Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”.
(Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)
Kesempurnaan Kitab Suci
Al-Quran & Peran Keyakinan
yang Hakiki Dalam Menghindari Dosa
Bab 2
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya dikemukakan mengenai
penyebab timbulnya berbagai macam azab
Ilahi di Akhir Zaman ini, yakni karena di Akhir Zaman ini umumnya umat manusia tidak mensyukuri
pengutusan Rasul Akhir Zaman yang kedatangannya sedang ditunggu-tunggu
oleh semua umat beragama dengan sebutan (nama) yang berlainan (QS.77:12;
QS.62:3-4), guna mengajak umat
manusia kepada agama yang hakiki -- yakni agama
Islam -- sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. sehingga tercipta “kehidupan surgawi” di dunia ini juga, maka akibat ketidak bersyukuran tersebut umumnya umat manusia terjerumus ke dalam berbagai bentuk “kobaran api jahannam”, termasuk peperangan
yang berkepanjangan yang terjadi saat ini, terutama di kawasan Timur-Tengah. Dengan demikian benarlah
firman Allah Swt. sebelum ini:
مَا یَفۡعَلُ اللّٰہُ بِعَذَابِکُمۡ
اِنۡ شَکَرۡتُمۡ وَ اٰمَنۡتُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ شَاکِرًا عَلِیۡمًا ﴿﴾
Mengapa Allah akan mengazab kamu jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah
benar-benar Maha Menghargai,
Maha Mengetahui. (An-Nisa
[4]:148).
Firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama,
walaupun orang musyrik tidak menyukai. (Ash-Shaf [61]:10).
Kebanyakan ahli tafsir Al-Quran sepakat bahwa ayat
ini kena untuk Al-Masih yang dijanjikan
(Al-Masih Mau’ud a.s.), sebab di zaman beliau semua agama muncul dan keunggulan
Islam di atas semua agama akan
menjadi kepastian, bukan kemenangan
melalui peperangan secara fisik dan kekerasan sehingga banyak berjatuhan
korban jiwa dan harta, melainkan perang melalui “senjata pena” berdasarkan dalil-dalil
Al-Quran yang tak terbantahkan
pihak lawan, firman-Nya:
فَلَا تُطِعِ الۡکٰفِرِیۡنَ وَ
جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ جِہَادًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir
dan berjihadlah terhadap mereka dengan
Al-Quran ini, jihad yang besar.
(Al-Furqān [25]:53).
Jihad besar dan jihad yang sesungguhnya
menurut ayat ini adalah menablighkan
amanat Al-Quran. Oleh karena itu berjuang
untuk menyiarkan Islam dan menyebarkan serta menaburkan ajaran-ajarannya adalah jihad, yang orang-orang Islam
selalu dianjurkan supaya melaksanakannya dengan semangat pantang mundur.
Jihad inilah yang diisyaratkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. ketika kembali dari suatu gerakan militer; menurut riwayat beliau
pernah bersabda: “Kita telah kembali
dari jihad kecil menuju jihad besar (Radd al-Muhtar), firman-Nya lagi:
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ
اللّٰہَ لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan se-sungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat ihsan (kebajikan). (Al-Ankabūt [29]:70).
Jihad sebagaimana diperintahkan oleh Islam, tidak berarti harus membunuh atau menjadi kurban pembunuhan, melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi, sebab kata fīnā berarti
“untuk menjumpai Kami” yakni “berjumpa dengan Allah Swt.” di dalam kehidupan di dunia ini juga, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا
النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی
رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً
﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau,
engkau ridha kepada-Nya dan Dia
pun ridha kepada engkau. Maka masuklah
dalam golong-an hamba-hamba-Ku,
وَ
ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ -- Dan masuklah
ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:28-31).
Ayat-ayat ini
mengisyaratkan kepada tingkat perkembangan
ruhani tertinggi ketika manusia ridha
kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak dan ruhani, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus.
Ia “manunggal” dengan Allah Swt. (Fanafillah) dan tidak dapat hidup
tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan
sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.
Untuk meraih kehormatan
tersebut hanya melalui pelaksanaan ajaran Islam (Al-Quran) sebagaimana yang
difahami dan diamalkan serta diajarkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71), sehingga mereka akan
menjadi “umat terbaik” yang
dijadikan untuk kemanfaatan seluruh umat manusia, sebagaimana keadaan umat Islam di zaman Nabi Besar Muhammad saw. yang penuh berkah (QS.2:144; QS.2:111).
Tujuan Diwahyukan-Nya
Kitab Suci & Pentingnya Memiliki Keyakinan
Sehubungan dengan pentingnya umat Islam di Akhir
Zaman ini melakukan “jihad ruhani”
berupa penyebaran ajaran Al-Quran (Islam) yang hakiki, sebagaimana yang difahami dan diamalkan serta diajarkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. selama 23 tahun masa kenabian beliau saw. – yang merupakan masa Lailatul-
Qadr (Malam Takdir) terbesar dan
tersempurna (QS.97:1-6) -- sehingga
menciptakan “umat terbaik” bagi kemanfaatan
seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111), Masih
Mau’ud a.s. bersabda:
“Kami menjadi saksi dan memaklumkan
(mengumumkan) di hadapan seluruh dunia, bahwa kami
telah menemukan dalam Kitab Suci
Al-Quran realitas (kenyataan) yang bisa membimbing manusia kepada Tuhan.
Kami telah mendengar suara Tuhan dan
telah menyaksikan Tanda-tanda
keperkasaan Tangan-Nya (Kekuasaan-Nya) Yang telah mewahyukan Al-Quran.
Kami beriman bahwa Dia adalah Tuhan yang sebenarnya serta Tuhan
seluruh alam. Hati kami dipenuhi
keyakinan ini sebagaimana laiknya samudra yang terisi air. Karena
itu kami menyeru semua orang kepada agama dan kepada Nur ini berdasarkan wawasan
kami.
Kami telah menemukan Nur haqiqi
yang telah mengusir kegelapan dan mewujudkan semua hati menjadi sunyi terhadap segala sesuatu kecuali Allah Swt.. Inilah satu-satunya
jalan yang bisa menuntun manusia
keluar dari cengkeraman nafsu dan kegelapan ego sebagaimana ular yang meninggalkan selongsong kulit
tuanya.” (Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld.
XIII, hlm. 65, London, 1984).
Dalam buku beliau lainnya Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai
pentingnya memiliki keyakinan yang kuat mengenai ”Tuhan yang Hakiki” (Allah Swt) atau
memiliki makrifat Ilahi yang
hakiki, sebagai Wujud Yang akan
memberikan ganjaran terhadap amal shaleh atau hukuman terhadap dosa
(pelanggaran) yang dilakukan manusia:
“Kemaslahatan sesuatu dilihat dari apakah benda itu telah memenuhi tujuan diciptakannya.
Sebagai contoh, jika seekor lembu
dibeli dengan tujuan untuk membajak
maka kebaikannya diukur dari kemampuan lembu itu melaksanakan fungsinya dalam membajak tanah. Begitu pula jelas kiranya bahwa tujuan dari sebuah Kitab Samawi adalah untuk menyelamatkan
para penganutnya dari kehidupan penuh dosa melalui ajaran-ajaran dan pengaruhnya.
Kitab itu harus mampu memberikan kehidupan bersih kepada mereka,
dan setelah mensucikan mereka lalu mengaruniakan
kepada mereka wawasan yang sempurna guna mengenali Tuhan serta menciptakan hubungan kasih dan pengabdian
di antara mereka dengan Wujud Maha Esa
Yang menjadi Sumber mata air semua kegembiraan. Sesungguhnya kecintaan inilah yang menjadi sumber keselamatan dan yang menjadi surga dimana semua keletihan, kegetiran, kesakitan dan siksaan bisa terobati.
Tidak diragukan lagi Kitab diwahyukan yang sempurna
dan hidup adalah Kitab yang menuntun para pencari Tuhan
ke arah sasarannya dan menyelamatkan yang bersangkutan dari kehidupan dan akhlak yang rendah, untuk bertemu
dengan Wujud Penyelamat Yang Maha Tercinta.
Kitab tersebut harus mampu melepaskan orang dari segala keraguan dan mengaruniakan kepadanya pemahaman
yang sempurna, seolah-olah ia bisa melihat Tuhan-nya. Kitab demikian harus bisa menciptakan hubungan yang erat di antara Tuhan dengan dirinya,
sehingga ia menjadi hamba Allah yang
setia dimana Allah Swt. akan mengasihinya sedemikian rupa, sehingga Dia membedakan yang bersangkutan
dibanding manusia lain melalui
berbagai pertolongan dan bantuan-Nya serta membukakan pintu gerbang pemahaman Wujud-Nya
kepadanya.
Jika sebuah Kitab gagal
melaksanakan fungsi yang menjadi tujuan utamanya tersebut, bahkan lalu
mencoba menaikkan pamor dirinya
dengan membuat berbagai pernyataan yang
tidak relevan, maka keadaannya sama saja dengan seseorang yang mengaku sebagai dokter
ahli tetapi tidak mampu mengobati
pasien yang dibawa kepadanya, malah terus mengatakan bahwa ia menguasai ilmu perbintangan atau filosofi. Orang seperti itu pantasnya disebut pelawak saja.
Tujuan utama dari sebuah Kitab Ilahi dan seorang Rasul Allah adalah menyelamatkan dunia dari kehidupan
dosa serta menciptakan hubungan
yang suci di antara Tuhan dengan dunia. Bukanlah tujuan dari Kitab demikian untuk mengajarkan ilmu-ilmu sekuler dan temuan-temuan
duniawi.
Tidaklah sulit bagi seorang berfikiran jernih dan adil untuk memahami bahwa tujuan
dari sebuah Kitab Ilahi adalah menuntun manusia kepada Tuhan dan menjadikan mereka beriman kepada-Nya sepenuh hati, serta menahan mereka dari melakukan
dosa dengan cara menanamkan
keagungan dan penghormatan
kepada Tuhan dalam hati mereka.
Apalah artinya sebuah Kitab yang tidak bisa mensucikan hati atau memberikan pemahaman murni dan sempurna
sehingga orang lalu jadi membenci dosa. Daya tarik dosa adalah laiknya penyakit lepra yang tidak bisa disembuhkan kecuali adanya manifestasi
(perwujudan) Tuhan Yang Maha Hidup, Yang Maha
Mengerti, dimana tanda-tanda
keagungan dan kekuasaan-Nya
turun bagai hujan atas diri manusia.
Pentingnya Memiliki Keyakinan yang Teguh
Manusia tidak akan terbebas dari
dosa kecuali ia menyadari Wujud
Tuhan dengan Kekuasaan-Nya Yang Maha Dahsyat, sebagaimana seekor domba menyadari adanya harimau dua langkah di depannya. Manusia perlu dibebaskan dari ketertarikan fatal terhadap dosa.
Keagungan
Tuhan seharusnya mengisi hati
yang bersangkutan agar hal itu bisa mengikisnya
dari daya tarik nafsu yang turun ke atas dirinya seperti kilat
dan menghanguskan seketika sisa-sisa
ketakwaannya. Nafsu-nafsu
kotor yang menyerang berulangkali seperti penyakit epilepsi (ayan) dan menghancurkan
semua rasa kesalehan, tidak mungkin dipupus melalui impresi (kesan) tentang Tuhan yang direka-rekanya sendiri. Hal demikian tidak juga bisa diredam dengan olah fikiran sendiri atau dicegah
melalui penebusan dosa oleh orang
lain.
Seorang yang bijak tentunya menganggap perlu menjaga dirinya dari kehancuran
yang dihadapi, akibat dari keberaniannya
dan karena kurang dekat dirinya
kepada Tuhan, dimana semua itu
menjadi sumber dari dosa dan kedurhakaan.
Pasti bahwa seseorang tidak akan meninggalkan kesenangan
hanya karena suatu duga rekaan atau kira-kira. Hanya kepastian sajalah yang akan bisa menyelamatkan seseorang dari kepastian
lainnya. Sebagai contoh, kalau kita meyakini bahwa di sebuah hutan ada sejumlah rusa
yang mudah ditangkap, maka didorong keyakinan
tersebut kita akan memasuki hutan itu.
Tetapi kalau kita juga tahu
dan yakin bahwa ada 50 harimau serta 1000 ular di sana, kita akan menahan
diri untuk memasuki hutan
tersebut. Karena itulah dosa tidak mungkin dihindari tanpa adanya kepastian
keyakinan seperti itu. Harus ada keyakinan
tentang keagungan dan takut kepada Tuhan, yang merobek tirai ketidakacuhan manusia,
sedemikian rupa sehingga tubuh
menjadi gemetar dan merasa maut (kematian) sudah mendekat.
Hati
harus demikian takutnya, sehingga
semua hubungan dengan kalbu yang berdosa akan diputuskan, dan yang bersangkutan ditarik oleh tangan (kekuatan) yang tak
tersembunyi ke arah Tuhan-nya. Hatinya haruslah dipenuhi keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Hidup tidak akan membiarkan pendosa yang berani melenggang bebas tanpa dihukum. Apa yang harus dilakukan
seorang pencari kebenaran dengan
Kitab yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan seperti itu?
Al-Quran Menyempurnakan Tujuan
Kitab Suci
Aku ingin menyampaikan kepada semuanya,
bahwa Al-Quran adalah Kitab yang bisa memenuhi semua kebutuhan
tersebut. Melalui Kitab ini manusia
akan ditarik ke arah Tuhan dan hatinya akan menjadi beku
terhadap kecintaan kepada dunia.
Dengan mengikuti Kitab tersebut maka Tuhan
Yang tersembunyi di balik yang paling
tersembunyi, akan memanifestasikan
(menampakkan) Wujud-Nya serta memperlihatkan kekuatan yang tidak dipahami orang luar dan memberitahukan tentang eksistensi Diri-Nya dengan penegasan: “Aku
ini ada.”
Namun Kitab Veda tidak ada
memiliki sifat ini. Kitab ini lebih
mirip sebundel naskah usang yang pemiliknya sudah mati dan tidak bisa ditelusuri
lagi isinya. Sosok Permesywar yang diagungkan Kitab Veda nyatanya tidak bisa dibuktikan sebagai sesuatu yang hidup. Bahkan sebenarnya Kitab
Veda tidak ada memberikan bukti
kalau Permesywar mereka memang ada.
Ajaran menyimpang dalam Kitab Veda menjadikannya diragukan bahwa seseorang dapat menemui Sang Pencipta melalui hasil ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Kitab Veda ruh
dan benda semuanya bersifat abadi dan tidak diciptakan. Lalu bagaimana seseorang bisa menemukan
Sang Pencipta melalui sesuatu
yang tidak diciptakan?
Begitu pula Kitab Veda telah menutup pintu wahyu Samawi dan menyangkal tanda-tanda Tuhan yang baru.
Menurut Kitab Veda, sang Permesywar tidak bisa memberikan tanda yang mendukung hamba-Nya yang khusus, sesuatu yang seharusnya bersifat istimewa dibanding pengetahuan dan pengalaman rata-rata manusia.
Paling-paling yang bisa diutarakan tentang Veda adalah bahwa Kitab-kitab
itu menyebutkan adanya eksistensi Tuhan
sebagai makhluk rata-rata lainnya,
dan tidak ada mengemukakan suatu bukti yang bisa mendukung eksistensi Tuhan.
Singkat kata, Kitab Veda tidak mampu memberikan pemahaman yang datang segar
dari Tuhan, yang bisa mengangkat seseorang dari bumi ke langit. Adapun dari pengamatan
kami sendiri dan dari pengalaman
mereka yang telah mendahului kita, semuanya menjadi saksi bahwa Al-Quran
menggiring para penganutnya kepada
dirinya melalui pengaruh keruhanian,
Nur yang inheren (melekat) dan mencerahkan batin, serta penampakan tanda-tanda akbar untuk menciptakan hubungan yang erat dengan Tuhan, yang tidak mungkin
diretas (diputuskan) oleh pedang
yang tajam sekali pun.
Kitab
ini membuka mata hati manusia dan membendung sumber dosa yang kotor serta menganugrahi seseorang dengan kesempatan
untuk bercakap-cakap dengan Tuhan,
membukakan hal-hal yang tersembunyi,
membantu pengabulan doa serta memberitahukan tentang kemakbulan tersebut.
Allah Yang Maha Perkasa melalui tanda-tanda-Nya yang dahsyat
menjadikan nyata kepada setiap orang
yang memusuhi seorang penganut Al-Quran yang setia,
bahwa Dia itu selalu beserta
hamba-Nya yang selalu mematuhi
firman-Nya.” (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. XXIII, hlm. 305-309, London, 1984).
Kemerosotan Umat Islam di Hindustan
Agar permasalahannya
dimengerti mengapa Mirza Ghulam Ahmad
a.s. -- Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah -- atau Masih Mau’ud a.s. dalam
buku-buku beliau banyak menyinggung ajaran
atau Kitab-kitab suci agama-agama
selain agama Islam, karena pada masa
beliau wilayah Hindustan -- yang dari segi keagamaan dikuasai oleh agama
Hindu, Buddha dan Sikh, serta menjadi target gerakan Kritenisasi sejalan dengan bercokolnya kekuasaan Kerajaan Inggris Raya di benua
alit tersebut, setelah jatuhnya masa
kejayaan
kerajaan Moghul yang beragama
Islam
(1526 - 1857)
oleh kekuasaan kaum Sikh -- keadaan umat Islam benar-benar sangat memprihatinkan.
Pasa masa kekuasaan kaum Sikh tersebut keadaan umat
Islam di Hindustan benar-benar bagaikan
seorang pahlawan perkasa yang telah lumpuh, sehingga mereka dari segi politik bukan saja tidak mampu mempertahankan kekuasaan umat Islam di Hindustan,
bahkan dari segi keagamaan pun umat
Islam tidak mampu menjawab serangan-serangan
keji yang dilontarkan terhadap kesempurnaan
ajaran Islam (Al-Quran)
serta kesucian akhlak dan ruhani Nabi Besar Muhammad saw..
Begitu tidak berdayanya
keadaan umat Islam ketika itu di
Hindustan sehingga banyak mesjid-mesjid
serta tempat-tempat ibadah umat Islam
lainnya yang berubah menjadi kandang
binatang piaraan orang-orang Hindu dan Sikh. Kenyataan tersebut membuat Mirza
Ghulam Ahmad sangat sedih karena menyaksikan kesempurnaan agama
Islam (Al-Quran) serta kesucian akhlak dan ruhani Nabi Besar Muhammad saw.
menjadi mangsa penghinaan keji tanpa sedikit pun para ulama Muslim mampu memberikan perlawanan
atau jawaban, sebab mereka sendiri
pun telah memperlakukan Al-Quran
sebagai sesuatu yang telah dicampakkan
(QS.25:31-21), firman-Nya:
وَ قَالَ
الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ
مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ
جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا
وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan Rasul
itu berkata: “Ya Rabb-ku
(Tuhan-ku), sesungguhnya kaumku telah
menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang telah ditinggalkan. Dan demikianlah Kami telah
menjadikan musuh bagi tiap-tiap nabi
dari antara orang-orang yang berdosa,
dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai pemberi
petunjuk dan penolong. (Al-Furqān
[25]:32-33).
Ayat 32 dengan sangat tepat sekali dapat
dikenakan kepada mereka yang menamakan diri orang-orang
Muslim tetapi telah menyampingkan
Al-Quran dan telah melemparkannya ke belakang. Barangkali belum pernah
terjadi selama 14 abad ini di mana Al-Quran
demikian rupa diabaikan dan dilupakan oleh orang-orang Muslim seperti dewasa ini.
Ada sebuah hadits Nabi Besar
Muhammad saw. yang
mengatakan: “Satu saat akan datang kepada
kaumku, bila tidak ada yang tinggal dari Islam melainkan namanya dan dari
Al-Quran melainkan kata-katanya” (Baihaqi,
Syu’ab-ul-iman). Sungguh masa Akhir
Zaman inilah saat yang dimaksudkan itu.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 2 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar