Senin, 25 Januari 2016

Makna "Millat" Nabi Ibrahim a.s. & Penyempurnaan "Millat" Nabi Ibrahim a.s. oleh Allah Swt. Melalui Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw.



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Makna “Millat” Nabi Ibrahim a.s.  & Penyempurnaan “Millat” Nabi Ibrahim a.s.  oleh  Allah Swt. Melalui Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw.   


Bab 18


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya  telah dijelaskan mengenai  makna  perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan    mengenai gambaran “surga” dalam QS.2:26   -- yang digambarkan sebagai  جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ -- “kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai --  guna melukiskan mendalamnya arti yang tidak dapat diungkapkan sebaik-baiknya dengan jalan lain.
        Dalam hal-hal keruhanian dikemukakannya perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan tersebut memberikan satu-satunya cara untuk dapat menyampaikan buah pikiran dengan baik,  firman-Nya:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ  اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ  بِمَا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai  balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah [32]:18).

Kiasan-kiasan Dalam Al-Quran Mengandung Makna dan Falsafah yang Sangat Dalam &  Ajaran Tauhid Dalam Suhuf Nabi Ibrahim a.s.

       Waktu Nabi Besar Muhammad saw.  menggambarkan bentuk dan sifat nikmat dan kesenangan surga, beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).
     Hadits itu menunjukkan bahwa berbagai nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan bersifat kebendaan. Nikmat-nikmat itu akan merupakan penjelmaan-keruhanian dari perbuatan dan tingkah-laku baik    -- yakni iman dan amal shaleh   -- yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini.
      Kata-kata yang dipergunakan untuk menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan. Ayat  tersebut pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi yang akan dilimpahkan kepada orang-orang beriman  yang bertakwa di alam akhirat bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan. Nikmat-nikmat itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia, sebagaimana firman-Nya:
قَدۡ  اَفۡلَحَ  مَنۡ  تَزَکّٰی ﴿ۙ﴾  وَ ذَکَرَ اسۡمَ رَبِّہٖ فَصَلّٰی ﴿ؕ﴾ بَلۡ  تُؤۡثِرُوۡنَ الۡحَیٰوۃَ  الدُّنۡیَا ﴿۫ۖ﴾  وَ الۡاٰخِرَۃُ  خَیۡرٌ  وَّ اَبۡقٰی ﴿ؕ﴾  اِنَّ ہٰذَا  لَفِی الصُّحُفِ الۡاُوۡلٰی ﴿ۙ﴾  صُحُفِ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ مُوۡسٰی ﴿٪﴾
Sungguh  berbahagialah orang yang mensucikan diri,   dan mengingat nama Rabb-nya (Tuhan-nya) lalu mendirikan shalatبَلۡ  تُؤۡثِرُوۡنَ الۡحَیٰوۃَ  الدُّنۡیَا --   Tetapi  kamu mendahulukan kehidupan duniaوَ الۡاٰخِرَۃُ  خَیۡرٌ  وَّ اَبۡقٰی  --  padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. اِنَّ ہٰذَا  لَفِی الصُّحُفِ الۡاُوۡلٰی  -- Sesungguhnya inilah yang diajarkan dalam Kitab-kitab terdahulu, صُحُفِ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ مُوۡسٰی  --     Kitab-kitab Ibrahim dan Musa   (Al-A’lā [87]:15-20).
   Oleh karena asas-asas pokok mengenai tiap-tiap agama yang bersumber dari Allah Swt. itu sama, maka ajaran yang tersebut dalam ayat-ayat yang mendahuluinya terdapat pula dalam  Kitab-kitab suci Nabi Ibrahim   a.s. dan Nabi Musa a.s..
  Ayat  َ ہٰذَا  لَفِی الصُّحُفِ الۡاُوۡلٰی  -- “Sesungguhnya inilah yang diajarkan dalam Kitab-kitab terdahulu, صُحُفِ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ مُوۡسٰی  --     Kitab-kitab Ibrahim dan Musa    dapat pula berarti bahwa nubuatan mengenai kemunculan seorang nabi besar, yang akan memberikan kepada dunia Amanat Ilahi terakhir serta memberikan ajaran yang paling sempurna    -- yakni Nabi Besar Muhammad saw.   -- terdapat dalam Kitab-kitab suci  Nabi Ibrahim   a.s. dan Nabi Musa a.s.  (Ulangan 18:18 -19 dan 33:2).

Makna “Millat” Nabi Ibrahim a.s.  dan Makna Kata  Safiha

       Ajaran atau   millat  -- yakni sikap beragama  -- Nabi Ibrahim a.s. adalah Tauhid Ilahi  yang menentang kepercayaan yang dianut oleh ayah dan kaum beliau yang berkecimpung dalam kemusyrikan, baik berupa penyembahan patung-patung  mau pun  menyembah benda-benda langit (QS.2:259; QS.6:75-84; QS.19:42-51; QS.21:52-74; QS.26:71-90).
     Ajaran atau   millat   -- yakni sikap beragama  -- Nabi Ibrahim a.s  itulah yang beliau wariskan kepada keturunan semua keturunan  beliau, baik dari kalangan Bani Ishaq mau pun Bani Isma’il,  firman-Nya:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ  لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ  اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ  بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ  اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ؕ
Dan siapakah yang berpaling عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ    -- dari  millat (agama) Ibrahim  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ   -- selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?  Dan  sungguh  Kami  benar-benar telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk orang-orang yang saleh. اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ  اَسۡلِمۡ  --   Ingatlah ketika Rabb-nya (Tuhan-nya) berfirman kepadanya: “Berserah dirilah”, قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ --  ia berkata:  Aku telah berserah diri kepada  Rabb (Tuhan) seluruh  alam.” وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ  بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ  --  Dan Ibrahim mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya’qub  seraya  berkata: یٰبَنِیَّ  اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ  -- “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu, فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ  --  maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri (Al-Baqarah [2]:131-133).
         Sehubungan dengan  kata  safiha dalam ayat:  وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ   -- “Dan siapakah yang berpaling عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ    -- dari  millat (agama) Ibrahim  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ   -- selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?”   Berbagai bentuk dari kata safiha, safaha dan safuha mempunyai arti yang berbeda, safiha berarti: ia jahil, bodoh atau kurang akal.
        Jika kata itu dipakai bersama dengan nafsahu, seolah-olah sebagai pelengkapnya seperti dalam ayat ini:  مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ --  kata itu tidak sungguh-sungguh menjadi transitif (berpelengkap), hanya nampaknya saja demikian (Lisan-ul-‘Arab dan Al-Mufradat). Kata-kata مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ  itu berarti juga  “yang telah membinasakan jiwanya sendiri.”

Makna kata Muslimīn

         Perlu diketahui bahwa penggunaan kata muslim (muslimīn) dalam berbagai ayat Al-Quran hendaknya  jangan diartikan  orang-orang Islam  atau orang-orang yang beragama Islam, melainkan maknanya adalah “orang-orang yang benar-benar menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah Swt.” (QS.3:103), sebagaimana  yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. dan seluruh rasul Allah, terutama Nabi Besar Muhammad saw.,  mengenai hal itu berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ  اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ  اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾  قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ  لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, دِیۡنًا قِیَمًا   -- agama yang teguh, مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا    --  agama Ibrahim yang lurus  وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia bukanlah dari   orang-orang musyrik.”  قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ  --  Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,  kehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh  alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ  --    Tidak ada sekutu bagi-Nya, وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ  -- untuk itulah aku diperintahkanوَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  -- dan akulah orang pertama  yang berserah diri  (Al-An’am [6]:162-164).
        Hanīf dalam ayat دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ  اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا      berarti: (1) orang yang berpaling dari kesesatan lalu memilih petunjuk (Al-Mufradat); (2) orang yang dengan tetapnya mengikuti agama yang benar dan tidak pernah menyimpang darinya; (3) orang yang hatinya condong kepada Islam dengan sempurna dan tetap teguh di dalamnya (Lexicon Lane); (4) orang yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. (Al-Aqrab-ul-Mawarid); (5) orang yang beriman kepada semua nabi (Tafsir Ibnu Katsir).
  Ayat selanjutnya menjelaskan arti muslimīn  yakni:   قُلۡ  اِنَّ صَلَاتِیۡ  وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ   لِلّٰہِ   رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ  --  Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbanankukehidupanku, dan  kematianku  hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh  alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ  --    Tidak ada sekutu bagi-Nya, وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ  -- untuk itulah aku diperintahkanوَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ  -- dan akulah orang pertama  yang berserah diri.” 
 Makna ayat tersebut adalah bahwa  shalat, korban, hidup, dan mati meliputi seluruh bidang amal perbuatan manusia; dan Nabi Besar Muhammad saw.   diperintahkan Allah Swt. untuk  menyatakan bahwa semua segi kehidupan di dunia ini  seutuhnya dipersembahkan oleh beliau saw. kepada Allah Swt.;  semua amal ibadah beliau  saw. dipersembahkan kepada  Allah Swt.;  semua pengorbanan dilakukan beliau saw.  untuk Allah Swt.; segala penghidupan beliau saw. dihibahkan beliau untuk berbakti kepada-Nya; bahkan jika   di jalan agama  Nabi Besar Muhammad saw. mencari maut (kematian),  itu pun beliau saw. lakukan semata-mata guna meraih keridhaan-Nya.
        Dengan demikian makna ayat:  فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ  --  maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri,” (QS.2:133), bahwa  karena tidak ada saat ditentukan untuk mati, atau tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan saat terjadi kematiannya, maka orang hendaknya setiap saat menjalani kehidupannya dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt..   
     Ayat ini dapat pula berarti bahwa orang beriman sejati hendaknya begitu sepenuhnya berserah diri kepada Kehendak Ilahi dan meraih keridhaan-Nya begitu sempurna sehingga Allah Swt.  dengan kemurahan-Nya (rahmat-Nya) yang tidak terbatas  akan mengatur demikian rupa sehingga kematian akan datang kepadanya pada saat ketika ia berserah  diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya. Contoh paling sempurna  mengenai ke-Muslim-an  tersebut adalah yang diamalkan  (disunnahkan) oleh Nabi Besar Muhammad saw..

Pemahaman Keliru Mengenai  “Millat Nabi Ibrahim” & Doa Khusus  Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il a.s.

 Oleh karena itu jika kemudian muncul pemahaman keliru  yang menyederhanakan  kesempurnaan ajaran agama Islam (Al-Quran)    --  dalam hal ini menyederhanakan Rukun Iman dan Rukun Islam  -- yang bertentangan dengan  ajaran    dan amalan (disunnahkan) oleh Nabi Besar Muhammad saw.   --  dengan mengatasnamakan “kembali kepada millat  Nabi Ibrahim a.s.“,   maka pemahaman keliru seperti  itu sangat bertentangan dengan doa Nabi Ibrahim a.s.  mengenai pentingnya kelahiran  Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan penduduk Makkah.
  Kelahiran Nabi Besar Muhammad saw. di kalangan penduduk Mekkah tersebut benar-benar  sangat diharapkan oleh  Nabi Ibrahim a.s.   agar dapat  mengembalikan mereka  dari kemusyrikan  -- yaitu berupa penyembahan 360 buah patung yang  mengotori “Baitullah”     (Ka’bah),   yang telah diprediksi oleh Nabi Ibrahim a.s. akan terjadi di kalangan penduduk Mekkah (QS.14:36-42) --   Rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka itu  akan  membimbing mereka untuk  kembali kepada “millat” Nabi Ibrahim a.s.   – yakni  ajaran Tauhid Ilahi   yang dalam segala seginya telah disempurnakan  dalam  ajaran Islam (Al-Quran) yang diwahyukan Allah Swt. kepada oleh Nabi Besar Muhammad saw.,  karena  agama Islam (Al-Quran) merupakan agama dan Kitab suci terakhir dan  tersempurna (QS.5:4) bagi seluruh umat manusia, firman-Nya:
وَ اِذۡ یَرۡفَعُ  اِبۡرٰہٖمُ  الۡقَوَاعِدَ مِنَ الۡبَیۡتِ وَ اِسۡمٰعِیۡلُ ؕ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً  لَّکَ ۪ وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾٪
Dan ingatlah ketika Ibrahim dan Isma’il meninggikan   dasar-dasar yakni pondasi Rumah itu sambil mendoa:  رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ -- “Ya Rabb (Tuhan) kami, terimalah   amal ini dari kami, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mendengar, Maha Mengetahui. رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً  لَّکَ  --    “Ya Rabb (Tuhan) kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah  diri kepada Engkau, dan juga  dari antara keturunan kami jadikanlah satu umat yang berserah diri kepada Engkauوَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا  -- perlihatkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami dan terimalah taubat kami, اِنَّکَ اَنۡتَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ  -- sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.”   رَبَّنَا وَ ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ   -- Ya Rabb (Tuhan) kami, bangkit-kanlah aseorang rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri,  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ  -- yang akan membacakan Ayat-ayat Engkau kepada mereka, yang mengajarkan Kitab  dan hikmah  kepada mereka serta akan mensucikan mereka,  اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana” (Al-Baqarah [2]:128-130).

Pemindahan Kenabian dari Bani Israil  Kepada Bani Isma’il

      Dengan demikian jelaslah,  bahwa  pengutusan Nabi Besar Muhammad saw. serta diwahyukan-Nya Al-Quran (agama Islam) – sebagai agama dan Kitab suci terakhir  dan tersempurna (QS.5:4)  -- para  hakikatnya merupakan pengabulan doa Nabi Ibrahim a.s. yang dipanjatkan beliau a.s.  bersama dengan Nabi Isma’il a.s. yang merupakan leluhur Nabi Besar Muhammad saw..
      Doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut dipanjatkan secara khusus  ketika mendirikan (membangun) kembali Baitullah (Ka’bah),  karena beliau saw. mengetahui bahwa keturunan beliau dari Bani Ishaq a.s. yakni  Bani Israil a.s.  yang merupakan keturunan Nabi Ya’qub a.s.  akan berpaling dari “millat”  yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada  mereka, sehingga akhirnya  nikmat Allah Swt. berupa  silsilah kenabian dan kerajaan  akan dipindahkan dari kalangan Bani Israil kepada kalangan Bani Isma’il , dalam hal ini berupa pengutusan Nabi Besar Muhammad saw..
       Jadi, kembali lagi kepada pembahasan mengenai firman Allah Swt.  sebelumnya:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ  لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ  اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ  بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ  اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ؕ
Dan siapakah yang berpaling عَنۡ مِّلَّۃِ  اِبۡرٰہٖمَ    -- dari  millat (agama) Ibrahim  اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ   -- selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?  Dan  sungguh  Kami  benar-benar telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk orang-orang yang saleh. اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ  اَسۡلِمۡ  --   Ingatlah ketika Rabb-nya (Tuhan-nya) berfirman kepadanya: “Berserah dirilah”, قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ --  ia berkata:  Aku telah berserah diri kepada  Rabb (Tuhan) seluruh  alam.” وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ  بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ  --  Dan Ibrahim mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya’qub  seraya  berkata: یٰبَنِیَّ  اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ  -- “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu, فَلَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ  --  maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri (Al-Baqarah [2]:131-133).
       Selanjutnya Allah Swt. berfirman bahwa keturunan Nabi Ibrahim a.s. dari  Nabi Ishaq a.s.   yakni  keturunan Nabi Ya’qub a.s.  atau    Bani  Israil, mereka akan menyimpang dari “millat Nabi Ibrahim a.s.” yang diwariskan dan diamanatkan kepada mereka, firman-Nya: 
اَمۡ کُنۡتُمۡ  شُہَدَآءَ  اِذۡ حَضَرَ یَعۡقُوۡبَ الۡمَوۡتُ ۙ اِذۡ  قَالَ لِبَنِیۡہِ مَا تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِیۡ ؕ قَالُوۡا نَعۡبُدُ اِلٰہَکَ وَ اِلٰـہَ اٰبَآئِکَ اِبۡرٰہٖمَ  وَ  اِسۡمٰعِیۡلَ وَ  اِسۡحٰقَ  اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚۖ وَّ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اُمَّۃٌ قَدۡ خَلَتۡ ۚ لَہَا مَا کَسَبَتۡ وَ لَکُمۡ مَّا کَسَبۡتُمۡ ۚ وَ لَا تُسۡـَٔلُوۡنَ عَمَّا  کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Ataukah  kamu hadir  saat kematian menjelang Ya’qub ketika ia berkata kepada anak-anaknya: مَا تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِیۡ   --  “Apakah yang akan kamu sembah se-peninggalku?” قَالُوۡا نَعۡبُدُ اِلٰہَکَ وَ اِلٰـہَ اٰبَآئِکَ اِبۡرٰہٖمَ  وَ  اِسۡمٰعِیۡلَ وَ  اِسۡحٰقَ  اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚۖ -- Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhan eng-kau dan Tuhan bapak-bapak engkau:  Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Esaوَّ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ  --  dan hanya  kepada-Nya kami berserah  diri.” تِلۡکَ اُمَّۃٌ قَدۡ خَلَتۡ ۚ لَہَا مَا کَسَبَتۡ وَ لَکُمۡ مَّا کَسَبۡتُمۡ  -- Itulah umat yang telah berlalu, baginya apa yang mereka usahakan dan bagimu apa yang kamu usahakan, وَ لَا تُسۡـَٔلُوۡنَ عَمَّا  کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ  -- dan kamu tidak akan dimintai tanggungjawab mengenai apa yang senantiasa mereka kerjakan. (Al-Baqarah [2]:134-135).
      Nabi Isma’il a.s.   itu uwa (pakde - jw.) Nabi Ya’qub a.s., namun demikian di sini anak-anak Nabi Ya’qub a.s.  mencakupkan juga Nabi Isma’il a.s.  di antara “bapak-bapak” mereka, hal itu menunjukkan bahwa kata ab kadang-kadang berarti pula uwa (paman).  Anak-anak Nabi Ya’qub a.s.. — kaum Bani Isra’il — sangat menghormati Nabi Isma’il a.s..
      Sehubungan  dengan  perkataan Nabi Ya’qub a.s.   menjelang kewafatan beliau terhadap anak-keturunan beliau  mengenai pewarisan “millat” Nabi Ibrahim a.s. tersebut diisyaratkan juga dalam Bible:    
      “Pada waktu ayah kami Ya’qub meninggal dunia, beliau memanggil kepada duabelas putranya, dan berkata kepada mereka: Dengarlah akan perkataan bapakmu Israil” (Kejadian 49:2). “Apakah kamu masih mempunyai suatu keraguan dalam hatimu mengenai Yang Suci? Mubaraklah Dia”. Mereka berkata: “Dengarlah hai Israil, ayah kami, sebagaimana tiada keraguan di dalam hati Anda, demikian pula tiada dalam hati kami. Sebab Junjungan itu Tuhan kami dan Dia Tunggal.” (Mider Rabbah on Gen. par. 98 & on Deut. par.2). Bandingkan pula Targ. Jer. on Deut. 6:4.
      Kata anak-cucu di sini menunjuk kepada kedua belas suku Bani Israil yang masing-masing disebut menurut nama kedua belas putra Nabi Ya’qub a.s. — Rubin, Simeon, Levi, Yehuda, Isakhar, Zebulon,  Nabi Yusuf a.s., Benyamin, Dan, Naftali, Gad dan Asyer (Kejadian 35:23-26, 49: 28).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,   21 Januari 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar