Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)
Ajaran Al-Quran Merupakan
Puncak Penyempurnaan Hukum Syariat Agama-agama Sebelumnya, Termasuk Ajaran Taurat
dan Injil
Bab 8
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya dikemukakan sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai
jawaban beliau terhadap argumen pihak Kristen mengenai ketidak-perluan syariat (agama)
menetapkan masalah hukuman
terhadap pelanggaran karena keadaan
senantiasa berubah-ubah:
“….Menurut hematku, jalan fikiran
seperti itu berawal dari pandangan
mereka yang belum pernah mempelajari
Kitab Suci Al-Quran secara baik. Petunjuk
yang diberikan Al-Quran mengenai kaidah-kaidah (hukum-hukum) pidana, perdata dan perpajakan
ada dua macam. Pertama adalah ditetapkannya rincian prosedur atau penghukuman, sedangkan yang lainnya
hanya memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti tanpa memberikan petunjuk spesifik.
Tujuan dari yang disebutkan terakhir itu adalah untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang muncul di masyarakat. Sebagai contoh, di suatu tempat Kitab Suci Al-Quran menetapkan peraturan
(hukum pembalasan) tentang penggantian
gigi sepadan dengan gigi dan mata sepadan dengan mata,[1] dimana hal seperti ini merupakan kaidah yang terinci. Adapun di tempat
lain ditetapkan prinsip seperti:
وَ جَزٰٓؤُا سَیِّئَۃٍ سَیِّئَۃٌ
مِّثۡلُہَا
Pembalasan terhadap suatu kejahatan
adalah kejahatan yang setimpal dengan itu’ (Asy-Syurā [42]:41).
Jika direnungkan maka prinsip
ini telah meletakkan dasar untuk memperluas jangkauan aplikasi
(pelaksanaan) hukum dalam hal jika suatu hukum
spesifik tidak dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, kalau seorang yang sudah ompong
giginya lalu mematahkan gigi
orang lain maka ia tidak akan bisa dikenakan pembalasan setimpal berupa pematahan
gigi karena ia sudah tidak memilikinya
lagi. Begitu juga seorang yang buta
yang kemudian mengakibatkan butanya
orang lain, tidak bisa lagi dihukum
setimpal dengan cara mengambil
matanya.
Kitab Suci Al-Quran telah
meletakkan dasar-dasar umum untuk
menghadapi keadaan seperti itu, dan dengan cara demikian akan merangsang manusia untuk berfikir mencari ketentuan hukum yang sepadan dengan setiap keadaan. Sayang sekali jika Kitab Taurat tidak menganut metoda
seperti itu, dan Kitab Injil malah
sama sekali tidak ada memberikan pedoman
yang tegas dan bisa diikuti. Kitab Injil
hanya memberikan beberapa ajakan
kepada akhlak yang baik, namun ajakan tersebut tidak
merupakan bagian dari suatu kaidah
atau sistem hukum.
Pernyataan umat Kristen bahwa
Kitab Injil menyerahkan masalah hukum kepada intelegensia manusia
bukanlah suatu hal yang patut
dibanggakan, malah sepantasnya
disesali, karena apa pun yang tidak diatur menurut prinsip dan ketentuannya akan cenderung menyimpang dan disalahgunakan,
betapa pun baik tujuannya.” (Kitabul Bariyah, Qadian,
Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XIII, hlm. 88, London, 1984).
Ajaran Nabi Isa Ibnu Maryam Dalam Injil Bukan Membatalkan Hukum
Taurat Melainkan Menggenapinya
(Menyempurnakannya)
Perlu diketahui alasan mengapa dalam ajaran
Taurat yang diwahyukan Allah Swt.
kepada Nabi Musa a.s. lebih menitik
beratkan kepada “hukum pembalasan”
adalah dalam rangka mengembalikan keberanian atau kejantanan Bani Israil yang telah mengalami masa penzaliman selama 400 tahun oleh dinasti Fir’aun di Mesir yang telah membuat mereka kehilangan jiwa kesatria dengan cara “membunuh anak-laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka” (QS.2:50; QS.7:128 &142; QS.28:5),
sehingga ketika Nabi Musa a.s. berhasil membawa mereka keluar dari Mesir serta
mengajak mereka untuk memasuki “negeri yang dijanjikan” kepada mereka
(Kanaan/Palestina), mereka menolak ajakan
Nabi Musa a.s. karena takut terhadap bangsa-bangsa yang ada di wilayah tersebut, akibatnya pewarisan “negeri yang dijanjikan” tersebut ditangguhkan selama 40 tahun,
firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ مُوۡسٰی لِقَوۡمِہٖ یٰقَوۡمِ
اذۡکُرُوۡا نِعۡمَۃَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ جَعَلَ فِیۡکُمۡ اَنۡۢبِیَآءَ وَ
جَعَلَکُمۡ مُّلُوۡکًا ٭ۖ وَّ اٰتٰىکُمۡ مَّا لَمۡ یُؤۡتِ اَحَدًا مِّنَ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ یٰقَوۡمِ ادۡخُلُوا
الۡاَرۡضَ الۡمُقَدَّسَۃَ الَّتِیۡ کَتَبَ
اللّٰہُ لَکُمۡ وَ لَا تَرۡتَدُّوۡا عَلٰۤی
اَدۡبَارِکُمۡ فَتَنۡقَلِبُوۡا خٰسِرِیۡنَ﴿﴾ قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّ فِیۡہَا قَوۡمًا
جَبَّارِیۡنَ ٭ۖ وَ اِنَّا لَنۡ نَّدۡخُلَہَا حَتّٰی یَخۡرُجُوۡا مِنۡہَا ۚ
فَاِنۡ یَّخۡرُجُوۡا مِنۡہَا فَاِنَّا
دٰخِلُوۡنَ ﴿﴾ قَالَ رَجُلٰنِ مِنَ
الَّذِیۡنَ یَخَافُوۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمَا ادۡخُلُوۡا عَلَیۡہِمُ
الۡبَابَ ۚ فَاِذَا دَخَلۡتُمُوۡہُ
فَاِنَّکُمۡ غٰلِبُوۡنَ ۬ۚ وَ عَلَی اللّٰہِ فَتَوَکَّلُوۡۤا اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾ قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّا لَنۡ نَّدۡخُلَہَاۤ
اَبَدًا مَّا دَامُوۡا فِیۡہَا فَاذۡہَبۡ اَنۡتَ وَ رَبُّکَ
فَقَاتِلَاۤ اِنَّا ہٰہُنَا قٰعِدُوۡنَ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ اِنِّیۡ
لَاۤ اَمۡلِکُ اِلَّا نَفۡسِیۡ وَ
اَخِیۡ فَافۡرُقۡ بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَ الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿﴾ قَالَ فَاِنَّہَا مُحَرَّمَۃٌ عَلَیۡہِمۡ اَرۡبَعِیۡنَ
سَنَۃً ۚ یَتِیۡہُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ فَلَا تَاۡسَ عَلَی الۡقَوۡمِ
الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan ingatlah
ketika Musa berkata kepada kaumnya:
“Hai kaumku, ingatlah nikmat
Allah atas kamu, ketika Dia menjadikan nabi-nabi di antara kamu,
menjadikan kamu raja-raja, dan Dia
memberikan kepada kamu apa yang tidak
diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa. یٰقَوۡمِ ادۡخُلُوا الۡاَرۡضَ الۡمُقَدَّسَۃَ الَّتِیۡ کَتَبَ اللّٰہُ لَکُمۡ وَ لَا تَرۡتَدُّوۡا
عَلٰۤی اَدۡبَارِکُمۡ فَتَنۡقَلِبُوۡا
خٰسِرِیۡنَ -- Hai kaumku,
masukilah Tanah yang disucikan, yang
telah ditetapkan Allah bagi kamu, dan janganlah
kamu berbalik ke belakangmu lalu kamu
kembali menjadi orang-orang yang rugi.” قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّ فِیۡہَا قَوۡمًا جَبَّارِیۡنَ ٭ۖ وَ اِنَّا لَنۡ
نَّدۡخُلَہَا حَتّٰی یَخۡرُجُوۡا مِنۡہَا ۚ فَاِنۡ یَّخۡرُجُوۡا مِنۡہَا فَاِنَّا دٰخِلُوۡنَ -- Mereka berkata: “Ya Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu
ada suatu kaum yang kuat lagi kejam,
dan sesungguhnya kami tidak akan
pernah memasukinya hingga mereka keluar sendiri darinya, lalu jika
mereka keluar darinya maka kami akan memasukinya.” قَالَ رَجُلٰنِ مِنَ الَّذِیۡنَ یَخَافُوۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمَا ادۡخُلُوۡا عَلَیۡہِمُ الۡبَابَ ۚ فَاِذَا دَخَلۡتُمُوۡہُ فَاِنَّکُمۡ غٰلِبُوۡنَ ۬ۚ وَ عَلَی اللّٰہِ فَتَوَکَّلُوۡۤا اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ -- Dua
orang laki-laki dari antara mereka yang takut kepada Allah dan Allah telah memberi nikmat kepada keduanya berkata: “Masuklah melalui pintu gerbang
mereka, lalu apabila kamu memasuki negeri itu maka sesungguhnya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu
benar-benar orang-orang yang ber-iman.”
قَالُوۡا یٰمُوۡسٰۤی اِنَّا لَنۡ نَّدۡخُلَہَاۤ
اَبَدًا مَّا دَامُوۡا فِیۡہَا فَاذۡہَبۡ اَنۡتَ وَ رَبُّکَ
فَقَاتِلَاۤ اِنَّا ہٰہُنَا قٰعِدُوۡنَ -- Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan pernah memasuki negeri itu selama mereka masih ada di dalamnya,
karena itu pergilah engkau bersama Rabb
(Tuhan) engkau, lalu berperanglah engkau berdua, sesungguhnya kami hendak duduk-duduk saja di sini!” قَالَ رَبِّ اِنِّیۡ لَاۤ اَمۡلِکُ اِلَّا نَفۡسِیۡ وَ اَخِیۡ فَافۡرُقۡ
بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَ الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ -- Musa
berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya
aku tidak berkuasa kecuali terhadap
diriku dan saudara laki-lakiku, maka bedakanlah
antara kami dengan kaum yang fasik itu.” قَالَ فَاِنَّہَا مُحَرَّمَۃٌ عَلَیۡہِمۡ اَرۡبَعِیۡنَ سَنَۃً ۚ
یَتِیۡہُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ ؕ فَلَا تَاۡسَ عَلَی الۡقَوۡمِ الۡفٰسِقِیۡنَ -- Dia berfirman: “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan bagi mereka selama empat
puluh tahun, mereka akan bertualang kebingungan
di muka bumi maka janganlah
engkau bersedih atas kaum yang fasik itu.” (Al-Māidah [5]:21-27).
Ketika orang-orang Bani Israil bertingkah
bagai orang-orang pengecut, Allah
Swt. menakdirkan mereka harus terus-menerus mengembara di padang belantara selama 40 tahun, agar kehidupan
keras padang pasir akan menempa
mereka dan memasukkan ke dalam diri mereka suatu jiwa baru dan akan memperkokoh
moral mereka. Dalam masa itu generasi
tua boleh dikatakan telah hilang dan generasi muda tumbuh dengan memiliki sifat keberanian serta kekuatan
yang cukup untuk menaklukkan “negeri yang
dijanjikan”.
Menjadi Bangsa yang “Haus
Darah” dan Tujuan Ajaran Pemaafan Dalam Injil
Secara berangsur-angsur penekanan hukum pembalasan dalam ajaran
Taurat tersebut memberikan pengaruhnya,
bahkan kemudian mereka menjadi bangsa
yang haus darah (Matius 23:37-39; QS.2:88-91),
itulah sebabnya Allah Swt. -- dalam rangka menstabilkan jiwa
(karakter) kejam Bani Israil -- tersebut
telah mengutus Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dengan
membawa ajaran Injil yang menekankan kepada pemaafan yang bertolak
belakang dengan penekanan hukum
pembalasan dalam Taurat.
Jadi, tidak benar pandangan Paulus dalam surat-surat kirimannya bahwa pengutusan
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. serta “kematian
terkutuk” beliau di atas tiang salib adalah guna menebus dosa-dosa manusia serta guna meniadakan (menghapuskan) hukum Taurat, karena menurut Paulus hukum syariat merupakan “kutuk” bagi manusia karena membuat manusia menjadi “berdosa” (Roma
2:17-29 & 3:19-31; Gal 3:15-29).
Ringkasnya, sebagaimana
penekanan masalah pembalasan dalam Taurat merupakan hukum
syariat, demikian pula penekanan
masalah pemaafan (pengampunan)
dalam Injil pun merupakan hukum
syariat pula, mengenai hal tersebut dikemukakan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (Yesus) dalam Bible dalam fasal Yesus dan hukum Taurat:
5:17 "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau
kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan
untuk menggenapinya. 5:18 Karena Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya selama belum
lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan
dari hukum Taurat, sebelum semuanya
terjadi.
5:19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu
perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan
mengajarkannya demikian kepada orang
lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga;
tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan
segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di
dalam Kerajaan Sorga.
5:20 Maka Aku berkata
kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak
lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga” (Matius 5:17-20).
Kemudian dalam rangka “menggenapi” atau “menyempurnakan” atau “menyeimbangkan” hukum Taurat dalam masalah hukuman (pembalasan) tersebut Yesus
lebih lanjut menjelaskan:
5:38 Kamu telah mendengar
firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.
5:39 Tetapi Aku berkata
kepadamu: Janganlah kamu melawan orang
yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu,
berilah juga kepadanya pipi kirimu. 5:40 Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau
karena mengingini bajumu, serahkanlah
juga jubahmu. 5:41 Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan
sejauh satu mil, berjalanlah bersama
dia sejauh dua mil. 5:42 Berilah
kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam
dari padamu. (Matius 5:38-42).
Diabadikan Dalam Al-Quran
Dalam Bentuknya yang Paling Sempurna
Kedua jenis hukum syariat yang tercantum dalam Taurat dan Injil tersebut
(pembalasan dan pemaafan) diabadikan
dalam Al-Quran dalam bentuknya yang
jauh lebih sempurna (QS.2:107), serta
dalam pelaksanaannya harus
mempertimbangkan tuntutan situasi dan kondisi
yang tepat, yakni dalam kondisi tertentu hukum pembalasan harus
dilaksanakan tetapi dalam kondisi
yang berbeda pemaafan (pengampunan)
yang harus dilakukan oleh pemegang
otoritas hukum (pemerintah) -- bukan
oleh perorangan atau kelompok (golongan) --contohnya adalah pengampunan massal yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw.
pada waktu peristiwa Fatah Makkah sesuai permohonan mereka agar
mendapat pengampunan
seperti yang dilakukan Nabi Yusuf a.s. terhadap kesalahan saudara-saudaranya
(QS.12:92-93).
Pengampuan
massal yang dilakukan Nabi Besar Muhammad saw. itulah yang telah mengubah
orang-orang yang tadinya berusaha
untuk membunuh beliau saw. telah
menjadi orang-orang yang beriman
kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya serta siap untuk “mati terbunuh”
di jalan Allah Swt. demi kecintaan mereka kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:
وَ مَنۡ اَحۡسَنُ قَوۡلًا
مِّمَّنۡ دَعَاۤ اِلَی اللّٰہِ وَ عَمِلَ صَالِحًا وَّ قَالَ اِنَّنِیۡ مِنَ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تَسۡتَوِی الۡحَسَنَۃُ وَ لَا السَّیِّئَۃُ ؕ اِدۡفَعۡ بِالَّتِیۡ
ہِیَ اَحۡسَنُ فَاِذَا الَّذِیۡ
بَیۡنَکَ وَ بَیۡنَہٗ عَدَاوَۃٌ
کَاَنَّہٗ وَلِیٌّ حَمِیۡمٌ ﴿﴾
Dan siapakah yang lebih baik pembicaraannya
daripada orang yang mengajak manusia
kepada Allah dan beramal saleh serta berkata: اِنَّنِیۡ مِنَ الۡمُسۡلِمِیۡنَ -- ”Sesung-guhnya aku
pun termasuk orang-orang yang berserah diri.” وَ لَا تَسۡتَوِی الۡحَسَنَۃُ وَ لَا السَّیِّئَۃُ -- Dan tidaklah
sama kebaikan dan keburukan. اِدۡفَعۡ بِالَّتِیۡ
ہِیَ اَحۡسَنُ فَاِذَا الَّذِیۡ
بَیۡنَکَ وَ بَیۡنَہٗ عَدَاوَۃٌ کَاَنَّہٗ وَلِیٌّ حَمِیۡمٌ -- Tolaklah
keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya maka
tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan,
akan menjadi seperti seorang sahabat
yang setia. (Ha Mim – As-Sajdah [41]:34-35).
Karena anjuran
kepada kebenaran sudah pasti diikuti
oleh kesulitan-kesulitan bagi penganjurnya, ayat ini menasihatkan
kepada si penganjur supaya bersabar dan tabah hati menanggung segala
kesulitan, dan malahan supaya membalas keburukan yang diterima dari penganiaya-penganiaya dengan kebaikan,
dan sebagai akibatnya فَاِذَا الَّذِیۡ بَیۡنَکَ وَ بَیۡنَہٗ
عَدَاوَۃٌ کَاَنَّہٗ وَلِیٌّ
حَمِیۡمٌ -- “maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan,
akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia.”
Dengan demikian sempurna pula nubuatan
yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini:
عَسَی اللّٰہُ اَنۡ یَّجۡعَلَ بَیۡنَکُمۡ وَ بَیۡنَ الَّذِیۡنَ
عَادَیۡتُمۡ مِّنۡہُمۡ مَّوَدَّۃً ؕ وَ اللّٰہُ قَدِیۡرٌ ؕ وَ
اللّٰہُ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Boleh jadi kelak
Allah akan menjadikan kecintaan di atara
kamu dan di antara orang-orang
yang saat ini kamu bermusuhan dengan mereka,
karena Allah Maha Kuasa, dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Mumtahanah [60]:8).
Ayat ini mengandung kabar
gaib (nubuatan), yakni kepada para sahabat
Nabi Besar Muhammad saw. diberitahukan bahwa mereka dianjurkan
supaya menghentikan segala perhubungan bersahabat dengan musuh-musuh agama mereka, walaupun musuh itu mungkin keluarga sendiri yang mempunyai pertalian
darah sangat dekat sekalipun, namun larangan
itu ditetapkan berlaku untuk jangka waktu singkat saja. Waktu itu telah kian mendekat dengan cepat ketika musuh-musuh
bebuyutan itu akan menjadi sahabat-sahabat
mesra.
Perintah itu hanya berlaku terhadap orang-orang kafir yang berperang
terhadap kaum Muslimin seperti
dinyatakan dalam ayat berikutnya. Perhubungan
bersahabat dengan semua orang-orang bukan
Islam yang tidak berperang
terhadap Islam tidak dilarang, firman-Nya:
لَا
یَنۡہٰىکُمُ اللّٰہُ عَنِ الَّذِیۡنَ لَمۡ
یُقَاتِلُوۡکُمۡ فِی الدِّیۡنِ وَ لَمۡ
یُخۡرِجُوۡکُمۡ مِّنۡ دِیَارِکُمۡ
اَنۡ تَبَرُّوۡہُمۡ وَ
تُقۡسِطُوۡۤا اِلَیۡہِمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
یُحِبُّ الۡمُقۡسِطِیۡنَ ﴿﴾
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat kebaikan dan berlaku adil terhadap mereka, yaitu orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan yang tidak
mengusir kamu dari rumah-rumahmu, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah
[60]:8).
Makna “Ummatan
Wasathan” atau “Khayra Ummah”
(Umat Terbaik)
Penerapan hukum syariat yang tepat sesuai situasi
dan kondisi bagi perbaikan
akhlak dan ruhani pihak yang dikenai hukum syariat tersebut
dinamakan “amal shaleh.” Itulah sebabnya Allah Swt. telah
menyebut umat Islam sebagai “umatan
wasathan” (QS.2:144) sebagai ganti
sebutan khayra ummah” (umat terbaik-
QS.3:111), firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ
جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ
یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ وَ مَا جَعَلۡنَا الۡقِبۡلَۃَ
الَّتِیۡ کُنۡتَ عَلَیۡہَاۤ اِلَّا
لِنَعۡلَمَ مَنۡ یَّتَّبِعُ الرَّسُوۡلَ مِمَّنۡ یَّنۡقَلِبُ عَلٰی عَقِبَیۡہِ ؕ
وَ اِنۡ کَانَتۡ لَکَبِیۡرَۃً اِلَّا
عَلَی الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ ؕ وَ مَا
کَانَ اللّٰہُ لِیُضِیۡعَ اِیۡمَانَکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ بِالنَّاسِ لَرَءُوۡفٌ
رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Dan
demikianlah Kami menjadikan kamu اُمَّۃً وَّسَطًا
لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ
شَہِیۡدًا -- satu
umat yang mulia supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia
dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi
penjaga kamu. Dan Kami sekali-kali tidak
menjadikan kiblat yang
kepadanya dahulu engkau berkiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang ber-paling
di atas kedua tumitnya. Dan sesungguhnya hal ini benar-benar sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah
menyia-nyiakan iman kamu, sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengasih, Maha
Penyayang terhadap manusia. (Al-Baqarah
[2]:144)
Al-wasath berarti:
menempati kedudukan di tengah; baik dan mulia dalam pangkat (Al-Aqrab-ul-Mawarid). Kata itu dipakai di sini dalam arti baik dan mulia. Dalam QS.3:111 pun kaum Muslimin
disebut “kaum terbaik. Jadi, sebagaimana
menjadi tugas dan kewajiban seorang wasit
(wasath) untuk memimpin jalan pertandingan (perlombaan) sesuai aturan perlombaan agar tidak terjadi kecurangan atau ketidak-adilan
serta kezaliman, demikian pula tugas
dan kewajiban umat Islam sebagai ummatan wasathan atau khayra ummah (umat terbaik) dalam
mengamalkan syariat Islam
(Al-Quran) -- termasuk dalam masalah penghukuman atau pun pengampunan
berkenaan dengan para pelanggar aturan
syariat -- yakni tidak selalu menekankan kepada satu sisi pembalasan
(penghukuman) atau pun pengampunan (pemaafan), sebagaimana
sabda Masih Mau’ud a.s.:
“Kesucian dan kesempurnaan
ajaran Kitab Suci Al-Quran memberi kehidupan
bagi setiap sendi masyarakat manusia.
Al-Quran tidak ada menekankan penanganan satu sisi saja. Terkadang Al-Quran menyuruh kepada kesabaran dan pengampunan dalam hal-hal
tertentu, tetapi juga bisa menentukan
hukuman bagi para pelanggar jika
dianggap perlu.
Sesungguhnya Al-Quran itu
merupakan gambaran dari hukum alam Ilahi yang ada di sekeliling
kita. Kitab ini sepenuhnya masuk akal dimana firman Tuhan dan hasil
kinerja Tuhan adalah bersesuaian
satu dengan lainnya. Sebagaimana hasil
karya Tuhan itu nampak di alam, maka Kitab Allah yang sempurna ini juga sejalan dengan hasil kinerja
tersebut. Kita sendiri ada melihat dalam kinerja
Tuhan bahwa tidak selamanya
selalu harus ada pengampunan dan kesabaran semata, karena nyatanya Dia juga menghukum para pendosa
dengan berbagai bentuk bala (azab).
Hukuman demikian ada juga
termaktub dalam Kitab-kitab
sebelumnya. Tuhan kita tidak saja Maha
Pengasih tetapi juga Maha Bijaksana
dan siksaan-Nya sungguh berat. Kitab yang haqiqi adalah yang sejalan
dengan kaidah hukum alam ini,
sedangkan firman-Nya yang haqiqi adalah yang selalu konsisten (selaras) dengan kinerja-Nya. Kita sendiri melihat bahwa Tuhan tidak selalu
memperlakukan makhluk-Nya dengan kesabaran dan pengampunan saja, karena sekali-kali bila dianggap perlu Dia akan menurunkan hukuman juga.
Bahkan sekarang ini pun Allah
Yang Maha Kuasa telah menyampaikan nubuat
kepadaku bahwa untuk menghukum para pendosa, Dia akan menzahirkan gempa bumi dahsyat yang akan menghancurkan
mereka.” (Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. XX, hlm. 346-347, London, 1984).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 11 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar