Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Kesempurnaan
Kitab Suci Al-Quran &
Keberadaan Para Mujaddid Bagaikan
Manzilah-manzilah Bulan Sebagai
Bukti “Jaminan Pemeliharaan” Allah
Swt. Terhadap Al-Quran
Bab 25
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai kritikan keras Yesus (Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.) terhadap
para pemuka agama Yahudi yang tidak sesuai dengan ajaran Taurat m(Matius 23:1-39), beliau
berkata:
12:33 Jikalau suatu pohon kamu katakan baik,
maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon
kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya
pohon itu dikenal. 12:34 Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang baik,
sedangkan kamu sendiri jahat? Karena
yang diucapkan mulut meluap
dari hati. 12:35 Orang
yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik
dan orang yang jahat mengeluarkan
hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. 12:36 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang
harus dipertanggungjawabkannya pada hari
penghakiman. 12:37 Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum." (Matius
12:33-37).
“Pohon yang Buruk” yang Membuahkan Berbagai Bentuk “Kemudharatan” & Cara Menciptakan “Kehidupan Surgawi” di Dunia
Demikian juga di kalangan umat Islam, jika dalam kenyataannya di kalangan mereka ada yang menyukai menebar fatwa kafir (pengkafiran) serta melakukan intimidasi atau teror
terhadap pihak-pihak yang berbeda faham (pandangan) dalam masalah agama dengan mereka, maka
hal tersebut mengindikasikan bahwa mereka
itu termasuk jenis “pohon yang buruk” yang pasti akan menghasilkan “buah-buahan yang buruk” pula berupa
timbul berbagai macam kemudaratan bagi berbagai pihak, antara lain berupa tindakan
“teror” terhadap pihak-pihak
yang dianggap sebagai lawan atau musuh mereka.
Mengapa demikian? Sebab pemahaman dan pengamalan keagamaan atau keimanan
mereka bertentangan dengan misi
kerasulan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108) serta bertentangan dengan gelar “umat terbaik” yang ditetapkan Allah Swt.
bagi orang-orang yang benar-benar beriman
kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:144; QS.3:111), yang identik
dengan perumpamaan “pohon
yang baik”, sebagaimana firman-Nya sebelum ini kepada Nabi Besar Muhammad
saw.:
اَلَمۡ تَرَ
کَیۡفَ ضَرَبَ اللّٰہُ مَثَلًا کَلِمَۃً طَیِّبَۃً کَشَجَرَۃٍ
طَیِّبَۃٍ اَصۡلُہَا ثَابِتٌ وَّ فَرۡعُہَا فِی السَّمَآءِ ﴿ۙ﴾ تُؤۡتِیۡۤ
اُکُلَہَا کُلَّ حِیۡنٍۭ بِاِذۡنِ
رَبِّہَا ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ
الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَثَلُ کَلِمَۃٍ خَبِیۡثَۃٍ کَشَجَرَۃٍ خَبِیۡثَۃِۣ اجۡتُثَّتۡ مِنۡ
فَوۡقِ الۡاَرۡضِ مَا لَہَا مِنۡ قَرَارٍ ﴿﴾ یُثَبِّتُ اللّٰہُ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِالۡقَوۡلِ
الثَّابِتِ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ ۚ وَ یُضِلُّ اللّٰہُ
الظّٰلِمِیۡنَ ۟ۙ وَ یَفۡعَلُ
اللّٰہُ مَا یَشَآءُ ﴿٪﴾
Tidakkah engkau melihat bagaimana Allah
mengemukakan perumpamaan satu kalimat yang baik? کَشَجَرَۃٍ طَیِّبَۃٍ اَصۡلُہَا ثَابِتٌ وَّ فَرۡعُہَا
فِی السَّمَآءِ -- Kalimat
itu seperti sebatang pohon yang baik,
yang akarnya kokoh kuat dan cabang-cabangnya menjangkau langit?
تُؤۡتِیۡۤ اُکُلَہَا کُلَّ حِیۡنٍۭ بِاِذۡنِ رَبِّہَا -- Ia memberikan
buahnya setiap waktu dengan izin Rabb-nya (Tuhan-nya), وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ
یَتَذَکَّرُوۡنَ -- dan Allah
mengemukakan perumpamaan-perumpamaan itu
bagi manusia, supaya mereka mendapat
nasihat. اجۡتُثَّتۡ مِنۡ
فَوۡقِ الۡاَرۡضِ مَا لَہَا مِنۡ وَ مَثَلُ کَلِمَۃٍ خَبِیۡثَۃٍ کَشَجَرَۃٍ
خَبِیۡثَۃِۣ قَرَارٍ -- Dan
perumpamaan kalimah yang buruk adalah seperti pohon buruk yang telah dicabut dengan
akar-akarnya dari permukaan bumi,
ia sekali-kali tidak memiliki kemantapan. یُثَبِّتُ اللّٰہُ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِالۡقَوۡلِ الثَّابِتِ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ فِی
الۡاٰخِرَۃِ
-- Allah
meneguhkan orang-orang yang beriman dengan firman yang kokoh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, وَ یُضِلُّ اللّٰہُ الظّٰلِمِیۡنَ ۟ۙ وَ
یَفۡعَلُ اللّٰہُ مَا یَشَآءُ -- dan Allah
menyesatkan orang-orang zalim, dan Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim [14]:25-28).
Apabila umat beragama -- terutama umat Islam --
kembali kepada petunjuk Allah
Swt. dalam Al-Quran yang pemahamannya serta pengamalannya telah disunnahkan Nabi Besar Muhammad saw maka Sunnatullah berikut ini yang pasti akan
mereka alami di dunia ini juga,
firman-Nya:
وَ بَشِّرِ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ کُلَّمَا
رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا
مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal shaleh
bahwa sesungguhnya untuk mereka ada kebun-kebun
yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.
کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا -- Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai
rezeki, قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ -- mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami
sebelumnya”, وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا -- akan diberikan
kepada mereka yang serupa dengannya,
وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا
خٰلِدُوۡنَ -- dan
bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan
mereka akan kekal di dalamnya (Al-Baqarah
[2]:26).
Makna Huruf Muqaththa’at Dalam Surah-surah Al-Quran
Jadi, kembali kepada pembahasan
utama mengenai tanda-tanda orang-orang yang bertakwa
kepada Allah Swt., Dia befirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ
رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Alif Lām Mīm. Inilah
Kitab yang sempurna itu, tidak
ada keraguan di dalamnya, petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, dan mendirikan
shalat, dan mereka membelanjakan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka. Dan orang-orang
yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga
kepada apa yang telah diturunkan sebelum
engkau dan kepada akhirat pun mereka
yakin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka
itulah orang-orang
yang berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
Mengenai arti yang dikenakan pada muqaththa’at الٓـمّٓ
(Alif Lām Mīm), ada dua yang nampak lebih beralasan:
(a) bahwa tiap-tiap
huruf mempunyai nilai angka
tertentu (Jarir). Huruf-huruf alif lam mim mempunyai nilai 71 (alif
bernilai 1 lam 30 dan mim 40). Jadi, penempatan Alif Lam
Mim pada permulaan Surah dapat berarti bahwa pokok masalahnya ialah tegak berdirinya Islam secara istimewa di masa permulaan akan memakan
waktu 71 tahun untuk berkembang
selengkapnya.
(b) Huruf-huruf itu seperti dinyatakan di atas,
adalah singkatan dari Sifat-sifat khusus
Allah Swt. dan Surah-surah
Al-Quran yang pada permulaannya muqaththa’at itu ditempatkan huruf-huruf
muqaththa’at, dalam pokok masalahnya mempunyai hubungan dengan Sifat-sifat Ilahi yang ditampilkan oleh huruf muqaththa’at
yang khas itu.
Jadi, singkatan Alif Lām Mīm
yang dicantumkan di sini dan pada permulaan Surah-surah ke-3, 29, 30, 31 dan 32
berarti “Aku Allah Yang Lebih Mengetahui.” Arti itu dikuatkan oleh Ibn
‘Abbas dan Ibn Mas’ud, Alif singkatan dari Anā, Lām singkatan
dari Allāh, dan Mīm singkatan dari ‘alamu.
Atau menurut beberapa sumber lain Alif singkatan dari “Allah”,
Lām singkatan dari “Jibril” dan Mīm singkatan dari “Muhammad”,
mengisyaratkan bahwa inti Surah ini adalah makrifat
Ilahi yang dianugerahkan Allah Swt.
– Wujud Yang merupakan Sumber utama pengetahuan yang hakiki -- kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril a.s.. Huruf-huruf singkatan ini merupakan bagian
tak terpisahkan dari wahyu Al-Quran (Bukhari).
Kesempurnaan Kitab Suci Al-Quran
Kata Dzālika
dalam ayat ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ
لَا رَیۡبَ
ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- “Inilah Kitab yang sempurna
itu, tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa” terutama dipakai
dalam arti “itu”, tetapi
kadang-kadang digunakan juga dalam arti “ini”
(Al-Aqrab-ul-Mawarid).
Kadang-kadang dipakai untuk menyatakan pangkat
tinggi dan kemuliaan wujud yang
dimaksud. Di sini kata itu mempunyai arti bahwa Kitab itu — ditilik dari segi faedahnya
yang luarbiasa dan agung
— seolah-olah jauh dari
pembaca (Al-Fath-ul-Bari).
Mengisyaratkan kepada kenyataan “jauhnya” (tingginya) kesempurnaan Al-Quran itulah pernyataan
Allah Swt. dalam Surah lainnya bahwa tidak ada yang dapat “menyentuh” keluarbiasaan khazanah
ruhani tak terhingga yang terkandung dalam Al-Quran kecuali orang-orang yang
disucikan Allah Swt. (QS.56:78-81),
yakni para wali Allah atau para mujaddid,
terutama sekali rasul Allah yang kedatangannya
dijanjikan di Akhir Zaman ini (QS.4:70-71;
QS.72:27-29) guna mewujudkan kejayaan Islam yang kedua kali dengan
cara-cara yang damai dan tanpa paksaan serta kekerasan (QS.61:10; QS.62:3-5), LOVE FOL ALL HATRED FOR NONE.
Al
dalam kata al-Kitab dipakai untuk menyatakan suatu tujuan pasti yang diketahui oleh pembaca. Dalam arti ini kata dzālikal-
Kitāb akan berarti “inilah Kitab”
atau “inilah Kitab itu” yakni Kitab
yang dijanjikan itu dalam nubuatan-nubuatan
para rasul Allah dan tercantum dalam kitab-kitab suci sebelumnya (QS.2:5; 107; 147; 286), sehingga Allah Swt.
menyatakan bahwa mereka itu mengenalnya bagaikan mengenal
anak-anak
mereka sendiri (QS.2:147; QS.6:21).
Kata al dalam kata al-Kitab dipakai juga untuk menyatakan gabungan semua sifat yang mungkin ada pada seseorang.
Jadi ungkapan ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ itu berarti “Inilah Kitab yang memiliki segala sifat
luhur itu yang seyogianya dimiliki oleh
suatu Kitab yang sempurna” atau
dapat juga ungkapan itu berarti “hanya
inilah Kitab yang sempurna.” Itulah sebabnya Allah Swt. telah menyatakan
bahwa Al-Quran merupakan Kitab syariat yang terakhir dan tersempurna
(QS.5:4).
Makna “Tidak Ada Keraguan di
Dalamnya”
Raib
dalam ayat لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ – “tidak ada keraguan di
dalamnya” berarti: kegelisahan atau ketidaktenteraman hati; keraguan; malapetaka atau bencana atau pendapat jahat;
tuduhan palsu atau fitnah (Al-Aqrab-ul-Mawarid).
Ayat ini tak berarti bahwa tidak akan ada
yang merasa ragu-ragu mengenai Al-Quran., sebab Allah Swt. menyatakan
bahwa Al-Quran pun memilik
kemampuan “menyesatkan”
orang-orang yang berhati bengkok dan berpenyakit
(QS.2:26-27; QS.3:8-10).
Jadi, makna ayat لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ – “tidak ada keraguan di dalamnya” itu
hanya mengandung arti bahwa ajarannya
begitu masuk akal sehingga orang
berpikir sehat yang menelaahnya
dengan pikiran tidak berat sebelah dan tanpa purbasangka akan mendapatkannya sebagai petunjuk yang aman dan pasti. Sedangkan
bagi orang-orang yang berhati bengkok dan berpenyakit kesempurnaan
Al-Quran bukannya merupakan petunjuk dan sebagai penyembuh berbagai penyakit
ruhani manusia melainkan mendatangkan kerugian besar. firman-Nya:
وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ
شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ
ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ
اِلَّا خَسَارًا ﴿﴾
Dan Kami
menurunkan dari Al-Quran
suatu penyembuh dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman,
tetapi tidak menambah kepada orang-orang
yang zalim melainkan kerugian (Bani
Israil [17]:83).
Firman-Nya
lagi:
وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا فِیۡ ہٰذَا
الۡقُرۡاٰنِ لِیَذَّکَّرُوۡا ؕ
وَ مَا
یَزِیۡدُہُمۡ اِلَّا نُفُوۡرًا ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah menerangkan segala sesuatu berulang-ulang
dalam Al-Quran ini supaya mereka mengambil pelajaran, tetapi sama
sekali tidaklah Al-Quran itu
menambah bagi mereka, kecuali kebencian.
(Bani
Israil [17]:42).
Untuk suatu Kitab suci yang harus memecahkan segala masalah dan persoalan umat
manusia yang penting-penting adalah
wajar dan menjadi keharusan, supaya Kitab
itu berulang kali mengupas kembali
hal-hal yang bertalian erat dengan suatu masalah
pokok. Bila pengulangan itu
dimaksudkan untuk mengupas suatu masalah dari sudut yang baru atau untuk
membantah suatu tuduhan baru, maka tiada orang yang waras otaknya lagi cerdas
pikirannya dapat mengemukakan keberatan
terhadap hal demikian. Selanjutnya Allah
Swt. berfirman:
وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا لِلنَّاسِ فِیۡ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ مِنۡ کُلِّ مَثَلٍ ۫
فَاَبٰۤی اَکۡثَرُ النَّاسِ اِلَّا کُفُوۡرًا ﴿﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar telah menguraikan bagi manusia berbagai macam cara perumpamaan dalam Al-Quran ini tetapi kebanyakan
manusia menolak segala sesuatu kecuali kekafiran. (Bani Israil [17]:90).
Karena kemampuan-kemampuan manusia terbatas,
paling-paling orang dapat menghadapi masalah-masalah yang jumlahnya terbatas
saja. Tetapi Al-Quran telah membahas dengan selengkap-lengkapnya semua masalah dan persoalan yang bertalian
dengan kemajuan akhlak dan ruhani manusia.
Makna Orang-orang yang Bertakwa & Tanda
Pertama Orang-orang yang Bertakwa: “Beriman Kepada yang Gaib”
Kembali kepada firman Allah Swt. mengenai kesempurnaan Kitab suci Al-Quran sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa:
ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ
لَا رَیۡبَ
ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- “Inilah Kitab yang sempurna
itu, tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa” (Al-Baqarah ayat 3).
Makna muttaqi dalam ayat: ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- “petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa” diserap dari kata waqa, yang mempunyai
pengertian menjaga diri terhadap
apa-apa yang merugikan dan memudaratkan. Kata wiqayah berarti perisai, dan ittaqa
bihi (muttaqi itu bentuk ism fa’il dari ittaqa) berarti ia
menganggap dia atau sesuatu sebagai perisai
(Lexicon Lane).
Ubayy bin Ka’ab r.a., sahabat Nabi
Besar Muhammad saw. yang
terkenal, tepat benar menerangkan kata taqwa dengan memisalkan muttaqi
(orang bertakwa) sebagai seorang yang berjalan melalui semak-semak berduri.
Dengan segala ikhtiar yang mungkin ia menjaga agar pakaiannya tidak tersangkut
dan robek oleh duri-durinya (Tafsir Ibnu
Katsir).
Jadi seorang muttaqi (bertakwa) adalah orang yang senantiasa berjaga-jaga terhadap dosa dan menganggap Allah Swt. sebagai
perisainya atau pelindungnya dan sangat
hati-hati dalam tugas kewajibannya.
Hanya orang-orang beriman yang seperti itulah (orang-orang bertakwa) akan memperoleh petunjuk atau
berbagai manfaat dari kesempurnaan Kitab suci Al-Quran, walau pun Al-Quran
itu pada dasarnya merupakan petunjuk
bagi seluruh umat manusia (QS.2:186), sebagaimana halnya Nabi Besar Muhammad
saw. merupakan Rasul Allah bagi
seluruh umat manusia (QS.7:159;
QS.21:108; QS.25:2;QS.34:29).
Kata-kata ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- “petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwa” berarti bahwa petunjuk yang termuat dalam Al-Quran
tidak terbatas. Al-Quran membantu manusia
mencapai taraf kesempurnaan ruhani
dan menjadikannya semakin layak mendapat rahmat
Ilahi yang tidak terbatas.
Tanda utama
orang-orang yang bertakwa
adalah: الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ -- “Yaitu orang-orang
yang beriman kepada yang gaib.” Al-ghaib
berarti: sesuatu yang tersembunyi atau tidak nampak; sesuatu yang tidak
terlihat, tidak hadir, atau jauh sekali (Al-Aqrab-ul-Mawarid):
Allah Swt. para malaikat
dan Hari Kiamat atau alam akhirat, semuanya al-ghaib.
Lagi pula, kata yang digunakan
dalam Al-Quran mengenai al-ghaib
tersebut tidak berarti hal-hal yang khayali dan tidak nyata, melainkan hal-hal
yang nyata dan keberadaannya telah dibenarkan
meskipun tidak nampak, terutama Allah Swt. sebagai Wujud Yang paling gaib
dari segala sesuatu yang gaib
(QS.32:7; QS.34:4;QS.49:19; QS.59:23).
Oleh karena itu keliru sekali menyangka —
seperti dikira oleh beberapa kritikus
Al-Quran dari Barat — bahwa Islam
memaksakan kepada para pengikutnya beberapa kepercayaan
aneh yang tidak dapat dipahami
dan mengajak mereka mempercayainya
dengan membabi buta.
Makna “yang Gaib”
Menurut Al-Quran
Kata gaib
itu berarti hal-hal yang meskipun di
luar jangkauan indera manusia tetapi dapat dibuktikan oleh akal atau
pengalaman. Yang tidak tertangkap oleh pancaindera
tidak senantiasa tak dapat diterima
oleh akal. Tidak ada dari
hal-hal gaib yang orang
Islam diminta agar beriman kepadanya
itu di luar jangkauan akal.
Banyak benda-benda di dunia yang meskipun tidak nampak tetapi terbukti
adanya dengan keterangan-keterangan
dan dalil-dalil yang kuat dan tiada
seorang pun dapat menolak kehadiran
(keberadaan) benda-benda itu. Dari sekian
banyak bukti yang tak
terbilang jumlahnya, bukti yang paling nyata mengenai
“Keberadaan Wujud” Allah Swt. Yang Maha Gaib adalah Al-Quran
yang diwahyukan-Nya kepada Nabi
Besar Muhammad saw. – dan menjadi “Nur di atas nur” (Cahaya di atas cahaya – QS.24:36) -- serta
keduanya senantiasa mendapat jaminan pemeliharaan Allah Swt. (QS.15:10) sehingga beliau saw. memperoleh kesuksesan dalam melaksanakan tugasnya (missinya), firman-Nya:
اِنَّا
نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ وَ اِنَّا
لَہٗ لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَقَدۡ
اَرۡسَلۡنَا مِنۡ قَبۡلِکَ فِیۡ شِیَعِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿﴾ وَ مَا یَاۡتِیۡہِمۡ مِّنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا کَانُوۡا بِہٖ یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿﴾ کَذٰلِکَ نَسۡلُکُہٗ فِیۡ قُلُوۡبِ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ بِہٖ وَ قَدۡ خَلَتۡ سُنَّۃُ
الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
Kami-lah
Yang menurunkan peringatan ini, dan
sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya.
Dan sungguh
Kami benar-benar telah mengutus rasul-rasul
sebelum engkau kepada umat-umat yang
terdahulu. Dan sekali-kali
tidak datang kepada mereka seorang rasul
pun, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. Demikianlah Kami memasukkan kebiasaan buruk ini
ke dalam hati orang-orang yang berdosa. Mereka itu
tidak beriman kepada Al-Quran
ini, sekalipun telah berlalu
sebelum mereka contoh orang-orang
yang terdahulu. (Al-Hijr [15]:10-14).
Bahwa
sebagaimana Allah Swt. selain tetap
menjamin pemeliharaan-Nya atas
Al-Quran (QS.15:10), hal yang sama dilakukannya
terhadap keabadian akhlak dan ruhani
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22), bahwa penjelmaan ruhani Nabi Besar Muhammad saw. mengambil bentuk
nyata dalam wujud-wujud secara
jasmani sebagai “bayangan” beliau saw., terutama dalam wujud para mujaddid Islam
yang dibangkitkan di setiap permulaan
abad, dan yang paling sempurna dari
kenyataan tersebut terjadi di Akhir Zaman
ini berupa mujaddid ‘azham dalam wujud Rasul
Akhir Zaman, yang akan mewujudkan kejayaan
Islam yang kedua kali (QS.4:70-71; QS.61:10; QS.62:3-5), yakni Masih
Mau’ud a.s, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ
مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ
ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ
-- Dan juga akan membangkitkannya
pada kaum lain dari antara mereka,
yang belum bertemu dengan mereka.
Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. Itulah karunia Allah,
Dia menganugerahkannya kepada siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar (Al-Jumu’ah
[62]:3-5).
Kemunculan “Bulan
Purnama Ruhani”
Perumpamaan yang dikemukakan dalam
Al-Quran mengenai kemunculan kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. secara ruhani di Akhir Zaman yang diisyaratkan dalam ayat: وَّ اٰخَرِیۡنَ
مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ
ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ
-- Dan juga akan membangkitkannya
pada kaum lain dari antara mereka,
yang belum bertemu dengan mereka.
Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana,” adalah seperti proses kemunculan bulan purnama pada malam hari
yang ke 14 -- yang melambangkan abad 14 hijriyah -- firman-Nya:
وَ
اٰیَۃٌ لَّہُمُ الَّیۡلُ ۚۖ نَسۡلَخُ
مِنۡہُ النَّہَارَ فَاِذَا ہُمۡ مُّظۡلِمُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ الشَّمۡسُ تَجۡرِیۡ لِمُسۡتَقَرٍّ لَّہَا ؕ ذٰلِکَ تَقۡدِیۡرُ الۡعَزِیۡزِ
الۡعَلِیۡمِ ﴿ؕ ﴾ وَ الۡقَمَرَ قَدَّرۡنٰہُ مَنَازِلَ حَتّٰی عَادَ کَالۡعُرۡجُوۡنِ الۡقَدِیۡمِ ﴿﴾ لَا الشَّمۡسُ یَنۡۢبَغِیۡ لَہَاۤ اَنۡ تُدۡرِکَ
الۡقَمَرَ وَ لَا الَّیۡلُ سَابِقُ
النَّہَارِ ؕ وَ کُلٌّ فِیۡ فَلَکٍ یَّسۡبَحُوۡنَ ﴿﴾
Dan suatu Tanda bagi mereka adalah malam, darinya siang hari Kami tanggalkan dan tiba-tiba
mereka berada dalam kegelapan. وَ الشَّمۡسُ تَجۡرِیۡ لِمُسۡتَقَرٍّ لَّہَا ؕ ذٰلِکَ تَقۡدِیۡرُ الۡعَزِیۡزِ
الۡعَلِیۡمِ -- Matahari beredar ke arah tujuan yang telah ditetapkan baginya, demikian
itulah takdir Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui. وَ الۡقَمَرَ قَدَّرۡنٰہُ مَنَازِلَ حَتّٰی عَادَ کَالۡعُرۡجُوۡنِ الۡقَدِیۡمِ -- Dan Kami telah menetapkan bagi bulan tingkat-tingkatnya, hingga ia
kembali lagi seperti bentuk tandan korma yang tua. لَا الشَّمۡسُ
یَنۡۢبَغِیۡ لَہَاۤ اَنۡ تُدۡرِکَ الۡقَمَرَ
وَ لَا الَّیۡلُ سَابِقُ النَّہَارِ -- Matahari tidak mungkin menyusul bulan, dan tidak pula malam mendahului siang. وَ کُلٌّ فِیۡ فَلَکٍ
یَّسۡبَحُوۡنَ -- Dan semua itu terus beredar pada tempat
peredarannya. (Yā Siīn
[36]:38-41).
Maksud حَتّٰی عَادَ کَالۡعُرۡجُوۡنِ الۡقَدِیۡمِ – “hingga ia
kembali lagi seperti bentuk tandan korma yang tua” ialah bahwa
apabila bulan zahir kembali, maka itu
tampak seperti satu kelopak tandan tua
pohon yang bengkok. Demikian pula halnya kebenaran yang mula-mula nampak tidak ada artinya namun tidak lama
kemudian memancarkan sinarnya bagaikan bulan
purnama, firman-Nya:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ
بِالشَّفَقِ ﴿ۙ﴾ وَ الَّیۡلِ وَ مَا
وَسَقَ ﴿ۙ﴾ وَ الۡقَمَرِ اِذَا
اتَّسَقَ ﴿ۙ﴾ لَتَرۡکَبُنَّ طَبَقًا عَنۡ طَبَقٍ ﴿ؕ﴾ فَمَا لَہُمۡ
لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ اِذَا قُرِئَ
عَلَیۡہِمُ الۡقُرۡاٰنُ لَا یَسۡجُدُوۡنَ
﴿ؕٛ﴾ بَلِ
الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا یُکَذِّبُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ
بِمَا یُوۡعُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ فَبَشِّرۡہُمۡ
بِعَذَابٍ اَلِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِلَّا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَہُمۡ
اَجۡرٌ غَیۡرُ مَمۡنُوۡنٍ ﴿٪﴾
Maka tidak
demikian, sesungguhnya aku
bersumpah dengan cahaya senja, dan demi malam serta apa yang diliputinya, وَ الۡقَمَرِ اِذَا
اتَّسَقَ -- dan demi
bulan apabila menjadi purnama. Niscaya kamu
akan naik satu tingkat ke tingkat
lain. Maka apa
yang terjadi atas mereka hingga mereka tidak beriman? وَ اِذَا قُرِئَ عَلَیۡہِمُ
الۡقُرۡاٰنُ لَا یَسۡجُدُوۡنَ -- Dan
apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka,
mereka tidak bersujud. بَلِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا یُکَذِّبُوۡنَ
-- Bahkan orang-orang kafir
mereka mendustakan, وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ
بِمَا یُوۡعُوۡنَ -- dan Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka sembunyikan. فَبَشِّرۡہُمۡ
بِعَذَابٍ اَلِیۡمٍ -- Maka kabarkanlah kepada mereka mengenai azab yang pedih, اِلَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ
لَہُمۡ اَجۡرٌ غَیۡرُ
مَمۡنُوۡنٍ -- kecuali terhadap orang-orang
yang beriman dan beramal shaleh,
bagi mereka pahala yang tidak ada
putus-putusnya. (Al-Insyiqāq
[84]:17-25).
Ayat-ayat 17-19 berisikan nubuatan mengenai kemunduran
sementara umat Islam (QS:32:6) serta kebangunan kembali mereka melalui
seorang wujud wakil agung Nabi Besar Muhammad saw. – yaitu Masih Mau’ud a.s. – yang bagaikan bulan purnama akan memantul dalam diri beliau cahaya
gemilang sang Matahari (Nabi
Besar Muhammad saw – QS.33:46-48) dengan sepenuhnya serta seutuhnya.
Makna ayat لَتَرۡکَبُنَّ طَبَقًا عَنۡ طَبَقٍ -- “Niscaya kamu akan naik satu tingkat ke tingkat lain” bahwa orang-orang Islam akan melalui semua keadaan yang telah disinggung dalam
ayat-ayat sebelumnya, bagaikan manzilah-manzilah (tingkat-tingkatan
peredalan) bulan sehingga menjadi bulan purnama: وَ الۡقَمَرِ اِذَا
اتَّسَقَ
-- dan “demi bulan apabila menjadi
purnama.”
Mengapa orang-orang
kafir tidak percaya mengenai terlaksananya bagian ketiga nubuatan itu, setelah menyaksikan
terlaksananya dua bagian pertama? Mereka telah menyaksikan cahaya pijar kemerah-merahan matahari
Islam terbenam, yang disusul oleh kekelaman malam ruhani selama 1000 tahun (QS.32:6), namun demikian
mereka masih tidak mempercayai bahwa bulan
purnama malam keempat belas akan
menghalau kegelapan itu, yakni
kemunculan Rasul Akhir Zaman pada abad
14 Hijriyah dalam wujud Masih Mau’ud
a.s.guna mewujudkan kembali kejayaan
Islam yang kedua kali di Akhir Zaman
(QS.61:10; QS.24:56).
Dalam ayat فَبَشِّرۡہُمۡ بِعَذَابٍ اَلِیۡمٍ -- ”Maka kabarkanlah
kepada mereka mengenai azab yang
pedih”, orang-orang kafir diperingatkan bahwa Allah Swt. benar-benar
mengetahui permusuhan dan kebencian yang dipendam di dalam hati mereka terhadap Rasul Allah; Dia mengetahui pula komplotan-komplotan rahasia yang direncanakan mereka untuk memusnahkan misi beliau dan untuk menghancurkan usaha beliau menegakkan kebenaran: وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ
بِمَا یُوۡعُوۡنَ --
“dan Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka sembunyikan.” (Al-Insyiqāq [84]:25).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 28
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar