Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Kemunculan Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw. di Kalangan Umat Islam “Kaum Lain” & Dampak Buruk Fatwa Takfir (Pengkafiran) Terhadap Sesama Muslim
Bab 30
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai munculnya orang-orang yang diridhai Allah Swt. melalui pemahaman dan pengamalan Al-Quran yang benar
sebagaimana yang dicontohkan Nabi
Besar Muhammad saw., beliau
bersabda:
“….Sejak terbitnya matahari
kebenaran di dunia ini dalam bentuk kedatangan sosok Hadhrat Rasulullah Saw., sudah ribuan
orang yang telah mencapai dan masih
banyak lagi yang akan datang pada tingkat derajat yang luhur tersebut, yaitu dengan mengikuti firman Tuhan dan mematuhi
Hadhrat Rasulullah Saw. sebagaimana
dikatakan di atas.
Allah Yang Maha Agung secara
berkesinambungan telah menganugrahkan karunia-Nya
serta meninggikan derajat mereka dan
memberikan bantuan kepada mereka
sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang memiliki penglihatan yang jernih akan mengenali
mereka sebagai orang-orang yang
diridhai Allah Yang Maha Agung dan bahwa mereka berada di bawah naungan kasih dan rahmat Ilahi.
Para pengamat akan bisa melihat dengan jelas bahwa mereka ini diberkati dengan berbagai karunia yang luar biasa dan menjadi berbeda dengan manusia lainnya, karena
mendapat begitu banyak mukjizat yang
indah. Mereka ini sepertinya diurapi
dengan harum-haruman kasih Ilahi dan
memperoleh status keridhaan Allah Swt..
Nur Allah Yang Maha Perkasa mencerahkan sahabat-sahabat mereka, perhatian
mereka, tekad mereka, ibadah mereka, mata mereka, akhlak
mereka, cara hidup mereka, kesenangan dan kemarahan mereka, kesukaan
dan ketidak-sukaan mereka, gerakan mereka, istirahat mereka, bicara
mereka, diamnya mereka, dzahir mereka, batin mereka, laiknya parfum
mulia yang mengisi sebuah bejana
kristal.
Semua hal itu dapat kalian
peroleh melalui kedekatan kepada
mereka, perhatian mereka dan kasih
mereka. Dengan cara memperlakukan mereka
ini dengan baik dan itikad yang suci maka keimanan kalian akan memperoleh aspek baru dan akan muncul suatu kekuatan baru untuk penampakan nilai-nilai akhlak mulia, sehingga
kecenderungan mementingkan diri sendiri
serta kedurhakaan akan menghilang,
dan sebagai gantinya mendapatkan kepuasan
dan kemanisan batin.
Sejalan dengan kemampuan
masing-masing dan tingkat kedekatannya,
keimanannya akan mengemuka, hormat serta kasih akan muncul, dan kenikmatan
akan kesadaran kepada Tuhan lalu meningkat. Jika kalian mengamati mereka itu dalam waktu lama, kalian akan mengakui bahwa
sesungguhnya mereka itu menduduki derajat yang tinggi yang tidak ada padanannya dalam masalah kekuatan keimanan, kondisi moral mereka, tekad
menjauh dari segala hal yang bersifat keduniawian, kecenderungan mereka kepada Tuhan, kasih mereka kepada Tuhan
dan makhluk-Nya, dalam keteguhan hati mereka dan dalam kesetiaan.
Berkomunikasi Langsung dengan Allah
Swt.
Orang-orang yang waras fikirannya
akan segera menyadari bagaimana
mereka ini sebenarnya telah terbebas
dari belenggu yang mengikat kaki
mereka sebagai manusia, dan fikiran
mereka telah dibersihkan dari kecupatan pandangan yang
melelahkan. Mereka itu mendapat kehormatan bisa berbicara langsung
dengan Tuhan mereka, dan dianggap patut memperoleh sapaan Tuhan.
Mereka menjadi sarana untuk membimbing manusia dan memberi petunjuk di antara Tuhan dan para hamba-Nya
yang rajin. Kecemerlangan ruhani
mereka telah ikut mencerahkan hati
manusia lainnya. Sebagaimana datangnya musim
semi yang menumbuhkan tunas-tunas
baru, begitu pula dengan kedatangan
mereka maka manusia yang patuh akan mengalami maraknya kehidupan batin, dimana setiap hati berlomba-lomba melaksanakan hal-hal yang baik dan memupus ketidakacuhan serta mencari keselamatan dari dosa, kedurhakaan, kejahatan, kebodohan dan ketidakmengertian.
Dalam masa hidup mereka yang berberkat itu akan terdapat penyebaran Nur, sehingga setiap mereka yang beriman dan yang mencari kebenaran akan menemukan kesukaan kepada agama
tanpa suatu upaya khusus serta
menikmati peneguhan keimanan. Dengan
kata lain, dari parfum sehari-hari
mereka -- yang diperoleh berkat kepatuhan
yang sempurna tersebut -- setiap manusia
yang tulus akan mendapat maslahat setara dengan tingkat ketulusannya.
Namun ada saja manusia yang selalu bernasib
sial yang tidak bisa menikmatinya
serta terus saja melakukan kejahatan,
kedengkian dan tindakan buruk yang pada akhirnya akan membawa mereka ke dalam api neraka. Mereka inilah yang dimaksud
Allah Yang Maha Kuasa dalam ayat:
خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰی
قُلُوۡبِہِمۡ وَ عَلٰی سَمۡعِہِمۡ ؕ وَ
عَلٰۤی اَبۡصَارِہِمۡ غِشَاوَۃٌ ۫ وَّ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ٪﴿﴾
Allah telah memeterai
hati mereka serta telinga
mereka, sedang di atas mata mereka ada
tutupan dan bagi mereka ada siksaan
besar. (Al-Baqarah [2]:8). (Brahin-i- Ahmadiyah,
sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. I,
hlm. 528-532, London, 1984).
Mengenai para pengikut
hakiki Nabi Besar Muhammad saw. tersebut dinubuatkan akan dibangkitkan lagi di Akhir Zaman di kalangan umat Islam yang keadaannya telah terpecah-belah menjadi berbagai firqah
atau sekte guna mewujudkan kejayaan Islam yang kedua kali (QS.61:10): وَّ اٰخَرِیۡنَ
مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ
ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ
-- “dan juga akan
membangkitkannya pada kaum lain dari
antara mereka, yang belum bertemu
dengan mereka,” firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ
مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ
ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ
-- Dan juga akan membangkitkannya
pada kaum lain dari antara mereka,
yang belum bertemu dengan mereka.
Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. Itulah karunia Allah,
Dia menganugerahkannya kepada siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar (Al-Jumu’ah
[62]:3-5).
Dampak Buruk Fatwa Takfir (Pengakafiran)
Mengenai kata ungkapan خَتَمَ
اللّٰہُ
-- “Allah telah
memeterai” dalam firman Allah Swt. yang
dikemukakan Masih Mau’ud a.s. tersebut perlu dijelaskan, karena
merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا سَوَآءٌ عَلَیۡہِمۡ
ءَاَنۡذَرۡتَہُمۡ اَمۡ لَمۡ تُنۡذِرۡہُمۡ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
orang-orang kafir sama saja bagi mereka,
apakah engkau memperingatkan mereka atau
pun engkau tidak pernah memperingatkan
mereka, mereka tidak akan beriman
(Al-Baqarah [2]:7).
Ayat ini membicarakan orang-orang kafir yang sama sekali tidak mengindahkan kebenaran
-- sekali pun berbagai dalil
dan keterangan yang tak terbantahkan,
bahkan Tanda-tanda Ilahi telah dikemukakan kepada mereka
(QS.6:112-114) -- dan keadaan mereka
tetap sama, baik mereka itu mendapat peringatan atau pun tidak. Mengenai orang-orang semacam itu dinyatakan bahwa selama
keadaan mereka tetap demikian mereka tidak
akan beriman.
Bagian tubuh manusia yang tidak
digunakan untuk waktu yang lama, berangsur-angsur menjadi merana dan tak berguna.
Orang-orang kafir yang disebut di
sini menolak penggunaan hati dan telinga mereka untuk memahami kebenaran. Akibatnya daya pendengaran dan daya tangkap mereka hilang.
Apa yang dinyatakan dalam anak
kalimat, خَتَمَ اللّٰہُ -- Allah
telah mencap, hanya merupakan akibat
wajar dari sikap mereka sendiri
yang sengaja tidak mau mengacuhkan. Karena semua hukum datang dari Allah Swt. dan tiap-tiap sebab diikuti oleh akibatnya
yang wajar menurut kehendak Allah Swt. maka pencapan (pemeteraian/penyegelan) hati
dan telinga orang-orang kafir itu dinisbahkan kepada
Allah Swt., firman-Nya:
خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ وَ عَلٰی سَمۡعِہِمۡ ؕ وَ عَلٰۤی اَبۡصَارِہِمۡ غِشَاوَۃٌ ۫ وَّ
لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ٪﴿﴾
Allah telah mencap hati mereka dan pendengaran
mereka, sedangkan pada penglihatan mereka
ada tutupan, dan bagi mereka
ada siksaan yang amat besar (Al-Baqarah [2]:7).
Makna
kata kafir yang sering dikemukakan dalam Al-Quran
tersebut perlu difahami dengan benar, sebab di Akhir
Zaman ini kecenderungan dan semangat
melakukan takfir (pengkapiran) di
kalangan umumnya umat Islam terhadap sesama Muslim lainnya yang berbeda pandangan
menjadi semacam “teror” tersendiri.
Mengapa demikian? Sebab fatwa
“sesat dan menyesatkan
“serta fatwa “kafir” yang dijatuhkan oleh suatu Lembaga sipil atau suatu golongan Muslim terhadap sesama Muslim lainnya seakan-akan menjadi suatu
“perintah terselubung” atau suatu legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak-pihak yang
“dikafirkan” tersebut.
Bahkan fatwa takfir
itu pun dilakukan pula terhadap pemerintah yang sah, sebab menurut
mereka pemerintah yang selalu merintangi
“pertjuangan mereka” dianggap sebagai “pemerintahan
kafir” dan masyarakat kafir,
sehingga bagi mereka melakukan tindak
kekerasan atau perbuatan yang melanggar hukum negara dan hukum agama pun dibenarkan
karena menurut mereka hal-hal tersebut merupakan
bagian dari “jihad” yang mereka
lakukan.
Jadi, betapa fatwa takfir (pengkafiran)
merupakan semacam pembenaran
atau pelegalan
bagi pihak-pihak yang mengeluarkan fatwa takfir (pengkafiran) terhadap
pihak-pihak yang “dikafirkan” untuk
melakukan berbagai tindakan yang melanggar hukum negara dan agama, karena itu hendaknya semua pihak jangan mudah mengeluarkan fatwa
takfir (pengkafiran) terhadap pihak-pihak
lain yang berbeda pendapat atau berbeda
penafsiran tentang masalah agama, sebab akibat buruk yang ditimbulkannya
akan menimbulkan ketidak-tentraman yang berkepanjangan di kalangan masyarakat
luas.
Makna Kata Kafir Berbeda dengan Murtad
Perlu
diketahui bahwa kata kafir itu berbeda dengan kata murtad (QS.3:145-149; QS.5:55-57), contohnya Nabi Besar Muhammad saw.
menyatakan bahwa seorang Muslim
yang meninggalkan kewajiban melakukan
shalat lima waktu secara sengaja adalah kafir.
Makna kafir dalam kasus tersebut
tersebut adalah “menolak kebenaran”,
bukan artinya murtad dari agama Islam. Nabi Besar Muhammad saw. bersabda mengenai
masalah “kafir” dalam hubungannya
dengan “meninggalkan shalat”:
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Siapa yang
meninggalkan shalat maka telah kafir. (HR. Tirmidzy).
Beliau saw. bersabda lagi:
“(Pembatas) antara seorang Muslim dan kesyirikan serta kekafiran
adalah meninggalkan shalat.”
(HR. Muslim
no. 257).
Kemudian mengenai batasan Muslim
(orang Islam) Nabi Besar Muhammad saw.
bersabda:
“Barangsiapa mengerjakan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami; maka dia
adalah Muslim. Dia memiliki hak sebagaimana hak umumnya kaum Muslimin.
Demikian juga memiliki kewajiban
sebagaimana kewajiban kaum Muslimin.”
Sehubungan dengan ke-Muslim-an tersebut,
berikut adalah pernyataan Allah Swt.
mengenai pengakuan “telah beriman” yang dikemukakan orang-orang Arab gurun kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
قَالَتِ
الۡاَعۡرَابُ اٰمَنَّا ؕ قُلۡ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ لٰکِنۡ قُوۡلُوۡۤا
اَسۡلَمۡنَا وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ فِیۡ قُلُوۡبِکُمۡ ؕ وَ اِنۡ تُطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗ لَا یَلِتۡکُمۡ مِّنۡ
اَعۡمَالِکُمۡ شَیۡئًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾
Orang-orang Arab gurun berkata: اٰمَنَّا -- “Kami telah beriman.” قُلۡ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا -- Katakanlah: “Kamu belum beriman, وَ لٰکِنۡ
قُوۡلُوۡۤا اَسۡلَمۡنَا -- tetapi
katakanlah: ‘Kami telah Islam (berserah diri - Muslim)”, وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ
فِیۡ قُلُوۡبِکُمۡ -- karena keimanan
belum masuk ke dalam hati kamu.” وَ اِنۡ تُطِیۡعُوا
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ لَا یَلِتۡکُمۡ
مِّنۡ اَعۡمَالِکُمۡ شَیۡئًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ -- Tetapi jika kamu menaati Allah dan Rasul-Nya,
Dia tidak akan mengurangi sesuatu dari amal-amal kamu, اِنَّ اللّٰہَ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ -- sesungguhnya Allāh Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (Al-Hujurat [49]:15).
Dari firman Allah Swt. tersebut nampak jelas
bahwa muslim dengan mukmin (orang yang beriman) itu tidak sama derajatnya,
sebab seseorang yang telah menyatakan
atau dinyatakan sebagai muslim -- karena telah
mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat --
mungkin saja mereka itu belum atau tidak
melaksanakan empat kewajibannya sebagai Muslim
yang ditetapkan dalam dalam Rukum Islam yakni mengerjakan shalat, membayar
zakat, berpuasa
di bulan Ramadhan, ibadah haji.
Dengan
demikian jelaslah bahwa definisi
Muslim (orang Islam) itu batasan minimalnya
adalah orang yang telah mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, dan batasan maksimalnya
adalah mereka yang melaksanakan Rukun
Islam secara kāffah (seutuhnya), yakni sebagai Muslim yang kāffah dalam
makna yang hakiki, sebagaimana
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِی السِّلۡمِ کَآفَّۃً
۪ وَ لَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّیۡطٰنِ ؕ اِنَّہٗ لَکُمۡ عَدُوٌّ
مُّبِیۡنٌ ﴿﴾ فَاِنۡ زَلَلۡتُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِ
مَا جَآءَتۡکُمُ الۡبَیِّنٰتُ فَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, ادۡخُلُوۡا فِی
السِّلۡمِ کَآفَّۃً -- masuklah
kamu ke dalam kepatuhan
seutuhnya وَ لَا تَتَّبِعُوۡا
خُطُوٰتِ الشَّیۡطٰنِ -- dan janganlah
mengikuti langkah-langkah syaitan, اِنَّہٗ لَکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ -- sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kamu. فَاِنۡ زَلَلۡتُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡکُمُ الۡبَیِّنٰتُ -- Tetapi jika
kamu tergelincir sesudah datang kepada kamu Tanda-tanda yang nyata, فَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ
اللّٰہَ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ -- maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana (Al-Baqarah [2]:209-210).
Kāffah berarti: (1)
semuanya; (2) seutuhnya atau selengkapnya; (3) memukul mundur musuh
dan (4) menahan diri sendiri atau
orang lain dari dosa dan penyelewengan (Al-Mufradat).
Tanda Mukmin
(Orang Beriman) Hakiki
Sehubungan pentingnya menjadi “Muslim” yang kāffah itulah selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi
Besar Muhammad saw. mengenai “orang-orang Arab gurun” yang baru layak disebut “Muslim”
dalam
firman-Nya sebelum ini (QS.49:15):
اِنَّمَا الۡمُؤۡمِنُوۡنَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ
رَسُوۡلِہٖ ثُمَّ لَمۡ یَرۡتَابُوۡا وَ
جٰہَدُوۡا بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ
اُولٰٓئِکَ ہُمُ الصّٰدِقُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya orang beriman adalah الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ -- orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, ثُمَّ لَمۡ
یَرۡتَابُوۡا وَ جٰہَدُوۡا بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ -- kemudian tidak ragu-ragu dan terus berjihad
dengan harta dan jiwa mereka di
jalan Allah. اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الصّٰدِقُوۡنَ -- Mereka itulah orang-orang
yang benar (Al-Hujurat [49]:16).
Nabi Besar Muhammad saw. menjelaskan mengenai kriteria muslim
atau mu’min yang hakiki:
1. ”Tidak beriman
salah seorang di antara kamu sampai ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).
2. “Perumpamaan
orang-orang Mukmin dalam berkasih-sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dan tidak
bisa tidur.” (HR. Bukhari-Muslim).
3. Seorang Muslim adalah orang yang Muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
4. ”Tidak boleh seorang
Muslim menghindari saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya saling bertemu lalu saling berpaling. Sebaik-baik orang di antara keduanya adalah orang yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi, betapa mengerikannya semangat takfir
(menyatakan kafir) yang dilakukan orang-orang yang menyatakan
diri sebagai yang paling Muslim terhadap Muslim lainnya hanya karena perbedaan masalah penafsiran beberapa pemahaman
agama, mereka hendaknya takut terhadap peringatan Nabi Besar Muhammad saw. berikut ini bahwa:
“Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan
kekafiran atau ia mengatakan “Wahai musuh
Allah”, sementara yang dituduhnya itu tidak
demikian maka sebutan tersebut
kembali kepadanya.” (Shahih Muslim
no. 61).
Kemudian riwayat dari
Ibnu ‘Umar r.a. berkata bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
“Apabila seseorang
menyeru kepada saudaranya “Wahai kafir!” maka sungguh sebutan kekafiran tersebut
akan kembali kepada salah seorang
dari keduanya. Bila orang yang disebut
kafir itu memang kafir adanya
maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan
kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.” (HR. Al-Bukhari
no. 6104 dan Muslim no.60).
Demikian pula Abu
Dzar r.a. pun menuturkan
hal yang sama dari Nabi Besar Muhammad
saw.:
“Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan “Wahai musuh
Allah”, sementara yang dituduhnya
itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (HR. Muslim no. 61).
Khutbah Haji Wada Nabi Besar Muhammad Saw.
Dalam khutbah terakhir pada peristiwa Haji Wada Nabi Besar Muhammad saw. berwasiat kepada orang-orang beriman menjaga “persaudaraan”
di kalangan mereka (QS.49:11-14), antara lain
beliau menyinggung firman-Nya berikut
ini:
یٰۤاَیُّہَا
النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ
شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ
اَکۡرَمَکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ
﴿﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari laki-laki
dan perempuan, وَ جَعَلۡنٰکُمۡ
شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِل -- dan Kami
telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku لِتَعَارَفُوۡا -- supaya kamu dapat saling mengenal. اِنَّ
اَکۡرَمَکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ
-- Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. اِنَّ اللّٰہَ
عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ -- Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha
Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
Syu’ub itu jamak
dari sya’b, yang berarti: suku bangsa besar, induk suku-suku bangsa
disebut qabilah, tempat mereka berasal dan yang meliputi mereka; suku
bangsa (Lexicon Lane).
Sesudah membahas masalah persaudaraan dalam Islam pada dua ayat
sebe-lumnya (QS.49:11-13), ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan meliputi seluruh umat manusia. Pada hakikatnya,
ayat ini merupakan “Magna Charta” - piagam
persaudaraan dan persamaan umat
manusia.
Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu lagi bodoh,
yang lahir dari keangkuhan rasial
atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk
manusia maka semua orang telah
dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt..
Harga seseorang tidak
dinilai oleh warna kulitnya,
jumlah harta miliknya, oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat,
keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan
akhlaknya dan oleh caranya
melaksanakan kewajiban kepada Allah Swt. (haququllah) dan kewajibannya
terhadap sesama manusia (haququl-
‘ibād)
Seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga belaka. Ada pun pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa
dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan
untuk memberikan kepada mereka saling
pengertian yang lebih baik terhadap satu-sama lain, agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian
serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa
itu masing-masing: لِتَعَارَفُوۡا -- supaya kamu dapat saling
mengenal.”
Pada peristiwa Haj terakhir di Mekkah, tidak lama
sebelum Nabi Besar Muhammad saw. wafat, beliau saw. berkhutbah di hadapan
sejumlah besar orang-orang Muslim
dengan mengatakan:
“Wahai
sekalian manusia! Tuhan kamu itu Esa dan bapak-bapak kamu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan
atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai
kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya,
seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya
terhadap Allah dan manusia. اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ
عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ -- Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu sekalian pada pandangan Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).
Sabda agung ini menyimpulkan cita-cita paling luhur dan asas-asas paling kuat. Di tengah suatu
masyarakat yang terpecah-belah
dalam kelas-kelas yang berbeda itulah, Nabi Besar Muhammad saw. mengajarkan asas yang sangat demokratis.
Sehubungan dengan komentar Allah
Swt. mengenai pernyataan “beriman” yang dikemukakan orang-orang Arab gurun (QS.49:15) -- yang mewakili orang-orang Muslim golongan awam -- hal itu mengandung makna bahwa sekalian orang
Muslim, siapa pun mereka itu dan
dari bangsa mana pun mereka, merupakan bagian
tidak terpisahkan dari persaudaraan dalam Islam.
Islam memberikan hak sama
kepada putra-putra padang pasir yang buta
huruf dan biadab, seperti
halnya kepada penduduk kota kecil
maupun kota besar yang beradab dan berbudaya; hanya saja oleh Islam dianjurkan kepada mereka yang
disebut pertama (Muslim golongan awam), agar mereka berusaha lebih keras untuk belajar dan meresapkan ke dalam dirinya ajaran
Islam (Al-Quran) yang sempurna dan membuat ajaran-ajaran itu menjadi pedoman
hidup mereka, sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para sahabat
beliau saw. di masa awal, sehingga
walau pun mereka itu merupakan “golongan minoritas” -- jika dibandingkan dengan para penentangnya -- tetapi pada akhirnya mereka dengan pertolongan
Allah Swt. berhasil meraih keunggulan
dengan cara-cara yang terhormat
(QS.33:22-28).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 7 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar