Selasa, 19 Januari 2016

Pembukaan Pintu "Mutiara Hikmah Intelektual" Melalui Al-Quran & Makna "Beriman Kepada yang Gaib" dan Hubungannya Dengan Rukun Iman



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


    Pembukaan Pintu “Mutiara Hikmah Intelektual”  Melalui Al-Quran  & Makna “Beriman Kepada yang Gaib” dan Hubungannya dengan Rukun Iman

Bab 13


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya  telah dijelaskan mengenai  hubungan “ulil albab” (orang-orang yang mempergunakan akal – QS.3:191-195) dan ‘ulama (orang-orang berilmu)  yang hakiki   (QS.35:28-29) dengan sabda   Masih Mau’ud a.s.  tentang  berbagai mukjizat eksternal Al-Quran, antara lain beliau bersabda mengenai  pembukaan “pintu nalar” (logika):
    “Kitab Suci Al-Quran membukakan 3 pintu bagi pemahaman kebenaran. Pintu pertama, adalah pintu nalar atau logika. Daya nalar manusia secara sempurna telah dikembangkan untuk mengenali eksistensi Tuhan dan Sifat-sifat-Nya dalam Penciptaan, Ke-Esa-an, Kekuasaan, Rahmat dan Sifat tegak dengan Dzat-Nya Sendiri (Al-Qayyum).
      Dalam penggunaan daya nalar tersebut ikut berperan logika, fisika, medikal, astronomi, matematika, filosofi dan metoda argumentasi sehingga masalah-masalah yang sulit telah bisa dipecahkan.” (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain,  jld. II, hlm.  72, London, 1984).

Pembukaan    Pintu “Mutiara Hikmah Intelektual

     Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda:   “Pintu kedua pemahaman Ilahi yang dibuka lebar oleh Al-Quran adalah mutiara hikmah intelektual yang karena sifatnya yang luar biasa bisa dianggap sebagai mukjizat intelektual. Bentuknya ada berbagai macam:
   Pertama, pengetahuan mengenai wawasan keimanan, dengan pengertian bahwa semua wawasan luhur yang berkaitan dengan keimanan dan semua kebenaran sucinya serta mutiara hikmah pengetahuan tentang Ilahi yang dibutuhkan di dunia guna penyempurnaan batin manusia, semuanya ada tersedia di dalam Al-Quran.
    Begitu juga dengan semua keburukan batin yang merangsang munculnya  keinginan melakukan dosa dan nafsu yang melambarinya serta cara-cara pensucian batin berikut semua tanda-tanda, karakteristik dan sifat-sifat dari  akhlak luhur. Tidak ada seorang pun yang akan mampu mengemukakan kebenaran, hikmah Ke-Ilahi-an, cara-cara mencapai Tuhan, bentuk atau disiplin suci ibadah Ilahi lainnya yang belum termaktub di dalam Kitab Suci Al-Quran.
      Kedua, di dalamnya juga terkandung pengetahuan mengenai tentang sifat-sifat batin dan tentang psikologi yang terdapat secara komprehensif dalam firman ajaib ini,  sehingga mereka yang mau berfikir akan sampai pada kesimpulan bahwa Kitab ini bukanlah hasil kerja siapa pun kecuali Allah Yang Maha Perkasa.
      Ketiga, di dalamnya terkandung ilmu mengenai awal dunia, mengenai akhirat dan hal-hal tersembunyi lainnya yang merupakan bagian pokok dari firman Allah Yang Maha Mengetahui tentang hal-hal yang tersembunyi sehingga hati manusia akan tenteram jadinya.  Semua pengetahuan demikian akan bisa ditemui banyak sekali dan secara rinci di dalam Kitab Suci Al-Quran sehingga tidak ada Kitab Samawi lainnya yang akan mampu menyamainya.
     Disamping itu Al-Quran juga mengungkapkan pengetahuan keimanan dari subyek lainnya dengan cara yang indah. Dalam hal ini, Kitab tersebut tetap memperhatikan logika, fisika, filosofi, astronomi, psikologi, medikal, matematika dan pengetahuan tentang komposisi yang digunakan untuk menguraikan dan menjelaskan pengetahuan tentang keimanan, guna memudahkan pemahamannya, menarik konklusi darinya,  atau untuk menyangkal keberatan dari orang-orang yang bodoh.
      Dengan kata lain, semua subyek ini dikemukakan Kitab Suci Al-Quran bagi kepentingan keimanan manusia dengan cara sedemikian rupa,  sehingga setiap bentuk intelektualitas manusia akan dapat menyerap kemaslahatannya.” (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain,  jld. II, hlm.  73-75, London, 1984).

Makna “BeriIman Kepada yang Gaib

    Sehubungan dengan obyek pembahasan yang dimaksud oleh Masih Mau’ud a.s.  yang berkenaan dengan masalah keimanan    beliau bersabda:
    “Pertama, pengetahuan mengenai wawasan keimanan, dengan pengertian bahwa semua wawasan luhur yang berkaitan dengan keimanan dan semua kebenaran sucinya serta mutiara hikmah pengetahuan tentang Ilahi yang dibutuhkan di dunia guna penyempurnaan batin manusia, semuanya ada tersedia di dalam Al-Quran.”
      Masalah keimanan dalam Al-Quran diringkaskan menjadi  6  topik dalam Rukum Iman yakni: (1) Beriman kepada Allah Swt., (2) Beriman kepada Para Malaikat Allah; (3) Beriman kepada Kitab-kitab Allah, (4) Beriman kepada Rasul-rasul Allah, (5) Beriman kepada Hari Kiamat (6) Beriman kepada  qadha dan qadar.
     Mengenai  keenam jenis keimanan   dalam Rukun Iman tersebut  erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat gaib   -- terutama  keimanan kepada Allah Swt., Wujud paling gaib dari semua yang gaib, dan bahkan Allah Swt. secara Dzat akan tetap merupakan “Wujud yang Maha Gaib”  (QS.6:104) --  Allah Swt. berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾   الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ  الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی  لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾  الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ  مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ  یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Alif Lām Mīm. Inilah Kitab yang sempurna itu,  tidak ada keraguan di dalamnya,  petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.  Yaitu orang-orang yang beriman kepada  yang gaib, dan   mendirikan shalat, dan mereka  membelanjakan sebagian dari apa  yang Kami rezekikan  kepada mereka.   Dan orang-orang  yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga kepada apa yang telah diturunkan sebelum engkau  dan kepada  akhirat  pun mereka   yakin.   Mereka itulah orang-orang yang  berada di atas  petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka  dan mereka itulah  orang-orang yang  berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
       Al-ghaib berarti: sesuatu yang tersembunyi atau tidak nampak; sesuatu yang tidak terlihat, tidak hadir, atau jauh sekali (Al-Aqrab-ul-Mawarid). Allah Swt.,   para malaikat dan hari kiamat,  semuanya al-ghaib. Lagi pula, kata yang digunakan dalam Al-Quran tersebut tidak berarti hal-hal yang khayali dan tidak nyata, melainkan hal-hal yang nyata dan telah dibenarkan adanya meskipun tidak nampak (QS.32:7; QS.49:19).
       Oleh karena itu keliru sekali menyangka — seperti dikira oleh beberapa kritikus Al-Quran dari Barat — bahwa Islam memaksakan kepada para pengikutnya beberapa kepercayaan aneh yang tidak dapat dipahami dan mengajak mereka mempercayainya dengan membabi buta.
      Kata  gaib  itu berarti hal-hal yang meskipun di luar jangkauan indera manusia tetapi dapat dibuktikan oleh akal atau pengalaman. Sebab yang tidak tertangkap oleh pancaindera tidak senantiasa tak dapat diterima oleh akal. Tidak ada dari hal-hal  gaib  yang orang Islam diminta agar beriman kepadanya itu di luar jangkauan akal. Banyak benda-benda di dunia yang meskipun tidak nampak tetapi terbukti adanya dengan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang kuat dan tiada seorang pun dapat menolak kehadiran benda-benda yang “gaib” itu.
     Dalam  ayat-ayat lainnya Allah Swt. menjelaskan mengenai makna “beriman kepada yang gaib”  tersebut, firman-Nya:
اٰمَنَ الرَّسُوۡلُ بِمَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡہِ مِنۡ رَّبِّہٖ وَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ ؕ کُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰہِ وَ مَلٰٓئِکَتِہٖ وَ کُتُبِہٖ وَ رُسُلِہٖ ۟ لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ  اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ ۟ وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
Rasul ini beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari  Rabb-nya (Tuhan-nya), dan begitu pula  orang-orang beriman,  semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ  اَحَدٍ مِّنۡ رُّسُلِہٖ  --  mereka berkata:  ”Kami tidak membeda-bedakan  seorang pun dari antara Rasul-rasul-Nya”, وَ قَالُوۡا سَمِعۡنَا وَ اَطَعۡنَا ٭۫ غُفۡرَانَکَ رَبَّنَا وَ اِلَیۡکَ الۡمَصِیۡرُ  -- dan mereka berkata: “Kami telah mendengar dan kami taat.  Kami mohon ampunan Engkau, ya Rabb (Tuhan) kami, dan kepada Engkau-lah kami  kembali” (Al-Baqarah [2]:286).
  Allah Swt., Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya  merupakan “hal-hal yang gaib”. Terhadap hal tersebut mungkin timbul pertanyaan:  Allah Swt. dan para malaikat  memang “gaib” sebab   sampai kapan pun “keberadaan” (eksistensi) keduanya tidak dapat dilihat  atau dipantau (dimonitor) oleh indera-indra jasmani manusia   atau  oleh peralatan pemindai (monitor/perekam) canggih apa pun, tetapi bagaimana dengan Kitab suci atau Rasul  Allah, bukankah keduanya memiliki wujud yang nyata?

Kegaiban Wahyu Ilahi dan Kenabian (Kerasulan) & Pendustaan Terhadap para Rasul Allah

       Semua  jenis kenabian (kerasulan) dan wahyu Ilahi – termasuk wahyu  syariat  seperti wahyu Al-Quran –  pun merupakan hal yang gaib, karena tidak ada  wahyu syariat  yang diwahyukan kepada  Rasul Allah   berupa lembaran-lembaran kertas atau berupa sebuah buku. Itulah sebabnya mengapa  semua rasul Allah yang diutus  senantiasa didustakan dan ditentang keras oleh para pemuka kaumnya, padahal misi utama para Rasul Allah   -- terutama Nabi besar Muhammad saw. (QS.15:12; QS.36:31; QS.43:8-9; QS.51:53-55) -- adalah menyeru kepada Tauhid Hakiki  (QS.10:48; QS.13:8; QS.16:37; QS.35:25; QS.41:7-9; QS.98:1-9).
        Demikian pula halnya   dengan   wahyu syariat – yang  setelah diwahyukan Allah Swt. kepada para  Rasul Allah pembawa syariat kemudian ditulis menjadi  shuhuf (lembaran-lembaran – QS.87:1-20) yang disebut   Kitab suci   --   Kitab-kitab suci itu pun pada hakikatnya  merupakan  hal yang “gaib”. Mengenai hal tersebut  firman Allah Swt.  kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ لَوۡ نَزَّلۡنَا عَلَیۡکَ کِتٰبًا فِیۡ قِرۡطَاسٍ فَلَمَسُوۡہُ بِاَیۡدِیۡہِمۡ لَقَالَ الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡۤا اِنۡ ہٰذَاۤ  اِلَّا  سِحۡرٌ  مُّبِیۡنٌ ﴿﴾
Dan  seandainya pun Kami menurunkan kepada engkau suatu Kitab yang ditulis di atas kertas lalu mereka merabanya dengan tangannya,  niscaya orang-orang  kafir  akan berkata: اِنۡ ہٰذَاۤ  اِلَّا  سِحۡرٌ  مُّبِیۡنٌ  --  “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (Al-An’ām [6]:8).
      Jadi, menurut  Allah Swt. seandainya pun wahyu-wahyu syariat yang diwahyukan Allah Swt. kepada Rasul Allah pembawa syariat benar-benar berupa lembaran-lembaran kertas (buku) yang dapat diraba oleh tangan  manusia,  tetapi  mereka tetap saja tidak akan mempercayainya  atau tidak akan mengimaninya sebagai “wahyu Ilahi”, apa lagi  memang dalam kenyataannya semua jenis  wahyu Ilahi  merupakan hal yang gaib.
     Itulah sebabnya  ketika Allah Swt. mengutus para Rasul Allah tidak semua manusia beriman kepada pendakwaan para rasul Allah  tersebut  --  termasuk  kepada pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran   --  sebab   hanya orang-orang yang “mata ruhaninya” berfungsi dengan baik sajalah yang beriman kepada para rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan kepada mereka (QS.7:35-37), sedangkan  mayoritas manusia menjadi penentang sengit para Rasul Allah
      Sehubungan dengan  kegaiban wahyu Ilahi dan kegaiban kenabian  para rasul Allah tersebut,  berikut   adalah firman Allah Swt.  mengenai Nabi Nuh a.s.:
قَالَ یٰقَوۡمِ اَرَءَیۡتُمۡ اِنۡ کُنۡتُ عَلٰی بَیِّنَۃٍ مِّنۡ رَّبِّیۡ  وَ اٰتٰىنِیۡ رَحۡمَۃً مِّنۡ عِنۡدِہٖ فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ ؕ اَنُلۡزِمُکُمُوۡہَا وَ اَنۡتُمۡ لَہَا کٰرِہُوۡنَ ﴿﴾
Ia berkata: “Hai kaumku, bagaimana pandangan kamu, jika aku berdiri atas suatu Tanda yang nyata dari Rabb-ku (Tuhan-ku), dan Dia telah menganugerahkan  kepadaku rahmat dari sisi-Nya  فَعُمِّیَتۡ عَلَیۡکُمۡ  --  tetapi itu tetap saja tidak jelas bagi kamu? Apakah  kami akan memaksakannya  kepada kamu, sedangkan  kamu tidak menyukainya? (Hūd [11]:29).
     Kemudian Allah Swt. berfirman  mengenai  penolakan kaum Nabi Hud a.s. terhadap pendakwaan kenabian beliau:
قَالُوۡا یٰہُوۡدُ مَا جِئۡتَنَا بِبَیِّنَۃٍ وَّ مَا نَحۡنُ بِتَارِکِیۡۤ  اٰلِہَتِنَا عَنۡ قَوۡلِکَ وَ مَا نَحۡنُ  لَکَ  بِمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Mereka berkata: “Hai Hud, engkau sama sekali tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata,   وَّ مَا نَحۡنُ بِتَارِکِیۡۤ  اٰلِہَتِنَا عَنۡ قَوۡلِکَ -- dan  kami tidak akan meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataan engkau  وَ مَا نَحۡنُ  لَکَ  بِمُؤۡمِنِیۡنَ    -- dan sama sekali ka-mi tidak percaya kepada engkau, (Hūd [11]:54).
    Selanjutnya   firman Allah Swt.  mengenai  penolakan kaum Nabi Shalih a.s. terhadap pendakwaan kenabian beliau:
قَالُوۡا یٰصٰلِحُ  قَدۡ کُنۡتَ فِیۡنَا مَرۡجُوًّا قَبۡلَ  ہٰذَاۤ   اَتَنۡہٰنَاۤ   اَنۡ  نَّعۡبُدَ مَا یَعۡبُدُ اٰبَآؤُنَا وَ اِنَّنَا لَفِیۡ شَکٍّ مِّمَّا تَدۡعُوۡنَاۤ  اِلَیۡہِ  مُرِیۡبٍ ﴿﴾
Mereka berkata: “Hai Shalih, sungguh engkau sebelum ini adalah seorang di antara kami yang menjadi  harapan kami. Apakah engkau melarang kami menyembah apa yang bapak-bapak kami sembah?  وَ اِنَّنَا لَفِیۡ شَکٍّ مِّمَّا تَدۡعُوۡنَاۤ  اِلَیۡہِ  مُرِیۡبٍ  -- Dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan mengenai apa yang engkau serukan kepada kami.” (Hūd [11]:63).
       Bahkan  para pemuka kaum Nabi Shalih a.s.  tersebut berupaya menimbulkan keraguan  di kalangan orang-orang yang beriman kepada kenabian  Nabi Shaleh a.s., firman-Nya:
قَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ لِلَّذِیۡنَ اسۡتُضۡعِفُوۡا لِمَنۡ اٰمَنَ مِنۡہُمۡ اَتَعۡلَمُوۡنَ اَنَّ  صٰلِحًا  مُّرۡسَلٌ  مِّنۡ رَّبِّہٖ ؕ قَالُوۡۤا اِنَّا بِمَاۤ  اُرۡسِلَ بِہٖ مُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾  قَالَ الَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡۤا اِنَّا بِالَّذِیۡۤ اٰمَنۡتُمۡ  بِہٖ  کٰفِرُوۡنَ ﴿﴾  فَعَقَرُوا النَّاقَۃَ  وَ عَتَوۡا عَنۡ  اَمۡرِ  رَبِّہِمۡ وَ قَالُوۡا یٰصٰلِحُ ائۡتِنَا بِمَا تَعِدُنَاۤ  اِنۡ  کُنۡتَ مِنَ  الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾  فَاَخَذَتۡہُمُ الرَّجۡفَۃُ فَاَصۡبَحُوۡا فِیۡ  دَارِہِمۡ  جٰثِمِیۡنَ ﴿﴾
Pemuka-pemuka  kaumnya yang sombong berkata kepada  orang-orang yang mereka  anggap lemah yakni orang-orang yang telah beriman di antara mereka:  اَتَعۡلَمُوۡنَ اَنَّ  صٰلِحًا  مُّرۡسَلٌ  مِّنۡ رَّبِّہٖ  -- “Apakah kalian    mengetahui dengan pasti bahwa se-sungguhnya Shalih adalah orang yang  diutus oleh Rabb-nya (Tuhan-nya)?” قَالُوۡۤا اِنَّا بِمَاۤ  اُرۡسِلَ بِہٖ مُؤۡمِنُوۡنَ -- Mereka berkata: “Sesungguhnya kami beriman kepada apa yang dengan itu dia diutus untuk menyampaikannya.”   Orang-orang yang takabur itu berkata:  اِنَّا بِالَّذِیۡۤ اٰمَنۡتُمۡ  بِہٖ  کٰفِرُوۡنَ --  “Sesungguhnya  kami tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.”  Lalu   mereka  memotong urat lutut kaki unta betina itu dan berlaku angkuh terhadap  perintah Rabb (Tuhan) mereka,  dan  berkata: “Hai Shālih! Datangkanlah kepada kami apa yang engkau ancamkan kepada kami itu, jika engkau sungguh termasuk orang-orang yang diutus.” فَاَخَذَتۡہُمُ الرَّجۡفَۃُ فَاَصۡبَحُوۡا فِیۡ  دَارِہِمۡ  جٰثِمِیۡنَ  --   Lalu mereka ditimpa  gempa bumi maka mereka bergelimpangan binasa di dalam rumah-rumahnya. (Al-A’rīf [7]:76-79).
 Berikut ini adalah firman-Nya mengenai  penolakan kaum Nabi Syu’aib a.s.. terhadap pendakwaan kenabian beliau:
قَالُوۡا یٰشُعَیۡبُ مَا نَفۡقَہُ کَثِیۡرًا مِّمَّا تَقُوۡلُ وَ  اِنَّا  لَنَرٰىکَ فِیۡنَا ضَعِیۡفًا ۚ وَ لَوۡ لَا رَہۡطُکَ لَرَجَمۡنٰکَ ۫ وَ مَاۤ  اَنۡتَ عَلَیۡنَا بِعَزِیۡزٍ ﴿﴾
Mereka menjawab: “Hai Syu'aib, kami sama sekali tidak mengerti banyak mengenai apa yang engkau katakan, dan  sesungguhnya kami melihat engkau seorang yang lemah di kalangan kami. Dan seandainya tidak karena kaum kerabat engkau, niscaya kami telah mengusir engkau, dan engkau sama sekali bukanlah seorang yang berkedudukan atas kami” (Hūd [11]:92).

Provokasi  Fir’aun   dan Abu Jahal  

     Demikian pula Fir’aun pun memprovokasi kaumnya  agar tidak mempercayai   pendakwaan Nabi Musa a.s., firman-Nya:
وَ نَادٰی فِرۡعَوۡنُ فِیۡ  قَوۡمِہٖ  قَالَ یٰقَوۡمِ اَلَیۡسَ لِیۡ مُلۡکُ مِصۡرَ وَ ہٰذِہِ  الۡاَنۡہٰرُ تَجۡرِیۡ مِنۡ  تَحۡتِیۡ ۚ اَفَلَا  تُبۡصِرُوۡنَ ﴿ؕ﴾  اَمۡ اَنَا خَیۡرٌ  مِّنۡ ہٰذَا الَّذِیۡ ہُوَ  مَہِیۡنٌ ۬ۙ وَّ لَا یَکَادُ  یُبِیۡنُ ﴿﴾  فَلَوۡ لَاۤ  اُلۡقِیَ عَلَیۡہِ  اَسۡوِرَۃٌ  مِّنۡ ذَہَبٍ اَوۡ جَآءَ  مَعَہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ  مُقۡتَرِنِیۡنَ ﴿﴾  فَاسۡتَخَفَّ قَوۡمَہٗ  فَاَطَاعُوۡہُ ؕ اِنَّہُمۡ کَانُوۡا قَوۡمًا فٰسِقِیۡنَ ﴿﴾
Dan Fir’aun mengumumkan kepada kaumnya dengan berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan sungai-sungai ini mengalir di bawah kekuasanku? Maka apakah kamu tidak melihat?  اَمۡ اَنَا خَیۡرٌ  مِّنۡ ہٰذَا الَّذِیۡ ہُوَ  مَہِیۡنٌ ۬ۙ وَّ لَا یَکَادُ  یُبِیۡنُ  --  "Atau tidakkah aku lebih baik daripada orang   yang hina ini  dan ia tidak dapat menjelaskan?    Mengapakah tidak dianugerahkan kepadanya gelang-gelang dari emas, atau datang bersamanya  malaikat-malaikat yang berkumpul di sekelilingnya?" فَاسۡتَخَفَّ قَوۡمَہٗ  فَاَطَاعُوۡہُ  --   Demikianlah ia memperbodoh kaumnya lalu mereka patuh kepadanya, اِنَّہُمۡ کَانُوۡا قَوۡمًا فٰسِقِیۡنَ  -- sesungguhnya mereka adalah kaum durhaka. (Az-Zukhruf [43]:52-55).
      Kebutaan ruhani yang sama itu jugalah yang menjadikan  para pemuka kaum kafir  Quraisy pimpinan Abu Jahal  dengan sangat zalim mereka mendustakan dan menentang  keras pendakwaan kenabian dan wahyu Al-Quran yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad saw.,  dan menuntut kepada beliau saw. mengenai hal-hal yang nyata  atau yang  kasat mata   sehingga dapat dilihat secara nyata  di hadapan mereka, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا لَنۡ نُّؤۡمِنَ لَکَ حَتّٰی تَفۡجُرَ  لَنَا مِنَ  الۡاَرۡضِ  یَنۡۢبُوۡعًا ﴿ۙ﴾  اَوۡ تَکُوۡنَ لَکَ جَنَّۃٌ  مِّنۡ نَّخِیۡلٍ وَّ عِنَبٍ فَتُفَجِّرَ  الۡاَنۡہٰرَ  خِلٰلَہَا تَفۡجِیۡرًا ﴿ۙ﴾  اَوۡ تُسۡقِطَ السَّمَآءَ کَمَا زَعَمۡتَ عَلَیۡنَا کِسَفًا اَوۡ تَاۡتِیَ بِاللّٰہِ  وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ  قَبِیۡلًا ﴿ۙ﴾  اَوۡ  یَکُوۡنَ لَکَ بَیۡتٌ مِّنۡ زُخۡرُفٍ اَوۡ تَرۡقٰی فِی السَّمَآءِ ؕ وَ لَنۡ نُّؤۡمِنَ لِرُقِیِّکَ حَتّٰی تُنَزِّلَ عَلَیۡنَا کِتٰبًا نَّقۡرَؤُہٗ ؕ قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ  ہَلۡ کُنۡتُ  اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا ﴿٪﴾
Dan mereka berkata: “Kami tidak akan pernah beriman kepada engkau sebelum engkau memancarkan dari bumi sebuah mata air untuk kami,  atau engkau mempunyai kebun kurma dan anggur lalu engkau mengalirkan sungai-sungai yang deras alirannya  di tengah-tengahnya,   atau engkau menjatuhkan kepingan-kepingan langit  atas kami sebagaimana telah engkau dakwakan, atau engkau mendatangkan Allah dan para malaikat berhadap-hadapan. Atau engkau mempunyai sebuah rumah dari emas atau engkau naik ke langit, وَ لَنۡ نُّؤۡمِنَ لِرُقِیِّکَ حَتّٰی تُنَزِّلَ عَلَیۡنَا کِتٰبًا نَّقۡرَؤُہٗ   -- tetapi kami tidak akan pernah mempercayai kenaikan engkau ke langit hingga engkau menurunkan kepada kami sebuah kitab yang kami dapat membacanya.”  قُلۡ سُبۡحَانَ رَبِّیۡ  ہَلۡ کُنۡتُ  اِلَّا بَشَرًا رَّسُوۡلًا -- Katakanlah: “Maha Suci Rabb-ku (Tuhan-ku), aku tidak lain melainkan seorang manusia  sebagai seorang rasul (Bani Israil [17]:91-94).

Kedegilan Hati  dan Ketegaran Tengkuk Para Penentang Rasul Allah

      Dengan demikian benarlah firman  Allah Swt. berikut ini  kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai kedegilan hati dan ketegaran tengkuk para penentang Rasul Allah  di setiap zaman  kedatangan Rasul Allah yang dijanjikan dari  kalangan Bani Adam (QS.7:35-37):
کَذٰلِکَ اَرۡسَلۡنٰکَ فِیۡۤ  اُمَّۃٍ قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہَاۤ اُمَمٌ لِّتَتۡلُوَا۠ عَلَیۡہِمُ الَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ  اِلَیۡکَ وَ ہُمۡ یَکۡفُرُوۡنَ بِالرَّحۡمٰنِ ؕ قُلۡ ہُوَ  رَبِّیۡ  لَاۤ  اِلٰہَ   اِلَّا ہُوَ ۚ عَلَیۡہِ  تَوَکَّلۡتُ وَ  اِلَیۡہِ  مَتَابِ  ﴿﴾ وَ لَوۡ اَنَّ  قُرۡاٰنًا سُیِّرَتۡ بِہِ الۡجِبَالُ اَوۡ قُطِّعَتۡ بِہِ  الۡاَرۡضُ اَوۡ کُلِّمَ  بِہِ الۡمَوۡتٰی ؕ بَلۡ  لِّلّٰہِ الۡاَمۡرُ جَمِیۡعًا ؕ اَفَلَمۡ  یَایۡـَٔسِ الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡۤا  اَنۡ  لَّوۡ  یَشَآءُ اللّٰہُ لَہَدَی النَّاسَ جَمِیۡعًا ؕ وَ لَا یَزَالُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا تُصِیۡبُہُمۡ بِمَا صَنَعُوۡا قَارِعَۃٌ  اَوۡ  تَحُلُّ قَرِیۡبًا مِّنۡ دَارِہِمۡ حَتّٰی یَاۡتِیَ  وَعۡدُ  اللّٰہِ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  لَا یُخۡلِفُ  الۡمِیۡعَادَ ﴿٪﴾  وَ لَقَدِ اسۡتُہۡزِیَٔ بِرُسُلٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ فَاَمۡلَیۡتُ لِلَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا ثُمَّ   اَخَذۡتُہُمۡ ۟ فَکَیۡفَ کَانَ عِقَابِ ﴿﴾
Demikianlah Kami telah mengutus engkau kepada suatu umat,  sebelumnya telah berlalu umat-umat, supaya engkau dapat  membacakan kepada mereka apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau, karena  mereka itu kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. قُلۡ ہُوَ  رَبِّیۡ  لَاۤ  اِلٰہَ   اِلَّا ہُوَ ۚ عَلَیۡہِ  تَوَکَّلۡتُ وَ  اِلَیۡہِ  مَتَابِ -- Katakanlah: “Dia-lah Rabb-ku (Tuhan-ku),  tidak ada Tuhan  kecuali Dia, kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya aku bertaubat.” Dan seandainya ada sebuah Al-Quran yang dengannya  gunung-gunung  dapat dijalankan atau dengan itu bumi dapat dibelah, atau dengan itu dapat berbicara  orang yang telah mati, mereka tetap tidak akan percaya,  bahkan milik Allah semua urusan.  Apakah orang-orang yang telah beriman tidak mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki  niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada semua manusia. Dan mengenai orang-orang yang kafir, bencana  tidak akan berhenti  menimpa mereka karena perbuatan mereka sendiri,  atau bencana itu akan turun dekat rumah mereka,  hingga datanglah janji Allah, sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya.  وَ لَقَدِ اسۡتُہۡزِیَٔ بِرُسُلٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ فَاَمۡلَیۡتُ لِلَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا ثُمَّ   اَخَذۡتُہُمۡ ۟ فَکَیۡفَ کَانَ  --  Dan  sungguh  rasul-rasul sebelum engkau benar-benar telah dicemoohkan, tetapi Aku menangguhkan azab kepada orang-orang yang kafir, kemudian Aku cengkeram mereka itu maka  alangkah dahsyatnya hukuman-Ku! (Ar-Rā’d [13]:31-33).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,   16 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar