Selasa, 01 Maret 2016

Penggenapan Kedua Kali "Nubuatan Kejayaan Islam" Dalam Surah An-Nashr & Ayat-ayat Mutasyaabihaat Al-Quran yang Menggelincirkan Orang-orang yang "Hatinya Berpenyakit" Contohnya Tentang "Penyaliban" Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.



Bismillaahirrahmaanirrahiim


KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Penggenapan Kedua Kali Nubuatan   Kejayaan Islam Dalam Surah An-Nashr &  Ayat-ayat Mutasyābihāt Al-Quran  yang   Menggelincirkan Orang-orang yang “Hatinya  Berpenyakit” Contohnya Tentang Penyaliban  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.

Bab 45


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Bab sebelumnya telah kemukakan ayat mengenai    kemusyrikan yang terjadi kalangan Ahli Kitab  berupa penyembahan terhadap wujud-wujud selain Allah Swt., yakni  mereka  telah  mempertuhankan  Nabi Uzair a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.,  -- bahkan mempertuhankan Maryam binti  ‘Imran, ibunda Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.5:117-119), firman-Nya:
وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ  ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ  ابۡنُ  اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ  قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی  یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾  اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا  لِیَعۡبُدُوۡۤا  اِلٰـہًا  وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾  یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾  ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾
Dan  orang-orang Yahudi berkata: “Uzair  adalah  anak Allah”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Al-Masih adalah  anak  Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya, mereka  meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipa-lingkan dari Tauhid? اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ  --  Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka  sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu juga Al-Masih ibnu Maryam, وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا  لِیَعۡبُدُوۡۤا  اِلٰـہًا  وَّاحِدًا  -- padahal  mereka tidak diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa. لَاۤ اِلٰہَ  اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ  --  Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Maha-suci Dia dari apa yang mereka sekutukan. یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ --  Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah  dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai. ہُوَ الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ --   Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau-pun orang-orang musyrik tidak menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).

Imam Ezra” (Uzair)

       ‘Uzair atau Ezra hidup pada abad kelima sebelum Masehi. Beliau keturunan Seraya, imam agung, dan karena beliau sendiri pun anggota Dewan Imam dan dikenal sebagai Imam Ezra. Beliau termasuk seorang tokoh terpenting di masanya dan mem-punyai pengaruh yang luas sekali dalam mengembangkan agama Yahudi. Beliau men-dapat kehormatan khas di antara nabi-nabi Israil.
      Orang-orang Yahudi di Medinah dan suatu mazhab Yahudi di Hadramaut, mempercayai beliau sebagai anak Allah. Para Rabbi (pendeta-pendeta Yahudi) menghubungkan nama beliau dengan beberapa lembaga-lembaga penting. Renan mengemukakan dalam mukadimah bukunya “History of the People of Israel” bahwa bentuk agama Yahudi yang-pasti dapat dianggap berwujud semenjak masa Ezra. Dalam kepustakaan golongan Rabbi, beliau dianggap patut jadi wahana pengemban syariat seandainya syariat itu tidak dibawa oleh Nabi Musa a.s.. Beliau bekerjasama dengan Nehemya dan wafat pada usia 120 tahun di Babil (Yewish Encyclopaedia & Encyclopaedia  Biblica).
        Ahbar adalah ulama-ulama Yahudi dan Ruhban adalah para rahib agama Nasrani:  اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ  --  “Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka  sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu juga Al-Masih ibnu Maryam.”
        Makna ayat: یُرِیۡدُوۡنَ  اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ  اِلَّاۤ  اَنۡ  یُّتِمَّ  نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ  کَرِہَ  الۡکٰفِرُوۡنَ -- Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah  dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai”, orang-orang Nasrani yang berdiam di tanah Arab telah menghasut orang-orang kuat seagama mereka di Siria, dan dengan pertolongan mereka  mencoba untuk memadamkan Nur Islam yang telah dinyalakan Allah Swt.  di tanah Arab.
       Orang-orang Yahudi pun pernah berupaya semacam itu, dengan menghasut orang-orang Parsi dari kerajaan Iran untuk bangkit melawan Nabi Besar Muhammad saw., sehingga datang perintah penangkapan Nabi NBesar Muhammad saw.   kepada gubernur Badhan dari Kisra  Iran, namun pada kenyataannya Kisra Iran dibunuh oleh anaknya sendiri, dan ia membatalkan perintah penangkapan   tersebut.
        Berkenaan dengan ayat: الَّذِیۡۤ  اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ  بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ  الۡمُشۡرِکُوۡنَ    -- “Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau-pun orang-orang musyrik tidak menyukainya”,  para mufassir (ahli tafsir) Al-Quran sepakat bahwa  seperti dikemukakan dalam sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw.  kemenangan Islam pada akhirnya akan terjadi di masa Masih Mau’ud a.s.. (Tafsir Ibnu Jarir), manakala semua agama yang beraneka ragam akan bangkit dan akan berusaha sekeras-kerasnya untuk menyiarkan ajaran mereka sendiri.
         Cita-cita dan asas-asas Islam yang luhur sudah mulai semakin bertambah diakui, dan hari itu tidak jauh lagi bila Islam akan memperoleh kemenangan atas semua agama lainnya dan pengikut-pengikut agama-agama itu akan masuk ke dalam haribaan Islam dalam jumlah besar, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ اِذَا  جَآءَ  نَصۡرُ اللّٰہِ  وَ  الۡفَتۡحُ ۙ﴿﴾  وَ  رَاَیۡتَ النَّاسَ یَدۡخُلُوۡنَ فِیۡ  دِیۡنِ اللّٰہِ  اَفۡوَاجًا ۙ﴿﴾  فَسَبِّحۡ  بِحَمۡدِ رَبِّکَ وَ اسۡتَغۡفِرۡہُ  ؕؔ اِنَّہٗ کَانَ  تَوَّابًا ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan,   dan engkau melihat manusia  masuk dalam agama Allah berbondong-bondong,   maka   bertasbihlah dengan memuji  Rabb (Tuhan) engkau,  dan mohonlah ampunan-Nya,  sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat. (An-Nashr [110]:1-4).

Penggenapan Kedua kali Nubuatan Dalam Surah An-Nashr & Hancurnya “Fondasi” Faham Trinitas dan “Penebusan Dosa

     Nubuatan yang  terkandung dalam Surah tersebut, selain telah sempurna di masa Nabi Besar Muhammad saw., juga akan kembali terjadi di Akhir Zaman ini, di masa pengutusan kedua kali secara ruhani Nabi Besar Muhammad saw. dalam wujud  Masih Mau’ud a.s. (QS.62:3-5) atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58).
      Salah satu penyebabnya adalah karena Masih Mau’ud a.s. telah membuktikan berdasarkan Al-Quran serta bukti-bukti lainnya mengenai telah wafatnya Nabi Isa Ibnu Maryam secara wajar di Kasymir (QS.23:51), sehingga ajaran  “penebusan dosa” dan “Trinitas” – yang sebelumnya penyebarannya tidak “terbendung” (QS.18:1-9 &  95-107; QS.20:103-112;  QS.21:96-99)  -- benar-benar kehilangan fondasinya, firman-Nya:
وَ  اِذۡ قَالَ اللّٰہُ یٰعِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ  ءَاَنۡتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوۡنِیۡ وَ اُمِّیَ  اِلٰہَیۡنِ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ قَالَ سُبۡحٰنَکَ مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ  اَنۡ اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ ؕ؃ اِنۡ کُنۡتُ قُلۡتُہٗ فَقَدۡ عَلِمۡتَہٗ ؕ تَعۡلَمُ  مَا فِیۡ نَفۡسِیۡ وَ لَاۤ اَعۡلَمُ مَا فِیۡ نَفۡسِکَ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ عَلَّامُ  الۡغُیُوۡبِ ﴿﴾  مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ رَبَّکُمۡ ۚ وَ کُنۡتُ عَلَیۡہِمۡ  شَہِیۡدًا مَّا دُمۡتُ فِیۡہِمۡ ۚ فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ  کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ ؕ وَ  اَنۡتَ عَلٰی کُلِّ  شَیۡءٍ  شَہِیۡدٌ ﴿﴾   اِنۡ تُعَذِّبۡہُمۡ فَاِنَّہُمۡ عِبَادُکَ ۚ وَ اِنۡ تَغۡفِرۡ لَہُمۡ فَاِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  قَالَ اللّٰہُ ہٰذَا یَوۡمُ یَنۡفَعُ الصّٰدِقِیۡنَ صِدۡقُہُمۡ ؕ لَہُمۡ جَنّٰتٌ تَجۡرِیۡ مِنۡ  تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ  خٰلِدِیۡنَ  فِیۡہَاۤ  اَبَدًا ؕ رَضِیَ اللّٰہُ عَنۡہُمۡ وَ رَضُوۡا عَنۡہُ ؕ ذٰلِکَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِیۡمُ ﴿﴾  لِلّٰہِ مُلۡکُ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ مَا فِیۡہِنَّ ؕ وَ ہُوَ  عَلٰی  کُلِّ  شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿﴾٪
Dan ingatlah ketika Allah berfirman:    “Hai ‘Isa ibnu Maryam, apakah engkau telah berkata kepada manusia:    اِلٰہَیۡنِ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ اتَّخِذُوۡنِیۡ وَ اُمِّیَ --  Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan  selain  Allah?"  قَالَ سُبۡحٰنَکَ مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ  اَنۡ اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ  -- Ia berkata: “Maha Suci Engkau. Tidak patut bagiku mengatakan apa yang  sekali-kali  bukan hakku. Jika  aku telah mengatakannya maka sungguh  Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri Engkau,  sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui segala yang gaib.  مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ رَبَّکُمۡ    --    Aku sekali-kali tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku    yaitu:  Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku (Tuhan-ku)  dan Rabb (Tuhan) kamu.”  Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka  کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ     فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ -- tetapi tatkala  Engkau telah mewafatkanku  Engkau-lah Yang benar-benar menjadi Pengawas atas mereka,   dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu.   Kalau Engkau mengazab mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan kalau Engkau mengampuni mereka  maka sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana”   (Al-Maidah [5]:117-119).
     Ayat 117  menunjuk kepada kebiasaan Gereja Kristen yang menisbahkan kekuatan-kekuatan Uluhiyyah (Ketuhanan) kepada   Maryam binti ‘Imran. Pertolongan   Maryam binti ‘Imran dimohon dalam Litania (suatu bentuk sembahyang), sedangkan dalam Katakisma (Cathechism, yakni, dasar-dasar ajaran agama berupa tanya-jawab) Gereja Romawi ditanamkan akidah bahwa beliau itu bunda Tuhan.
       Gerejawan-gerejawan di zaman lampau menganggap beliau mempunyai sifat-sifat Tuhan dan hanya beberapa tahun yang silam, Paus Pius XII telah memasukkan paham kenaikan Siti Maryam ke langit dalam ajaran Gereja. Semua ini sama halnya dengan menaikkan beliau ke jenjang Ketuhanan dan inilah apa yang dicela oleh umat Protestan dan disebut sebagai Mariolatry (Pemujaan Dara Maria).

Peringatan Untuk Umat Islam

       Jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dala ungkapan bahasa Arab dalam teks  مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ  اَنۡ اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ  --   yang diterjemahkan sebagai Tidak patut bagiku mengatakan apa yang  sekali-kali  bukan hakku dapat ditafsirkan sebagai: “Tidak patut bagiku”; atau “tidak mungkin bagiku” atau “aku tidak berhak berbuat demikian”, dan sebagainya, sebagaimana firman-Nya:
مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ یُّؤۡتِیَہُ اللّٰہُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ثُمَّ یَقُوۡلَ لِلنَّاسِ کُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّیۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ لٰکِنۡ کُوۡنُوۡا رَبّٰنِیّٖنَ بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا کُنۡتُمۡ  تَدۡرُسُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَاۡمُرَکُمۡ اَنۡ تَتَّخِذُوا الۡمَلٰٓئِکَۃَ وَ النَّبِیّٖنَ اَرۡبَابًا ؕ اَیَاۡمُرُکُمۡ بِالۡکُفۡرِ بَعۡدَ اِذۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿٪﴾
Sekali-kali tidak mungkin  bagi seorang manusia yang kepadanya Allah memberi Kitab, Kekuasaan, dan  kenabian,  kemudian ia  berkata kepada manusia: “Jadilah kamu hamba-hamba-Ku, bukannya hamba-hamba Allah”,  tetapi ia akan berkata:  “Jadilah kamu orang yang berbakti  hanya kepada Allah, karena kamu senantiasa mengajarkan Kitab, dan kamu senantiasa mempelajarinya, dan kamu senantiasa membacanya.”  Dan tidak  pula ia akan menyuruh kamu supaya kamu menjadikan malaikat-malaikat dan nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Apakah  ia akan menyuruhmu  kafir  setelah kamu menjadi  orang-orang yang berserah diri kepada Allah? (Ali ‘Imran [3]:80-81).   
      Jadi, Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. – sebagaimana  juga tugas utama seluruh Rasul Allah   (QS.16:37) --   mengajarkan menyembah hanya satu Tuhan (Matius 4:10 dan Lukas 4:8):  رَبَّکُمۡ  مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ --    “Aku sekali-kali tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku  yaitu:  Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku (Tuhan-ku)  dan Rabb (Tuhan) kamu.”   (Al-Maidah [5]:118).
      Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa selama Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  hidup, beliau mengamati dengan cermat pengikut-pengikut beliau dan menjaga agar mereka jangan menyimpang dari jalan yang benar, tetapi beliau tidak mengetahui betapa mereka telah berbuat dan akidah-akidah palsu apa yang dianut mereka sesudah beliau wafat: شَہِیۡدًا مَّا دُمۡتُ فِیۡہِمۡ  کُنۡتُ عَلَیۡہِمۡ وَ  --   “Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka  کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ     فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ -- tetapi tatkala  Engkau telah mewafatkanku  Engkau-lah Yang benar-benar menjadi Pengawas atas mereka,   dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu.” (Al-Maidah [5]:118).
      Kenyataan pada saat ini membuktikan bahwa pengikut-pengikut beliau telah sesat karena  telah mempertuhankan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan ibunda beliau (Maryam binti ‘Imran)   maka dapat diambil kesimpulan pasti bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat, sebab sebagaimana ditunjukkan oleh ayat itu, sesudah wafatnyalah beliau disembah sebagai Tuhan.
        Begitu pula kenyataan bahwa menurut ayat  tersebut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan  menyatakan tidak tahu-menahu bahwa pengikut-pengikut beliau menganggap beliau dan bundanya sebagai dua tuhan sesudah beliau meninggalkan mereka, membuktikan bahwa beliau tidak akan kembali lagi ke dunia.
      Mengapa demikian? Sebab apabila Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  harus kembali dan melihat dengan mata sendiri pengikut-pengikut beliau telah menjadi rusak dan telah mempertuhankan beliau, maka  beliau tidak dapat berdalih tidak tahu-menahu tentang diri beliau dan ibunda beliau  telah dipertuhankan mereka. Jika sekiranya Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.   berbuat demikian maka  jawaban beliau dengan berdalih tidak tahu-menahu  akan sama halnya dengan benar-benar dusta.
      Dengan demikian ayat itu  membuktikan secara positif bahwa Nabi Isa  Ibnu Maryam a.s. telah wafat dan beliau sekali-kali tidak akan kembali ke dunia ini. Lebih-lebih menurut hadits yang termasyhur  Nabi Besar Muhammad saw.  pun akan menggunakan kata-kata seperti itu pada Hari Kebangkitan, sebagaimana kata-kata itu diletakkan di sini pada mulut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.   bila kelak beliau saw. melihat pengikut beliau saw. digiring ke neraka:  “Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka  کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ     فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ -- tetapi tatkala  Engkau telah mewafatkanku  Engkau-lah Yang benar-benar menjadi Pengawas atas mereka,   dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu.”

Jaminan Pemeliharaan Allah Swt. Terhadap Al-Quran
 
        Hal ini memberikan dukungan lebih lanjut pada kenyataan  bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat seperti halnya  Nabi Besar Muhammad saw.  juga telah wafat, sebagaimana firman-Nya kepada beliau saw.:
وَ مَا جَعَلۡنَا لِبَشَرٍ مِّنۡ قَبۡلِکَ الۡخُلۡدَ ؕ اَفَا۠ئِنۡ  مِّتَّ  فَہُمُ  الۡخٰلِدُوۡنَ  ﴿﴾ کُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَۃُ  الۡمَوۡتِ ؕ وَ نَبۡلُوۡکُمۡ بِالشَّرِّ وَ الۡخَیۡرِ  فِتۡنَۃً ؕ وَ اِلَیۡنَا  تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾
Dan Kami sekali-kali tidak  menjadikan seorang manusia pun sebelum engkau hidup kekal, اَفَا۠ئِنۡ  مِّتَّ  فَہُمُ  الۡخٰلِدُوۡنَ    -- maka  jika engkau mati   maka apakah mereka itu akan hidup kekal?    کُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَۃُ  الۡمَوۡتِ   -- Setiap jiwa akan merasai kematian, وَ نَبۡلُوۡکُمۡ بِالشَّرِّ وَ الۡخَیۡرِ  فِتۡنَۃً ؕ وَ اِلَیۡنَا  تُرۡجَعُوۡنَ -- dan Kami menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan sebagai ujian dan kepada Kami-lah kamu akan dikembalikan.  (Al-Anbiyā [21]:35-36).
        Tidak seorang pun yang kebal terhadap kehancuran dan kematian jasmani, bahkan Nabi Besar Muhammad saw.  pun tidak. Kekekalan dan keabadian merupakan Sifat-sifat  khusus Allah Swt.   Ayat ini dapat pula mengandung maksud bahwa semua syariat dan sistem agama yang bermacam-macam di masa sebelum Nabi Besar Muhammad saw.  telah ditetapkan dan ditakdirkan untuk mengalami kehancuran dan kematian ruhani, dan hanyalah syariat  beliau saw.  – yakni syariat Islam (Al-Quran)  - sajalah yang ditakdirkan akan hidup dan akan berlaku terus sampai Akhir Zaman, karena agama Islam (Al-Quran) sebagai agama (Kitab suci) yang terakhir dan  tersempurna (QS.5:4) mendapat jaminan  pemeliharaan Allah Swt., firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya  Kami-lah Yang  menurunkan peringatan ini, dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya.  (Al-Hijr [15]:10).
        Janji mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan dalam ayat ini telah genap dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga sekalipun andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya, kenyataan ini saja niscaya sudah cukup membuktikan  bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah Swt..   
     Surah ini diturunkan di Mekkah (Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.  beserta para pengikut beliau saw. sangat morat-marit keadaannya, dan musuh-musuh dengan mudah dapat menghancurkan agama yang baru itu. Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap tenaga mereka guna menghancurkan Islam, dan mereka diperingatkan bahwa Allah Swt.  akan menggagalkan segala tipu-daya mereka sebab Dia sendirilah Penjaganya.

Tantangan Al-Quran yang Tidak Pernah Mampu Dijawab &  Upaya Mensalah-tafsirkan Ayat-ayat Al-Quran   yang Mutasyābihāt

       Tantangan tersebut  terbuka dan tidak samar-samar, sedangkan keadaan musuh kuat lagi kejam, kendatipun demikian Al-Quran tetap selamat dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan, serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan yang sempurna.
     Keistimewaan Al-Quran yang demikian itu tidak dimiliki oleh Kitab-kitab lainnya yang diwahyukan karena memang misinya bersifat sementara sesuai dengan misi kerasulan para Nabi Allah yang diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw. yang diperuntukkan hanya untuk kaum mereka masing-masing, lalu Allah Swt. menurunkan agama Islam (Al-Quran) sebagai agama (Kitab suci) terakhir dan tersempurna (QS.5:4) sebagai  puncak dari proses penyempurnaan   hukum-hukum syariat  yang diwahyukan Allah Swt. sebelumnya, firman-Nya:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ  اَوۡ مِثۡلِہَا ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Ayat mana pun yang Kami mansukhkan yakni batalkan atau Kami biarkan terlupa, maka Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang semisalnya. Apakah kamu tidak  mengetahui bahwa sesungguh-nya Allāh Maha Kuasa atas segala se-suatu? (Al-Baqarah [2]:107).
        Kembali kepada jaminan pemeliharaan Allah Swt. terhadap Al-Quran (QS.15:10), Sir William Muir, sarjana ahli kritik yang tersohor, karena sikapnya memusuhi Islam, berkata: “Kita dapat menetapkan berdasarkan dugaan yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam Al-Quran itu asli dan merupakan gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami perubahan ...................... Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Alquran maupun dari luar, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan pergunakan ...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak mengalami perubahan itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah membandingkan hal-hal yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction to “The Life of Mohammad”).
        Prof. Noldeke, ahli ketimuran besar yang berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana Eropa untuk membuktikan adanya sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian, telah gagal” (Encyclpaedia  Britannica).
Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr. Mingana, beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari kelemahan dalam kemurnian teks Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran da'wa kitab itu, bahwa di antara semua kitab suci yang diwahyukan, hanya Al-Quran sajalah yang seluruhnya tetap kebal dari penyisipan atau campur-tangan manusia, walau pun  upaya-upaya buruk tersebut   terus terjadi, termasuk dari kalangan “intern” umat Islam dengan cara mensalah-tafsirkan  ayat-ayat Al-Quran, terutama  ayat-ayat yang mutasyabihat, firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ؃ وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾
Dia-lah Yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran  kepada engkau,  di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok  Al-Kitab, sedangkan  yang lain  ayat-ayat mutasyābihāt.  Adapun   orang-orang yang di dalam hatinya ada ke-bengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt  karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang salah, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah,    dan orang-orang yang memiliki pe-ngetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya ber-asal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” Dan  tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal.   (Āli-‘Imran [3]:8).
     Muhkam berarti: (1) hal yang telah terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2) hal yang tidak mengandung arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal yang jelas artinya dan pasti dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
        Umm dari Ummul-Kitab berarti: (1) ibu; (2) sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan sarana pembantu dan penunjang, atau sarana islah (reformasi dan koreksi) untuk orang lain; (4) sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain dihubungkan (Al-Aqrab-ul-Mawarid dan Al-Mufradat).
     Mutasyābih dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, meskipun selaras; (2) hal yang bagian-bagiannya mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain; (3) hal yang makna sebenarnya mengandung persamaan dengan artian yang tidak dimaksudkan; (4) hal yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam; (5) hal yang tidak dapat dipahami dengan segera  tanpa pengamatan yang berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu terlebih dahulu (Al-Mufradat).
      Ta’wil berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lane). Dalam ayat ini kata itu dijumpai dua kali, pada tempat pertama  kata itu mengandung arti yang kedua atau yang ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau yang kelima.

Cara Menafsirkan Ayat-ayat Al-Quran yang Mutāsyabihāt

        Ayat ini meletakkan peraturan yang sangat luhur bahwa untuk membuktikan sesuatu hal yang mengenainya terdapat perbedaan paham, bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang diterangkan dengan kata-kata yang tegas dan jelas harus diperhatikan. Bila bagian yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan kalimat tertentu yang mengandung dua maksud (mutasyabih) maka kalimat itu harus diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan bagian-bagian yang tegas dan jelas kata-katanya.
   Menurut ayat ini Al-Quran mempunyai dua perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam (kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat diberi penafsiran berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih adalah arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
  Dalam QS.39:24 seluruh Al-Quran disebut mutasyābih dan dalam QS.11:2 semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak boleh dianggap bertentangan dengan ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam dan beberapa lainnya mutāsyabih.
   Sepanjang hal yang menyangkut maksud hakiki ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam dalam pengertian bahwa ayat-ayatnya mengandung kebenaran-kebenaran pasti dan kekal-abadi. Tetapi dalam pengertian lain seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada waktu itu juga ayat itu mempunyai berbagai arti yang sama-sama benar dan baik.
    Al-Quran itu mutasyābih pula (menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau ketidakselarasan di dalamnya,  berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu. Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam, dan yang lain mutasyābih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
       Adapun nubuatan-nubuatan yang dikemukakan  dengan bahasa yang jelas dan langsung menyerap satu arti saja harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih. Karena itu nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi sempurna, dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok.
       Untuk nubuatan-nubuatan yang muhkam (jelas) para pembaca diingatkan kepada QS.58:22, sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan yang mutasyābih. Istilah muhkam dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih itu ayat-ayat yang memberikan bagian dari perintah tertentu dan perlu dibacakan bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk menjadikan suatu perintah yang lengkap.
      Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti) umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut pentingnya, atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.

Fungsi Lain Penggunaan Perumpamaan Dalam Al-Quran

      Ayat-ayat demikian hendaknya jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas. Baiklah dicatat di sini, bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali guna menjamin keluasan arti dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu percobaan yang tanpa itu perkembangan dan penyempurnaan ruhaninya tidak akan mungkin tercapai, firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ لَا یَسۡتَحۡیٖۤ اَنۡ یَّضۡرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوۡضَۃً فَمَا فَوۡقَہَا ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ۚ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَیَقُوۡلُوۡنَ مَا ذَاۤ  اَرَادَ  اللّٰہُ بِہٰذَا مَثَلًا ۘ یُضِلُّ بِہٖ کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ  اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya Allah  tidak malu  mengemukakan suatu perumpamaan  sekecil nyamuk   bahkan  yang lebih kecil dari itu, فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِ   --  maka orang-orang yang beriman maka mereka mengetahui bahwa sesungguhnya perumpamaan itu  kebenaran  dari Rabb (Tuhan) mereka, وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَیَقُوۡلُوۡنَ مَا ذَاۤ  اَرَادَ  اللّٰہُ بِہٰذَا مَثَلًا --  sedangkan orang-orang kafir maka mereka mengatakan: “Apa  yang dikehendaki Allah dengan  perumpamaan ini?” یُضِلُّ بِہٖ کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا  --   Dengannya   Dia menyesatkan banyak orang  dan dengannya pula    Dia memberi petunjuk banyak orang, وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ  اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ --  dan sekali-kali   tidak ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang  fasiq (durhaka). (Al-Baqarah [2]:27).

(Bersambung)

 Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,   24 Februari 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar