Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya
”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)
Pembukaan Pintu “Mutiara Hikmah Intelektual” Melalui Al-Quran
& Makna “Beriman Kepada yang Gaib” dan Hubungannya dengan Rukun Iman
Bab 13
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam
bagian akhir Bab sebelumnya telah
dijelaskan mengenai hubungan “ulil albab” (orang-orang yang
mempergunakan akal – QS.3:191-195) dan ‘ulama
(orang-orang berilmu) yang hakiki (QS.35:28-29) dengan sabda Masih
Mau’ud a.s. tentang berbagai mukjizat
eksternal Al-Quran, antara lain
beliau bersabda mengenai pembukaan “pintu nalar” (logika):
“Kitab
Suci Al-Quran membukakan 3 pintu bagi pemahaman kebenaran. Pintu pertama, adalah pintu nalar atau logika. Daya nalar manusia secara sempurna telah dikembangkan untuk mengenali eksistensi Tuhan
dan Sifat-sifat-Nya dalam Penciptaan, Ke-Esa-an, Kekuasaan, Rahmat dan Sifat tegak dengan Dzat-Nya Sendiri (Al-Qayyum).
Dalam penggunaan daya nalar
tersebut ikut berperan logika, fisika, medikal, astronomi, matematika, filosofi dan metoda
argumentasi sehingga masalah-masalah
yang sulit telah bisa dipecahkan.”
(Surma Chasm Arya, Qadian,
1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. II, hlm.
72, London, 1984).
Pembukaan Pintu “Mutiara
Hikmah Intelektual”
Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Pintu
kedua pemahaman Ilahi yang dibuka
lebar oleh Al-Quran adalah mutiara
hikmah intelektual yang karena sifatnya
yang luar biasa bisa dianggap
sebagai mukjizat intelektual.
Bentuknya ada berbagai macam:
Pertama, pengetahuan mengenai wawasan
keimanan, dengan pengertian bahwa semua wawasan luhur yang berkaitan dengan keimanan dan semua kebenaran
sucinya serta mutiara hikmah
pengetahuan tentang Ilahi yang
dibutuhkan di dunia guna penyempurnaan
batin manusia, semuanya ada tersedia
di dalam Al-Quran.
Begitu juga dengan semua keburukan batin yang merangsang munculnya keinginan
melakukan dosa dan nafsu yang
melambarinya serta cara-cara pensucian
batin berikut semua tanda-tanda,
karakteristik dan sifat-sifat dari akhlak
luhur. Tidak ada seorang pun yang akan mampu
mengemukakan kebenaran, hikmah Ke-Ilahi-an, cara-cara mencapai
Tuhan, bentuk atau disiplin suci
ibadah Ilahi lainnya yang belum
termaktub di dalam Kitab Suci
Al-Quran.
Kedua, di dalamnya juga terkandung pengetahuan
mengenai tentang sifat-sifat batin
dan tentang psikologi yang terdapat
secara komprehensif dalam firman ajaib ini, sehingga mereka yang mau berfikir akan sampai pada kesimpulan
bahwa Kitab ini bukanlah hasil kerja siapa pun kecuali Allah Yang Maha Perkasa.
Ketiga, di dalamnya terkandung ilmu
mengenai awal dunia, mengenai akhirat dan hal-hal tersembunyi lainnya yang merupakan bagian pokok dari firman
Allah Yang Maha Mengetahui tentang hal-hal
yang tersembunyi sehingga hati
manusia akan tenteram
jadinya. Semua pengetahuan demikian akan bisa ditemui banyak sekali dan secara
rinci di dalam Kitab Suci Al-Quran
sehingga tidak ada Kitab Samawi
lainnya yang akan mampu menyamainya.
Disamping itu Al-Quran juga
mengungkapkan pengetahuan keimanan
dari subyek lainnya dengan cara yang indah. Dalam hal ini, Kitab tersebut tetap memperhatikan logika, fisika, filosofi, astronomi, psikologi, medikal, matematika dan pengetahuan tentang komposisi
yang digunakan untuk menguraikan dan
menjelaskan pengetahuan tentang keimanan, guna memudahkan pemahamannya, menarik konklusi darinya, atau untuk
menyangkal keberatan dari
orang-orang yang bodoh.
Dengan kata lain, semua subyek
ini dikemukakan Kitab Suci Al-Quran
bagi kepentingan keimanan manusia
dengan cara sedemikian rupa, sehingga
setiap bentuk intelektualitas manusia
akan dapat menyerap kemaslahatannya.” (Surma Chasm Arya, Qadian,
1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. II, hlm.
73-75, London, 1984).
Makna “BeriIman Kepada yang Gaib”
Sehubungan dengan obyek
pembahasan yang dimaksud oleh Masih
Mau’ud a.s. yang berkenaan dengan
masalah keimanan beliau bersabda:
“Pertama, pengetahuan mengenai
wawasan keimanan, dengan pengertian
bahwa semua wawasan luhur yang
berkaitan dengan keimanan dan semua kebenaran sucinya serta mutiara hikmah pengetahuan tentang Ilahi yang dibutuhkan di dunia guna penyempurnaan batin manusia, semuanya
ada tersedia di dalam Al-Quran.”
Masalah keimanan dalam Al-Quran diringkaskan
menjadi 6 topik dalam Rukum Iman yakni: (1) Beriman kepada Allah Swt., (2) Beriman
kepada Para Malaikat Allah; (3) Beriman kepada Kitab-kitab Allah, (4) Beriman
kepada Rasul-rasul Allah, (5) Beriman kepada Hari Kiamat (6) Beriman
kepada qadha dan qadar.
Mengenai keenam jenis keimanan dalam Rukun
Iman tersebut erat kaitannya dengan
hal-hal yang bersifat gaib -- terutama
keimanan kepada Allah Swt., Wujud paling gaib dari semua yang gaib, dan bahkan Allah Swt. secara Dzat akan tetap merupakan “Wujud yang Maha Gaib” (QS.6:104) --
Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ
رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Alif Lām Mīm. Inilah
Kitab yang sempurna itu, tidak
ada keraguan di dalamnya, petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, dan mendirikan
shalat, dan mereka membelanjakan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka. Dan orang-orang
yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga
kepada apa yang telah diturunkan sebelum
engkau dan kepada akhirat pun mereka
yakin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka
itulah orang-orang
yang berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
Al-ghaib
berarti: sesuatu yang tersembunyi atau tidak nampak; sesuatu yang tidak
terlihat, tidak hadir, atau jauh sekali (Al-Aqrab-ul-Mawarid).
Allah Swt., para malaikat
dan hari kiamat, semuanya al-ghaib. Lagi pula, kata
yang digunakan dalam Al-Quran tersebut tidak berarti hal-hal yang khayali dan tidak
nyata, melainkan hal-hal yang nyata dan telah dibenarkan adanya meskipun
tidak nampak (QS.32:7; QS.49:19).
Oleh karena itu keliru sekali menyangka —
seperti dikira oleh beberapa kritikus
Al-Quran dari Barat — bahwa Islam
memaksakan kepada para pengikutnya beberapa kepercayaan aneh yang tidak dapat dipahami dan mengajak mereka mempercayainya dengan membabi buta.
Kata gaib
itu berarti hal-hal yang meskipun di
luar jangkauan indera manusia tetapi dapat
dibuktikan oleh akal atau pengalaman. Sebab yang tidak tertangkap oleh pancaindera tidak senantiasa tak dapat diterima oleh akal. Tidak ada dari
hal-hal gaib yang orang Islam diminta agar beriman kepadanya itu di luar jangkauan akal. Banyak
benda-benda di dunia yang meskipun tidak
nampak tetapi terbukti adanya dengan keterangan-keterangan
dan dalil-dalil yang kuat dan tiada
seorang pun dapat menolak kehadiran
benda-benda yang “gaib” itu.
Dalam
ayat-ayat lainnya Allah Swt. menjelaskan mengenai makna “beriman kepada yang gaib” tersebut, firman-Nya:
اٰمَنَ
الرَّسُوۡلُ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡہِ مِنۡ رَّبِّہٖ وَ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ؕ کُلٌّ اٰمَنَ
بِاللّٰہِ وَ مَلٰٓئِکَتِہٖ وَ کُتُبِہٖ وَ رُسُلِہٖ ۟ لَا نُفَرِّقُ
بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ ۟ وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا
وَ اَطَعۡنَا ٭۫
غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
Rasul ini beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari
Rabb-nya (Tuhan-nya), dan begitu pula orang-orang
beriman, semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ -- mereka berkata: ”Kami tidak membeda-bedakan
seorang pun dari antara Rasul-rasul-Nya”,
وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ -- dan mereka berkata: “Kami telah mendengar dan kami
taat. Kami mohon ampunan Engkau, ya Rabb (Tuhan) kami, dan kepada Engkau-lah
kami kembali” (Al-Baqarah [2]:286).
Allah
Swt., Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya merupakan “hal-hal yang gaib”. Terhadap hal tersebut mungkin timbul
pertanyaan: Allah
Swt. dan para malaikat memang “gaib” sebab sampai kapan pun “keberadaan” (eksistensi) keduanya tidak dapat dilihat atau dipantau (dimonitor) oleh indera-indra jasmani manusia atau
oleh peralatan pemindai
(monitor/perekam) canggih apa pun,
tetapi bagaimana dengan Kitab suci
atau Rasul Allah, bukankah keduanya memiliki wujud yang nyata?
Kegaiban Wahyu Ilahi dan Kenabian
(Kerasulan) & Pendustaan Terhadap
para Rasul Allah
Semua jenis kenabian
(kerasulan) dan wahyu Ilahi –
termasuk wahyu syariat
seperti wahyu Al-Quran – pun merupakan hal yang gaib, karena
tidak ada wahyu syariat yang diwahyukan kepada Rasul
Allah berupa lembaran-lembaran kertas atau berupa sebuah buku. Itulah sebabnya mengapa
semua rasul Allah yang diutus
senantiasa didustakan dan ditentang keras oleh para pemuka
kaumnya, padahal misi utama para
Rasul Allah -- terutama Nabi besar
Muhammad saw. (QS.15:12; QS.36:31; QS.43:8-9; QS.51:53-55) -- adalah menyeru
kepada Tauhid Hakiki (QS.10:48; QS.13:8; QS.16:37; QS.35:25; QS.41:7-9;
QS.98:1-9).
Demikian pula halnya dengan wahyu syariat – yang setelah diwahyukan
Allah Swt. kepada para Rasul Allah pembawa syariat kemudian ditulis
menjadi shuhuf (lembaran-lembaran – QS.87:1-20) yang disebut Kitab suci
-- Kitab-kitab
suci itu pun pada hakikatnya merupakan hal yang “gaib”.
Mengenai hal tersebut firman Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ لَوۡ نَزَّلۡنَا عَلَیۡکَ کِتٰبًا فِیۡ قِرۡطَاسٍ فَلَمَسُوۡہُ
بِاَیۡدِیۡہِمۡ لَقَالَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡۤا اِنۡ ہٰذَاۤ اِلَّا سِحۡرٌ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Dan seandainya
pun Kami menurunkan kepada engkau suatu Kitab yang ditulis di
atas kertas lalu mereka merabanya
dengan tangannya, niscaya
orang-orang kafir
akan berkata: اِنۡ ہٰذَاۤ اِلَّا سِحۡرٌ مُّبِیۡنٌ -- “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (Al-An’ām
[6]:8).
Jadi, menurut
Allah Swt. seandainya pun wahyu-wahyu
syariat yang diwahyukan Allah
Swt. kepada Rasul Allah pembawa syariat
benar-benar berupa lembaran-lembaran kertas
(buku) yang dapat diraba oleh tangan manusia,
tetapi mereka tetap saja tidak akan mempercayainya
atau tidak akan mengimaninya
sebagai “wahyu Ilahi”, apa lagi memang dalam kenyataannya semua jenis wahyu
Ilahi merupakan hal yang gaib.
Itulah sebabnya ketika Allah Swt. mengutus para Rasul Allah tidak semua manusia beriman kepada pendakwaan para rasul Allah tersebut
-- termasuk kepada pendakwaan
Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran
-- sebab hanya
orang-orang yang “mata ruhaninya”
berfungsi dengan baik sajalah yang beriman
kepada para rasul Allah yang
kedatangannya dijanjikan kepada mereka
(QS.7:35-37), sedangkan mayoritas
manusia menjadi penentang sengit para
Rasul Allah.
Sehubungan dengan kegaiban wahyu
Ilahi dan kegaiban kenabian para rasul
Allah tersebut, berikut adalah firman
Allah Swt. mengenai Nabi Nuh a.s.:
قَالَ
یٰقَوۡمِ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کُنۡتُ عَلٰی بَیِّنَۃٍ مِّنۡ رَّبِّیۡ وَ اٰتٰىنِیۡ رَحۡمَۃً مِّنۡ عِنۡدِہٖ
فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ ؕ اَنُلۡزِمُکُمُوۡہَا وَ اَنۡتُمۡ لَہَا کٰرِہُوۡنَ ﴿﴾
Ia berkata:
“Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu, jika aku berdiri atas suatu Tanda yang nyata dari Rabb-ku (Tuhan-ku), dan Dia
telah menganugerahkan kepadaku rahmat
dari sisi-Nya فَعُمِّیَتۡ
عَلَیۡکُمۡ -- tetapi itu
tetap saja tidak jelas bagi kamu? Apakah kami
akan memaksakannya kepada kamu, sedangkan
kamu tidak menyukainya? (Hūd [11]:29).
Kemudian Allah Swt. berfirman mengenai
penolakan kaum Nabi Hud a.s. terhadap pendakwaan kenabian beliau:
قَالُوۡا یٰہُوۡدُ مَا جِئۡتَنَا بِبَیِّنَۃٍ وَّ مَا نَحۡنُ
بِتَارِکِیۡۤ اٰلِہَتِنَا عَنۡ قَوۡلِکَ
وَ مَا نَحۡنُ لَکَ بِمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Mereka
berkata: “Hai Hud, engkau sama
sekali tidak mendatangkan kepada kami
suatu bukti yang nyata, وَّ مَا نَحۡنُ
بِتَارِکِیۡۤ اٰلِہَتِنَا عَنۡ قَوۡلِکَ -- dan kami tidak akan meninggalkan tuhan-tuhan
kami hanya karena perkataan engkau
وَ مَا نَحۡنُ لَکَ
بِمُؤۡمِنِیۡنَ -- dan
sama sekali ka-mi tidak percaya
kepada engkau, (Hūd [11]:54).
Selanjutnya firman Allah Swt. mengenai
penolakan kaum Nabi Shalih
a.s. terhadap pendakwaan kenabian
beliau:
قَالُوۡا
یٰصٰلِحُ قَدۡ کُنۡتَ فِیۡنَا مَرۡجُوًّا
قَبۡلَ ہٰذَاۤ اَتَنۡہٰنَاۤ اَنۡ
نَّعۡبُدَ مَا یَعۡبُدُ اٰبَآؤُنَا وَ اِنَّنَا لَفِیۡ شَکٍّ مِّمَّا
تَدۡعُوۡنَاۤ اِلَیۡہِ مُرِیۡبٍ ﴿﴾
Mereka
berkata: “Hai Shalih, sungguh engkau sebelum ini adalah seorang di antara
kami yang menjadi harapan kami.
Apakah engkau melarang kami menyembah
apa yang bapak-bapak kami sembah? وَ اِنَّنَا لَفِیۡ
شَکٍّ مِّمَّا تَدۡعُوۡنَاۤ اِلَیۡہِ مُرِیۡبٍ -- Dan sesungguhnya
kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan mengenai apa yang engkau serukan kepada kami.” (Hūd
[11]:63).
Bahkan
para pemuka kaum Nabi Shalih
a.s. tersebut berupaya menimbulkan keraguan di kalangan orang-orang yang beriman kepada kenabian Nabi Shaleh a.s., firman-Nya:
قَالَ
الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ لِلَّذِیۡنَ اسۡتُضۡعِفُوۡا
لِمَنۡ اٰمَنَ مِنۡہُمۡ اَتَعۡلَمُوۡنَ اَنَّ
صٰلِحًا مُّرۡسَلٌ مِّنۡ رَّبِّہٖ ؕ قَالُوۡۤا اِنَّا بِمَاۤ اُرۡسِلَ بِہٖ مُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ قَالَ الَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡۤا اِنَّا بِالَّذِیۡۤ
اٰمَنۡتُمۡ بِہٖ کٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ فَعَقَرُوا النَّاقَۃَ وَ عَتَوۡا عَنۡ اَمۡرِ
رَبِّہِمۡ وَ قَالُوۡا یٰصٰلِحُ ائۡتِنَا بِمَا تَعِدُنَاۤ اِنۡ
کُنۡتَ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾ فَاَخَذَتۡہُمُ الرَّجۡفَۃُ فَاَصۡبَحُوۡا فِیۡ دَارِہِمۡ
جٰثِمِیۡنَ ﴿﴾
Pemuka-pemuka kaumnya yang sombong berkata kepada
orang-orang yang mereka anggap lemah yakni orang-orang yang telah beriman di
antara mereka: اَتَعۡلَمُوۡنَ
اَنَّ صٰلِحًا مُّرۡسَلٌ
مِّنۡ رَّبِّہٖ -- “Apakah kalian mengetahui dengan
pasti bahwa se-sungguhnya Shalih adalah
orang yang diutus oleh Rabb-nya (Tuhan-nya)?” قَالُوۡۤا اِنَّا بِمَاۤ اُرۡسِلَ بِہٖ مُؤۡمِنُوۡنَ -- Mereka
berkata: “Sesungguhnya kami beriman
kepada apa yang dengan itu dia diutus untuk menyampaikannya.” Orang-orang yang takabur itu berkata: اِنَّا بِالَّذِیۡۤ
اٰمَنۡتُمۡ بِہٖ کٰفِرُوۡنَ -- “Sesungguhnya
kami tidak percaya kepada apa
yang kamu imani itu.” Lalu mereka
memotong urat lutut kaki unta
betina itu dan berlaku angkuh
terhadap perintah Rabb (Tuhan) mereka,
dan berkata: “Hai Shālih! Datangkanlah kepada kami apa yang engkau ancamkan kepada kami itu,
jika engkau sungguh termasuk orang-orang
yang diutus.” فَاَخَذَتۡہُمُ الرَّجۡفَۃُ فَاَصۡبَحُوۡا فِیۡ دَارِہِمۡ
جٰثِمِیۡنَ -- Lalu mereka
ditimpa gempa bumi
maka mereka bergelimpangan binasa
di dalam rumah-rumahnya. (Al-A’rīf [7]:76-79).
Berikut ini adalah firman-Nya mengenai penolakan
kaum Nabi Syu’aib a.s.. terhadap pendakwaan kenabian
beliau:
قَالُوۡا یٰشُعَیۡبُ مَا
نَفۡقَہُ کَثِیۡرًا مِّمَّا
تَقُوۡلُ وَ اِنَّا
لَنَرٰىکَ فِیۡنَا ضَعِیۡفًا ۚ وَ لَوۡ لَا رَہۡطُکَ
لَرَجَمۡنٰکَ ۫ وَ مَاۤ اَنۡتَ عَلَیۡنَا بِعَزِیۡزٍ ﴿﴾
Mereka
menjawab: “Hai Syu'aib, kami sama
sekali tidak mengerti banyak mengenai
apa yang engkau katakan, dan sesungguhnya kami melihat engkau seorang yang lemah di kalangan kami. Dan
seandainya tidak karena kaum kerabat
engkau, niscaya kami telah mengusir
engkau, dan engkau sama sekali
bukanlah seorang yang berkedudukan atas kami” (Hūd [11]:92).
Provokasi
Fir’aun dan Abu Jahal
Demikian pula Fir’aun pun memprovokasi
kaumnya agar tidak mempercayai
pendakwaan Nabi Musa a.s., firman-Nya:
وَ نَادٰی
فِرۡعَوۡنُ فِیۡ قَوۡمِہٖ قَالَ یٰقَوۡمِ اَلَیۡسَ لِیۡ مُلۡکُ مِصۡرَ وَ
ہٰذِہِ الۡاَنۡہٰرُ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِیۡ ۚ اَفَلَا تُبۡصِرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ اَمۡ اَنَا خَیۡرٌ
مِّنۡ ہٰذَا الَّذِیۡ ہُوَ
مَہِیۡنٌ ۬ۙ وَّ لَا یَکَادُ
یُبِیۡنُ ﴿﴾ فَلَوۡ لَاۤ اُلۡقِیَ عَلَیۡہِ اَسۡوِرَۃٌ
مِّنۡ ذَہَبٍ اَوۡ جَآءَ مَعَہُ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ مُقۡتَرِنِیۡنَ ﴿﴾ فَاسۡتَخَفَّ قَوۡمَہٗ فَاَطَاعُوۡہُ ؕ اِنَّہُمۡ کَانُوۡا قَوۡمًا
فٰسِقِیۡنَ ﴿﴾
Dan Fir’aun mengumumkan kepada kaumnya dengan berkata: "Hai
kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku
dan sungai-sungai ini mengalir di bawah kekuasanku?
Maka apakah kamu tidak melihat? اَمۡ اَنَا خَیۡرٌ مِّنۡ ہٰذَا الَّذِیۡ ہُوَ مَہِیۡنٌ ۬ۙ وَّ لَا یَکَادُ یُبِیۡنُ -- "Atau tidakkah aku lebih baik daripada orang
yang hina ini dan ia tidak dapat menjelaskan? Mengapakah tidak dianugerahkan kepadanya gelang-gelang dari emas, atau datang bersamanya malaikat-malaikat yang berkumpul di sekelilingnya?" فَاسۡتَخَفَّ
قَوۡمَہٗ فَاَطَاعُوۡہُ -- Demikianlah ia memperbodoh kaumnya lalu mereka
patuh kepadanya, اِنَّہُمۡ کَانُوۡا قَوۡمًا فٰسِقِیۡنَ -- sesungguhnya mereka adalah kaum durhaka. (Az-Zukhruf [43]:52-55).
Kebutaan ruhani yang sama itu jugalah
yang menjadikan para pemuka kaum kafir Quraisy pimpinan Abu Jahal dengan sangat zalim mereka mendustakan dan menentang keras
pendakwaan kenabian dan wahyu Al-Quran yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw., dan menuntut kepada beliau saw. mengenai hal-hal yang nyata atau yang kasat
mata sehingga dapat dilihat secara nyata di hadapan mereka, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا
لَنۡ نُّؤۡمِنَ لَکَ حَتّٰی تَفۡجُرَ
لَنَا مِنَ الۡاَرۡضِ یَنۡۢبُوۡعًا ﴿ۙ﴾ اَوۡ تَکُوۡنَ لَکَ جَنَّۃٌ مِّنۡ نَّخِیۡلٍ وَّ عِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الۡاَنۡہٰرَ
خِلٰلَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿ۙ﴾ اَوۡ تُسۡقِطَ السَّمَآءَ کَمَا زَعَمۡتَ عَلَیۡنَا
کِسَفًا اَوۡ تَاۡتِیَ بِاللّٰہِ وَ
الۡمَلٰٓئِکَۃِ قَبِیۡلًا ﴿ۙ﴾ اَوۡ یَکُوۡنَ
لَکَ بَیۡتٌ مِّنۡ زُخۡرُفٍ اَوۡ تَرۡقٰی فِی السَّمَآءِ ؕ وَ لَنۡ نُّؤۡمِنَ
لِرُقِیِّکَ حَتّٰی تُنَزِّلَ عَلَیۡنَا کِتٰبًا نَّقۡرَؤُہٗ ؕ قُلۡ سُبۡحَانَ
رَبِّیۡ ہَلۡ کُنۡتُ اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا ﴿٪﴾
Dan mereka
berkata: “Kami tidak akan pernah beriman
kepada engkau sebelum engkau
memancarkan dari bumi sebuah mata air untuk kami, atau engkau
mempunyai kebun kurma dan anggur lalu engkau
mengalirkan sungai-sungai yang deras alirannya di tengah-tengahnya, atau engkau
menjatuhkan kepingan-kepingan langit
atas kami sebagaimana telah
engkau dakwakan, atau engkau
mendatangkan Allah dan para malaikat berhadap-hadapan. Atau engkau mempunyai sebuah rumah dari emas
atau engkau naik ke langit, وَ لَنۡ نُّؤۡمِنَ
لِرُقِیِّکَ حَتّٰی تُنَزِّلَ عَلَیۡنَا کِتٰبًا نَّقۡرَؤُہٗ -- tetapi kami tidak akan pernah mempercayai kenaikan
engkau ke langit hingga engkau
menurunkan kepada kami sebuah kitab yang kami dapat membacanya.” قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ ہَلۡ کُنۡتُ
اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا -- Katakanlah:
“Maha Suci Rabb-ku (Tuhan-ku), aku tidak lain melainkan seorang manusia sebagai seorang rasul” (Bani
Israil [17]:91-94).
Kedegilan Hati
dan Ketegaran Tengkuk Para Penentang
Rasul Allah
Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. berikut ini kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai kedegilan hati dan ketegaran tengkuk para penentang
Rasul Allah di setiap zaman kedatangan Rasul Allah yang dijanjikan
dari kalangan Bani Adam (QS.7:35-37):
کَذٰلِکَ
اَرۡسَلۡنٰکَ فِیۡۤ اُمَّۃٍ قَدۡ خَلَتۡ
مِنۡ قَبۡلِہَاۤ اُمَمٌ لِّتَتۡلُوَا۠ عَلَیۡہِمُ الَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ وَ ہُمۡ یَکۡفُرُوۡنَ بِالرَّحۡمٰنِ ؕ
قُلۡ ہُوَ رَبِّیۡ لَاۤ
اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ۚ
عَلَیۡہِ تَوَکَّلۡتُ وَ اِلَیۡہِ
مَتَابِ ﴿﴾ وَ لَوۡ اَنَّ قُرۡاٰنًا سُیِّرَتۡ بِہِ الۡجِبَالُ اَوۡ
قُطِّعَتۡ بِہِ الۡاَرۡضُ اَوۡ
کُلِّمَ بِہِ الۡمَوۡتٰی ؕ بَلۡ لِّلّٰہِ الۡاَمۡرُ جَمِیۡعًا ؕ اَفَلَمۡ یَایۡـَٔسِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا
اَنۡ لَّوۡ یَشَآءُ اللّٰہُ لَہَدَی النَّاسَ جَمِیۡعًا ؕ
وَ لَا یَزَالُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا تُصِیۡبُہُمۡ بِمَا صَنَعُوۡا قَارِعَۃٌ اَوۡ
تَحُلُّ قَرِیۡبًا مِّنۡ دَارِہِمۡ حَتّٰی یَاۡتِیَ وَعۡدُ
اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَا یُخۡلِفُ
الۡمِیۡعَادَ ﴿٪﴾ وَ لَقَدِ
اسۡتُہۡزِیَٔ بِرُسُلٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ فَاَمۡلَیۡتُ لِلَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا ثُمَّ اَخَذۡتُہُمۡ ۟ فَکَیۡفَ کَانَ عِقَابِ ﴿﴾
Demikianlah Kami telah mengutus engkau kepada suatu
umat, sebelumnya telah berlalu umat-umat, supaya engkau dapat membacakan kepada
mereka apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau, karena mereka
itu kafir kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah. قُلۡ ہُوَ رَبِّیۡ لَاۤ
اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ۚ
عَلَیۡہِ تَوَکَّلۡتُ وَ اِلَیۡہِ
مَتَابِ -- Katakanlah: “Dia-lah Rabb-ku (Tuhan-ku), tidak
ada Tuhan kecuali Dia, kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya
aku bertaubat.” Dan seandainya
ada sebuah Al-Quran yang dengannya gunung-gunung dapat dijalankan atau dengan itu bumi dapat dibelah, atau dengan itu dapat berbicara orang yang telah mati, mereka tetap
tidak akan percaya, bahkan
milik Allah semua urusan. Apakah orang-orang
yang telah beriman tidak mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki
niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada semua manusia. Dan mengenai orang-orang yang kafir, bencana
tidak akan berhenti menimpa
mereka karena perbuatan mereka
sendiri, atau bencana itu akan turun dekat rumah mereka,
hingga datanglah janji Allah, sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya. وَ لَقَدِ اسۡتُہۡزِیَٔ بِرُسُلٍ مِّنۡ
قَبۡلِکَ فَاَمۡلَیۡتُ لِلَّذِیۡنَ
کَفَرُوۡا ثُمَّ اَخَذۡتُہُمۡ ۟
فَکَیۡفَ کَانَ -- Dan sungguh
rasul-rasul sebelum engkau benar-benar telah dicemoohkan, tetapi Aku menangguhkan azab kepada
orang-orang yang kafir, kemudian Aku
cengkeram mereka itu maka alangkah dahsyatnya
hukuman-Ku! (Ar-Rā’d [13]:31-33).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 16 Januari
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar