَ  اَحۡسَنُ فَاِذَا الَّذِیۡ بَیۡنَکَ وَ بَیۡنَہٗ  عَدَاوَۃٌ کَاَنَّہٗ  وَلِیٌّ حَمِیۡمٌ ﴿﴾
Dan siapakah yang lebih baik pembicaraannya daripada orang yang mengajak manusia kepada Allah dan beramal saleh serta berkata:  اِنَّنِیۡ مِنَ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- ”Sesung-guhnya aku pun termasuk orang-orang yang berserah diri.”  وَ لَا تَسۡتَوِی الۡحَسَنَۃُ  وَ لَا السَّیِّئَۃُ --  Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. اِدۡفَعۡ  بِالَّتِیۡ  ہِیَ  اَحۡسَنُ فَاِذَا الَّذِیۡ بَیۡنَکَ وَ بَیۡنَہٗ  عَدَاوَۃٌ کَاَنَّہٗ  وَلِیٌّ حَمِیۡمٌ --  Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. (Ha MimAs-Sajdah [41]:34-35).
   Karena anjuran kepada kebenaran sudah pasti diikuti oleh kesulitan-kesulitan bagi penganjurnya, ayat ini menasihatkan kepada si penganjur supaya bersabar dan  tabah hati menanggung segala kesulitan, dan malahan supaya membalas keburukan yang diterima dari penganiaya-penganiaya  dengan kebaikan, dan sebagai akibatnya فَاِذَا الَّذِیۡ بَیۡنَکَ وَ بَیۡنَہٗ  عَدَاوَۃٌ کَاَنَّہٗ  وَلِیٌّ حَمِیۡمٌ  -- “maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia.”
   Dengan demikian sempurna pula nubuatan  yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini:
عَسَی اللّٰہُ  اَنۡ یَّجۡعَلَ  بَیۡنَکُمۡ وَ بَیۡنَ الَّذِیۡنَ عَادَیۡتُمۡ  مِّنۡہُمۡ  مَّوَدَّۃً ؕ وَ اللّٰہُ قَدِیۡرٌ ؕ  وَ  اللّٰہُ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Boleh jadi kelak Allah akan menjadikan kecintaan di atara kamu dan di antara orang-orang yang saat ini  kamu bermusuhan  dengan mereka, karena Allah Maha Kuasa, dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Mumtahanah [60]:8).
  Ayat ini mengandung kabar gaib (nubuatan), yakni kepada para sahabat  Nabi Besar Muhammad saw. diberitahukan bahwa mereka dianjurkan supaya menghentikan segala perhubungan bersahabat dengan musuh-musuh agama mereka, walaupun musuh itu mungkin keluarga sendiri yang mempunyai pertalian darah sangat dekat sekalipun, namun larangan itu ditetapkan berlaku untuk jangka waktu singkat saja.  Waktu itu telah kian mendekat dengan cepat  ketika musuh-musuh bebuyutan itu akan menjadi sahabat-sahabat mesra.
 Perintah itu hanya berlaku terhadap orang-orang kafir yang berperang terhadap kaum Muslimin seperti dinyatakan dalam ayat berikutnya. Perhubungan bersahabat dengan semua orang-orang bukan Islam yang tidak berperang terhadap Islam tidak dilarang, firman-Nya:
لَا یَنۡہٰىکُمُ اللّٰہُ  عَنِ الَّذِیۡنَ لَمۡ یُقَاتِلُوۡکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ لَمۡ  یُخۡرِجُوۡکُمۡ  مِّنۡ  دِیَارِکُمۡ  اَنۡ  تَبَرُّوۡہُمۡ وَ تُقۡسِطُوۡۤا اِلَیۡہِمۡ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ یُحِبُّ الۡمُقۡسِطِیۡنَ ﴿﴾
Allah tidak melarang kamu  untuk berbuat kebaikan dan berlaku adil terhadap mereka, yaitu orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan yang tidak mengusir kamu dari rumah-rumahmu, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah [60]:8).

Makna “Ummatan Wasathan” atau “Khayra Ummah” (Umat Terbaik)

     Penerapan hukum syariat yang tepat  sesuai situasi dan kondisi bagi  perbaikan akhlak dan ruhani  pihak yang dikenai hukum syariat tersebut  dinamakan “amal shaleh.”   Itulah sebabnya Allah Swt. telah menyebut  umat Islam sebagai “umatan wasathan” (QS.2:144) sebagai  ganti sebutan khayra ummah” (umat terbaik- QS.3:111), firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ  اِلَّا لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً  اِلَّا عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ  ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan demikianlah Kami menjadikan kamu اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا  -- satu umat yang mulia supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga kamu. Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan  kiblat yang kepadanya dahulu engkau berkiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang ber-paling di atas kedua tumitnya. Dan sesungguhnya hal ini benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah [2]:144)
       Al-wasath berarti: menempati kedudukan di tengah; baik dan mulia dalam pangkat (Al-Aqrab-ul-Mawarid). Kata itu dipakai di sini dalam arti baik dan mulia. Dalam QS.3:111 pun kaum Muslimin disebut “kaum terbaik. Jadi, sebagaimana  menjadi tugas dan kewajiban  seorang wasit (wasath) untuk memimpin jalan pertandingan (perlombaan) sesuai aturan perlombaan  agar tidak terjadi kecurangan atau ketidak-adilan serta kezaliman, demikian pula  tugas dan kewajiban umat Islam sebagai ummatan wasathan atau khayra ummah (umat terbaik) dalam mengamalkan syariat Islam (Al-Quran)  --  termasuk dalam masalah penghukuman atau pun pengampunan berkenaan dengan para pelanggar aturan syariat   -- yakni tidak selalu menekankan kepada satu sisi  pembalasan (penghukuman)  atau pun pengampunan (pemaafan), sebagaimana sabda Masih  Mau’ud a.s.
   “Kesucian dan kesempurnaan ajaran Kitab Suci Al-Quran memberi kehidupan bagi setiap sendi masyarakat manusia. Al-Quran tidak ada menekankan penanganan satu sisi saja. Terkadang Al-Quran menyuruh kepada kesabaran dan pengampunan dalam hal-hal tertentu, tetapi juga bisa menentukan hukuman bagi para pelanggar jika dianggap perlu.
     Sesungguhnya Al-Quran itu merupakan gambaran dari hukum alam Ilahi yang ada di sekeliling kita. Kitab ini sepenuhnya masuk akal dimana firman Tuhan dan hasil kinerja Tuhan adalah bersesuaian satu dengan lainnya. Sebagaimana hasil karya Tuhan itu nampak di alam, maka Kitab Allah yang sempurna ini juga sejalan dengan hasil kinerja tersebut. Kita sendiri ada melihat dalam kinerja Tuhan bahwa tidak selamanya selalu harus ada pengampunan dan kesabaran semata,  karena nyatanya Dia juga menghukum para pendosa dengan berbagai bentuk bala (azab).
      Hukuman demikian ada juga termaktub dalam Kitab-kitab sebelumnya. Tuhan kita tidak saja Maha Pengasih tetapi juga Maha Bijaksana dan siksaan-Nya sungguh berat. Kitab yang haqiqi adalah yang sejalan dengan kaidah hukum alam ini, sedangkan firman-Nya yang haqiqi adalah yang selalu konsisten (selaras) dengan kinerja-Nya. Kita sendiri melihat bahwa Tuhan tidak selalu memperlakukan makhluk-Nya dengan kesabaran dan pengampunan saja, karena sekali-kali bila dianggap perlu Dia akan menurunkan hukuman juga.
    Bahkan sekarang ini pun Allah Yang Maha Kuasa telah menyampaikan nubuat kepadaku bahwa untuk menghukum    para pendosa,  Dia akan menzahirkan gempa bumi dahsyat yang akan menghancurkan mereka.” (Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XX, hlm. 346-347, London, 1984).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,   11  Januari 2016




[1] S.5 Al-Maidah:46. (Penterjemah/Khalid A.Qoyum)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar