Jumat, 12 Februari 2016

Kemunculan Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw. di Kalangan Umat Islam "Kaum Lain" & Dampak Buruk "Fatwa Takfir" (Pengkafiran) Terhadap Sesama Muslim



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)

  Kemunculan Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw.  di Kalangan Umat Islam  “Kaum Lain”   & Dampak Buruk Fatwa Takfir (Pengkafiran) Terhadap  Sesama Muslim

Bab 30


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya  telah dijelaskan sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai   munculnya orang-orang yang diridhai Allah Swt. melalui pemahaman dan pengamalan Al-Quran  yang benar sebagaimana yang dicontohkan Nabi Besar Muhammad saw.,    beliau bersabda:
     “….Sejak terbitnya matahari kebenaran di dunia ini dalam bentuk kedatangan sosok Hadhrat Rasulullah Saw., sudah ribuan orang yang telah mencapai dan masih banyak lagi yang akan datang pada tingkat derajat yang luhur tersebut, yaitu dengan mengikuti firman Tuhan dan mematuhi Hadhrat Rasulullah Saw. sebagaimana dikatakan di atas.
   Allah Yang Maha Agung secara berkesinambungan telah menganugrahkan karunia-Nya serta meninggikan derajat mereka dan memberikan bantuan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang memiliki penglihatan yang jernih akan mengenali mereka sebagai orang-orang yang diridhai Allah Yang Maha Agung dan bahwa mereka berada di bawah naungan kasih dan rahmat Ilahi.
    Para pengamat akan bisa melihat dengan jelas bahwa mereka ini diberkati dengan berbagai karunia yang luar biasa dan menjadi berbeda dengan manusia lainnya, karena mendapat begitu banyak mukjizat yang indah. Mereka ini sepertinya diurapi dengan harum-haruman kasih Ilahi dan memperoleh status keridhaan Allah Swt..
   Nur Allah Yang Maha Perkasa mencerahkan sahabat-sahabat mereka, perhatian mereka, tekad mereka, ibadah mereka, mata mereka, akhlak mereka, cara hidup mereka, kesenangan dan kemarahan mereka, kesukaan dan ketidak-sukaan mereka, gerakan mereka, istirahat mereka, bicara mereka, diamnya mereka, dzahir mereka, batin mereka, laiknya parfum mulia yang mengisi sebuah bejana kristal.
   Semua hal itu dapat kalian peroleh melalui kedekatan kepada mereka, perhatian mereka dan kasih mereka. Dengan cara memperlakukan mereka ini dengan baik dan itikad yang suci maka keimanan kalian akan memperoleh aspek baru dan akan muncul suatu kekuatan baru untuk penampakan   nilai-nilai akhlak mulia, sehingga kecenderungan mementingkan diri sendiri serta kedurhakaan akan menghilang, dan sebagai gantinya mendapatkan kepuasan dan kemanisan batin.
  Sejalan dengan kemampuan masing-masing dan tingkat kedekatannya, keimanannya akan mengemuka, hormat serta kasih akan muncul, dan kenikmatan akan kesadaran kepada Tuhan lalu meningkat. Jika kalian mengamati mereka itu dalam waktu lama, kalian akan mengakui bahwa sesungguhnya mereka itu menduduki derajat yang tinggi yang tidak ada padanannya dalam masalah kekuatan keimanan, kondisi moral mereka, tekad menjauh dari segala hal yang bersifat keduniawian, kecenderungan mereka kepada Tuhan, kasih mereka kepada Tuhan dan makhluk-Nya, dalam keteguhan hati mereka dan dalam kesetiaan.

Berkomunikasi Langsung dengan Allah Swt.

   Orang-orang yang waras fikirannya akan segera menyadari bagaimana mereka ini sebenarnya telah terbebas dari belenggu yang mengikat kaki mereka sebagai manusia,  dan fikiran mereka telah dibersihkan dari kecupatan pandangan yang melelahkan.  Mereka itu mendapat kehormatan bisa berbicara langsung dengan Tuhan mereka,  dan dianggap patut memperoleh sapaan Tuhan.
     Mereka menjadi sarana untuk membimbing manusia dan memberi petunjuk di antara Tuhan dan para hamba-Nya yang rajin. Kecemerlangan ruhani mereka telah ikut mencerahkan hati manusia lainnya. Sebagaimana datangnya musim semi yang menumbuhkan tunas-tunas baru, begitu pula dengan kedatangan mereka maka manusia yang patuh akan mengalami maraknya kehidupan batin, dimana setiap hati berlomba-lomba melaksanakan hal-hal yang baik dan memupus ketidakacuhan serta mencari keselamatan dari dosa, kedurhakaan, kejahatan, kebodohan dan ketidakmengertian.
      Dalam masa hidup mereka yang berberkat itu akan terdapat penyebaran Nur,  sehingga setiap mereka yang beriman dan yang mencari kebenaran akan menemukan kesukaan kepada agama tanpa suatu upaya khusus serta menikmati peneguhan keimanan. Dengan kata lain, dari parfum sehari-hari mereka -- yang diperoleh berkat kepatuhan yang sempurna tersebut -- setiap manusia yang tulus akan mendapat maslahat setara dengan tingkat ketulusannya.
  Namun ada saja manusia yang selalu bernasib sial yang tidak bisa menikmatinya serta terus saja melakukan kejahatan, kedengkian dan tindakan buruk yang pada akhirnya akan membawa mereka ke dalam api neraka. Mereka inilah yang dimaksud Allah Yang Maha Kuasa dalam ayat:
خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ وَ عَلٰی سَمۡعِہِمۡ ؕ  وَ عَلٰۤی اَبۡصَارِہِمۡ غِشَاوَۃٌ ۫ وَّ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ٪﴿﴾
Allah telah memeterai hati mereka serta telinga mereka, sedang di atas mata mereka ada tutupan dan bagi mereka ada siksaan besar. (Al-Baqarah [2]:8). (Brahin-i- Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. I, hlm.  528-532, London, 1984).
     Mengenai   para pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad saw. tersebut dinubuatkan akan dibangkitkan lagi di Akhir Zaman di kalangan umat Islam  yang keadaannya telah terpecah-belah menjadi berbagai firqah atau sekte  guna mewujudkan kejayaan Islam yang kedua kali (QS.61:10): وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ   --  “dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka,” firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾   ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾ 
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf seorang  rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nyamensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah  walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata,    وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ   --  Dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar  (Al-Jumu’ah [62]:3-5).

Dampak Buruk Fatwa Takfir (Pengakafiran)

      Mengenai  kata  ungkapan  خَتَمَ اللّٰہُ    -- “Allah telah memeterai” dalam firman Allah Swt.  yang dikemukakan Masih Mau’ud a.s.  tersebut perlu dijelaskan,   karena merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا سَوَآءٌ  عَلَیۡہِمۡ ءَاَنۡذَرۡتَہُمۡ  اَمۡ  لَمۡ  تُنۡذِرۡہُمۡ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang  kafir  sama saja bagi mereka, apakah   engkau  memperingatkan mereka atau pun engkau tidak pernah memperingatkan mereka, mereka tidak akan beriman   (Al-Baqarah [2]:7).
     Ayat ini membicarakan orang-orang kafir  yang sama sekali tidak mengindahkan kebenaran  -- sekali pun berbagai  dalil dan keterangan yang tak terbantahkan, bahkan Tanda-tanda Ilahi  telah dikemukakan kepada mereka (QS.6:112-114)   -- dan keadaan mereka tetap sama, baik mereka itu mendapat peringatan atau pun tidak. Mengenai orang-orang semacam itu dinyatakan bahwa selama keadaan mereka tetap demikian mereka tidak akan beriman.
      Bagian tubuh manusia yang tidak digunakan untuk waktu yang lama, berangsur-angsur menjadi merana dan tak berguna. Orang-orang kafir yang disebut di sini menolak penggunaan hati dan telinga mereka untuk memahami kebenaran. Akibatnya daya pendengaran dan daya tangkap mereka hilang.
     Apa yang dinyatakan dalam anak kalimat, خَتَمَ اللّٰہُ -- Allah telah mencap, hanya merupakan akibat wajar dari sikap mereka sendiri yang sengaja tidak mau mengacuhkan. Karena semua hukum datang dari  Allah Swt.  dan tiap-tiap sebab diikuti oleh akibatnya yang wajar menurut kehendak  Allah Swt.  maka pencapan (pemeteraian/penyegelan) hati dan telinga orang-orang kafir itu  dinisbahkan  kepada  Allah  Swt.,  firman-Nya:
خَتَمَ اللّٰہُ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ وَ عَلٰی سَمۡعِہِمۡ ؕ  وَ عَلٰۤی اَبۡصَارِہِمۡ غِشَاوَۃٌ ۫ وَّ لَہُمۡ عَذَابٌ عَظِیۡمٌ ٪﴿﴾
Allah  telah mencap  hati mereka dan pendengaran mereka, sedangkan pada penglihatan  mereka   ada tutupan, dan bagi mereka ada siksaan yang amat besar  (Al-Baqarah [2]:7).
      Makna kata kafir  yang sering dikemukakan dalam Al-Quran tersebut perlu difahami  dengan benar, sebab di Akhir Zaman ini  kecenderungan dan semangat melakukan takfir (pengkapiran) di kalangan umumnya umat Islam  terhadap sesama Muslim lainnya yang berbeda pandangan   menjadi semacam “teror” tersendiri.
       Mengapa demikian? Sebab fatwa  “sesat dan menyesatkan “serta fatwa “kafir”  yang dijatuhkan oleh suatu Lembaga sipil  atau suatu golongan Muslim  terhadap sesama Muslim lainnya seakan-akan menjadi suatu “perintah terselubung” atau suatu legitimasi  untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak-pihak yang  “dikafirkan” tersebut.
    Bahkan fatwa takfir   itu pun dilakukan pula terhadap pemerintah yang sah, sebab menurut mereka  pemerintah yang selalu merintangi “pertjuangan mereka” dianggap sebagai “pemerintahan kafir” dan masyarakat kafir, sehingga bagi mereka melakukan tindak kekerasan atau perbuatan yang melanggar hukum negara dan hukum agama pun  dibenarkan karena  menurut mereka hal-hal tersebut merupakan bagian dari “jihad” yang mereka lakukan.
    Jadi, betapa fatwa takfir  (pengkafiran) merupakan semacam pembenaran atau  pelegalan bagi  pihak-pihak yang mengeluarkan fatwa takfir (pengkafiran) terhadap pihak-pihak yang “dikafirkan” untuk melakukan berbagai tindakan yang melanggar hukum negara dan agama, karena itu hendaknya  semua pihak jangan mudah mengeluarkan fatwa takfir (pengkafiran) terhadap pihak-pihak lain yang berbeda pendapat atau berbeda penafsiran tentang masalah agama, sebab akibat buruk yang ditimbulkannya   akan menimbulkan  ketidak-tentraman  yang berkepanjangan di kalangan masyarakat luas.

Makna Kata Kafir  Berbeda dengan Murtad

      Perlu diketahui bahwa  kata kafir  itu berbeda dengan  kata murtad  (QS.3:145-149; QS.5:55-57), contohnya Nabi Besar Muhammad saw.  menyatakan bahwa seorang Muslim yang meninggalkan kewajiban melakukan shalat lima waktu  secara sengaja adalah kafir.  Makna kafir  dalam kasus tersebut tersebut adalah “menolak kebenaran”, bukan artinya murtad dari agama Islam.  Nabi Besar Muhammad saw. bersabda mengenai masalah “kafir” dalam hubungannya dengan “meninggalkan shalat”:
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka telah kafir. (HR. Tirmidzy).
 Beliau saw. bersabda lagi:
(Pembatas) antara seorang Muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).
      Kemudian mengenai batasan    Muslim  (orang Islam) Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
Barangsiapa mengerjakan shalat kami, menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami; maka dia adalah Muslim. Dia memiliki hak sebagaimana hak umumnya kaum Muslimin. Demikian juga memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban kaum Muslimin.”  
      Sehubungan dengan ke-Muslim-an tersebut, berikut adalah  pernyataan Allah Swt. mengenai pengakuan “telah beriman” yang dikemukakan orang-orang Arab gurun  kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
قَالَتِ الۡاَعۡرَابُ اٰمَنَّا ؕ قُلۡ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ لٰکِنۡ  قُوۡلُوۡۤا  اَسۡلَمۡنَا وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ فِیۡ  قُلُوۡبِکُمۡ ؕ وَ اِنۡ تُطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  لَا یَلِتۡکُمۡ مِّنۡ اَعۡمَالِکُمۡ شَیۡئًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  
Orang-orang Arab gurun berkata:  اٰمَنَّا --  “Kami telah beriman.” قُلۡ لَّمۡ تُؤۡمِنُوۡا --  Katakanlah: “Kamu belum beriman, وَ لٰکِنۡ  قُوۡلُوۡۤا  اَسۡلَمۡنَا --   tetapi katakanlah:  ‘Kami telah Islam (berserah diri - Muslim)”,  وَ لَمَّا یَدۡخُلِ الۡاِیۡمَانُ فِیۡ  قُلُوۡبِکُمۡ  -- karena keimanan belum masuk ke dalam hati kamu.” وَ اِنۡ تُطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ  لَا یَلِتۡکُمۡ مِّنۡ اَعۡمَالِکُمۡ شَیۡئًا ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ  --  Tetapi jika kamu menaati Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sesuatu dari amal-amal kamu, اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ  --  sesungguhnya Allāh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al-Hujurat [49]:15).
     Dari firman Allah Swt. tersebut nampak jelas bahwa muslim dengan mukmin (orang yang beriman) itu tidak sama derajatnya, sebab seseorang yang telah menyatakan  atau dinyatakan sebagai muslim ­ --  karena telah mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat   -- mungkin saja mereka itu belum atau tidak   melaksanakan empat  kewajibannya  sebagai Muslim yang ditetapkan dalam dalam Rukum Islam   yakni   mengerjakan shalat,   membayar  zakat,  berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji.
   Dengan  demikian jelaslah bahwa   definisi Muslim  (orang Islam) itu batasan  minimalnya adalah  orang yang telah mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, dan  batasan maksimalnya  adalah   mereka yang melaksanakan  Rukun Islam  secara kāffah (seutuhnya), yakni sebagai Muslim yang kāffah dalam makna yang hakiki,  sebagaimana firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِی السِّلۡمِ  کَآفَّۃً  ۪ وَ لَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّیۡطٰنِ ؕ اِنَّہٗ لَکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ ﴿﴾ فَاِنۡ زَلَلۡتُمۡ  مِّنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡکُمُ الۡبَیِّنٰتُ فَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, ادۡخُلُوۡا فِی السِّلۡمِ  کَآفَّۃً    -- masuklah kamu  ke dalam kepatuhan seutuhnya  وَ لَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّیۡطٰنِ -- dan  janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, اِنَّہٗ لَکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ  -- sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kamu.  فَاِنۡ زَلَلۡتُمۡ  مِّنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡکُمُ الۡبَیِّنٰتُ  --  Tetapi jika kamu tergelincir sesudah datang kepada kamu Tanda-tanda yang nyata, فَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ  -- maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana  (Al-Baqarah [2]:209-210).
  Kāffah berarti: (1) semuanya; (2) seutuhnya atau selengkapnya; (3) memukul mundur musuh dan (4) menahan diri sendiri atau orang lain dari dosa dan penyelewengan (Al-Mufradat).

Tanda Mukmin (Orang Beriman) Hakiki

     Sehubungan pentingnya menjadi “Muslim” yang kāffah itulah   selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.  mengenai “orang-orang Arab gurun”  yang baru   layak disebut  “Muslim”  dalam  firman-Nya sebelum ini (QS.49:15):
اِنَّمَا  الۡمُؤۡمِنُوۡنَ  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ  ثُمَّ لَمۡ یَرۡتَابُوۡا وَ جٰہَدُوۡا بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اُولٰٓئِکَ  ہُمُ  الصّٰدِقُوۡنَ ﴿﴾  
Sesungguhnya orang beriman adalah الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ   --  orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ثُمَّ لَمۡ یَرۡتَابُوۡا وَ جٰہَدُوۡا بِاَمۡوَالِہِمۡ وَ اَنۡفُسِہِمۡ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ  -- kemudian tidak ragu-ragu dan terus berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah.  اُولٰٓئِکَ  ہُمُ  الصّٰدِقُوۡنَ  -- Mereka itulah orang-orang yang benar  (Al-Hujurat [49]:16).
     Nabi Besar Muhammad saw.  menjelaskan mengenai kriteria muslim atau   mu’min  yang hakiki:
1. Tidak beriman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).
2. Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam berkasih-sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit    dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari-Muslim).
3.  Seorang Muslim adalah orang yang Muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
4.     ”Tidak boleh seorang Muslim menghindari saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya saling bertemu lalu saling berpaling. Sebaik-baik orang di antara keduanya adalah orang yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari-Muslim).
      Jadi, betapa mengerikannya semangat   takfir  (menyatakan kafir)  yang dilakukan orang-orang yang menyatakan diri sebagai yang paling  Muslim terhadap Muslim lainnya hanya karena   perbedaan masalah penafsiran beberapa pemahaman agama,  mereka hendaknya takut terhadap peringatan Nabi Besar Muhammad saw. berikut ini bahwa:
Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan  “Wahai musuh Allah”, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (Shahih Muslim no. 61).
      Kemudian  riwayat dari  Ibnu ‘Umar r.a. berkata bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya  “Wahai kafir!”  maka sungguh sebutan kekafiran tersebut akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.” (HR. Al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no.60).
       Demikian  pula  Abu Dzar  r.a.   pun menuturkan hal yang sama dari  Nabi Besar Muhammad saw.:
Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan  “Wahai musuh Allah”, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (HR. Muslim no. 61).

Khutbah Haji Wada Nabi Besar Muhammad Saw.

     Dalam khutbah terakhir pada peristiwa Haji Wada  Nabi Besar Muhammad saw. berwasiat kepada  orang-orang beriman  menjaga “persaudaraan”  di kalangan  mereka (QS.49:11-14), antara lain beliau menyinggung  firman-Nya berikut ini:
 یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ  اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ  مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِل  --  dan Kami telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku لِتَعَارَفُوۡا  -- supaya kamu dapat saling mengenal. اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ  --  Sesungguhnya  yang paling mulia  di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ  --  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
  Syu’ub itu jamak dari sya’b, yang berarti: suku bangsa besar, induk suku-suku bangsa disebut qabilah, tempat mereka berasal dan yang meliputi mereka; suku bangsa (Lexicon Lane).
 Sesudah membahas masalah persaudaraan dalam Islam pada dua ayat sebe-lumnya (QS.49:11-13), ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan meliputi seluruh umat manusia. Pada hakikatnya, ayat ini merupakan “Magna Charta” - piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia.
Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu lagi bodoh, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia maka semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt..  
  Harga   seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya, jumlah harta miliknya, oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaknya dan oleh caranya melaksanakan kewajiban kepada Allah Swt. (haququllah) dan  kewajibannya terhadap sesama manusia (haququl- ‘ibād)
Seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga belaka.  Ada pun pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka saling pengertian yang lebih baik terhadap satu-sama lain,  agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa itu masing-masing: لِتَعَارَفُوۡا  -- supaya kamu dapat saling mengenal.”  
 Pada peristiwa Haj terakhir di Mekkah, tidak lama sebelum Nabi Besar Muhammad saw.   wafat, beliau saw. berkhutbah di hadapan sejumlah besar orang-orang Muslim dengan mengatakan:
Wahai sekalian manusia! Tuhan kamu itu Esa dan bapak-bapak kamu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Allah dan manusia.  اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ   --  Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).
      Sabda agung ini menyimpulkan cita-cita paling luhur dan asas-asas paling kuat. Di tengah suatu masyarakat yang terpecah-belah dalam kelas-kelas yang berbeda itulah,  Nabi Besar Muhammad saw.  mengajarkan asas yang sangat demokratis.
   Sehubungan dengan   komentar Allah Swt.   mengenai   pernyataan “beriman”  yang dikemukakan orang-orang Arab gurun  (QS.49:15) -- yang mewakili   orang-orang Muslim golongan awam  --   hal itu mengandung makna bahwa sekalian orang Muslim,  siapa pun mereka itu dan dari bangsa mana pun   mereka,    merupakan bagian tidak terpisahkan dari persaudaraan dalam Islam.
  Islam memberikan hak sama kepada putra-putra padang pasir yang buta huruf dan biadab, seperti halnya kepada penduduk kota kecil maupun kota besar yang beradab dan berbudaya; hanya  saja oleh Islam dianjurkan kepada mereka yang disebut pertama (Muslim  golongan awam), agar mereka berusaha lebih keras untuk belajar dan meresapkan ke dalam dirinya ajaran Islam (Al-Quran) yang sempurna dan membuat ajaran-ajaran itu menjadi pedoman hidup mereka, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dan para sahabat beliau saw. di masa awal, sehingga walau pun mereka itu  merupakan “golongan minoritas”  -- jika dibandingkan dengan para penentangnya   -- tetapi pada akhirnya mereka  dengan pertolongan Allah Swt. berhasil meraih keunggulan  dengan cara-cara yang terhormat   (QS.33:22-28).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,   7 Februari  2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar