Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Tujuh Pedoman Penafsiran Al-Quran & Ijtima’i (Kesepakatan) Pendapat Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw.
Mengenai Telah Wafatnya Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s.
Bab 39
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Bab sebelumnya telah
dijelaskan penjelasan Masih Mau’ud a.s. mengenai ketidak-terbatasan khazanah
ruhani Al-Quran sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Swt. berikut ini:
وَ اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ اِلَّا عِنۡدَنَا خَزَآئِنُہٗ ۫ وَ مَا
نُنَزِّلُہٗۤ اِلَّا بِقَدَرٍ مَّعۡلُوۡمٍ ﴿﴾
Dan tidak
ada suatu pun benda melainkan pada
Kami ada khazanah-khazanahnya yang tidak terbatas, dan Kami
sama sekali tidak menurunkannya melainkan dalam ukuran yang tertentu (Al-Hijr
[15]:22).
Allah
Swt. memiliki persediaan (khazanah) segala sesuatu
dalam jumlah yang tidak terbatas. Akan tetapi sesuai
dengan rahmat-Nya yang tidak
berhingga Dia mengarahkan pikiran atau otak
manusia kepada satu benda yang
tertentu, hanya bilamana timbul suatu keperluan
yang sesungguhnya akan benda itu.
Seperti halnya alam semesta kebendaan, demikian juga Al-Quran
pun merupakan alam semesta keruhanian,
di mana tersembunyi khazanah-khazanah
ilmu keruhanian yang dibukakan
kepada manusia sesuai dengan
keperluan zaman, yakni melalui Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.3:180; QS.7:35-37),
firman-Nya:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ
ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ
اَنۡ قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ
بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ
عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali
kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya baris-an pengawal berjalan di
hadapannya dan di belakangnya,
supaya Dia mengetahui
bahwa sungguh mereka telah
menyam-paikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan)
mere-ka, dan Dia meliputi
semua yang ada pada mereka dan Dia
membuat perhitungan mengenai segala
sesuatu (Al-Jin [72]:27-29).
Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti, diberi pengetahuan dengan sering dan secara
berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib
bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting. Ayat ini merupakan ukuran yang tiada
tara bandingannya guna membedakan antara sifat
dan jangkauan rahasia-rahasia gaib
yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan
dan rahasia-rahasia gaib yang
dibukakan kepada orang-orang mukmin
muttaki lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Tuhan dianugerahi izhhar
‘ala al-ghaib -- “penguasaan atas
yang gaib”, maka rahasia-rahasia yang
diturunkan (dibukakan) kepada orang-orang muttaki dan orang-orang suci lainnya tidak
menikmati kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu yang
dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan,
karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi,
keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat,
sedang rahasia-rahasia yang dibukakan
kepada orang-orang muttaki lainnya
tidak begitu terpelihara.
Tujuh Pedoman Penafsiran
Al-Quran
Lebih jauh Masih Mau’ud a.s.
menjelaskan mengenai pedoman
penafsiran Al-Quran:
“Acuan pokok suatu tafsir
yang benar dari Kitab Suci Al-Quran
adalah kesaksian Al-Quran itu
sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran
berbeda dengan Kitab-kitab Samawi
lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20
kesaksian termaktub yang mendukungnya.
Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung
pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada
sedangkan pengertian yang kita dapat
itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus
menyimpulkan bahwa tafsir itu salah,
karena tidak mungkin terdapat kontradiksi
di dalam Al-Quran. Tanda suatu tafsir
yang benar ialah jika keseluruhan
kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran
memang jelas mendukung.
Acuan kedua dari pengertian yang benar mengenai Al-Quran
adalah tafsir yang dikemukakan oleh Hadhrat Rasulullah Saw.. Tidak
diragukan lagi bahwa sosok yang paling memahami pengertian Al-Quran
adalah Nabi Besar kita yang tercinta.
Dengan demikian jika memang sudah ada tafsir
dari Hadhrat Rasulullah Saw. maka
menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menerimanya tanpa ragu-ragu lagi, sedangkan mereka yang menolak termasuk murtad dan mengada-ada.
Acuan ketiga adalah penafsiran
dari para sahabat Hadhrat Rasulullah Saw..
Para sahabat tersebut merupakan pewaris pertama dari Nur dan pengetahuan yang dibawa Hadhrat
Rasulullah Saw.. Mereka ini mendapat rahmat
akbar dari Allah Swt. dimana persepsi
mereka dibantu oleh-Nya karena
mereka ini tidak saja telah beriman tetapi juga telah melaksanakan apa yang diimani.
Acuan keempat adalah perenungan Al-Quran
dengan ruhani yang suci mengingat
juga Al-Quran berkaitan dengan kesucian ruhani seseorang sebagaimana
dinyatakan Allah yang Maha Agung
dalam firman-Nya:
لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ
“(Kitab)
yang tiada orang boleh menyentuhnya
kecuali mereka yang disucikan”
(Al-Wāqi’ah [56]:80).
Berarti hanya seorang yang memiliki hati
yang telah disucikan yang dapat menghargai wawasan suci dari Al-Quran karena kedekatannya dengan Kitab tersebut.
Ia mengenali segala kebenaran dan keharuman yang dikandung Kitab
tersebut dan batinnya bersaksi bahwa
inilah jalan yang lurus.
Nur hati orang seperti itulah
yang menjadi acuan guna menguji kebenaran. Kecuali seseorang telah disucikan dalam amalannya dan telah berhasil melewati jalan sempit yang dilalui oleh para nabi, sebaiknya janganlah ia menjadi penafsir isi Al-Quran,
apalagi jika didasari oleh sikap kurang ajar dan kesombongan karena hasil tafsirnya nanti didasarkan pada opini dirinya sendiri. Tafsir
seperti itu dilarang oleh Hadhrat Rasulullah Saw. yang
menyatakan:
“Ia yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan opininya sendiri
berada dalam kesalahan, meskipun ia mengemukakan tafsir yang menurutnya adalah
yang benar.”
Acuan kelima adalah kosa-kata
bahasa Arab, hanya saja Al-Quran
terkadang memberi arti yang beragam
sekali sehingga tidak sepenuhnya bisa bersandar pada lexicon (kamus) atau kosa-kata
tersebut. Terkadang dengan memperhatikan kosa-katanya,
perhatian bisa dibimbing kepada
suatu rahasia sehingga yang
bersangkutan dapat mengungkapkan hal
yang tersembunyi dalam Al-Quran.
Acuan keenam adalah perbandingan sistem
keruhanian dengan sistem jasmaniah
karena ada keselarasan di antara
keduanya.
Acuan ketujuh adalah wahyu
dan kasyaf para orang suci. Acuan ini sebenarnya merangkum keseluruhan acuan-acuan
lainnya, karena seorang penerima wahyu
adalah refleksi (pantulan) sempurna dari Nabi yang diikutinya,
dimana dengan kekecualian pemberian status kenabian dan adanya syariat baru, ia mendapatkan semua sebagaimana yang diterima sang Nabi.
Akidah yang benar dan pasti akan dibukakan
kepadanya dan ia akan menerima
segala karunia berupa berkat dan rahmat sebagaimana yang diberikan
Tuhan kepada Nabi yang diikutinya.
Ia tidak akan mengada-ada, tetapi
hanya berbicara atas dasar apa yang dilihatnya dan mengemukakan apa yang didengarnya. Jalan ini terbuka bagi setiap umat Muslim, karena jika tidak maka tidak akan ada lagi pewaris Nabi Besar Muhammad Saw.” (Barakatud-Du’a, Qadian, Riyaz
Hind Press, 1310 H; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VI, hlm. 17-21, London,
1984).
Kekeliruan Penafsiran Mengenai “Penyaliban” Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Yang
Menggelincirkan Banyak Pihak
Pedoman penafsiran Al-Quran yang pertama perlu
mendapat perhatian para pemuka agama
Islam, sebab banyak kesalahan penafsiran mengenai ayat-ayat Al-Quran yang
akibatnya sangat merugikan umat Islam sendiri. Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Acuan pokok suatu tafsir
yang benar dari Kitab Suci Al-Quran
adalah kesaksian Al-Quran itu
sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran
berbeda dengan Kitab-kitab Samawi
lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20
kesaksian termaktub yang mendukungnya.
Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung
pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada
sedangkan pengertian yang kita dapat
itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus
menyimpulkan bahwa tafsir itu salah,
karena tidak mungkin terdapat kontradiksi
di dalam Al-Quran. Tanda suatu tafsir
yang benar ialah jika keseluruhan
kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran
memang jelas mendukung.”
Contoh mengenai hal tersebut adalah kekeliruan penafsiran mengenai “penyaliban” Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.4:158-159), sehingga di kalangan umat Islam timbul kepercayaan keliru bahwa hingga saat ini Nabi Isa Ibnu Maryam Israili a.s. masih hidup di langit dan beliau akan turun lagi sebagai rasul
Allah bagi umat Islam untuk
mewujudkan kejayaan Islam yang kedua
di Akhir Zaman (QS.61:10).
Berikut adalah beberapa bukti ayat-ayat Al-Quran mengenai kekeliruan
pemahaman bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. masih hidup
di langit dengan jasad kasarnya hingga saat ini:
(1) Setiap manusia yang bernyawa – termasuk para nabi Allah – pasti akan mengalami kematian, tidak terkecuali Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan juga Nabi
Besar Muhammad saw., berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَا
جَعَلۡنَا لِبَشَرٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ الۡخُلۡدَ ؕ اَفَا۠ئِنۡ مِّتَّ
فَہُمُ الۡخٰلِدُوۡنَ ﴿﴾ کُلُّ نَفۡسٍ
ذَآئِقَۃُ الۡمَوۡتِ ؕ وَ نَبۡلُوۡکُمۡ
بِالشَّرِّ وَ الۡخَیۡرِ فِتۡنَۃً ؕ وَ
اِلَیۡنَا تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan seorang manusia pun sebelum
engkau hidup kekal, اَفَا۠ئِنۡ مِّتَّ
فَہُمُ الۡخٰلِدُوۡنَ -- maka jika engkau mati maka apakah
mereka itu akan hidup kekal? کُلُّ نَفۡسٍ
ذَآئِقَۃُ الۡمَوۡتِ -- Setiap
jiwa akan merasai kematian, dan Kami
menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan
sebagai ujian dan kepada Kami-lah
kamu akan dikembalikan. (Al-Anbiyā [21]:35-36). Lihat pula
QS.3:56 & 186, QS.29:58).
Ayat ini dapat pula mengandung
maksud bahwa tidak seorang pun yang kebal
terhadap kehancuran dan kematian jasmani, bahkan Nabi Besar Muhammad saw. pun tidak. Kekekalan dan keabadian
merupakan Sifat-sifat khusus Allah Swt.. Dalam makna lain ayat tersebut berarti bahwa semua syariat dan sistem agama yang bermacam-macam di masa sebelum Nabi Besar Muhammad saw. telah ditetapkan dan ditakdirkan
untuk mengalami kehancuran dan kematian ruhani, dan hanyalah syariat
Islam sajalah
yang ditakdirkan akan hidup dan akan berlaku terus sampai Akhir Zaman, karena meupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4).
(2) Semua orang yang dipanjangkan umurnya pasti akan
mengalami pikun, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., karena itu jika benar bahwa beliau sampai saat ini masih hidup di langit dan berusia 2000 tahun pasti beliau telah sangat pikun. Karena itu dapat dipastikan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat
dan menurut Nabi Besar Muhammad
saw. usia Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. ketika wafat di Kasymir (QS.23:51)
berusia 120 tahun, firman-Nya:
وَ مَنۡ نُّعَمِّرۡہُ
نُنَکِّسۡہُ فِی الۡخَلۡقِ ؕ
اَفَلَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya pasti Kami
me-ngembalikannya pada awal
penciptaan, maka tidakkah
mereka mau berfikir? (Yā Sīn
[36]:69). Lihat pula QS.16:71;
QS.22:6.
Segala sesuatu yang hidup pasti mengalami kerusakan dan kemunduran. Hukum ini berlaku bagi bangsa-bangsa (QS.7:35-37) seperti halnya bagi individu-individu, karena itu seperti halnya individu-individu demikian juga bangsa-bangsa
pun berkembang, tumbuh dan menemukan bentuk yang sepenuh-penuhnya dan kemudian
menjadi mangsa kerusakan, kemunduran, serta kematian, yakni keadaan “pikun.”
(3) Menurut Al-Quran seluruh rasul Allah yang diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw. telah wafat, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
وَ مَا
مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوۡلٌ ۚ قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ ؕ اَفَا۠ئِنۡ
مَّاتَ اَوۡ قُتِلَ انۡقَلَبۡتُمۡ عَلٰۤی اَعۡقَابِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّنۡقَلِبۡ عَلٰی عَقِبَیۡہِ
فَلَنۡ یَّضُرَّ اللّٰہَ شَیۡئًا ؕ وَ سَیَجۡزِی اللّٰہُ الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan Muhammad
tidak lain melainkan seorang rasul. قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ
قَبۡلِہِ الرُّسُلُ -- Sungguh
telah berlalu yakni
wafat rasul-rasul sebelumnya.
Apakah jika ia mati atau terbunuh kamu akan berbalik atas kedua tumitmu?
Dan barangsiapa berbalik atas kedua tumitnya maka ia tidak akan pernah memudaratkan Allāh sedikit pun. Dan Allah
pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang
yang bersyukur. (Ali ‘Imran [3]:145).
Ijmak Para Sahabat Mengenai Telah Wafatnya Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Makna ayat قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ – “Sungguh telah
berlalu yakni wafat rasul-rasul sebelumnya” bahwa semua rasul Allah yang diutus sebelum Nabi
Besar Muhammad saw. tanpa kecuali telah wafat.
Ayat tersebut telah dirujuk oleh Abu Bakar Shiddiq r.a.
sehubungan kewafatan Nabi Besar Muhammad
saw.
Tercantum dalam tarikh bahwa
tatkala Nabi Besar Muhammad saw. – setelah beberapa hari menderita sakit
-- kemudian beliau saw. wafat,
Umar bin Khaththab r.a. berdiri di Masjid Medinah dengan pedang terhunus di
tangan beliau dan berkata: “Barangsiapa
mengatakan Rasulullah saw. wafat akan aku penggal
batang lehernya. Beliau tidak wafat melainkan telah
pergi kepada Tuhan-nya seperti halnya
Nabi Musa a.s. pernah pergi
kepada Tuhan-nya dan beliau niscaya
akan kembali lagi untuk menghukum
orang-orang munafik!”
Abu Salamah meriwayatkan bahwa ‘Aisyah r.a.
isteri Nabi saw. mengabarkan kepadanya, katanya:
“Abu Bakar r.a. menunggang kudanya dari
suatu tempat bernama Sunih hingga sampai dan masuk ke dalam masjid; dan dia
tidak berbicara dengan orang-orang. Lalu dia menemui ‘Aisyah r.a. dan
langsung mendatangi Nabi saw. yang
sudah ditutupi (jasadnya) dengan kain terbuat dari katun. Kemudian dia membuka
tutup wajah beliau; lalu Abu Bakar bersimpuh di depan jasad Nabi, lalu
menutupnya kembali. Kemudian Abu Bakar menangis dan berkata: “Demi bapak dan ibuku, wahai Nabi Allah, Allah tidak akan menjadikan
kematian dua kali kepada engkau. Adapun kematian
pertama yang telah ditetapkan buat
engkau itu sudah terjadi”.
Berkata Abu Salamah: Telah mengabarkan
kepada saya Ibnu ‘Abbas radliallahu
‘anhuma, bahwa:
“Kemudian Abu Bakar r.a. keluar bertepatan ‘Umar r.a. sedang berbicara dengan orang banyak,
lalu ia berkata: “Duduklah!” Namun ‘Umar
tidak mempedulikannya. Lalu Abu Bakar berkata lagi: “Duduklah!” Namun ‘Umar
tetap tidak mempedulikannya. Akhirnya Abu Bakar bersaksi (tentang kewafatan Nabi saw.) sehingga orang-orang
berkumpul kepadanya dan meninggalkan ‘Umar.
Lalu Abu Bakar berkata: “Kemudian,
barangsiapa dari kalian yang menyembah
Muhammad saw. sungguh Muhammad saw. sekarang sudah
wafat; dan barangsiapa dari kalian yang menyembah
Allah, sungguh Allah Maha Hidup
yang tidak akan pernah mati. Allah
Ta’ala telah berfirman:
وَ مَا
مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوۡلٌ ۚ قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ ؕ اَفَا۠ئِنۡ
مَّاتَ اَوۡ قُتِلَ انۡقَلَبۡتُمۡ عَلٰۤی اَعۡقَابِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّنۡقَلِبۡ عَلٰی عَقِبَیۡہِ
فَلَنۡ یَّضُرَّ اللّٰہَ شَیۡئًا ؕ وَ سَیَجۡزِی اللّٰہُ الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan Muhammad
tidak lain melainkan seorang rasul. قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ
قَبۡلِہِ الرُّسُلُ -- Sungguh
telah berlalu yakni
wafat rasul-rasul sebelumnya. Apakah jika ia mati atau terbunuh
kamu akan berbalik atas kedua
tumitmu? Dan barangsiapa ber-balik atas kedua tumitnya maka ia tidak akan pernah memudaratkan Allah sedikit pun. Dan
Allah pasti akan memberi ganjaran
kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali
‘Imran [3]:145).
Demi Allah, seakan-akan orang-orang
belum pernah mengetahui bahwa Allah sudah
menurunkan ayat tersebut sampai Abu Bakar r.a. membacakannya. Akhirnya
orang-orang memahaminya dan tidak ada satupun orang yang mendengarnya (wafatnya
Nabi) kecuali pasti membacakannya.”
Di
riwayatkan, Umar bin Khaththab
r.a. yang tidak mau duduk, ketika
mendengar ayat tersebut dibacakan Abu
Bakar shiddiq r.a. tubuhnya menjadi lunglai dan terduduk karena
mengalami rasa sedih yang luar biasa. Karena
itu kalau para sahabat Nabi Besar
Muhammad saw. mempercayai bahwa Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. masih hidup di langit
pasti Umar bin Khathtab r.a. dan para sahabat
lainnya akan menyanggah keterangan Abu Bakar Shidiq r.a..
Jadi, ayat tersebut sambil lalu
membuktikan bahwa semua
nabi Allah sebelum Nabi Besar
Muhammad saw. – termasuk Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. -- telah wafat, sebab sekiranya
seorang di antaranya masih hidup maka
ayat ini sekali-kali tidak akan ditukil Abu Bakar Shiddiq r.a. sebagai bukti tentang wafat beliau saw..
Demikianlah cara menafsirkan Al-Quran
berkenaan dengan masalah perbedaan
pendapat mengenai Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. bahwa menurut kesaksian ayat-ayat Al-Quran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat, sesuai kaidah pertama penafsiran yang dikemukakan Masih Mau’ud a.s. dari 7
kaidah penafsiran Al-Quran, beliau bersabda:
“Acuan pokok suatu tafsir
yang benar dari Kitab Suci Al-Quran
adalah kesaksian Al-Quran itu
sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran
berbeda dengan Kitab-kitab Samawi
lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20
kesaksian termaktub yang mendukungnya.
Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung
pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada
sedangkan pengertian yang kita dapat
itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus
menyimpulkan bahwa tafsir itu salah,
karena tidak mungkin terdapat kontradiksi
di dalam Al-Quran. Tanda suatu tafsir
yang benar ialah jika keseluruhan
kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran
memang jelas mendukung.” (Barakatud-Du’a, Qadian, Riyaz
Hind Press, 1310 H; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VI, hlm. 17-21, London,
1984).
Beberapa Penyebab Allah
Swt Menghukum Orang-orang Yahudi: (1)
Pembunuhan Nabi-nabi
Sehubungan dengan perbedaan pendapat berkenaan masalah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
tersebut, berikut adalah firman Allah Swt. beberapa
penyebab mengapa
Allah Swt. menghukum
orang-orang Yahudi, sehingga mengakibatkan bukan saja mereka telah diusir kedua kalinya oleh Allah Swt. dari Palestina
(QS.17:5-8), yang akibatnya selain
kehilangan tanah-air mereka juga
juga telah kehilangan nikmat kenabian
(QS.5:21), karena sesuai dengan nubuatan Nabi Musa a.s. dalam Ulangan
18:18-19 silsilah kenabian
dipindahkan oleh Allah Swt. kepada Bani Isma’il, firman-Nya:
فَبِمَا
نَقۡضِہِمۡ مِّیۡثَاقَہُمۡ وَ کُفۡرِہِمۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ وَ قَتۡلِہِمُ الۡاَنۡۢبِیَآءَ
بِغَیۡرِ حَقٍّ وَّ قَوۡلِہِمۡ قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ ؕ بَلۡ طَبَعَ اللّٰہُ
عَلَیۡہَا بِکُفۡرِہِمۡ فَلَا یُؤۡمِنُوۡنَ
اِلَّا قَلِیۡلًا ﴿﴾۪ وَّ بِکُفۡرِہِمۡ
وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ بُہۡتَانًا
عَظِیۡمًا ﴿﴾ۙ وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی
ابۡنَ مَرۡیَمَ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ وَ مَا صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ
شُبِّہَ لَہُمۡ ؕ وَ اِنَّ الَّذِیۡنَ
اخۡتَلَفُوۡا فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ ؕ مَا لَہُمۡ بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَ مَا
قَتَلُوۡہُ یَقِیۡنًۢا ﴿﴾ۙ بَلۡ رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ
عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا ﴿﴾
Maka Kami
mengazab mereka disebabkan
pelanggaran mereka atas perjanjian
mereka, dan kekafiran mereka kepada Tanda-tanda Allah, dan mereka
membunuh nabi-nabi
tanpa hak, dan karena ucapan mereka:
قُلُوۡبُنَا
غُلۡفٌ -- ”Hati kami terselubung!” بَلۡ طَبَعَ اللّٰہُ
عَلَیۡہَا بِکُفۡرِہِمۡ -- Tidak
demikian, bahkan Allah
telah memeterai hati mereka disebabkan kekafiran mereka, فَلَا
یُؤۡمِنُوۡنَ اِلَّا قَلِیۡلًا -- maka tidaklah mereka
beriman kecuali sedikit. وَّ بِکُفۡرِہِمۡ وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ
بُہۡتَانًا عَظِیۡمًا -- Dan
juga mereka Kami azab karena kekafiran mereka dan ucapan
mereka terhadap Maryam berupa tuduhan
palsu yang besar, وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ
رَسُوۡلَ اللّٰہِ -- Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya
kami telah membunuh Al-Masih, Isa
Ibnu Maryam, Rasul Allah,” وَ مَا
قَتَلُوۡہُ وَ مَا صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ شُبِّہَ لَہُمۡ -- padahal mereka tidak membunuhnya secara biasa dan tidak pula mematikannya melalui penya-liban, akan tetapi ia disamarkan kepada
mereka seperti telah mati di atas salib. وَ اِنَّ الَّذِیۡنَ اخۡتَلَفُوۡا
فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ
-- Dan sesungguhnya orang-orang
yang berselisih dalam hal ini niscaya ada
dalam keraguan mengenai ini, مَا لَہُمۡ
بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ
الظَّنِّ -- mereka
tidak memiliki pengetahuan yang
pasti mengenai ini melainkan menuruti dugaan belaka وَ مَا
قَتَلُوۡہُ یَقِیۡنًۢا -- dan mereka tidak yakin telah membunuhnya بَلۡ
رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ -- Bahkan Allah telah
mengangkatnya kepada-Nya وَ کَانَ
اللّٰہُ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا -- dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. (An-Nisā [4]:156-159).
Mengenai “pembunuhan nabi-nabi” dalam ayat 156:
فَبِمَا نَقۡضِہِمۡ مِّیۡثَاقَہُمۡ وَ کُفۡرِہِمۡ
بِاٰیٰتِ اللّٰہِ وَ قَتۡلِہِمُ الۡاَنۡۢبِیَآءَ بِغَیۡرِ حَقٍّ وَّ قَوۡلِہِمۡ
قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ ؕ بَلۡ طَبَعَ اللّٰہُ عَلَیۡہَا بِکُفۡرِہِمۡ فَلَا
یُؤۡمِنُوۡنَ اِلَّا قَلِیۡلًا -- “Maka Kami mengazab mereka disebabkan pelanggaran mereka atas perjanjian mereka, dan kekafiran mereka kepada Tanda-tanda Allah, dan mereka
membunuh nabi-nabi
tanpa hak, dan karena ucapan mereka:
”Hati kami terselubung!” Tidak demikian, bahkan Allah
telah memeterai hati mereka disebabkan kekafiran mereka, maka tidaklah mereka beriman kecuali sedikit“ dijelaskan dalam QS.2:88-89,
firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَا
مُوۡسَی الۡکِتٰبَ وَ قَفَّیۡنَا مِنۡۢ بَعۡدِہٖ بِالرُّسُلِ ۫ وَ اٰتَیۡنَا
عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ الۡبَیِّنٰتِ وَ اَیَّدۡنٰہُ بِرُوۡحِ الۡقُدُسِ ؕ
اَفَکُلَّمَا جَآءَکُمۡ رَسُوۡلٌۢ بِمَا لَا تَہۡوٰۤی اَنۡفُسُکُمُ
اسۡتَکۡبَرۡتُمۡ ۚ فَفَرِیۡقًا کَذَّبۡتُمۡ ۫ وَ فَرِیۡقًا تَقۡتُلُوۡنَ ﴿﴾ وَ قَالُوۡا
قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ ؕ بَلۡ لَّعَنَہُمُ اللّٰہُ بِکُفۡرِہِمۡ فَقَلِیۡلًا مَّا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَمَّا
جَآءَہُمۡ کِتٰبٌ مِّنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَہُمۡ ۙ وَ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ یَسۡتَفۡتِحُوۡنَ
عَلَی الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا ۚۖ فَلَمَّا جَآءَہُمۡ مَّا عَرَفُوۡا کَفَرُوۡا بِہٖ
۫ فَلَعۡنَۃُ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah berikan Alkitab kepada Musa dan Kami mengikutkan
rasul-rasul di belakangnya, dan Kami
berikan kepada Isa Ibnu Maryam Tanda-tanda yang nyata, dan juga
Kami memper-kuatnya dengan Ruhulqudus. Maka apakah
patut setiap datang kepada kamu seorang rasul dengan membawa apa yang tidak disukai oleh dirimu kamu berlaku
takabur, lalu sebagian kamu dustakan dan sebagian
lainnya kamu bunuh? Dan mereka berkata: ”Hati kami tertutup.” بَلۡ
لَّعَنَہُمُ اللّٰہُ بِکُفۡرِہِمۡ
فَقَلِیۡلًا مَّا یُؤۡمِنُوۡنَ -- Tidak, bahkan Allah
telah mengutuk mereka karena kekafiran
mereka maka sedikit sekali apa yang mereka imani. Dan tatkala datang kepada mereka sebuah Kitab
yakni Al-Quran dari Allah menggenapi apa yang ada pada mereka,
sedangkan sebelum itu mereka senantiasa
memohon kemenangan atas orang-orang kafir, tetapi tatkala datang kepada mereka apa yang mereka kenali itu lalu mereka kafir kepadanya فَلَعۡنَۃُ
اللّٰہِ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ -- maka laknat Allah atas orang-orang kafir. (Al-Baqarah [2]:88-90).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 17 Februari
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar