Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Makna “Millat”
Nabi Ibrahim a.s. & Penyempurnaan “Millat” Nabi Ibrahim a.s. oleh Allah Swt. Melalui Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw.
Bab 18
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai makna perumpamaan-perumpamaan
dan tamsilan-tamsilan mengenai gambaran “surga” dalam QS.2:26 --
yang digambarkan sebagai جَنّٰتٍ
تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ -- “kebun-kebun yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai -- guna melukiskan mendalamnya arti yang tidak dapat diungkapkan sebaik-baiknya dengan jalan
lain.
Dalam hal-hal keruhanian dikemukakannya perumpamaan-perumpamaan
dan tamsilan-tamsilan tersebut
memberikan satu-satunya cara untuk
dapat menyampaikan buah pikiran
dengan baik, firman-Nya:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ
اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ بِمَا
کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa
mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan. (As-Sajdah
[32]:18).
Kiasan-kiasan Dalam Al-Quran Mengandung Makna dan Falsafah yang Sangat Dalam &
Ajaran Tauhid Dalam Suhuf Nabi Ibrahim a.s.
Waktu Nabi
Besar Muhammad saw. menggambarkan
bentuk dan sifat nikmat dan kesenangan
surga, beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga itu) dan tiada pula telinga
pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).
Hadits itu menunjukkan bahwa berbagai
nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan
bersifat kebendaan. Nikmat-nikmat itu akan merupakan penjelmaan-keruhanian dari perbuatan dan tingkah-laku baik -- yakni
iman dan amal shaleh -- yang telah
dikerjakan orang-orang bertakwa di
alam dunia ini.
Kata-kata yang dipergunakan untuk
menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam
Al-Quran telah dipakai hanya dalam
arti kiasan. Ayat tersebut pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi yang akan dilimpahkan kepada orang-orang beriman yang bertakwa di alam akhirat bahkan jauh lebih
baik dan jauh lebih berlimpah-limpah
dari yang dikhayalkan atau
dibayangkan. Nikmat-nikmat itu akan
berada jauh di luar batas jangkauan daya
cipta manusia, sebagaimana firman-Nya:
قَدۡ اَفۡلَحَ
مَنۡ تَزَکّٰی ﴿ۙ﴾ وَ ذَکَرَ اسۡمَ رَبِّہٖ فَصَلّٰی ﴿ؕ﴾ بَلۡ تُؤۡثِرُوۡنَ الۡحَیٰوۃَ الدُّنۡیَا ﴿۫ۖ﴾ وَ الۡاٰخِرَۃُ
خَیۡرٌ وَّ اَبۡقٰی ﴿ؕ﴾ اِنَّ ہٰذَا
لَفِی الصُّحُفِ الۡاُوۡلٰی ﴿ۙ﴾ صُحُفِ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ مُوۡسٰی ﴿٪﴾
Sungguh berbahagialah
orang yang mensucikan diri, dan mengingat nama Rabb-nya (Tuhan-nya)
lalu mendirikan shalat. بَلۡ
تُؤۡثِرُوۡنَ الۡحَیٰوۃَ
الدُّنۡیَا -- Tetapi kamu
mendahulukan kehidupan dunia, وَ الۡاٰخِرَۃُ خَیۡرٌ
وَّ اَبۡقٰی -- padahal akhirat itu lebih baik
dan lebih kekal. اِنَّ ہٰذَا لَفِی الصُّحُفِ الۡاُوۡلٰی -- Sesungguhnya inilah yang diajarkan dalam Kitab-kitab terdahulu, صُحُفِ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ مُوۡسٰی -- Kitab-kitab Ibrahim dan Musa (Al-A’lā [87]:15-20).
Oleh karena asas-asas pokok mengenai tiap-tiap agama yang bersumber dari Allah Swt. itu
sama, maka ajaran yang tersebut dalam ayat-ayat yang mendahuluinya terdapat
pula dalam Kitab-kitab suci Nabi Ibrahim
a.s. dan Nabi Musa a.s..
Ayat َ ہٰذَا لَفِی الصُّحُفِ
الۡاُوۡلٰی -- “Sesungguhnya
inilah yang diajarkan dalam Kitab-kitab terdahulu, صُحُفِ اِبۡرٰہِیۡمَ
وَ مُوۡسٰی
-- Kitab-kitab Ibrahim dan Musa” dapat pula berarti bahwa nubuatan mengenai kemunculan seorang nabi besar, yang akan memberikan
kepada dunia Amanat Ilahi terakhir
serta memberikan ajaran yang paling sempurna -- yakni Nabi Besar Muhammad saw. -- terdapat dalam Kitab-kitab suci Nabi
Ibrahim a.s. dan Nabi Musa a.s. (Ulangan
18:18 -19 dan 33:2).
Makna
“Millat” Nabi Ibrahim a.s. dan Makna Kata Safiha
Ajaran
atau millat -- yakni sikap beragama -- Nabi Ibrahim a.s. adalah Tauhid Ilahi yang menentang kepercayaan yang dianut oleh ayah
dan kaum beliau yang berkecimpung
dalam kemusyrikan, baik berupa penyembahan patung-patung mau pun menyembah benda-benda
langit (QS.2:259; QS.6:75-84; QS.19:42-51; QS.21:52-74; QS.26:71-90).
Ajaran
atau millat -- yakni sikap
beragama -- Nabi Ibrahim a.s itulah yang beliau wariskan kepada keturunan semua keturunan beliau, baik dari kalangan Bani Ishaq mau pun Bani Isma’il, firman-Nya:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ
اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی
الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ
لَہٗ رَبُّہٗۤ اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ؕ
Dan siapakah yang berpaling عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ -- dari millat
(agama) Ibrahim اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ -- selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?
Dan sungguh Kami benar-benar telah memilihnya di dunia dan
sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk
orang-orang yang saleh. اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ اَسۡلِمۡ -- Ingatlah
ketika Rabb-nya (Tuhan-nya)
berfirman kepadanya: “Berserah dirilah”,
قَالَ
اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- ia berkata: ”Aku telah berserah diri kepada Rabb
(Tuhan) seluruh alam.” وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ -- Dan Ibrahim
mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya
dan demikian pula Ya’qub seraya
berkata: یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ -- “Hai
anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu,
فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ -- maka janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan berserah diri” (Al-Baqarah [2]:131-133).
Sehubungan dengan kata safiha
dalam ayat: وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ -- “Dan
siapakah yang berpaling عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ -- dari millat
(agama) Ibrahim اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ -- selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?”
Berbagai bentuk dari kata safiha, safaha
dan safuha mempunyai arti yang berbeda, safiha berarti: ia jahil, bodoh atau kurang akal.
Jika kata itu dipakai bersama
dengan nafsahu, seolah-olah sebagai pelengkapnya seperti dalam ayat ini: مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ -- kata itu tidak sungguh-sungguh menjadi
transitif (berpelengkap), hanya nampaknya saja demikian (Lisan-ul-‘Arab dan Al-Mufradat). Kata-kata مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ itu berarti juga “yang
telah membinasakan jiwanya sendiri.”
Makna kata Muslimīn
Perlu diketahui bahwa penggunaan kata muslim (muslimīn) dalam berbagai ayat Al-Quran hendaknya jangan diartikan orang-orang
Islam atau orang-orang yang beragama Islam, melainkan maknanya adalah
“orang-orang yang benar-benar menyerahkan
dirinya sepenuhnya kepada Allah Swt.” (QS.3:103), sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. dan seluruh rasul
Allah, terutama Nabi Besar Muhammad
saw., mengenai hal itu berikut firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا
قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا
ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اِنَّ
صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ
مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ
وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ
الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku)
kepada jalan lurus, دِیۡنًا قِیَمًا -- agama
yang teguh, مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا -- agama
Ibrahim yang lurus وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ -- dan dia bukanlah dari orang-orang
musyrik.” قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku,
kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan)
seluruh
alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ -- Tidak
ada sekutu bagi-Nya, وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- untuk itulah aku diperintahkan, وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ
-- dan akulah orang pertama yang berserah
diri (Al-An’am [6]:162-164).
Hanīf
dalam ayat دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا berarti: (1) orang yang berpaling dari kesesatan lalu memilih petunjuk (Al-Mufradat); (2) orang yang dengan tetapnya mengikuti agama yang benar dan tidak pernah menyimpang darinya; (3) orang yang hatinya condong kepada Islam
dengan sempurna dan tetap teguh di dalamnya (Lexicon Lane); (4) orang yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. (Al-Aqrab-ul-Mawarid);
(5) orang yang beriman kepada semua nabi (Tafsir
Ibnu Katsir).
Ayat selanjutnya menjelaskan arti muslimīn
yakni: قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ
رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku,
dan kematianku
hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan)
seluruh
alam; لَا شَرِیۡکَ لَہٗ -- Tidak
ada sekutu bagi-Nya, وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ -- untuk itulah aku diperintahkan, وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ
-- dan akulah orang pertama yang berserah
diri.”
Makna ayat
tersebut adalah bahwa shalat, korban, hidup, dan mati meliputi seluruh bidang amal perbuatan manusia; dan Nabi Besar
Muhammad saw. diperintahkan
Allah Swt. untuk menyatakan bahwa semua segi
kehidupan di dunia ini seutuhnya dipersembahkan oleh beliau saw.
kepada Allah Swt.; semua amal ibadah beliau saw. dipersembahkan
kepada Allah Swt.; semua pengorbanan dilakukan beliau saw. untuk Allah Swt.; segala penghidupan beliau saw. dihibahkan
beliau untuk berbakti kepada-Nya; bahkan jika di jalan agama Nabi Besar Muhammad saw. mencari maut (kematian), itu pun beliau saw. lakukan semata-mata guna
meraih keridhaan-Nya.
Dengan demikian makna ayat: فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ -- maka janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan berserah diri,” (QS.2:133), bahwa
karena tidak ada saat ditentukan
untuk mati, atau tidak ada seorang
pun yang mengetahui kapan saat terjadi kematiannya, maka orang hendaknya setiap saat menjalani kehidupannya dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt..
Ayat ini dapat pula berarti bahwa orang beriman sejati hendaknya begitu sepenuhnya berserah diri kepada Kehendak
Ilahi dan meraih keridhaan-Nya
begitu sempurna sehingga Allah Swt. dengan kemurahan-Nya (rahmat-Nya) yang tidak terbatas akan mengatur
demikian rupa sehingga kematian akan
datang kepadanya pada saat ketika ia berserah diri sepenuhnya
kepada kehendak-Nya. Contoh paling
sempurna mengenai ke-Muslim-an tersebut adalah yang diamalkan (disunnahkan) oleh
Nabi Besar Muhammad saw..
Pemahaman Keliru
Mengenai “Millat Nabi Ibrahim” & Doa Khusus Nabi
Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il a.s.
Oleh karena
itu jika kemudian muncul pemahaman keliru yang menyederhanakan kesempurnaan ajaran agama Islam (Al-Quran) -- dalam
hal ini menyederhanakan Rukun Iman dan Rukun Islam -- yang bertentangan dengan ajaran
dan
amalan (disunnahkan) oleh Nabi Besar
Muhammad saw. -- dengan mengatasnamakan “kembali kepada millat Nabi Ibrahim a.s.“, maka pemahaman
keliru seperti itu sangat bertentangan dengan doa Nabi Ibrahim a.s.
mengenai pentingnya kelahiran Nabi
Besar Muhammad saw. di kalangan penduduk
Makkah.
Kelahiran Nabi
Besar Muhammad saw. di kalangan penduduk Mekkah tersebut benar-benar
sangat diharapkan oleh Nabi Ibrahim
a.s. agar dapat
mengembalikan mereka dari kemusyrikan -- yaitu berupa penyembahan 360 buah patung
yang mengotori “Baitullah” (Ka’bah),
yang telah diprediksi oleh Nabi Ibrahim
a.s. akan terjadi di kalangan
penduduk Mekkah (QS.14:36-42) -- Rasul Allah yang dibangkitkan di
kalangan mereka itu akan membimbing
mereka untuk kembali kepada “millat”
Nabi Ibrahim a.s. – yakni ajaran Tauhid
Ilahi yang dalam segala seginya telah disempurnakan dalam ajaran Islam (Al-Quran) yang diwahyukan Allah Swt. kepada oleh Nabi
Besar Muhammad saw., karena agama Islam
(Al-Quran) merupakan agama dan Kitab suci terakhir dan tersempurna
(QS.5:4) bagi seluruh umat manusia,
firman-Nya:
وَ اِذۡ یَرۡفَعُ اِبۡرٰہٖمُ الۡقَوَاعِدَ مِنَ الۡبَیۡتِ وَ اِسۡمٰعِیۡلُ ؕ رَبَّنَا
تَقَبَّلۡ مِنَّا ؕ اِنَّکَ
اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ
اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً لَّکَ ۪ وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا ۚ اِنَّکَ
اَنۡتَ
التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾ رَبَّنَا وَ
ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ
الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ ؕ اِنَّکَ
اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾٪
Dan ingatlah
ketika Ibrahim dan Isma’il meninggikan dasar-dasar yakni pondasi Rumah itu sambil mendoa: رَبَّنَا تَقَبَّلۡ
مِنَّا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ -- “Ya Rabb (Tuhan) kami, terimalah amal ini dari kami, sesungguhnya Engkau
benar-benar Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. رَبَّنَا وَ اجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَکَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِنَاۤ اُمَّۃً مُّسۡلِمَۃً لَّکَ -- “Ya Rabb (Tuhan) kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada Engkau, dan juga dari
antara keturunan kami jadikanlah satu umat yang berserah diri kepada Engkau, وَ اَرِنَا مَنَاسِکَنَا وَ تُبۡ عَلَیۡنَا -- perlihatkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami dan terimalah taubat kami, اِنَّکَ اَنۡتَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ -- sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Penerima Taubat,
Maha Penyayang.” رَبَّنَا وَ ابۡعَثۡ فِیۡہِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ -- Ya
Rabb (Tuhan) kami, bangkit-kanlah aseorang
rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan
mereka sendiri, یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِکَ وَ یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ وَ یُزَکِّیۡہِمۡ -- yang akan membacakan Ayat-ayat Engkau kepada mereka, yang mengajarkan
Kitab dan hikmah kepada mereka serta akan mensucikan mereka, اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ -- sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana” (Al-Baqarah [2]:128-130).
Pemindahan Kenabian dari Bani Israil Kepada Bani
Isma’il
Dengan demikian jelaslah, bahwa pengutusan
Nabi Besar Muhammad saw. serta diwahyukan-Nya Al-Quran (agama Islam) – sebagai agama dan Kitab suci
terakhir dan tersempurna (QS.5:4) -- para
hakikatnya merupakan pengabulan
doa Nabi Ibrahim a.s. yang
dipanjatkan beliau a.s. bersama dengan Nabi Isma’il a.s. yang merupakan leluhur Nabi Besar Muhammad saw..
Doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut
dipanjatkan secara khusus ketika
mendirikan (membangun) kembali Baitullah
(Ka’bah), karena beliau saw. mengetahui bahwa keturunan beliau dari Bani
Ishaq a.s. yakni Bani Israil a.s. yang merupakan keturunan Nabi Ya’qub a.s. akan
berpaling dari “millat” yang diwariskan
oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada mereka, sehingga akhirnya nikmat
Allah Swt. berupa silsilah kenabian dan kerajaan akan dipindahkan dari kalangan Bani Israil kepada kalangan Bani Isma’il , dalam hal ini berupa
pengutusan Nabi Besar Muhammad saw..
Jadi, kembali lagi kepada pembahasan mengenai
firman Allah Swt. sebelumnya:
وَ مَنۡ یَّرۡغَبُ عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ ؕ وَ لَقَدِ
اصۡطَفَیۡنٰہُ فِی
الدُّنۡیَا ۚ وَ اِنَّہٗ فِی الۡاٰخِرَۃِ لَمِنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ اِذۡ قَالَ
لَہٗ رَبُّہٗۤ اَسۡلِمۡ ۙ قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ؕ
Dan siapakah yang berpaling عَنۡ مِّلَّۃِ اِبۡرٰہٖمَ -- dari millat
(agama) Ibrahim اِلَّا مَنۡ سَفِہَ نَفۡسَہٗ -- selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?
Dan sungguh Kami benar-benar telah memilihnya di dunia dan
sesungguhnya di akhirat pun dia termasuk
orang-orang yang saleh. اِذۡ قَالَ لَہٗ رَبُّہٗۤ اَسۡلِمۡ -- Ingatlah
ketika Rabb-nya (Tuhan-nya)
berfirman kepadanya: “Berserah dirilah”,
قَالَ
اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- ia berkata: ”Aku telah berserah diri kepada Rabb
(Tuhan) seluruh alam.” وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ -- Dan Ibrahim
mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya
dan demikian pula Ya’qub seraya
berkata: یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ -- “Hai
anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu,
فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ -- maka janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan berserah diri” (Al-Baqarah [2]:131-133).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman bahwa keturunan Nabi Ibrahim a.s. dari Nabi
Ishaq a.s. yakni keturunan Nabi
Ya’qub a.s. atau Bani Israil, mereka akan menyimpang dari “millat Nabi
Ibrahim a.s.” yang diwariskan dan diamanatkan
kepada mereka, firman-Nya:
اَمۡ کُنۡتُمۡ شُہَدَآءَ اِذۡ حَضَرَ یَعۡقُوۡبَ
الۡمَوۡتُ ۙ اِذۡ قَالَ لِبَنِیۡہِ مَا
تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِیۡ ؕ قَالُوۡا نَعۡبُدُ
اِلٰہَکَ وَ اِلٰـہَ اٰبَآئِکَ اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚۖ وَّ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ تِلۡکَ اُمَّۃٌ قَدۡ
خَلَتۡ ۚ لَہَا مَا
کَسَبَتۡ وَ لَکُمۡ مَّا
کَسَبۡتُمۡ ۚ وَ لَا
تُسۡـَٔلُوۡنَ
عَمَّا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Ataukah kamu
hadir saat kematian menjelang Ya’qub ketika ia berkata kepada anak-anaknya: مَا تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِیۡ -- “Apakah yang akan kamu sembah se-peninggalku?” قَالُوۡا نَعۡبُدُ
اِلٰہَکَ وَ اِلٰـہَ اٰبَآئِکَ اِبۡرٰہٖمَ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ اِسۡحٰقَ اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚۖ -- Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhan eng-kau dan Tuhan bapak-bapak engkau: Ibrahim,
Isma’il, dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Esa, وَّ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ -- dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” تِلۡکَ اُمَّۃٌ قَدۡ خَلَتۡ ۚ لَہَا مَا
کَسَبَتۡ وَ لَکُمۡ مَّا کَسَبۡتُمۡ -- Itulah umat yang telah berlalu, baginya apa yang mereka usahakan dan bagimu apa
yang kamu usahakan, وَ لَا تُسۡـَٔلُوۡنَ عَمَّا
کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ -- dan
kamu tidak akan dimintai tanggungjawab
mengenai apa yang senantiasa mereka
kerjakan. (Al-Baqarah [2]:134-135).
Nabi Isma’il a.s. itu uwa (pakde - jw.) Nabi Ya’qub a.s.,
namun demikian di sini anak-anak Nabi Ya’qub a.s. mencakupkan juga Nabi Isma’il a.s. di antara “bapak-bapak” mereka, hal itu menunjukkan bahwa kata ab
kadang-kadang berarti pula uwa (paman).
Anak-anak Nabi Ya’qub a.s.. — kaum Bani Isra’il — sangat menghormati Nabi Isma’il a.s..
Sehubungan dengan
perkataan Nabi Ya’qub a.s.
menjelang kewafatan beliau terhadap anak-keturunan beliau mengenai pewarisan “millat” Nabi Ibrahim a.s. tersebut diisyaratkan juga dalam Bible:
“Pada waktu ayah kami Ya’qub meninggal dunia,
beliau memanggil kepada duabelas putranya, dan berkata kepada mereka: Dengarlah
akan perkataan bapakmu Israil” (Kejadian 49:2). “Apakah kamu masih mempunyai suatu keraguan dalam hatimu mengenai Yang
Suci? Mubaraklah Dia”. Mereka
berkata: “Dengarlah hai Israil, ayah
kami, sebagaimana tiada keraguan di
dalam hati Anda, demikian pula tiada
dalam hati kami. Sebab Junjungan
itu Tuhan kami dan Dia Tunggal.” (Mider Rabbah on Gen. par. 98 & on Deut.
par.2). Bandingkan pula Targ. Jer. on
Deut. 6:4.
Kata anak-cucu di sini menunjuk kepada kedua belas suku Bani Israil yang
masing-masing disebut menurut nama kedua belas putra Nabi Ya’qub a.s. —
Rubin, Simeon, Levi, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Nabi Yusuf a.s., Benyamin, Dan, Naftali, Gad
dan Asyer (Kejadian 35:23-26,
49: 28).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,
21 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar