Minggu, 28 Februari 2016

Kebiasaan Mengubah-ubah Makna Isi Kitab Suci di Kalangan Golongan Ahli-Kitab



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Kebiasaan Mengubah-ubahMakna Isi    Kitab Suci di Kalangan Golongan Ahli-Kitab

Bab 44


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Bab sebelumnya telah kemukakan ayat mengenai  adanya keselarasan antara peristiwa jasmani dan peristiwa ruhani   dan mengenai munculnya  Misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. di kalangan Umat Islam, yakni perkembangan akhlak dan ruhani  orang-orang yang bertakwa -- yang benar-benar menjaga kesucian dirinya  seperti Maryam binti ‘Imran   (QS.66:13) --   memiliki keselarasan dengan  peristiwa jasmani yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dalam firman-Nya berikut ini dengan   ayat-ayat selanjutnya:  
وَ الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہَا مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ جَعَلۡنٰہَا وَ ابۡنَہَاۤ  اٰیَۃً  لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah Maryam perempuan yang memelihara kesuciannya, فَنَفَخۡنَا فِیۡہَا مِنۡ رُّوۡحِنَا --  maka Kami meniupkan kepadanya ruh Kami وَ جَعَلۡنٰہَا وَ ابۡنَہَاۤ  اٰیَۃً  لِّلۡعٰلَمِیۡنَ  -- dan Kami menjadikan dia dan anaknya  suatu Tanda untuk seluruh alam. (Al-Anbiyā [21]:92).
Firman-Nya:
وَ جَعَلۡنَا ابۡنَ مَرۡیَمَ وَ اُمَّہٗۤ  اٰیَۃً وَّ اٰوَیۡنٰہُمَاۤ  اِلٰی رَبۡوَۃٍ  ذَاتِ قَرَارٍ وَّ مَعِیۡنٍ ﴿٪﴾
Dan Kami menjadikan  Ibnu Maryam dan ibunya suatu Tanda, dan Kami melindungi keduanya ke suatu dataran yang tinggi yang memiliki   lembah-lembah hijau  dan sumber-sumber mata air yang  mengalir (Al-Mu’minūn [23]:51).
Tidak mungkin ada lukisan lebih bagus mengenai tempat di mana sesudah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  terhindar dari kematian terkutuk di atas salib,  beliau  dan ibunda beliau  tinggal  dengan aman-sentausa dan pulang ke Rahmatullāh, daripada yang dikemukakan oleh Al-Quran  dalam kata-kata "dataran yang tinggi yang memiliki lembah-lembah hijau dan sumber-sumber air yang mengalir" yang merupakan lukisan yang sangat tepat mengenai  Lembah Kasymir yang indah itu. Nicholas Notovitch menamakan Kasymir "Lembah Kebahagiaan Abadi".
     Firman Allah Swt.  mengenai gambaran “surga jasmani” di dunia tersebut   memiliki hubungan dengan firman-Nya mengenai “surga ruhani” yang dikemukakan firman-Nya berikut ini:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾  ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾  فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾  وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau, maka masuklah dalam golong-an hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku.  (Al-Fajr [89]: 28-31).
    Ini merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi, ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khas. Ia “manunggal” dengan Tuhan dan tidak dapat hidup tanpa Dia.
   Di dunia ini, dan bukan  setelah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah dan  bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga. Dengan demikian benarlah sabda Masih Mau’ud a.s.  berikut ini:
Kisah-kisah yang dikemukakan di dalam Kitab Suci Al-Quran sesungguhnya adalah nubuatan-nubuatan yang diutarakan dalam bentuk cerita. Dalam Kitab Taurat, yang dimaksud adalah memang kisah-kisah saja, tetapi di dalam Al-Quran setiap kisah tersebut merupakan nubuatan berkaitan dengan Hadhrat Rasulullah Saw. dan agama Islam dimana kenyataannya semua nubuatan tersebut telah terpenuhi secara nyata.”   (Chasma Marifat).

Perintah Allah Swt. Kepada Umat Islam Untuk Menjadi Para Penolong Al-Masih Mau’ud a.s. Mewujudkan Kejayaan Islam di Akhir Zaman
 
     Jadi, kembali kepada sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai tujuh kaidah  penafsiran Al-Quran, betapa pentingnya mengamalkan  petunjuk dari Masih Mau’ud a.s. tersebut, sebab akibat kekeliruan   menafsirkan  firman Allah Swt. dalam Surah An-Nisa ayat 158-159   -- mengenai masalah  penyaliban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  dan penyelamatan beliau   -- telah mengakibatkan umumnya  umat Islam tidak mampu menghadapi gerakan Kristenisasi  dengan cara-cara yang efektif dan tanpa harus menggunakan tindakan kekerasan, sebab Allah Swt. dalam Al-Quran dengan jelas telah menyatakan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat (QS.3:56 & 145; QS.5:117-119; QS.21:35-36), dan makna kedatangan kedua kali beliau di Akhir Zaman ini adalah kedatangan misal Nabi  Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) dalam wujud Masih Mau’ud a.s., firman-Nya:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾  وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا ضَرَبُوۡہُ  لَکَ  اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ ﴿﴾  اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ جَعَلۡنٰہُ  مَثَلًا   لِّبَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾   
Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnya,     dan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?" Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata. Bahkan mereka adalah kaum yang biasa berbantah.  Ia tidak lain melainkan seorang hamba yang telah Kami  anugerahi nikmat kepadanya, dan Kami menjadikan dia suatu perumpamaan  bagi Bani Israil. (Az-Zukhruf [43]:58-60).
       Shadda (yashuddu)  dalam ayat  وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ    berarti: ia menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes) (Al-Aqrab-ul-Mawarid).   Bagi Bani Israil  kedatangan Al-Masih a.s.  adalah tanda bahwa orang-orang Yahudi akan dihinakan dan direndahkan serta akan kehilangan kenabian untuk selama-lamanya. Karena matsal berarti sesuatu yang semacam dengan atau sejenis dengan yang lain (QS.6:39).
      Ayat tersebut  di samping arti yang diberikan dalam terjemahannya  dapat pula berarti bahwa bila kaum  Nabi Besar Muhammad saw.  –  yaitu kaum Muslimin — diberitahu bahwa orang lain yang seperti dan merupakan sesama Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.53:48) akan dibangkitkan di antara mereka untuk memperbaharui mereka dan mengembalikan kejayaan ruhani mereka yang telah hilang (QS.61:10), maka  mereka bukannya   bergembira atas kabar gembira itu malah mereka berteriak  mengajukan protes. Jadi, ayat ini dapat dianggap mengisyaratkan kepada kedatangan Nabi Isa  Ibnu Maryam a.s.  untuk kedua kalinya dalam wujud Masih Mau’ud a.s..
       Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah Allah Swt. telah memerintahkan umat Islam untuk mengikuti sikap kaum hawariyyin terhadap Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yakni beriman kepada beliau (QS.3:53-54),  bukannya mengikuti  perbuatan zalim   para pemuka Yahudi  yang melakukan penolakan terhadap beliau, bahkan berusaha membunuhnya melalui penyaliban  sehingga mereka menjadi sasaran kemurkaan Allah Swt. (QS.4:156-159; QS.5:79-81), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡۤا  اَنۡصَارَ اللّٰہِ کَمَا قَالَ عِیۡسَی ابۡنُ  مَرۡیَمَ لِلۡحَوَارِیّٖنَ مَنۡ  اَنۡصَارِیۡۤ  اِلَی اللّٰہِ ؕ قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ  اَنۡصَارُ اللّٰہِ  فَاٰمَنَتۡ طَّآئِفَۃٌ  مِّنۡۢ  بَنِیۡۤ  اِسۡرَآءِیۡلَ وَ کَفَرَتۡ طَّآئِفَۃٌ ۚ فَاَیَّدۡنَا  الَّذِیۡنَ  اٰمَنُوۡا عَلٰی عَدُوِّہِمۡ  فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, کُوۡنُوۡۤا  اَنۡصَارَ اللّٰہِ کَمَا قَالَ عِیۡسَی ابۡنُ  مَرۡیَمَ لِلۡحَوَارِیّٖنَ  --  jadilah kamu penolong-penolong Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam berkata kepada pengikut-pengikutnya, مَنۡ  اَنۡصَارِیۡۤ  اِلَی اللّٰہِ -- “Siapakah penolong-penolongku di jalan Allah?” قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ  اَنۡصَارُ اللّٰہِ --  Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Ka-milah penolong-penolong Allah.” Maka segolongan dari Bani Israil beriman sedangkan segolongan lagi kafir, kemudian Kami membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka lalu mereka menjadi  orang-orang yang menang. (Ash-Shaf [61]:15).
  Dari ketiga golongan agama di antara kaum Yahudi yang terhadap mereka Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  menyampaikan tablighnya – yakni kaum Parisi, kaum Saduki, dan kaum Essenes –  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.    termasuk golongan   Essenes sebelum beliau diutus sebagai rasul Allah.
   Kaum Essenes adalah kaum yang sangat bertakwa, hidup jauh dari kesibukan dan keramaian dunia, dan melewatkan waktu mereka dalam berzikir dan berdoa, dan berbakti kepada sesama manusia. Dari kaum inilah berasal bagian besar dari para pengikut beliau di masa permulaan (“The Dead Sea Community,” oleh Kurt Schubert, dan “The Crucifixion by an Eye-Witness”). Mereka disebut “Para Penolong” oleh Eusephus.
 Kata-kata penutup Surah ini sungguh sarat dengan nubuatan. Sepanjang zaman para pengikut Nabi Isa IBnu Maryam a.s.  telah menikmati kekuatan dan kekuasaan atas musuh abadi mereka – kaum Yahudi. Mereka telah menegakkan dan memerintah kerajaan-kerajaan luas dan perkasa, sedang kaum Yahudi tetap merupakan kaum yang cerai-berai sehingga mendapat julukan “the Wandering Jew” (“Yahudi Pengembara”).

Tujuh Kaidah Penafsiran Al-Quran yang Benar

  Demikianlah penjelasan mengenai kebenaran  kaidah pertama dari  tujuh kaidah penafsiran Al-Quran yang dikemukakan Masih Mau’ud a.s., beliau bersabda:
  “Acuan pokok suatu tafsir yang benar dari Kitab Suci Al-Quran adalah kesaksian Al-Quran itu sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran berbeda dengan Kitab-kitab Samawi lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
    Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi  dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20 kesaksian termaktub yang mendukungnya.
    Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada sedangkan pengertian yang kita dapat itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus menyimpulkan bahwa tafsir itu  salah,   karena tidak mungkin terdapat kontradiksi di dalam Al-Quran.      Tanda   suatu tafsir yang benar ialah jika keseluruhan kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran memang jelas mendukung.
   Acuan kedua dari pengertian yang benar mengenai Al-Quran adalah tafsir yang dikemukakan oleh Hadhrat Rasulullah Saw.. Tidak diragukan lagi bahwa sosok yang paling memahami pengertian Al-Quran adalah Nabi Besar kita yang tercinta. Dengan demikian jika memang sudah ada tafsir dari Hadhrat Rasulullah Saw. maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menerimanya tanpa ragu-ragu lagi, sedangkan mereka yang menolak termasuk murtad dan mengada-ada.
       Acuan ketiga adalah penafsiran dari para sahabat Hadhrat Rasulullah Saw.. Para sahabat tersebut merupakan pewaris pertama dari Nur dan pengetahuan yang dibawa Hadhrat Rasulullah Saw.. Mereka ini mendapat rahmat akbar dari Allah Swt.  dimana persepsi mereka dibantu oleh-Nya karena mereka ini tidak saja telah beriman tetapi juga telah melaksanakan apa yang diimani.
   Acuan keempat adalah perenungan Al-Quran dengan ruhani yang suci mengingat juga Al-Quran berkaitan dengan kesucian ruhani seseorang sebagaimana dinyatakan Allah yang Maha Agung dalam firman-Nya:
لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ
 “(Kitab) yang tiada orang boleh menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan  (Al-Wāqi’ah [56]:80).
    Berarti hanya seorang yang memiliki hati yang telah disucikan yang dapat menghargai wawasan suci dari Al-Quran karena kedekatannya dengan Kitab tersebut. Ia mengenali segala kebenaran dan keharuman yang dikandung Kitab tersebut dan batinnya bersaksi bahwa inilah jalan yang lurus.
     Nur hati orang seperti itulah yang menjadi acuan guna menguji kebenaran. Kecuali seseorang telah disucikan dalam amalannya dan telah berhasil melewati jalan sempit yang dilalui oleh para nabi, sebaiknya janganlah ia menjadi penafsir isi Al-Quran, apalagi jika didasari oleh sikap kurang ajar dan kesombongan karena hasil tafsirnya nanti didasarkan pada opini dirinya sendiri. Tafsir seperti itu dilarang oleh Hadhrat Rasulullah Saw. yang menyatakan:
Ia yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan opininya sendiri berada dalam kesalahan, meskipun ia mengemukakan tafsir yang menurutnya adalah yang benar.”
       Acuan kelima adalah kosa-kata bahasa Arab, hanya saja Al-Quran terkadang memberi arti yang beragam sekali sehingga tidak sepenuhnya bisa bersandar pada lexicon (kamus) atau kosa-kata tersebut. Terkadang dengan memperhatikan kosa-katanya, perhatian bisa dibimbing kepada suatu rahasia sehingga yang bersangkutan dapat mengungkapkan hal yang tersembunyi dalam Al-Quran.
  Acuan keenam adalah perbandingan sistem keruhanian dengan sistem jasmaniah karena ada keselarasan di antara keduanya.
     Acuan ketujuh adalah wahyu dan kasyaf para orang suci. Acuan ini sebenarnya merangkum keseluruhan acuan-acuan lainnya, karena seorang penerima wahyu adalah refleksi (pantulan) sempurna dari Nabi yang diikutinya, dimana dengan kekecualian pemberian status kenabian dan adanya syariat baru, ia mendapatkan semua sebagaimana yang diterima sang Nabi.
   Akidah yang benar dan pasti akan dibukakan kepadanya dan ia akan menerima segala karunia berupa berkat dan rahmat sebagaimana yang diberikan Tuhan kepada Nabi yang diikutinya. Ia tidak akan mengada-ada, tetapi hanya berbicara atas dasar apa yang dilihatnya dan mengemukakan apa yang didengarnya. Jalan ini terbuka bagi setiap umat Muslim, karena jika tidak maka tidak akan ada lagi pewaris Nabi Besar Muhammad Saw.” (Barakatud-Du’a, Qadian, Riyaz Hind Press, 1310 H; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VI, hlm.  17-21, London, 1984).
  Semua karunia Ilahi tersebut terbuka bagi para pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).

Dilarang Mengubah Susunan  Isi Al-Quran & Kebiasaan Buruk di Kalangan Sebagian Golongan Ahli Kitab

  Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai pentingnya menjaga susunan Surah-surah dan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Nabi Besar Muhammad asw.  atas petunjuk Allah Swt.:
   “Perlu diperhatikan, bahwa kita tidak diizinkan untuk mengadakan perubahan apa pun dalam teks ayat atau urutan di dalam firman Tuhan, kecuali Hadhrat Rasulullah Saw. ada melakukannya dan ini bisa dibuktikan. Tanpa adanya bukti itu maka kita tidak boleh mengusik urut-urutan Al-Quran ataupun menambahkan sesuatu padanya. Kalau dilakukan maka kita dianggap bersalah dan akan dimintakan pertanggungjawabannya.” (Itmamul Hujjah, Gulzar Muhammadi Press, Lahore, 1311 H, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain,  jld. VIII, hlm. 29, London, 1984).
   Mengubah-ubah isi Kitab suci  serta  menyimpangkan maknanya yang benar merupakan kebiasaan di kalangan golongan Ahli Kitab, sehingga  keaslian Kitab-kitab suci mereka menjadi semakin sulit dipertahankan, firman-Nya:   
وَ اِنَّ مِنۡہُمۡ لَفَرِیۡقًا یَّلۡوٗنَ اَلۡسِنَتَہُمۡ بِالۡکِتٰبِ لِتَحۡسَبُوۡہُ مِنَ الۡکِتٰبِ وَ مَا ہُوَ مِنَ الۡکِتٰبِ ۚ وَ یَقُوۡلُوۡنَ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ  وَ مَا ہُوَ  مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ۚ وَ یَقُوۡلُوۡنَ عَلَی اللّٰہِ الۡکَذِبَ وَ ہُمۡ  یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ یُّؤۡتِیَہُ اللّٰہُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ثُمَّ یَقُوۡلَ لِلنَّاسِ کُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّیۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ لٰکِنۡ کُوۡنُوۡا رَبّٰنِیّٖنَ بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا کُنۡتُمۡ  تَدۡرُسُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَاۡمُرَکُمۡ اَنۡ تَتَّخِذُوا الۡمَلٰٓئِکَۃَ وَ النَّبِیّٖنَ اَرۡبَابًا ؕ اَیَاۡمُرُکُمۡ بِالۡکُفۡرِ بَعۡدَ اِذۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿٪﴾
Dan sesungguhnya di kalangan mereka benar-benar ada segolongan  yang memutar-mutar lidahnya dengan membaca Kitab,  supaya kamu menyangka hal itu dari  Kitab, padahal itu sekali-kali  bukan dari Kitab. Dan mereka berkata:  “Itu adalah dari sisi  Allah,” padahal itu   sekali-kali bukan dari sisi Allah, dan mereka berkata dusta terhadap Allah dan mereka mengetahui.  Sekali-kali tidak mungkin bagi seorang manusia yang kepadanya Allah memberi Kitab, Kekuasaan, dan  kenabian,  kemudian ia  berkata kepada manusia: “Jadilah kamu hamba-hamba-Ku, bukannya hamba-hamba Allah”,  tetapi ia akan berkata:  “Jadilah kamu orang yang berbakti  hanya kepada Allah, karena kamu senantiasa mengajarkan Kitab, dan kamu senantiasa mempelajarinya, dan kamu senantiasa membacanya.”  Dan tidak  pula ia akan menyuruh kamu supaya kamu menjadikan malaikat-malaikat dan nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Apakah  ia akan menyuruhmu  kafir  setelah kamu menjadi  orang-orang yang berserah diri kepada Allah? (Ali ‘Imran [3]:79-81).
    Ayat 79  merupakan suatu sindiran terhadap kebiasaan jahat sebagian orang Yahudi di zaman Nabi Besar Muhammad saw..  Mereka membaca suatu kalimat dalam bahasa Ibrani dengan cara bacaan demikian rupa, sehingga para pendengar akan terpedaya dan menyangka bahwa Taurat  yang sedang dibacakan itu.
     Kata “Alkitab” yang dipakai tiga kali dalam ayat ini maksudnya “sebuah kalimat dalam bahasa Ibrani”   dalam  sebutan yang pertama, dan mengisyaratkan  kepada  “Taurat”  dalam sebutan yang kedua dan ketiga. Kalimat itu disebut “Alkitab”  sebab orang-orang Yahudi berusaha membuatnya nampak seperti itu.
    Dalam ayat 80   pengulangan  mā kāna lahu (tidak mungkin baginya) dipakai dalam tiga pengertian: (a) tidak layak baginya berbuat demikian; (b) tidak mungkin baginya berbuat demikian; atau tidak masuk akal ia sampai berbuat demikian; (c) tidak ada kemungkinan ia dapat berbuat demikian, yakni secara fisik mustahil ia berbuat demikian, firman-Nya:
مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ یُّؤۡتِیَہُ اللّٰہُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ثُمَّ یَقُوۡلَ لِلنَّاسِ کُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّیۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ لٰکِنۡ کُوۡنُوۡا رَبّٰنِیّٖنَ بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا کُنۡتُمۡ  تَدۡرُسُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَاۡمُرَکُمۡ اَنۡ تَتَّخِذُوا الۡمَلٰٓئِکَۃَ وَ النَّبِیّٖنَ اَرۡبَابًا ؕ اَیَاۡمُرُکُمۡ بِالۡکُفۡرِ بَعۡدَ اِذۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿٪﴾
Sekali-kali tidak mungkin  bagi seorang manusia yang kepadanya Allah memberi Kitab, Kekuasaan, dan  kenabian,  kemudian ia  berkata kepada manusia: “Jadilah kamu hamba-hamba-Ku, bukannya hamba-hamba Allah”,  tetapi ia akan berkata:  “Jadilah kamu orang yang berbakti  hanya kepada Allah, karena kamu senantiasa mengajarkan Kitab, dan kamu senantiasa mempelajarinya, dan kamu senantiasa membacanya.”  Dan tidak  pula ia akan menyuruh kamu supaya kamu menjadikan malaikat-malaikat dan nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Apakah  ia akan menyuruhmu  kafir  setelah kamu menjadi  orang-orang yang berserah diri kepada Allah? (Ali ‘Imran [3]:80-81). 

Makna Rabbaniyyīn  & Munculnya Kemusyrikan di Kalangan Ahli Kitab

      Makna  kata  Rabbaniyyīn  dalam ayat 80 itu jamak dari Rabbaniy yang berarti: (1) orang yang mewakafkan diri untuk mengkhidmati agama atau menyediakan dirinya untuk menjalankan ibadah; (2) orang yang memiliki ilmu Ilahiyyat (Ketuhanan); (3) orang yang ahli dalam pengetahuan agama, atau seorang yang baik dan bertakwa;  (4) guru yang mulai memberikan kepada orang-orang pengetahuan atau ilmu yang ringan-ringan sebelum beranjak ke ilmu-ilmu yang berat-berat; (5) induk semang atau majikan atau pemimpin; (6) seorang mushlih (pembaharu). (Lexicon Lane; Sibawaih, dan Al-Mubarrad).
    Kata-kata: بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا کُنۡتُمۡ  تَدۡرُسُوۡنَ  --  Karena kamu senantiasa mengajarkan Al-Kitab dan karena kamu senantiasa mempelajarinya, menunjukkan bahwa telah menjadi kewajiban bagi semua yang telah meraih ilmu keruhanian (Rabbaniyyīn) agar mereka meneruskannya kepada orang-orang lain dan jangan membiarkan orang-orang meraba-raba dalam kegelapan, kejahilan atau kebodohan.
     Namun dalam kenyataannya di kalangan Ahli Kitab terjadi penyembahan terhadap wujud-wujud selain Allah Swt., yakni  mereka  telah  mempertuhankan  Nabi Uzair a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.,  -- bahkan mempertuhankan Maryam binti  ‘Imran, ibunda Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.5:117-119), firman-Nya:
وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ  ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ  ابۡنُ  اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ  قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی  یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾  اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا  لِیَعۡبُدُوۡۤا  اِلٰـہًا  وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾  یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾  ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾
Dan  orang-orang Yahudi berkata: “Uzair  adalah  anak Allah”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Al-Masih adalah  anak  Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya, mereka  meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipa-lingkan dari Tauhid? اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ  --  Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka  sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu juga Al-Masih ibnu Maryam, وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا  لِیَعۡبُدُوۡۤا  اِلٰـہًا  وَّاحِدًا  -- padahal  mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa. لَاۤ اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ  --  Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-suci Dia dari apa yang mereka sekutukan. یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ --  Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah  dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai. ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ --   Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau-pun orang-orang musyrik tidak menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).

Imam Ezra” (Uzair)

     ‘Uzair atau Ezra hidup pada abad kelima sebelum Masehi. Beliau keturunan Seraya, imam agung, dan karena beliau sendiri pun anggota Dewan Imam dan dikenal sebagai Imam Ezra. Beliau termasuk seorang tokoh terpenting di masanya dan mem-punyai pengaruh yang luas sekali dalam mengembangkan agama Yahudi. Beliau men-dapat kehormatan khas di antara nabi-nabi Israil.
    Orang-orang Yahudi di Medinah dan suatu mazhab Yahudi di Hadramaut, mempercayai beliau sebagai anak Allah. Para Rabbi (pendeta-pendeta Yahudi) menghubungkan nama beliau dengan beberapa lembaga-lembaga penting. Renan mengemukakan dalam mukadimah bukunya “History of the People of Israel” bahwa bentuk agama Yahudi yang-pasti dapat dianggap berwujud semenjak masa Ezra. Dalam kepustakaan golongan Rabbi, beliau dianggap patut jadi wahana pengemban syariat seandainya syariat itu tidak dibawa oleh Nabi Musa a.s.. Beliau bekerjasama dengan Nehemya dan wafat pada usia 120 tahun di Babil (Yewish Encyclopaedia & Encyclopaedia  Biblica).
      Ahbar adalah ulama-ulama Yahudi dan Ruhban adalah para rahib agama Nasrani:  اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ  --  “Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka  sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu juga Al-Masih ibnu Maryam.”

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,   23 Februari 2016
 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar