Senin, 22 Februari 2016

Tujuh Pedoman Penafsiran Al-Quran & Ijtima'i (Kesepakatan) Pendapat Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw. Mengenai "Telah Wafatnya" Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Tujuh Pedoman Penafsiran Al-Quran &  Ijtima’i (Kesepakatan)  Pendapat Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw. Mengenai Telah Wafatnya Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.   

Bab 39


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Bab sebelumnya telah dijelaskan penjelasan Masih Mau’ud a.s.  mengenai ketidak-terbatasan khazanah  ruhani  Al-Quran  sebagaimana diisyaratkan  dalam firman Allah Swt. berikut ini:
وَ  اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ   اِلَّا عِنۡدَنَا خَزَآئِنُہٗ ۫ وَ  مَا  نُنَزِّلُہٗۤ  اِلَّا بِقَدَرٍ  مَّعۡلُوۡمٍ ﴿﴾
Dan  tidak ada suatu pun benda melainkan pada Kami ada khazanah-khazanahnya yang tidak terbatas, dan  Kami sama sekali tidak menurunkannya melainkan dalam ukuran yang tertentu  (Al-Hijr [15]:22).
       Allah Swt.  memiliki persediaan (khazanah) segala sesuatu dalam jumlah yang tidak terbatas. Akan tetapi sesuai dengan rahmat-Nya yang tidak berhingga  Dia mengarahkan pikiran atau otak manusia kepada satu benda yang tertentu, hanya bilamana timbul suatu keperluan yang sesungguhnya akan benda itu.
     Seperti halnya alam semesta kebendaan, demikian juga  Al-Quran pun merupakan alam semesta keruhanian, di mana tersembunyi khazanah-khazanah ilmu keruhanian yang dibukakan kepada manusia sesuai dengan keperluan zaman, yakni melalui Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.3:180; QS.7:35-37), firman-Nya:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾  لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan  rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya baris-an pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyam-paikan Amanat-amanat  Rabb (Tuhan) mere-ka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu  (Al-Jin [72]:27-29).
  Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti, diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.         Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang mukmin muttaki lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Tuhan dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib  -- “penguasaan atas yang gaib”, maka rahasia-rahasia yang diturunkan  (dibukakan) kepada orang-orang muttaki dan orang-orang suci lainnya tidak menikmati kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang muttaki lainnya tidak begitu terpelihara.

Tujuh Pedoman Penafsiran Al-Quran

     Lebih jauh Masih Mau’ud a.s.  menjelaskan mengenai pedoman penafsiran Al-Quran:
    “Acuan pokok suatu tafsir yang benar dari Kitab Suci Al-Quran adalah kesaksian Al-Quran itu sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran berbeda dengan Kitab-kitab Samawi lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
    Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi  dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20 kesaksian termaktub yang mendukungnya.
    Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada sedangkan pengertian yang kita dapat itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus menyimpulkan bahwa tafsir itu  salah,   karena tidak mungkin terdapat kontradiksi di dalam Al-Quran.       Tanda   suatu tafsir yang benar ialah jika keseluruhan kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran memang jelas mendukung.
     Acuan kedua dari pengertian yang benar mengenai Al-Quran adalah tafsir yang dikemukakan oleh Hadhrat Rasulullah Saw.. Tidak diragukan lagi bahwa sosok yang paling memahami pengertian Al-Quran adalah Nabi Besar kita yang tercinta. Dengan demikian jika memang sudah ada tafsir dari Hadhrat Rasulullah Saw. maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menerimanya tanpa ragu-ragu lagi, sedangkan mereka yang menolak termasuk murtad dan mengada-ada.
       Acuan ketiga adalah penafsiran dari para sahabat Hadhrat Rasulullah Saw.. Para sahabat tersebut merupakan pewaris pertama dari Nur dan pengetahuan yang dibawa Hadhrat Rasulullah Saw.. Mereka ini mendapat rahmat akbar dari Allah Swt.  dimana persepsi mereka dibantu oleh-Nya karena mereka ini tidak saja telah beriman tetapi juga telah melaksanakan apa yang diimani.
   Acuan keempat adalah perenungan Al-Quran dengan ruhani yang suci mengingat juga Al-Quran berkaitan dengan kesucian ruhani seseorang sebagaimana dinyatakan Allah yang Maha Agung dalam firman-Nya:
لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ
 “(Kitab) yang tiada orang boleh menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan  (Al-Wāqi’ah [56]:80).
     Berarti hanya seorang yang memiliki hati yang telah disucikan yang dapat menghargai wawasan suci dari Al-Quran karena kedekatannya dengan Kitab tersebut. Ia mengenali segala kebenaran dan keharuman yang dikandung Kitab tersebut dan batinnya bersaksi bahwa inilah jalan yang lurus.
      Nur hati orang seperti itulah yang menjadi acuan guna menguji kebenaran. Kecuali seseorang telah disucikan dalam amalannya dan telah berhasil melewati jalan sempit yang dilalui oleh para nabi, sebaiknya janganlah ia menjadi penafsir isi Al-Quran, apalagi jika didasari oleh sikap kurang ajar dan kesombongan karena hasil tafsirnya nanti didasarkan pada opini dirinya sendiri. Tafsir seperti itu dilarang oleh Hadhrat Rasulullah Saw. yang menyatakan:
Ia yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan opininya sendiri berada dalam kesalahan, meskipun ia mengemukakan tafsir yang menurutnya adalah yang benar.”
       Acuan kelima adalah kosa-kata bahasa Arab, hanya saja Al-Quran terkadang memberi arti yang beragam sekali sehingga tidak sepenuhnya bisa bersandar pada lexicon (kamus) atau kosa-kata tersebut. Terkadang dengan memperhatikan kosa-katanya, perhatian bisa dibimbing kepada suatu rahasia sehingga yang bersangkutan dapat mengungkapkan hal yang tersembunyi dalam Al-Quran.
  Acuan keenam adalah perbandingan sistem keruhanian dengan sistem jasmaniah karena ada keselarasan di antara keduanya.
     Acuan ketujuh adalah wahyu dan kasyaf para orang suci. Acuan ini sebenarnya merangkum keseluruhan acuan-acuan lainnya, karena seorang penerima wahyu adalah refleksi (pantulan) sempurna dari Nabi yang diikutinya, dimana dengan kekecualian pemberian status kenabian dan adanya syariat baru, ia mendapatkan semua sebagaimana yang diterima sang Nabi.
   Akidah yang benar dan pasti akan dibukakan kepadanya dan ia akan menerima segala karunia berupa berkat dan rahmat sebagaimana yang diberikan Tuhan kepada Nabi yang diikutinya. Ia tidak akan mengada-ada, tetapi hanya berbicara atas dasar apa yang dilihatnya dan mengemukakan apa yang didengarnya. Jalan ini terbuka bagi setiap umat Muslim, karena jika tidak maka tidak akan ada lagi pewaris Nabi Besar Muhammad Saw.” (Barakatud-Du’a, Qadian, Riyaz Hind Press, 1310 H; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VI, hlm.  17-21, London, 1984).

Kekeliruan Penafsiran Mengenai    “Penyaliban” Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Yang  Menggelincirkan Banyak Pihak

    Pedoman penafsiran Al-Quran yang pertama perlu mendapat perhatian  para pemuka agama Islam, sebab banyak kesalahan penafsiran mengenai ayat-ayat Al-Quran yang akibatnya sangat merugikan umat Islam sendiri. Masih Mau’ud a.s. bersabda:
   “Acuan pokok suatu tafsir yang benar dari Kitab Suci Al-Quran adalah kesaksian Al-Quran itu sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran berbeda dengan Kitab-kitab Samawi lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
    Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi  dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20 kesaksian termaktub yang mendukungnya.
      Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada sedangkan pengertian yang kita dapat itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus menyimpulkan bahwa tafsir itu  salah,   karena tidak mungkin terdapat kontradiksi di dalam Al-Quran.       Tanda   suatu tafsir yang benar ialah jika keseluruhan kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran memang jelas mendukung.”
   Contoh mengenai  hal tersebut adalah  kekeliruan penafsiran mengenai    “penyaliban” Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.4:158-159), sehingga di kalangan umat Islam timbul kepercayaan keliru bahwa hingga saat ini Nabi Isa Ibnu Maryam   Israili a.s. masih hidup di langit dan beliau akan turun lagi sebagai rasul Allah bagi umat Islam untuk mewujudkan kejayaan Islam yang kedua di Akhir Zaman (QS.61:10).
   Berikut adalah beberapa bukti ayat-ayat Al-Quran mengenai  kekeliruan pemahaman   bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. masih hidup  di langit  dengan jasad kasarnya hingga saat ini:
      (1) Setiap manusia yang bernyawa – termasuk para nabi Allah – pasti akan mengalami kematian, tidak terkecuali   Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan juga Nabi Besar Muhammad saw., berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ مَا جَعَلۡنَا لِبَشَرٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ الۡخُلۡدَ ؕ اَفَا۠ئِنۡ  مِّتَّ  فَہُمُ  الۡخٰلِدُوۡنَ  ﴿﴾ کُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَۃُ  الۡمَوۡتِ ؕ وَ نَبۡلُوۡکُمۡ بِالشَّرِّ وَ الۡخَیۡرِ  فِتۡنَۃً ؕ وَ اِلَیۡنَا  تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami sekali-kali tidak  menjadikan seorang manusia pun sebelum engkau hidup kekal, اَفَا۠ئِنۡ  مِّتَّ  فَہُمُ  الۡخٰلِدُوۡنَ    -- maka  jika engkau mati  maka apakah mereka itu akan hidup kekal? کُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَۃُ  الۡمَوۡتِ --    Setiap jiwa akan merasai kematian, dan Kami menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan sebagai ujian dan kepada Kami-lah kamu akan dikembalikan.  (Al-Anbiyā [21]:35-36). Lihat pula QS.3:56 & 186, QS.29:58).
       Ayat ini dapat pula mengandung maksud bahwa tidak seorang pun yang kebal terhadap kehancuran dan kematian  jasmani, bahkan Nabi Besar Muhammad saw. pun tidak. Kekekalan dan keabadian merupakan Sifat-sifat  khusus Allah Swt.. Dalam makna lain ayat tersebut berarti bahwa semua syariat dan sistem agama yang bermacam-macam di masa sebelum Nabi Besar Muhammad saw. telah ditetapkan dan ditakdirkan untuk mengalami kehancuran dan kematian ruhani, dan hanyalah syariat  Islam   sajalah yang ditakdirkan akan hidup dan akan berlaku terus sampai Akhir Zaman, karena meupakan syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4).
     (2) Semua orang yang dipanjangkan umurnya pasti akan mengalami pikun, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.,  karena itu  jika benar bahwa beliau sampai saat ini masih hidup di langit dan berusia 2000 tahun pasti beliau telah sangat pikun.  Karena itu dapat dipastikan bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat  dan  menurut Nabi Besar Muhammad saw. usia Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  ketika wafat   di Kasymir (QS.23:51) berusia 120 tahun, firman-Nya:
وَ مَنۡ نُّعَمِّرۡہُ  نُنَکِّسۡہُ  فِی الۡخَلۡقِ ؕ اَفَلَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa yang  Kami panjangkan umurnya pasti Kami  me-ngembalikannya  pada awal penciptaan, maka tidakkah mereka mau  berfikir? (Yā Sīn [36]:69). Lihat pula  QS.16:71; QS.22:6.
       Segala sesuatu yang hidup pasti mengalami kerusakan dan kemunduran. Hukum ini berlaku bagi bangsa-bangsa (QS.7:35-37) seperti halnya bagi individu-individu, karena itu seperti halnya individu-individu demikian juga  bangsa-bangsa pun berkembang, tumbuh dan menemukan bentuk yang sepenuh-penuhnya dan kemudian menjadi mangsa kerusakan, kemunduran, serta kematian, yakni keadaan “pikun.
    (3) Menurut Al-Quran seluruh rasul Allah yang diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw. telah wafat, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
وَ مَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوۡلٌ ۚ قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ ؕ اَفَا۠ئِنۡ مَّاتَ اَوۡ قُتِلَ انۡقَلَبۡتُمۡ عَلٰۤی اَعۡقَابِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّنۡقَلِبۡ عَلٰی عَقِبَیۡہِ فَلَنۡ یَّضُرَّ اللّٰہَ شَیۡئًا ؕ وَ سَیَجۡزِی اللّٰہُ  الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan   Muhammad tidak lain melainkan seorang rasul. قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ -- Sungguh  telah berlalu  yakni  wafat rasul-rasul sebelumnya. Apakah jika ia mati atau terbunuh kamu akan berbalik  atas kedua tumitmu?  Dan barangsiapa berbalik  atas kedua tumitnya maka ia tidak akan pernah  memudaratkan Allāh sedikit pun.  Dan Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali ‘Imran [3]:145).

Ijmak  Para Sahabat Mengenai Telah Wafatnya  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.

       Makna ayat   قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ – “Sungguh  telah berlalu  yakni  wafat rasul-rasul sebelumnya” bahwa  semua rasul Allah yang diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw. tanpa kecuali telah wafat.  Ayat tersebut  telah dirujuk oleh Abu Bakar Shiddiq r.a. sehubungan  kewafatan Nabi Besar Muhammad saw.
       Tercantum dalam tarikh bahwa tatkala  Nabi Besar Muhammad saw.  – setelah beberapa hari menderita sakit --  kemudian beliau saw.  wafat, Umar bin Khaththab r.a. berdiri di Masjid Medinah dengan pedang terhunus di tangan beliau dan berkata: “Barangsiapa mengatakan Rasulullah saw.  wafat  akan aku penggal batang lehernya. Beliau tidak wafat  melainkan telah pergi kepada Tuhan-nya  seperti halnya Nabi Musa a.s.  pernah pergi kepada Tuhan-nya dan beliau niscaya akan kembali lagi untuk menghukum orang-orang munafik!”  
      Abu Salamah meriwayatkan bahwa ‘Aisyah r.a.  isteri Nabi saw. mengabarkan kepadanya, katanya:
        “Abu Bakar r.a. menunggang kudanya dari suatu tempat bernama Sunih hingga sampai dan masuk ke dalam masjid; dan dia tidak berbicara dengan orang-orang. Lalu dia menemui ‘Aisyah  r.a. dan langsung mendatangi Nabi saw. yang sudah ditutupi (jasadnya) dengan kain terbuat dari katun. Kemudian dia membuka tutup wajah beliau; lalu Abu Bakar bersimpuh di depan jasad Nabi, lalu menutupnya kembali. Kemudian Abu Bakar menangis dan berkata: “Demi bapak dan ibuku, wahai Nabi Allah, Allah tidak akan menjadikan kematian dua kali kepada engkau. Adapun kematian pertama yang telah ditetapkan buat engkau itu sudah terjadi”.
       Berkata Abu Salamah: Telah mengabarkan kepada saya Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma, bahwa:
       “Kemudian Abu Bakar  r.a. keluar bertepatan ‘Umar r.a. sedang berbicara dengan orang banyak, lalu  ia berkata: “Duduklah!” Namun ‘Umar tidak mempedulikannya. Lalu Abu Bakar berkata lagi: “Duduklah!” Namun ‘Umar tetap tidak mempedulikannya. Akhirnya Abu Bakar bersaksi (tentang kewafatan Nabi saw.) sehingga orang-orang berkumpul kepadanya dan meninggalkan ‘Umar.
       Lalu Abu Bakar berkata: “Kemudian, barangsiapa dari kalian yang menyembah Muhammad saw. sungguh Muhammad saw.  sekarang sudah wafat; dan barangsiapa dari kalian yang menyembah Allah, sungguh Allah Maha Hidup yang tidak akan pernah mati. Allah Ta’ala telah berfirman:
وَ مَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوۡلٌ ۚ قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ ؕ اَفَا۠ئِنۡ مَّاتَ اَوۡ قُتِلَ انۡقَلَبۡتُمۡ عَلٰۤی اَعۡقَابِکُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّنۡقَلِبۡ عَلٰی عَقِبَیۡہِ فَلَنۡ یَّضُرَّ اللّٰہَ شَیۡئًا ؕ وَ سَیَجۡزِی اللّٰہُ  الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan   Muhammad tidak lain melainkan seorang rasul. قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِہِ الرُّسُلُ -- Sungguh  telah berlalu  yakni  wafat rasul-rasul sebelumnya. Apakah jika ia mati atau terbunuh kamu akan berbalik  atas kedua tumitmu?  Dan barangsiapa ber-balik  atas kedua tumitnya maka ia tidak akan pernah  memudaratkan Allah sedikit pun. Dan Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali ‘Imran [3]:145).
         Demi Allah, seakan-akan orang-orang belum pernah mengetahui bahwa Allah sudah menurunkan ayat tersebut sampai Abu Bakar r.a. membacakannya. Akhirnya orang-orang memahaminya dan tidak ada satupun orang yang mendengarnya (wafatnya Nabi) kecuali pasti membacakannya.”
       Di riwayatkan,   Umar bin Khaththab r.a.  yang tidak mau duduk, ketika mendengar ayat  tersebut dibacakan Abu Bakar shiddiq r.a.   tubuhnya  menjadi lunglai dan terduduk karena mengalami rasa sedih yang  luar biasa.   Karena itu kalau   para sahabat Nabi Besar Muhammad  saw. mempercayai bahwa Nabi Isa Ibnu  Maryam a.s. masih hidup di langit pasti  Umar bin Khathtab r.a. dan para sahabat lainnya akan menyanggah keterangan Abu Bakar Shidiq r.a..
       Jadi, ayat tersebut sambil lalu membuktikan bahwa semua nabi Allah sebelum Nabi Besar Muhammad saw.  – termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  --  telah wafat, sebab  sekiranya seorang di antaranya masih hidup maka ayat ini sekali-kali tidak akan ditukil  Abu Bakar Shiddiq r.a. sebagai bukti tentang wafat beliau saw..
       Demikianlah cara menafsirkan  Al-Quran  berkenaan dengan masalah perbedaan pendapat mengenai Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. bahwa menurut kesaksian ayat-ayat Al-Quran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat, sesuai kaidah  pertama penafsiran  yang dikemukakan Masih Mau’ud a.s.  dari 7 kaidah penafsiran Al-Quran, beliau bersabda:
    “Acuan pokok suatu tafsir yang benar dari Kitab Suci Al-Quran adalah kesaksian Al-Quran itu sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran berbeda dengan Kitab-kitab Samawi lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
   Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi  dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20 kesaksian termaktub yang mendukungnya.
   Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada sedangkan pengertian yang kita dapat itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus menyimpulkan bahwa tafsir itu  salah,   karena tidak mungkin terdapat kontradiksi di dalam Al-Quran.        Tanda   suatu tafsir yang benar ialah jika keseluruhan kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran memang jelas mendukung.” (Barakatud-Du’a, Qadian, Riyaz Hind Press, 1310 H; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VI, hlm.  17-21, London, 1984).

Beberapa Penyebab Allah Swt Menghukum Orang-orang Yahudi: (1) Pembunuhan Nabi-nabi

     Sehubungan dengan perbedaan pendapat berkenaan masalah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tersebut, berikut adalah firman Allah Swt.  beberapa  penyebab  mengapa  Allah Swt. menghukum orang-orang Yahudi, sehingga mengakibatkan bukan saja mereka telah diusir kedua kalinya oleh Allah Swt.  dari Palestina (QS.17:5-8), yang akibatnya  selain kehilangan tanah-air  mereka juga  juga telah kehilangan nikmat kenabian (QS.5:21),   karena sesuai dengan nubuatan Nabi Musa a.s. dalam Ulangan 18:18-19 silsilah   kenabian dipindahkan oleh Allah Swt. kepada  Bani Isma’il, firman-Nya:
فَبِمَا نَقۡضِہِمۡ مِّیۡثَاقَہُمۡ وَ کُفۡرِہِمۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ وَ قَتۡلِہِمُ الۡاَنۡۢبِیَآءَ بِغَیۡرِ حَقٍّ وَّ قَوۡلِہِمۡ قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ ؕ بَلۡ طَبَعَ اللّٰہُ عَلَیۡہَا بِکُفۡرِہِمۡ فَلَا یُؤۡمِنُوۡنَ  اِلَّا قَلِیۡلًا ﴿﴾۪  وَّ بِکُفۡرِہِمۡ وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ  بُہۡتَانًا عَظِیۡمًا ﴿﴾ۙ  وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ رَسُوۡلَ اللّٰہِ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ وَ مَا صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ شُبِّہَ لَہُمۡ ؕ وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اخۡتَلَفُوۡا فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ ؕ مَا لَہُمۡ بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ  اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَ مَا قَتَلُوۡہُ  یَقِیۡنًۢا ﴿﴾ۙ  بَلۡ رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا ﴿﴾
Maka Kami mengazab mereka disebabkan pelanggaran mereka atas perjanjian mereka, dan   kekafiran  mereka kepada Tanda-tanda Allah,  dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa hak, dan karena ucapan mereka: قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ --  Hati kami terselubung!” بَلۡ طَبَعَ اللّٰہُ عَلَیۡہَا بِکُفۡرِہِمۡ   --  Tidak demikian,   bahkan  Allah telah memeterai  hati mereka disebabkan kekafiran mereka,  فَلَا یُؤۡمِنُوۡنَ  اِلَّا قَلِیۡلًا -- maka tidaklah mereka beriman kecuali sedikit. وَّ بِکُفۡرِہِمۡ وَ قَوۡلِہِمۡ عَلٰی مَرۡیَمَ  بُہۡتَانًا عَظِیۡمًا  --  Dan juga  mereka  Kami azab karena kekafiran mereka dan ucapan mereka terhadap Maryam berupa tuduhan palsu yang besar, وَّ قَوۡلِہِمۡ اِنَّا قَتَلۡنَا الۡمَسِیۡحَ عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ رَسُوۡلَ اللّٰہِ  --   Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa Ibnu Maryam, Rasul Allah,”  وَ مَا قَتَلُوۡہُ وَ مَا صَلَبُوۡہُ وَ لٰکِنۡ شُبِّہَ لَہُمۡ  -- padahal mereka tidak membunuhnya secara biasa dan tidak pula mematikannya melalui penya-liban,  akan tetapi ia disamarkan  kepada mereka seperti telah mati di atas salib.  وَ  اِنَّ الَّذِیۡنَ اخۡتَلَفُوۡا فِیۡہِ لَفِیۡ شَکٍّ مِّنۡہُ --  Dan sesungguhnya  orang-orang yang berselisih dalam hal ini niscaya ada dalam keraguan mengenai ini, مَا لَہُمۡ بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ  اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ  --   mereka tidak memiliki  pengetahuan yang pasti mengenai ini melainkan menuruti dugaan belaka  وَ مَا قَتَلُوۡہُ  یَقِیۡنًۢا -- dan mereka tidak  yakin telah membunuhnya  بَلۡ رَّفَعَہُ اللّٰہُ اِلَیۡہِ -- Bahkan Allah telah mengangkatnya kepada-Nya وَ کَانَ اللّٰہُ عَزِیۡزًا حَکِیۡمًا --  dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (An-Nisā [4]:156-159).
        Mengenai “pembunuhan nabi-nabi” dalam   ayat 156:  فَبِمَا نَقۡضِہِمۡ مِّیۡثَاقَہُمۡ وَ کُفۡرِہِمۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ وَ قَتۡلِہِمُ الۡاَنۡۢبِیَآءَ بِغَیۡرِ حَقٍّ وَّ قَوۡلِہِمۡ قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ ؕ بَلۡ طَبَعَ اللّٰہُ عَلَیۡہَا بِکُفۡرِہِمۡ فَلَا یُؤۡمِنُوۡنَ  اِلَّا قَلِیۡلًا  --  “Maka Kami mengazab mereka disebabkan pelanggaran mereka atas perjanjian mereka, dan  kekafiran  mereka kepada Tanda-tanda Allah,  dan mereka  membunuh nabi-nabi tanpa hak, dan karena ucapan mereka: ”Hati kami terselubung!”  Tidak demikian,   bahkan  Allah telah memeterai  hati mereka disebabkan kekafiran mereka,  maka tidaklah mereka beriman kecuali sedikit“ dijelaskan dalam QS.2:88-89, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَا مُوۡسَی الۡکِتٰبَ وَ قَفَّیۡنَا مِنۡۢ بَعۡدِہٖ بِالرُّسُلِ ۫ وَ اٰتَیۡنَا عِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ الۡبَیِّنٰتِ وَ اَیَّدۡنٰہُ بِرُوۡحِ الۡقُدُسِ ؕ اَفَکُلَّمَا جَآءَکُمۡ رَسُوۡلٌۢ بِمَا لَا تَہۡوٰۤی اَنۡفُسُکُمُ اسۡتَکۡبَرۡتُمۡ ۚ  فَفَرِیۡقًا کَذَّبۡتُمۡ  ۫ وَ فَرِیۡقًا تَقۡتُلُوۡنَ ﴿﴾ وَ قَالُوۡا قُلُوۡبُنَا غُلۡفٌ ؕ بَلۡ لَّعَنَہُمُ اللّٰہُ بِکُفۡرِہِمۡ  فَقَلِیۡلًا مَّا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَمَّا جَآءَہُمۡ کِتٰبٌ مِّنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَہُمۡ  ۙ وَ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ یَسۡتَفۡتِحُوۡنَ عَلَی الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا ۚۖ فَلَمَّا جَآءَہُمۡ مَّا عَرَفُوۡا کَفَرُوۡا بِہٖ ۫ فَلَعۡنَۃُ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan  sungguh   Kami benar-benar telah  berikan Alkitab kepada Musa dan Kami mengikutkan rasul-rasul di belakangnya, dan   Kami  berikan kepada Isa Ibnu Maryam Tanda-tanda yang nyata, dan juga Kami memper-kuatnya dengan  Ruhulqudus.  Maka apakah patut setiap datang kepada kamu seorang rasul dengan membawa apa yang tidak disukai oleh dirimu  kamu berlaku takabur, lalu  sebagian kamu dustakan dan sebagian lainnya kamu bunuh?   Dan mereka berkata:  Hati kami tertutup.” بَلۡ لَّعَنَہُمُ اللّٰہُ بِکُفۡرِہِمۡ  فَقَلِیۡلًا مَّا یُؤۡمِنُوۡنَ --  Tidak,  bahkan Allah telah mengutuk mereka karena kekafiran mereka  maka sedikit sekali apa yang mereka imani.   Dan tatkala datang kepada mereka sebuah Kitab yakni  Al-Quran dari Allah menggenapi apa yang ada pada mereka, sedangkan sebelum itu mereka senantiasa memohon kemenangan  atas orang-orang kafir, tetapi tatkala  datang kepada mereka  apa yang mereka  kenali itu lalu mereka kafir  kepadanya  فَلَعۡنَۃُ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ --   maka laknat Allah atas orang-orang kafir. (Al-Baqarah [2]:88-90).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo

Pajajaran Anyar,   17 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar