Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Penggenapan Kedua Kali Nubuatan Kejayaan
Islam Dalam Surah An-Nashr & Ayat-ayat
Mutasyābihāt Al-Quran yang Menggelincirkan
Orang-orang yang “Hatinya Berpenyakit” Contohnya Tentang Penyaliban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Bab 45
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Bab
sebelumnya telah kemukakan ayat mengenai kemusyrikan yang terjadi kalangan Ahli Kitab berupa penyembahan
terhadap wujud-wujud selain Allah
Swt., yakni mereka telah mempertuhankan Nabi Uzair a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s., -- bahkan mempertuhankan Maryam binti
‘Imran, ibunda Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.5:117-119), firman-Nya:
وَ قَالَتِ
الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ
اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ
قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾ اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا
مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ
وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ
مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا
لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ
بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ
اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾
Dan orang-orang
Yahudi berkata: “Uzair adalah anak
Allah”, dan orang-orang Nasrani
berkata: “Al-Masih adalah anak Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya,
mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipa-lingkan dari
Tauhid? اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ
الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ -- Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah, dan begitu juga Al-Masih
ibnu Maryam, وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا -- padahal mereka
tidak diperintahkan melainkan supaya
mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa. لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ -- Tidak ada Tuhan
kecuali Dia. Maha-suci Dia dari apa yang
mereka sekutukan. یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ -- Mereka
berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut
mereka, tetapi Allah menolak bahkan
menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun
orang-orang kafir tidak menyukai.
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ -- Dia-lah
Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama
walau-pun orang-orang musyrik tidak
menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).
“Imam Ezra” (Uzair)
‘Uzair atau Ezra
hidup pada abad kelima sebelum Masehi. Beliau keturunan Seraya, imam agung, dan karena beliau sendiri pun anggota Dewan Imam dan dikenal sebagai Imam Ezra. Beliau termasuk seorang tokoh
terpenting di masanya dan mem-punyai pengaruh yang luas sekali dalam
mengembangkan agama Yahudi. Beliau men-dapat kehormatan khas di antara
nabi-nabi Israil.
Orang-orang Yahudi di Medinah dan suatu mazhab
Yahudi di Hadramaut, mempercayai beliau sebagai anak Allah. Para Rabbi (pendeta-pendeta Yahudi)
menghubungkan nama beliau dengan beberapa lembaga-lembaga penting. Renan
mengemukakan dalam mukadimah bukunya “History
of the People of Israel” bahwa bentuk agama Yahudi yang-pasti dapat dianggap berwujud semenjak masa Ezra.
Dalam kepustakaan golongan Rabbi,
beliau dianggap patut jadi wahana pengemban
syariat seandainya syariat itu
tidak dibawa oleh Nabi Musa a.s.. Beliau bekerjasama dengan Nehemya dan wafat pada usia 120 tahun di
Babil (Yewish Encyclopaedia
& Encyclopaedia Biblica).
Ahbar
adalah ulama-ulama Yahudi dan Ruhban
adalah para rahib agama Nasrani: اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ -- “Mereka
telah menjadikan ulama-ulama mereka
dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah, dan begitu juga Al-Masih
ibnu Maryam.”
Makna ayat: یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ -- Mereka
berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut
mereka, tetapi Allah menolak bahkan
menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun
orang-orang kafir tidak menyukai”,
orang-orang Nasrani yang berdiam
di tanah Arab telah menghasut
orang-orang kuat seagama mereka di Siria, dan dengan pertolongan
mereka mencoba untuk memadamkan Nur Islam yang telah dinyalakan Allah
Swt. di tanah Arab.
Orang-orang Yahudi pun pernah berupaya semacam itu, dengan menghasut orang-orang Parsi dari kerajaan Iran untuk bangkit melawan Nabi Besar
Muhammad saw., sehingga datang perintah penangkapan
Nabi NBesar Muhammad saw. kepada
gubernur Badhan dari Kisra Iran, namun pada kenyataannya Kisra Iran dibunuh oleh anaknya sendiri, dan ia
membatalkan perintah penangkapan tersebut.
Berkenaan dengan ayat: الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ -- “Dia-lah Yang
telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama
walau-pun orang-orang musyrik tidak
menyukainya”, para mufassir
(ahli tafsir) Al-Quran sepakat bahwa seperti dikemukakan dalam sebuah hadits Nabi
Besar Muhammad saw. kemenangan Islam pada akhirnya akan terjadi di masa Masih Mau’ud a.s.. (Tafsir
Ibnu Jarir), manakala semua agama yang beraneka ragam akan
bangkit dan akan berusaha sekeras-kerasnya untuk menyiarkan ajaran mereka
sendiri.
Cita-cita dan asas-asas Islam
yang luhur sudah mulai semakin
bertambah diakui, dan hari
itu tidak jauh lagi bila Islam akan
memperoleh kemenangan atas semua agama lainnya dan pengikut-pengikut agama-agama itu akan
masuk ke dalam haribaan Islam dalam
jumlah besar, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ اِذَا جَآءَ نَصۡرُ اللّٰہِ وَ
الۡفَتۡحُ ۙ﴿﴾ وَ رَاَیۡتَ النَّاسَ یَدۡخُلُوۡنَ فِیۡ دِیۡنِ اللّٰہِ اَفۡوَاجًا ۙ﴿﴾ فَسَبِّحۡ
بِحَمۡدِ رَبِّکَ وَ اسۡتَغۡفِرۡہُ
ؕؔ اِنَّہٗ کَانَ تَوَّابًا ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama
Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Apabila
datang pertolongan Allah dan kemenangan,
dan engkau
melihat manusia masuk dalam agama Allah
berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Rabb (Tuhan) engkau, dan mohonlah
ampunan-Nya, sesungguhnya
Dia Maha Penerima taubat. (An-Nashr
[110]:1-4).
Penggenapan Kedua kali Nubuatan Dalam Surah An-Nashr
& Hancurnya “Fondasi” Faham Trinitas dan “Penebusan Dosa”
Nubuatan yang terkandung dalam Surah tersebut, selain telah
sempurna di masa Nabi Besar Muhammad saw., juga akan kembali terjadi di Akhir Zaman ini, di masa pengutusan kedua kali secara ruhani Nabi
Besar Muhammad saw. dalam wujud Masih Mau’ud a.s. (QS.62:3-5) atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.43:58).
Salah satu
penyebabnya adalah karena Masih
Mau’ud a.s. telah membuktikan berdasarkan
Al-Quran serta bukti-bukti lainnya mengenai telah wafatnya Nabi Isa Ibnu Maryam secara wajar di Kasymir (QS.23:51), sehingga ajaran
“penebusan dosa” dan “Trinitas” – yang sebelumnya penyebarannya tidak “terbendung” (QS.18:1-9
& 95-107; QS.20:103-112; QS.21:96-99)
-- benar-benar kehilangan fondasinya,
firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ اللّٰہُ
یٰعِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ ءَاَنۡتَ قُلۡتَ
لِلنَّاسِ اتَّخِذُوۡنِیۡ وَ اُمِّیَ اِلٰہَیۡنِ مِنۡ دُوۡنِ
اللّٰہِ ؕ قَالَ سُبۡحٰنَکَ مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ
اَنۡ اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ ؕ اِنۡ کُنۡتُ قُلۡتُہٗ فَقَدۡ
عَلِمۡتَہٗ ؕ تَعۡلَمُ مَا فِیۡ نَفۡسِیۡ
وَ لَاۤ اَعۡلَمُ مَا فِیۡ نَفۡسِکَ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ عَلَّامُ الۡغُیُوۡبِ ﴿﴾ مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ
اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ رَبَّکُمۡ ۚ وَ کُنۡتُ عَلَیۡہِمۡ شَہِیۡدًا مَّا دُمۡتُ فِیۡہِمۡ ۚ فَلَمَّا
تَوَفَّیۡتَنِیۡ کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ ؕ وَ اَنۡتَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ ﴿﴾ اِنۡ تُعَذِّبۡہُمۡ فَاِنَّہُمۡ عِبَادُکَ
ۚ وَ اِنۡ تَغۡفِرۡ لَہُمۡ فَاِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ قَالَ اللّٰہُ ہٰذَا یَوۡمُ یَنۡفَعُ الصّٰدِقِیۡنَ
صِدۡقُہُمۡ ؕ لَہُمۡ جَنّٰتٌ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَاۤ
اَبَدًا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ
ذٰلِکَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِیۡمُ ﴿﴾ لِلّٰہِ مُلۡکُ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا فِیۡہِنَّ ؕ وَ ہُوَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾٪
Dan ingatlah
ketika Allah berfirman: “Hai
‘Isa ibnu Maryam, apakah engkau telah berkata kepada manusia: اِلٰہَیۡنِ
مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ اتَّخِذُوۡنِیۡ وَ اُمِّیَ -- Jadikanlah
aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" قَالَ
سُبۡحٰنَکَ مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ اَنۡ
اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ -- Ia berkata: “Maha Suci Engkau. Tidak
patut bagiku mengatakan apa
yang sekali-kali bukan hakku. Jika aku
telah mengatakannya maka sungguh Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku,
sedangkan aku tidak mengetahui apa yang
ada dalam diri Engkau, sesungguhnya
Engkau benar-benar Maha Mengetahui
segala yang gaib. مَا قُلۡتُ
لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ رَبَّکُمۡ -- Aku sekali-kali tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku yaitu: ”Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku
(Tuhan-ku) dan Rabb (Tuhan) kamu.” Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka, کُنۡتَ اَنۡتَ
الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ فَلَمَّا
تَوَفَّیۡتَنِیۡ -- tetapi tatkala Engkau
telah mewafatkanku Engkau-lah Yang benar-benar menjadi
Pengawas atas mereka, dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu.
Kalau Engkau mengazab mereka maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan kalau
Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau benar-benar Maha
Perkasa, Maha Bijaksana” (Al-Maidah [5]:117-119).
Ayat 117
menunjuk kepada kebiasaan Gereja
Kristen yang menisbahkan kekuatan-kekuatan Uluhiyyah (Ketuhanan)
kepada Maryam
binti ‘Imran. Pertolongan Maryam binti ‘Imran dimohon dalam Litania
(suatu bentuk sembahyang), sedangkan dalam Katakisma (Cathechism,
yakni, dasar-dasar ajaran agama berupa tanya-jawab) Gereja Romawi
ditanamkan akidah bahwa beliau itu bunda Tuhan.
Gerejawan-gerejawan di zaman
lampau menganggap beliau mempunyai sifat-sifat
Tuhan dan hanya beberapa tahun yang silam, Paus Pius XII telah memasukkan
paham kenaikan Siti Maryam ke langit
dalam ajaran Gereja. Semua ini sama halnya dengan menaikkan beliau ke jenjang Ketuhanan dan inilah apa yang dicela
oleh umat Protestan dan disebut
sebagai Mariolatry (Pemujaan Dara Maria).
Peringatan Untuk Umat Islam
Jawaban
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dala ungkapan bahasa Arab dalam teks مَا یَکُوۡنُ
لِیۡۤ اَنۡ اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭
بِحَقٍّ
-- yang diterjemahkan sebagai “Tidak patut bagiku mengatakan apa yang
sekali-kali bukan hakku”
dapat ditafsirkan sebagai: “Tidak patut
bagiku”; atau “tidak mungkin bagiku”
atau “aku tidak berhak berbuat demikian”,
dan sebagainya, sebagaimana firman-Nya:
مَا کَانَ
لِبَشَرٍ اَنۡ یُّؤۡتِیَہُ اللّٰہُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ثُمَّ
یَقُوۡلَ لِلنَّاسِ کُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّیۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ لٰکِنۡ
کُوۡنُوۡا رَبّٰنِیّٖنَ بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا
کُنۡتُمۡ تَدۡرُسُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَاۡمُرَکُمۡ
اَنۡ تَتَّخِذُوا الۡمَلٰٓئِکَۃَ وَ النَّبِیّٖنَ اَرۡبَابًا ؕ اَیَاۡمُرُکُمۡ
بِالۡکُفۡرِ بَعۡدَ اِذۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿٪﴾
Sekali-kali tidak mungkin bagi seorang manusia yang kepadanya Allah memberi Kitab, Kekuasaan,
dan kenabian, kemudian ia berkata kepada manusia: “Jadilah kamu hamba-hamba-Ku,
bukannya hamba-hamba Allah”, tetapi ia akan berkata: “Jadilah
kamu orang yang berbakti hanya
kepada Allah, karena kamu senantiasa
mengajarkan Kitab, dan kamu
senantiasa mempelajarinya, dan kamu
senantiasa membacanya.” Dan tidak pula ia akan menyuruh kamu supaya kamu menjadikan malaikat-malaikat dan
nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Apakah
ia akan menyuruhmu kafir setelah kamu
menjadi orang-orang yang berserah diri
kepada Allah? (Ali ‘Imran [3]:80-81).
Jadi,
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. – sebagaimana
juga tugas utama seluruh Rasul Allah (QS.16:37) -- mengajarkan
menyembah hanya satu Tuhan (Matius 4:10 dan Lukas 4:8): رَبَّکُمۡ مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ
رَبِّیۡ وَ -- “Aku sekali-kali tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku yaitu: ”Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku
(Tuhan-ku) dan Rabb (Tuhan) kamu.” (Al-Maidah [5]:118).
Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa selama Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. hidup, beliau mengamati dengan cermat pengikut-pengikut beliau dan menjaga agar mereka jangan menyimpang dari jalan
yang benar, tetapi beliau tidak mengetahui betapa mereka telah berbuat dan akidah-akidah palsu apa yang dianut
mereka sesudah beliau wafat: شَہِیۡدًا مَّا دُمۡتُ فِیۡہِمۡ کُنۡتُ عَلَیۡہِمۡ وَ -- “Dan aku
menjadi saksi atas mereka selama aku
berada di antara mereka, کُنۡتَ اَنۡتَ
الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ -- tetapi tatkala Engkau telah mewafatkanku Engkau-lah
Yang benar-benar menjadi Pengawas atas mereka, dan Engkau
adalah Saksi atas segala sesuatu.” (Al-Maidah [5]:118).
Kenyataan pada saat ini
membuktikan bahwa pengikut-pengikut
beliau telah sesat karena telah mempertuhankan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. dan ibunda beliau (Maryam binti ‘Imran) maka dapat diambil kesimpulan pasti bahwa Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat,
sebab sebagaimana ditunjukkan oleh ayat itu, sesudah wafatnyalah beliau disembah
sebagai Tuhan.
Begitu pula kenyataan bahwa
menurut ayat tersebut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan menyatakan tidak tahu-menahu bahwa pengikut-pengikut beliau menganggap beliau dan bundanya sebagai
dua tuhan sesudah beliau meninggalkan
mereka, membuktikan bahwa beliau tidak akan kembali lagi ke dunia.
Mengapa demikian? Sebab apabila Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. harus kembali dan melihat dengan mata sendiri pengikut-pengikut beliau telah menjadi rusak dan telah mempertuhankan beliau, maka beliau tidak dapat berdalih tidak tahu-menahu tentang diri beliau
dan ibunda beliau telah dipertuhankan mereka. Jika sekiranya Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. berbuat demikian maka jawaban
beliau dengan berdalih tidak tahu-menahu akan sama halnya dengan benar-benar dusta.
Dengan demikian ayat itu membuktikan
secara positif bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat dan beliau sekali-kali tidak akan kembali ke dunia ini.
Lebih-lebih menurut hadits yang termasyhur Nabi Besar Muhammad saw. pun akan menggunakan kata-kata seperti itu pada Hari
Kebangkitan, sebagaimana kata-kata itu diletakkan di sini pada mulut Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. bila kelak beliau saw. melihat pengikut beliau saw. digiring ke neraka: “Dan aku
menjadi saksi atas mereka selama aku
berada di antara mereka, کُنۡتَ اَنۡتَ
الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ -- tetapi tatkala Engkau telah mewafatkanku Engkau-lah
Yang benar-benar menjadi Pengawas atas mereka, dan Engkau
adalah Saksi atas segala sesuatu.”
Jaminan Pemeliharaan
Allah Swt. Terhadap Al-Quran
Hal ini memberikan dukungan lebih lanjut pada kenyataan bahwa Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat
seperti halnya Nabi Besar Muhammad saw. juga telah wafat, sebagaimana firman-Nya kepada beliau saw.:
وَ مَا
جَعَلۡنَا لِبَشَرٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ الۡخُلۡدَ ؕ اَفَا۠ئِنۡ مِّتَّ
فَہُمُ الۡخٰلِدُوۡنَ ﴿﴾ کُلُّ نَفۡسٍ
ذَآئِقَۃُ الۡمَوۡتِ ؕ وَ نَبۡلُوۡکُمۡ
بِالشَّرِّ وَ الۡخَیۡرِ فِتۡنَۃً ؕ وَ
اِلَیۡنَا تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami sekali-kali tidak menjadikan seorang manusia pun sebelum engkau hidup kekal, اَفَا۠ئِنۡ مِّتَّ
فَہُمُ الۡخٰلِدُوۡنَ -- maka
jika engkau mati maka apakah
mereka itu akan hidup kekal? کُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَۃُ الۡمَوۡتِ -- Setiap jiwa akan merasai kematian,
وَ
نَبۡلُوۡکُمۡ بِالشَّرِّ وَ الۡخَیۡرِ
فِتۡنَۃً ؕ وَ اِلَیۡنَا
تُرۡجَعُوۡنَ -- dan Kami
menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan
sebagai ujian dan kepada Kami-lah kamu akan dikembalikan. (Al-Anbiyā [21]:35-36).
Tidak
seorang pun yang kebal terhadap kehancuran dan kematian jasmani, bahkan Nabi Besar Muhammad saw. pun tidak. Kekekalan dan keabadian
merupakan Sifat-sifat khusus Allah Swt. Ayat
ini dapat pula mengandung maksud bahwa semua
syariat dan sistem agama yang bermacam-macam di masa sebelum Nabi Besar Muhammad saw. telah ditetapkan dan ditakdirkan
untuk mengalami kehancuran dan kematian ruhani, dan hanyalah syariat
beliau saw. – yakni syariat Islam
(Al-Quran) - sajalah yang ditakdirkan akan hidup dan akan berlaku terus
sampai Akhir Zaman, karena agama Islam (Al-Quran) sebagai agama (Kitab suci) yang terakhir dan tersempurna (QS.5:4) mendapat jaminan
pemeliharaan Allah Swt., firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ
وَ اِنَّا لَہٗ
لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
”Kami-lah Yang menurunkan
peringatan ini, dan sesungguhnya Kami-lah
pemeliharanya. (Al-Hijr [15]:10).
Janji
mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan dalam
ayat ini telah genap dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga sekalipun
andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya, kenyataan ini saja niscaya sudah cukup
membuktikan bahwa Al-Quran
itu berasal dari Allah Swt..
Surah ini diturunkan di Mekkah
(Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw. beserta para pengikut beliau saw. sangat
morat-marit keadaannya, dan
musuh-musuh dengan mudah dapat menghancurkan agama yang baru itu. Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap
tenaga mereka guna menghancurkan
Islam, dan mereka diperingatkan bahwa
Allah Swt. akan menggagalkan segala tipu-daya
mereka sebab Dia sendirilah Penjaganya.
Tantangan Al-Quran yang Tidak Pernah Mampu Dijawab & Upaya Mensalah-tafsirkan
Ayat-ayat Al-Quran yang Mutasyābihāt
Tantangan tersebut terbuka dan tidak samar-samar, sedangkan
keadaan musuh kuat lagi kejam, kendatipun demikian Al-Quran tetap selamat
dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan,
serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan
yang sempurna.
Keistimewaan
Al-Quran yang demikian itu tidak
dimiliki oleh Kitab-kitab lainnya
yang diwahyukan karena memang misinya bersifat sementara sesuai dengan
misi kerasulan para Nabi Allah yang diutus sebelum Nabi
Besar Muhammad saw. yang diperuntukkan hanya untuk kaum mereka
masing-masing, lalu Allah Swt. menurunkan agama
Islam (Al-Quran) sebagai agama (Kitab suci) terakhir dan tersempurna
(QS.5:4) sebagai puncak dari proses penyempurnaan
hukum-hukum
syariat yang diwahyukan Allah Swt.
sebelumnya, firman-Nya:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ
اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا
نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ اَوۡ مِثۡلِہَا
ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Ayat mana pun yang Kami mansukhkan yakni
batalkan atau Kami biarkan terlupa,
maka Kami datangkan yang lebih baik
darinya atau yang semisalnya.
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguh-nya Allāh Maha Kuasa atas segala
se-suatu? (Al-Baqarah [2]:107).
Kembali kepada jaminan pemeliharaan Allah Swt. terhadap Al-Quran (QS.15:10), Sir
William Muir, sarjana ahli kritik
yang tersohor, karena sikapnya memusuhi
Islam, berkata: “Kita dapat menetapkan
berdasarkan dugaan yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam Al-Quran itu
asli dan merupakan gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami perubahan
...................... Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Alquran maupun
dari luar, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan
pergunakan ...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak
mengalami perubahan itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah
membandingkan hal-hal yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction to “The Life of Mohammad”).
Prof. Noldeke, ahli ketimuran
besar yang berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana Eropa untuk membuktikan adanya
sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian, telah gagal” (Encyclpaedia Britannica).
Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr. Mingana,
beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari
kelemahan dalam kemurnian teks
Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran
da'wa kitab itu, bahwa di antara semua kitab
suci yang diwahyukan, hanya Al-Quran sajalah yang seluruhnya tetap kebal dari penyisipan atau campur-tangan
manusia, walau pun upaya-upaya buruk tersebut terus terjadi, termasuk dari kalangan “intern”
umat Islam dengan cara mensalah-tafsirkan ayat-ayat Al-Quran, terutama ayat-ayat yang mutasyabihat, firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ
اُمُّ الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ
فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ
مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ
الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
﴿﴾
Dia-lah Yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran kepada engkau, di
antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,
itulah pokok-pokok Al-Kitab, sedangkan yang lain ayat-ayat mutasyābihāt. Adapun orang-orang
yang di dalam hatinya ada ke-bengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt karena ingin
menimbulkan fitnah dan ingin
mencari-cari takwilnya yang salah, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang memiliki pe-ngetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya ber-asal
dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” Dan
tidak ada yang meraih nasihat
kecuali orang-orang yang mempergunakan
akal. (Āli-‘Imran [3]:8).
Muhkam berarti: (1) hal yang telah
terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2) hal yang tidak mengandung
arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal yang jelas artinya dan pasti
dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
Umm
dari Ummul-Kitab berarti: (1) ibu;
(2) sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan sarana
pembantu dan penunjang, atau sarana islah (reformasi dan koreksi) untuk orang lain;
(4) sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain dihubungkan (Al-Aqrab-ul-Mawarid
dan Al-Mufradat).
Mutasyābih
dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya
penafsiran yang berbeda, meskipun selaras; (2) hal yang bagian-bagiannya
mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain; (3) hal yang makna
sebenarnya mengandung persamaan dengan artian yang tidak dimaksudkan; (4) hal
yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam;
(5) hal yang tidak dapat dipahami dengan segera
tanpa pengamatan yang berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran
sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu
terlebih dahulu (Al-Mufradat).
Ta’wil
berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato
atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang
benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lane).
Dalam ayat ini kata itu dijumpai dua kali, pada tempat pertama kata itu mengandung arti yang kedua atau yang
ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau
yang kelima.
Cara Menafsirkan
Ayat-ayat Al-Quran yang Mutāsyabihāt
Ayat
ini meletakkan peraturan yang sangat luhur bahwa untuk membuktikan sesuatu hal
yang mengenainya terdapat perbedaan paham,
bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang
diterangkan dengan kata-kata yang tegas
dan jelas harus diperhatikan. Bila
bagian yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan kalimat tertentu yang mengandung dua maksud (mutasyabih) maka kalimat
itu harus diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan bagian-bagian yang tegas dan jelas
kata-katanya.
Menurut ayat
ini Al-Quran mempunyai dua perangkat
ayat. Beberapa di antaranya muhkam (kokoh dan pasti dalam artinya) dan
lain-lainnya mutasyābih (yang dapat diberi penafsiran berbeda-beda).
Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih adalah arti yang dapat
diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
Dalam QS.39:24 seluruh Al-Quran disebut mutasyābih
dan dalam QS.11:2 semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak
boleh dianggap bertentangan dengan
ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam
dan beberapa lainnya mutāsyabih.
Sepanjang
hal yang menyangkut maksud hakiki
ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam dalam pengertian bahwa
ayat-ayatnya mengandung kebenaran-kebenaran
pasti dan kekal-abadi. Tetapi
dalam pengertian lain seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat
Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada waktu itu
juga ayat itu mempunyai berbagai arti
yang sama-sama benar dan baik.
Al-Quran itu
mutasyābih pula (menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak
ada pertentangan atau ketidakselarasan di dalamnya, berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu. Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam,
dan yang lain mutasyābih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
Adapun nubuatan-nubuatan yang dikemukakan
dengan bahasa yang jelas dan langsung menyerap satu arti saja harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan
dengan bahasa majaz (kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih. Karena
itu nubuatan-nubuatan yang
digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi sempurna,
dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok.
Untuk nubuatan-nubuatan yang muhkam (jelas) para pembaca
diingatkan kepada QS.58:22, sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan yang mutasyābih. Istilah muhkam
dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih
itu ayat-ayat yang memberikan bagian dari perintah
tertentu dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk
menjadikan suatu perintah yang lengkap.
Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti)
umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt
umumnya membahas pokok pembahasan
yang menduduki tingkat kedua menurut
pentingnya, atau menggambarkan peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat
demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.
Fungsi Lain Penggunaan Perumpamaan
Dalam Al-Quran
Ayat-ayat demikian hendaknya
jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran
agama yang diterangkan dengan kata-kata
yang jelas. Baiklah dicatat di sini, bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih
dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali guna menjamin keluasan arti dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah
keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan yang tanpa
itu perkembangan dan penyempurnaan ruhaninya tidak akan mungkin tercapai,
firman-Nya:
اِنَّ
اللّٰہَ لَا یَسۡتَحۡیٖۤ اَنۡ یَّضۡرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوۡضَۃً فَمَا فَوۡقَہَا
ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ
ۚ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَیَقُوۡلُوۡنَ مَا ذَاۤ اَرَادَ
اللّٰہُ بِہٰذَا مَثَلًا ۘ یُضِلُّ بِہٖ
کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Allah tidak malu mengemukakan suatu perumpamaan sekecil nyamuk bahkan
yang lebih kecil dari itu,
فَاَمَّا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِ -- maka orang-orang yang beriman maka mereka mengetahui bahwa sesungguhnya perumpamaan
itu kebenaran dari Rabb (Tuhan) mereka, وَ اَمَّا
الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَیَقُوۡلُوۡنَ مَا ذَاۤ
اَرَادَ اللّٰہُ بِہٰذَا مَثَلًا -- sedangkan orang-orang kafir maka mereka
mengatakan: “Apa yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan ini?” یُضِلُّ بِہٖ
کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا -- Dengannya Dia menyesatkan banyak orang
dan dengannya pula Dia memberi petunjuk banyak orang, وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ -- dan sekali-kali tidak
ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang fasiq
(durhaka). (Al-Baqarah [2]:27).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 24 Februari
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar