Sabtu, 02 Januari 2016

Kesempurnaan Kitab Suci Al-Quran & Peran Keyakinan yang Hakiki Dalam Menghindari Dosa





Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN


Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”.

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Kesempurnaan Kitab Suci Al-Quran  & Peran  Keyakinan  yang Hakiki Dalam  Menghindari Dosa


Bab 2



 Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma


D

alam bagian akhir Bab sebelumnya dikemukakan mengenai  penyebab timbulnya berbagai macam azab Ilahi di Akhir Zaman ini, yakni karena di Akhir Zaman ini umumnya umat manusia tidak mensyukuri pengutusan Rasul Akhir Zaman  yang kedatangannya sedang  ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama dengan sebutan (nama) yang berlainan (QS.77:12; QS.62:3-4), guna mengajak umat manusia kepada agama yang hakiki  -- yakni agama Islam   -- sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad saw.  sehingga tercipta “kehidupan surgawi” di dunia ini juga, maka akibat ketidak bersyukuran tersebut   umumnya umat manusia terjerumus ke dalam berbagai bentuk “kobaran api jahannam”, termasuk peperangan yang berkepanjangan  yang terjadi saat ini, terutama di kawasan Timur-Tengah. Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. sebelum ini:

مَا یَفۡعَلُ اللّٰہُ بِعَذَابِکُمۡ  اِنۡ شَکَرۡتُمۡ وَ اٰمَنۡتُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ شَاکِرًا عَلِیۡمًا ﴿﴾

Mengapa Allah akan mengazab kamu jika kamu bersyukur dan beriman? Dan  Allah  benar-benar Maha Menghargai, Maha Mengetahui. (An-Nisa [4]:148).

Firman-Nya:

ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾

Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama,  walaupun orang musyrik tidak menyukai. (Ash-Shaf [61]:10).

   Kebanyakan ahli tafsir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini kena untuk Al-Masih yang dijanjikan (Al-Masih Mau’ud a.s.), sebab di zaman beliau semua agama muncul dan keunggulan Islam di atas semua agama akan menjadi kepastian, bukan kemenangan melalui peperangan secara fisik dan kekerasan  sehingga banyak berjatuhan korban jiwa dan harta,  melainkan perang melalui “senjata pena” berdasarkan dalil-dalil Al-Quran yang tak terbantahkan pihak lawan, firman-Nya:

فَلَا  تُطِعِ الۡکٰفِرِیۡنَ وَ جَاہِدۡہُمۡ بِہٖ جِہَادًا کَبِیۡرًا ﴿﴾

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran ini, jihad yang besar.  (Al-Furqān [25]:53).

     Jihad besar dan jihad yang sesungguhnya menurut ayat ini adalah menablighkan amanat Al-Quran. Oleh karena itu berjuang untuk menyiarkan Islam dan menyebarkan serta menaburkan ajaran-ajarannya adalah jihad, yang orang-orang Islam selalu dianjurkan supaya melaksanakannya dengan semangat pantang mundur.

    Jihad inilah yang diisyaratkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.   ketika kembali dari suatu gerakan militer; menurut riwayat beliau pernah bersabda:  “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar (Radd al-Muhtar), firman-Nya lagi:

وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ  لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾

Dan orang-orang yang berjuang  untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan se-sungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat  ihsan (kebajikan).  (Al-Ankabūt [29]:70).

   Jihad sebagaimana diperintahkan oleh Islam, tidak berarti harus membunuh atau menjadi kurban pembunuhan, melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan Ilahi, sebab kata fīnā berarti “untuk menjumpai Kami” yakni “berjumpa dengan Allah Swt.” di dalam kehidupan di dunia ini juga, firman-Nya:

یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾

Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.  Maka masuklah dalam golong-an hamba-hamba-Ku, وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ   --  Dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:28-31).

   Ayat-ayat ini mengisyaratkan kepada tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak dan ruhani, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus.

  Ia “manunggal” dengan Allah Swt. (Fanafillah) dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati  perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.

    Untuk meraih  kehormatan tersebut hanya  melalui pelaksanaan ajaran Islam (Al-Quran) sebagaimana yang difahami dan diamalkan serta diajarkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71), sehingga  mereka akan  menjadi “umat terbaik” yang dijadikan untuk kemanfaatan seluruh umat manusia, sebagaimana keadaan umat Islam di  zaman Nabi Besar Muhammad saw.  yang penuh berkah (QS.2:144; QS.2:111).

  

Tujuan  Diwahyukan-Nya  Kitab Suci   & Pentingnya Memiliki Keyakinan



     Sehubungan dengan  pentingnya umat Islam  di Akhir Zaman ini melakukan “jihad ruhani” berupa penyebaran  ajaran Al-Quran (Islam) yang hakiki, sebagaimana yang difahami dan diamalkan serta diajarkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. selama 23 tahun masa kenabian beliau saw. – yang merupakan  masa Lailatul- Qadr (Malam Takdir) terbesar  dan tersempurna (QS.97:1-6)  -- sehingga menciptakan  “umat terbaik”  bagi kemanfaatan seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111), Masih Mau’ud a.s. bersabda:

     Kami menjadi saksi dan memaklumkan (mengumumkan)  di hadapan seluruh dunia,  bahwa kami telah menemukan dalam Kitab Suci Al-Quran realitas (kenyataan) yang bisa membimbing manusia kepada Tuhan. Kami telah mendengar suara Tuhan dan telah menyaksikan Tanda-tanda keperkasaan Tangan-Nya (Kekuasaan-Nya) Yang telah mewahyukan Al-Quran.

    Kami beriman bahwa Dia adalah Tuhan yang sebenarnya serta Tuhan seluruh alam. Hati kami dipenuhi keyakinan ini sebagaimana laiknya samudra yang terisi air. Karena itu kami menyeru semua orang kepada agama dan kepada Nur ini berdasarkan wawasan kami.

    Kami telah menemukan Nur haqiqi yang telah mengusir kegelapan dan mewujudkan semua hati menjadi sunyi terhadap segala sesuatu kecuali Allah Swt.. Inilah  satu-satunya jalan yang bisa menuntun manusia keluar dari cengkeraman nafsu dan kegelapan ego sebagaimana ular yang meninggalkan selongsong kulit tuanya.” (Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain,  jld. XIII, hlm. 65, London, 1984).

     Dalam buku beliau lainnya Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai pentingnya memiliki keyakinan yang kuat mengenai ”Tuhan yang Hakiki” (Allah Swt)  atau  memiliki makrifat Ilahi yang hakiki, sebagai Wujud Yang akan memberikan ganjaran terhadap amal shaleh atau hukuman terhadap dosa (pelanggaran) yang dilakukan  manusia:

     Kemaslahatan sesuatu dilihat dari apakah benda itu telah memenuhi tujuan diciptakannya. Sebagai contoh, jika seekor lembu dibeli dengan tujuan untuk membajak maka kebaikannya diukur dari kemampuan lembu itu melaksanakan fungsinya dalam membajak tanah. Begitu pula jelas kiranya bahwa tujuan dari sebuah Kitab Samawi adalah untuk menyelamatkan para penganutnya dari kehidupan penuh dosa melalui ajaran-ajaran dan pengaruhnya.

     Kitab itu harus mampu memberikan kehidupan bersih kepada mereka,  dan setelah mensucikan mereka  lalu mengaruniakan kepada mereka wawasan yang sempurna guna mengenali Tuhan serta menciptakan hubungan kasih dan pengabdian di antara mereka dengan Wujud Maha Esa Yang menjadi Sumber mata air semua kegembiraan. Sesungguhnya kecintaan inilah yang menjadi sumber keselamatan dan yang menjadi surga dimana semua keletihan, kegetiran, kesakitan dan siksaan bisa terobati.

    Tidak diragukan lagi Kitab diwahyukan yang sempurna dan hidup adalah Kitab yang menuntun para pencari Tuhan ke arah sasarannya dan menyelamatkan yang bersangkutan dari kehidupan dan akhlak yang rendah, untuk bertemu dengan Wujud Penyelamat Yang Maha Tercinta.

   Kitab tersebut harus mampu melepaskan orang dari segala keraguan dan mengaruniakan kepadanya pemahaman yang sempurna,  seolah-olah ia bisa melihat Tuhan-nya. Kitab demikian harus bisa menciptakan hubungan yang erat di antara Tuhan dengan dirinya, sehingga ia menjadi hamba Allah yang setia dimana Allah Swt. akan mengasihinya sedemikian rupa, sehingga Dia membedakan yang bersangkutan dibanding manusia lain melalui berbagai pertolongan dan bantuan-Nya serta membukakan pintu gerbang pemahaman Wujud-Nya kepadanya.

     Jika sebuah Kitab gagal melaksanakan fungsi yang menjadi tujuan utamanya tersebut, bahkan lalu mencoba menaikkan pamor dirinya dengan membuat berbagai pernyataan yang tidak relevan, maka keadaannya sama saja dengan seseorang yang mengaku sebagai dokter ahli tetapi tidak mampu mengobati pasien yang dibawa kepadanya, malah terus mengatakan bahwa ia menguasai ilmu perbintangan atau filosofi.   Orang seperti itu pantasnya disebut pelawak saja.

   Tujuan utama dari sebuah Kitab Ilahi dan seorang Rasul Allah adalah menyelamatkan dunia dari kehidupan dosa serta menciptakan hubungan yang suci di antara Tuhan dengan dunia.  Bukanlah tujuan dari Kitab demikian untuk mengajarkan ilmu-ilmu sekuler dan temuan-temuan duniawi.

      Tidaklah sulit bagi seorang berfikiran jernih dan adil untuk memahami bahwa tujuan dari sebuah Kitab Ilahi adalah menuntun manusia kepada Tuhan dan menjadikan mereka beriman kepada-Nya sepenuh hati, serta menahan mereka dari melakukan dosa dengan cara menanamkan keagungan dan penghormatan kepada Tuhan dalam hati mereka.

    Apalah artinya sebuah Kitab yang tidak bisa mensucikan hati atau memberikan pemahaman murni dan sempurna sehingga orang lalu jadi membenci dosa. Daya tarik dosa adalah laiknya penyakit lepra yang tidak bisa disembuhkan kecuali adanya manifestasi (perwujudan)   Tuhan Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengerti, dimana tanda-tanda keagungan dan kekuasaan-Nya turun bagai hujan atas diri manusia.



Pentingnya Memiliki Keyakinan yang Teguh

  

     Manusia tidak akan terbebas dari dosa kecuali ia menyadari Wujud Tuhan dengan Kekuasaan-Nya Yang Maha Dahsyat,  sebagaimana seekor domba menyadari adanya harimau dua langkah di depannya.  Manusia perlu dibebaskan dari ketertarikan fatal terhadap dosa.

     Keagungan Tuhan seharusnya mengisi hati yang bersangkutan agar hal itu bisa mengikisnya dari daya tarik nafsu yang turun ke atas dirinya seperti kilat dan menghanguskan seketika sisa-sisa ketakwaannya.   Nafsu-nafsu kotor yang menyerang berulangkali seperti penyakit epilepsi (ayan) dan menghancurkan semua rasa kesalehan, tidak mungkin dipupus melalui impresi  (kesan) tentang Tuhan yang direka-rekanya sendiri. Hal demikian tidak juga bisa diredam dengan olah fikiran sendiri atau dicegah melalui penebusan dosa oleh orang lain.

    Seorang yang bijak tentunya menganggap perlu menjaga dirinya dari kehancuran yang dihadapi,  akibat dari keberaniannya dan karena kurang dekat dirinya kepada Tuhan, dimana semua itu menjadi sumber dari dosa dan kedurhakaan.

     Pasti bahwa seseorang tidak akan meninggalkan kesenangan hanya karena suatu duga rekaan atau kira-kira. Hanya kepastian sajalah yang akan bisa menyelamatkan seseorang dari kepastian lainnya.  Sebagai contoh, kalau kita meyakini bahwa di sebuah hutan ada sejumlah rusa yang mudah ditangkap, maka didorong keyakinan tersebut kita akan memasuki hutan itu.

     Tetapi kalau kita juga tahu dan yakin bahwa ada 50 harimau serta 1000 ular di sana, kita akan menahan diri untuk memasuki hutan tersebut. Karena itulah dosa tidak mungkin dihindari tanpa adanya kepastian keyakinan seperti itu. Harus ada keyakinan tentang keagungan dan takut kepada Tuhan,  yang merobek tirai ketidakacuhan manusia, sedemikian rupa sehingga tubuh menjadi gemetar dan merasa maut (kematian) sudah mendekat.

     Hati harus demikian takutnya, sehingga semua hubungan dengan kalbu yang berdosa akan diputuskan, dan yang bersangkutan ditarik oleh tangan (kekuatan) yang tak tersembunyi ke arah Tuhan-nya. Hatinya haruslah dipenuhi keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Hidup tidak akan membiarkan pendosa yang berani melenggang bebas tanpa dihukum. Apa yang harus dilakukan seorang pencari kebenaran dengan Kitab yang tidak mampu memenuhi kebutuhan seperti itu?



Al-Quran Menyempurnakan Tujuan Kitab Suci



     Aku ingin menyampaikan kepada semuanya,  bahwa Al-Quran adalah Kitab yang bisa memenuhi semua kebutuhan tersebut. Melalui Kitab ini manusia akan ditarik ke arah Tuhan dan hatinya akan menjadi beku terhadap kecintaan kepada dunia.

     Dengan mengikuti Kitab tersebut maka Tuhan Yang tersembunyi di balik yang paling tersembunyi, akan memanifestasikan (menampakkan) Wujud-Nya serta memperlihatkan kekuatan yang tidak dipahami orang luar dan memberitahukan tentang eksistensi Diri-Nya dengan penegasan: “Aku ini ada.”

    Namun Kitab Veda tidak ada memiliki sifat ini. Kitab ini lebih mirip sebundel naskah usang yang pemiliknya sudah mati dan tidak bisa ditelusuri lagi isinya. Sosok Permesywar yang diagungkan Kitab Veda nyatanya tidak bisa dibuktikan sebagai sesuatu yang hidup. Bahkan sebenarnya Kitab Veda tidak ada memberikan bukti kalau Permesywar mereka memang ada.

    Ajaran menyimpang dalam Kitab Veda menjadikannya diragukan bahwa seseorang dapat menemui Sang Pencipta melalui hasil ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Kitab Veda   ruh dan benda semuanya bersifat abadi dan tidak diciptakan. Lalu bagaimana seseorang bisa menemukan Sang Pencipta melalui sesuatu yang tidak diciptakan?

     Begitu pula Kitab Veda telah menutup pintu wahyu Samawi dan menyangkal tanda-tanda Tuhan yang baru. Menurut Kitab Veda, sang Permesywar tidak bisa memberikan tanda yang mendukung hamba-Nya yang khusus, sesuatu yang seharusnya bersifat istimewa dibanding pengetahuan dan pengalaman rata-rata manusia.

    Paling-paling yang bisa diutarakan tentang Veda adalah bahwa Kitab-kitab itu menyebutkan adanya eksistensi Tuhan sebagai makhluk rata-rata lainnya, dan tidak ada mengemukakan suatu bukti yang bisa mendukung eksistensi Tuhan.

      Singkat kata, Kitab Veda tidak mampu memberikan pemahaman yang datang segar dari Tuhan, yang bisa mengangkat seseorang dari bumi ke langit. Adapun dari pengamatan kami sendiri dan dari pengalaman mereka yang telah mendahului kita, semuanya menjadi saksi bahwa Al-Quran menggiring para penganutnya kepada dirinya melalui pengaruh keruhanian, Nur yang inheren (melekat)  dan mencerahkan batin, serta penampakan tanda-tanda akbar untuk menciptakan hubungan yang erat dengan Tuhan, yang tidak mungkin diretas (diputuskan) oleh pedang yang tajam sekali pun.

     Kitab ini membuka mata hati manusia dan membendung sumber dosa yang kotor serta menganugrahi seseorang dengan kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Tuhan, membukakan hal-hal yang tersembunyi, membantu pengabulan doa serta memberitahukan tentang kemakbulan tersebut.

     Allah Yang Maha Perkasa melalui tanda-tanda-Nya yang dahsyat menjadikan nyata kepada setiap orang yang memusuhi seorang penganut Al-Quran yang setia,  bahwa Dia itu selalu beserta hamba-Nya yang selalu mematuhi firman-Nya.” (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XXIII, hlm.  305-309, London, 1984).



Kemerosotan Umat Islam di Hindustan



     Agar permasalahannya dimengerti mengapa Mirza Ghulam Ahmad a.s.  --  Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah   -- atau Masih Mau’ud a.s.  dalam  buku-buku beliau banyak menyinggung ajaran atau Kitab-kitab suci agama-agama selain agama Islam, karena pada masa beliau wilayah Hindustan  --    yang dari segi keagamaan dikuasai oleh agama Hindu, Buddha dan Sikh, serta menjadi target gerakan Kritenisasi  sejalan dengan bercokolnya kekuasaan Kerajaan Inggris Raya di  benua alit tersebut,  setelah jatuhnya masa kejayaan  kerajaan  Moghul yang beragama Islam  (1526 - 1857) oleh  kekuasaan kaum Sikh --  keadaan umat Islam  benar-benar sangat memprihatinkan.

    Pasa masa kekuasaan kaum Sikh tersebut keadaan umat Islam  di Hindustan benar-benar bagaikan seorang pahlawan perkasa yang telah lumpuh,  sehingga mereka   dari segi politik bukan saja tidak mampu mempertahankan kekuasaan umat Islam di Hindustan, bahkan dari segi keagamaan pun umat Islam tidak mampu menjawab serangan-serangan keji yang dilontarkan terhadap kesempurnaan ajaran Islam  (Al-Quran)  serta kesucian akhlak dan ruhani Nabi Besar Muhammad saw..

    Begitu tidak berdayanya keadaan umat Islam ketika itu di Hindustan sehingga banyak mesjid-mesjid serta tempat-tempat ibadah umat Islam lainnya yang berubah menjadi kandang binatang piaraan   orang-orang Hindu  dan Sikh. Kenyataan tersebut membuat  Mirza Ghulam Ahmad sangat sedih  karena menyaksikan kesempurnaan  agama Islam (Al-Quran) serta kesucian  akhlak dan ruhani Nabi Besar Muhammad saw.  menjadi  mangsa penghinaan keji  tanpa sedikit pun  para ulama Muslim mampu memberikan perlawanan atau jawaban, sebab mereka sendiri pun telah memperlakukan Al-Quran sebagai sesuatu yang telah dicampakkan (QS.25:31-21), firman-Nya:

وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا  الۡقُرۡاٰنَ  مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾ 

Dan  Rasul itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang telah ditinggalkan.  Dan demikianlah Kami  telah menjadikan musuh bagi tiap-tiap nabi dari antara orang-orang yang berdosa, dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai pemberi petunjuk dan penolong. (Al-Furqān [25]:32-33).

   Ayat 32 dengan sangat tepat sekali dapat dikenakan kepada mereka yang menamakan diri orang-orang Muslim tetapi telah menyampingkan Al-Quran dan telah melemparkannya ke belakang. Barangkali belum pernah terjadi selama 14 abad ini di mana Al-Quran demikian rupa diabaikan dan dilupakan oleh orang-orang Muslim seperti dewasa ini.

    Ada sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw.   yang mengatakan: “Satu saat akan datang kepada kaumku, bila tidak ada yang tinggal dari Islam melainkan namanya dan dari Al-Quran melainkan kata-katanya (Baihaqi, Syu’ab-ul-iman). Sungguh masa Akhir Zaman   inilah saat yang dimaksudkan itu.



(Bersambung)



Rujukan: The Holy Quran

Editor: Malik Ghulam Farid

oo0oo
Pajajaran Anyar,  2 Januari  2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar