Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan tawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
“Tiang Penunjang”
Bangunan Alam Semesta yang Gaib (Tidak Kelihatan) & Tanda-tanda
Orang-orang yang Bertakwa
Bab 26
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan
mengenai proses terjadinya bulan purnama dalam firman-Nya:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ
بِالشَّفَقِ ﴿ۙ﴾ وَ الَّیۡلِ وَ مَا
وَسَقَ ﴿ۙ﴾ وَ الۡقَمَرِ اِذَا اتَّسَقَ ﴿ۙ﴾ لَتَرۡکَبُنَّ
طَبَقًا عَنۡ طَبَقٍ ﴿ؕ﴾ فَمَا لَہُمۡ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ اِذَا قُرِئَ عَلَیۡہِمُ الۡقُرۡاٰنُ لَا یَسۡجُدُوۡنَ ﴿ؕٛ﴾ بَلِ الَّذِیۡنَ
کَفَرُوۡا یُکَذِّبُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ
بِمَا یُوۡعُوۡنَ ﴿۫ۖ﴾ فَبَشِّرۡہُمۡ
بِعَذَابٍ اَلِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِلَّا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَہُمۡ
اَجۡرٌ غَیۡرُ مَمۡنُوۡنٍ ﴿٪﴾
Maka tidak
demikian, sesungguhnya aku
bersumpah dengan cahaya senja, dan demi malam serta apa yang diliputinya, وَ الۡقَمَرِ اِذَا
اتَّسَقَ -- dan demi
bulan apabila menjadi purnama. Niscaya kamu
akan naik satu tingkat ke tingkat
lain. Maka apa
yang terjadi atas mereka hingga mereka tidak beriman? وَ اِذَا قُرِئَ عَلَیۡہِمُ
الۡقُرۡاٰنُ لَا یَسۡجُدُوۡنَ -- Dan
apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka,
mereka tidak bersujud. بَلِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا یُکَذِّبُوۡنَ
-- Bahkan orang-orang kafir
mereka mendustakan, وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ
بِمَا یُوۡعُوۡنَ -- dan Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka sembunyikan. فَبَشِّرۡہُمۡ
بِعَذَابٍ اَلِیۡمٍ -- Maka
kabarkanlah kepada mereka mengenai azab yang pedih, اِلَّا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَہُمۡ
اَجۡرٌ غَیۡرُ مَمۡنُوۡنٍ
-- kecuali terhadap orang-orang
yang beriman dan beramal shaleh,
bagi mereka pahala yang tidak ada
putus-putusnya. (Al-Insyiqaq
[84]:17-25).
Munculnya “Bulan
Purnama Ruhani” di Akhir Zaman
Ayat-ayat 17-19 berisikan nubuatan mengenai kemunduran
sementara umat Islam (QS:32:6) serta kebangunan kembali mereka melalui
seorang wujud wakil agung Nabi Besar Muhammad saw. – yaitu Masih Mau’ud a.s. – yang bagaikan bulan purnama akan memantul dalam diri beliau cahaya
gemilang sang Matahari (Nabi
Besar Muhammad saw – QS.33:46-48) dengan sepenuhnya serta seutuhnya.
Makna ayat لَتَرۡکَبُنَّ طَبَقًا عَنۡ طَبَقٍ -- “Niscaya kamu akan naik satu tingkat ke tingkat lain” bahwa orang-orang Islam akan melalui semua keadaan yang telah disinggung dalam
ayat-ayat sebelumnya, bagaikan manzilah-manzilah (tingkat-tingkatan
peredalan) bulan sehingga menjadi bulan purnama: وَ الۡقَمَرِ اِذَا
اتَّسَقَ
-- dan “demi bulan apabila menjadi
purnama.”
Mengapa orang-orang
kafir berputus asa mengenai terlaksananya bagian ketiga nubuatan itu, setelah menyaksikan
terlaksananya dua bagian pertama? Mereka telah menyaksikan cahaya pijar kemerah-merahan matahari
Islam terbenam, yang disusul oleh kekelaman malam ruhani selama 1000 tahun (QS.32:6), namun demikian
mereka masih tidak mempercayai bahwa bulan
purnama malam keempat belas akan
menghalau kegelapan itu, yakni
kemunculan Rasul Akhir Zaman pada abad
14 Hijriyah dalam wujud Masih Mau’ud
a.s.guna mewujudkan kembali kejayaan
Islam yang kedua kali di Akhir Zaman
(QS.61:10; QS.24:56).
Dalam ayat فَبَشِّرۡہُمۡ بِعَذَابٍ اَلِیۡمٍ -- ”Maka kabarkanlah
kepada mereka mengenai azab yang
pedih”, orang-orang kafir diperingatkan bahwa Allah Swt. benar-benar
mengetahui permusuhan dan kebencian yang dipendam di dalam hati mereka terhadap Rasul Allah; Dia mengetahui pula komplotan-komplotan rahasia yang direncanakan mereka untuk memusnahkan misi beliau dan untuk menghancurkan usaha beliau menegakkan kebenaran: وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ
بِمَا یُوۡعُوۡنَ --
“dan Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka sembunyikan.” (Al-Insyiqaq [84]:25).
Jadi, kembali kepada
pernyataan Allah Swt. dalam Surah Ya
Sin ayat 39-41 mengenai peredaran benda-benda langit dalam orbit-orbit
yang telah ditetapkan Allah Swt., firman-Nya:
وَ الشَّمۡسُ تَجۡرِیۡ لِمُسۡتَقَرٍّ لَّہَا ؕ ذٰلِکَ تَقۡدِیۡرُ الۡعَزِیۡزِ
الۡعَلِیۡمِ ﴿ؕ ﴾ وَ الۡقَمَرَ
قَدَّرۡنٰہُ مَنَازِلَ حَتّٰی عَادَ
کَالۡعُرۡجُوۡنِ الۡقَدِیۡمِ ﴿﴾ لَا الشَّمۡسُ یَنۡۢبَغِیۡ لَہَاۤ اَنۡ تُدۡرِکَ
الۡقَمَرَ وَ لَا الَّیۡلُ سَابِقُ
النَّہَارِ ؕ وَ کُلٌّ فِیۡ فَلَکٍ یَّسۡبَحُوۡنَ ﴿﴾
Dan matahari beredar ke arah tujuan yang telah ditetapkan baginya, demikian
itulah takdir Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui. وَ الۡقَمَرَ قَدَّرۡنٰہُ مَنَازِلَ حَتّٰی عَادَ کَالۡعُرۡجُوۡنِ الۡقَدِیۡمِ -- Dan Kami telah menetapkan bagi bulan tingkat-tingkatnya, hingga ia
kembali lagi seperti bentuk tandan korma yang tua. لَا الشَّمۡسُ
یَنۡۢبَغِیۡ لَہَاۤ اَنۡ تُدۡرِکَ الۡقَمَرَ
وَ لَا الَّیۡلُ سَابِقُ النَّہَارِ -- Matahari tidak mungkin menyusul bulan, dan tidak pula malam mendahului siang. وَ کُلٌّ فِیۡ فَلَکٍ
یَّسۡبَحُوۡنَ -- Dan semua itu terus beredar pada tempat
peredarannya. (Yā Siīn
[36]:39-41).
Ayat-ayat
tersebut tertuju kepada peredaran
benda-benda langit dalam ruang
angkasa atau ruang ether.
Al-Quran menentang pendapat yang lama
dianut bahwa seluruh langit itu padat dalam susunannya. Telah menjadi ciri khas Al-Quran bahwa Kitab itu memakai ungkapan-ungkapan yang
bukan saja menolak pandangan dan gagasan yang keliru, melainkan juga mendahului penemuan-penemuan baru dalam
bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.
Keberadaan “Tiang Penunjang” Alam Semesta yang Gaib
Ayat ini menunjuk pula kepada rencana dan tertib sempurna yang meliputi seluruh alam semesta, semua benda langit
dan bumi melaksanakan bagian tugasnya
masing-masing dengan teratur, tepat sekali tanpa kekeliruan, tanpa langgar
melanggari ruang gerak masing-masing.
Tata surya itu hanyalah merupakan salah satu dari milyaran susunan benda langit, yang beberapa di antaranya
tidak terperikan jauh lebih besar dari tata
surya kita. Namun milyaran matahari
dan bintang yang tidak terhitung
banyaknya itu tersebar bertaburan di
dalam ruang kosong, yang luasnya tidak terbatas, begitu teraturnya dan terbagi dalam kelompok-kelompok
dalam hubungannya satu sama lain untuk menjamin
kelestarian secara keseluruhan
dan untuk menimbulkan keserasian dan keindahan di mana-mana.
Tiap-tiap benda
langit mempengaruhi orbit (jalan
peredaran) lain, namun masing-masing benda
langit itu beredar terus dengan aman pada jalan yang telah ditakdirkan
dan semua benda langit sebagai keseluruhan merupakan suatu keserasian agung dalam struktur dan gerakan. Sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt berfirman:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ الٓـمّٓرٰ ۟ تِلۡکَ اٰیٰتُ الۡکِتٰبِ ؕ وَ
الَّذِیۡۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ مِنۡ رَّبِّکَ الۡحَقُّ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ النَّاسِ لَا
یُؤۡمِنُوۡنَ ﴿﴾ اَللّٰہُ الَّذِیۡ
رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ
وَ الۡقَمَرَ ؕ کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی ؕ یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ
یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ تُوۡقِنُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. الٓـمّٓرٰ -- Aku
Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat. Inilah ayat-ayat kitab yang sempurna, dan yang telah diturunkan kepada engkau dari Rabb (Tuhan) engkau adalah haq
(kebenaran) tetapi kebanyakan manusia
tidak beriman. اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ
السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا -- Allah,
Dia-lah Yang telah meninggikan seluruh
langit tanpa suatu tiang pun yang kamu
melihatnya, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Dan Dia telah menundukkan bagi kamu
matahari dan bulan,
masing-masing beredar menurut
arah perjalanannya hingga suatu masa yang telah ditetapkan. یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ
تُوۡقِنُوۡنَ -- Dia
mengatur segala urusan dan Dia
menjelaskan Tanda-tanda itu, supaya kamu
berkeyakinan teguh mengenai pertemuan
dengan Rabb (Tuhan) kamu. (Ar-Ra’d
[13]:1-3).
Kata-kata
اَللّٰہُ الَّذِیۡ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَیۡرِ عَمَدٍ تَرَوۡنَہَا -- “Allah, Dia-lah Yang
telah meninggikan seluruh langit
tanpa suatu tiang pun yang kamu
melihatnya” itu berarti: (1) Kamu melihat bahwa seluruh langit berdiri tanpa
tiang-tiang; (2) bahwa seluruh langit berdiri tidak atas tiang-tiang
yang dapat kamu lihat; artinya, seluruh langit itu mempunyai pendukung, tetapi
kamu tidak dapat melihatnya. Secara harfiah ayat itu berarti bahwa seluruh
langit berdiri tanpa ditunjang
oleh tiang-tiang.
Secara kiasan
ayat itu berarti, bahwa seluruh langit
atau benda-benda langit memang
memerlukan penopang, tetapi penopang-penopang itu tidak nampak
kepada mata manusia, umpamanya daya tarik atau tenaga magnetis atau gerakan-gerakan
khusus planit-planit atau cara-cara lain, yang ilmu pengetahuan telah
menemukannya hingga saat ini atau yang mungkin akan ditemukan lagi di hari
depan.
Tanda Pertama Orang Bertakwa:
Beriman Kepada yang Gaib
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ اسۡتَوٰی عَلَی الۡعَرۡشِ -- “kemudian
Dia bersemayam di atas ‘Arasy.” Kata ‘Arsy
(singgasana) telah dipakai dalam Al-Quran untuk menyatakan proses membawa hukum-hukum ruhani atau jasmani kepada kesempurnaannya. Penggunaan ungkapan itu selaras dengan kebiasaan raja-raja dunia, mereka itu menyatakan proklamasi-proklamasi penting “dari
singgasana”.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
lagi: وَ سَخَّرَ الشَّمۡسَ وَ الۡقَمَرَ ؕ
کُلٌّ یَّجۡرِیۡ لِاَجَلٍ مُّسَمًّی
-- Dan Dia telah menundukkan bagi kamu
matahari dan bulan, masing-masing
beredar menurut arah perjalanannya hingga suatu masa yang telah ditetapkan. یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ یُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ
Dia mengatur segala urusan dan Dia menjelaskan Tanda-tanda itu, لَعَلَّکُمۡ بِلِقَآءِ رَبِّکُمۡ
تُوۡقِنُوۡنَ -- supaya kamu berkeyakinan teguh mengenai pertemuan dengan Rabb (Tuhan) kamu. (Ar-Ra’d
[13]:1-3).
Jadi, sebagaimana sabda Masih Mau’ud a.s. bahwa seluruh
firman Allah Swt. dalam Al-Quran tersebut membuktikan keberadaan (eksistensi) Wujud Allah Swt. Yang Maha
Gaib, yang keberadaan dan kekuasaan-Nya yang sempurna diimani
(dipercayai) oleh orang-orang yang bertakwa,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ
رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Alif Lām Mīm. Inilah
Kitab yang sempurna itu, tidak
ada keraguan di dalamnya, ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa. الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ -- Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, dan mendirikan
shalat, dan mereka membelanjakan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka. Dan orang-orang
yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga
kepada apa yang telah diturunkan sebelum
engkau dan kepada akhirat pun mereka
yakin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka
itulah orang-orang
yang berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
Sehubungan dengan hal tersebut Masih Mau’ud
a.s. bersabda mengenai wawasan keimanan yang
dikemukakan Al-Quran:
“Pintu
kedua pemahaman Ilahi yang dibuka
lebar oleh Al-Quran adalah mutiara
hikmah intelektual yang karena sifatnya
yang luar biasa bisa dianggap
sebagai mukjizat intelektual.
Bentuknya ada berbagai macam:
Pertama, pengetahuan mengenai wawasan
keimanan, dengan pengertian bahwa semua wawasan luhur yang berkaitan dengan keimanan dan semua kebenaran
sucinya serta mutiara hikmah pengetahuan
tentang Ilahi yang dibutuhkan di
dunia guna penyempurnaan batin
manusia, semuanya ada tersedia di
dalam Al-Quran.
Begitu juga dengan semua keburukan batin yang merangsang munculnya keinginan
melakukan dosa dan nafsu yang
melambarinya serta cara-cara pensucian
batin berikut semua tanda-tanda,
karakteristik dan sifat-sifat dari akhlak
luhur. Tidak ada seorang pun yang akan mampu
mengemukakan kebenaran, hikmah Ke-Ilahi-an, cara-cara mencapai
Tuhan, bentuk atau disiplin suci
ibadah Ilahi lainnya yang belum
termaktub di dalam Kitab Suci
Al-Quran.
Kedua, di dalamnya juga terkandung pengetahuan
mengenai tentang sifat-sifat batin
dan tentang psikologi yang terdapat
secara komprehensif dalam firman ajaib ini, sehingga mereka yang mau berfikir akan sampai pada kesimpulan
bahwa Kitab ini bukanlah hasil kerja siapa pun kecuali Allah Yang Maha Perkasa.
Ketiga, di dalamnya terkandung ilmu
mengenai awal dunia, mengenai akhirat dan hal-hal tersembunyi lainnya yang merupakan bagian pokok dari firman
Allah Yang Maha Mengetahui tentang hal-hal
yang tersembunyi sehingga hati
manusia akan tenteram
jadinya. Semua pengetahuan demikian akan bisa ditemui banyak sekali dan secara
rinci di dalam Kitab Suci Al-Quran
sehingga tidak ada Kitab Samawi
lainnya yang akan mampu menyamainya.
Disamping itu Al-Quran juga
mengungkapkan pengetahuan keimanan
dari subyek lainnya dengan cara yang indah. Dalam hal ini, Kitab tersebut tetap memperhatikan logika, fisika, filosofi, astronomi, psikologi, medikal, matematika dan pengetahuan tentang komposisi
yang digunakan untuk menguraikan dan
menjelaskan pengetahuan tentang keimanan, guna memudahkan pemahamannya, menarik konklusi darinya, atau untuk
menyangkal keberatan dari
orang-orang yang bodoh.
Dengan kata lain, semua subyek
ini dikemukakan Kitab Suci Al-Quran
bagi kepentingan keimanan manusia
dengan cara sedemikian rupa, sehingga
setiap bentuk intelektualitas manusia
akan dapat menyerap kemaslahatannya.” (Surma Chasm Arya, Qadian,
1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. II, hlm.
73-75, London, 1984).
Tanda Kedua Orang-orang yang Bertakwa: Mendirikan Shalat
Tanda kedua dari “orang-orang yang bertakwa” adalah: وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ – “dan mereka mendirikan shalat.” Anak kalimat “mendirikan
shalat” berarti: mereka melakukan shalat
dengan segala syarat yang telah
ditetapkan; aqama berarti ia menempatkan benda atau perkara itu pada
keadaan yang tepat (Lexicon Lane).
Beribadah itu merupakan ungkapan
lahiriah dari perhubungan batin
manusia -- dalam bentuk iman
-- dengan Allah Swt. Tambahan pula karunia
Ilahi meliputi baik jasmani
maupun ruh. Jadi ibadah
yang sempurna adalah saat ketika jasmani dan ruhani manusia keduanya sama-sama berperan. Tanpa keduanya jiwa
sejati ibadah tidak dapat
dipelihara, sebab meskipun pemujaan oleh
hati itu merupakan isinya dan pemujaan oleh jasmani hanya kulitnya, namun isi tidak dapat dipelihara
tanpa kulit. Jika kulit binasa isinya pun pasti mengalami nasib yang sama.
Jadi, pada hakikatnya melakukan ibadah yang dilakukan oleh orang-orang
yang benar-benar memiliki makrifat Ilahi berupa
pengetahuan tentang Allah Swt. mengenai kesempurnaan Sifat-sifat-Nya dan kesempurnaan perbuatan-Nya -- sebagaimana yang dikemukakan dalam
berbagai Surah Al-Quran, antara lain
Surah Al-Fatihah -- melaksanakan ibadah tersebut merupakan
suatu tuntutan fitrahnya yang suci tersebut
(QS.7:173-174; QS.30:31-33). Contoh yang paling nyata mengenai hal tersebut
adalah para rasul (nabi) Allah,
terutama Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:125
& 131-134) dan terutama sekali Nabi
Besar Muhammad saw. (QS.6:162-164).
Kewajiban atau kerinduan orang-orang yang bertakwa melakukan hubungan (komunikasi) langsung dengan Allah Swt.
– yakni Wujud
Yang Maha Gaib tersebut –
berupa mendirikan shalat
tersebut pada hakikatnya merupakan salah
satu dari dua tanda atau “dua sayap” orang-orang bertakwa
yang benar-benar mencintai Allah Swt.
yaitu melaksanakan Haququllāh
(Hablun-minallāh) dan Haququl ‘ibād
(hablun- minan-nās).
Itulah sebabnya Allah Swt. dalam Al-Quran telah menyatakan bahwa
orang-orang yang melaksanakan kewajiban haququllah – antara lain berupa melaksanakan shalat fardu mau pun salat-salat
nafal -- tetapi jika dalam pribadi
para pelaku shalat tersebut
tidak terjadi perubahan dalam segi akhlak dan ruhani ke arah yang lebih
baik, sebagaimana salah satu fungsi
(khasiat) shalat adalah mencegah dari perbuatan keji dan munkar
(QS.29:47) serta timbulnya kecintaan atau kepedulian terhadap sesama hamba
Allah, terutama anak-anak yatim dan orang-orang
miskin (QS.51:16-20; QS.70:23-26; QS.92:1-22); maka Allah Swt. bukannya
memuji orang-orang yang
seperti itu melainkan malah melaknat
mereka, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ اَرَءَیۡتَ الَّذِیۡ یُکَذِّبُ
بِالدِّیۡنِ ؕ﴿﴾ فَذٰلِکَ الَّذِیۡ یَدُعُّ الۡیَتِیۡمَ ۙ﴿﴾ وَ لَا یَحُضُّ عَلٰی طَعَامِ الۡمِسۡکِیۡنِ ؕ﴿﴾ فَوَیۡلٌ
لِّلۡمُصَلِّیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ ہُمۡ
عَنۡ صَلَاتِہِمۡ سَاہُوۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ
ہُمۡ یُرَآءُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ یَمۡنَعُوۡنَ الۡمَاعُوۡنَ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama
Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Apakah engkau melihat orang yang mendustakan
agama? Maka itulah orang
yang meng-usir anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin. فَوَیۡلٌ
لِّلۡمُصَلِّیۡنَ -- Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat,
الَّذِیۡنَ
ہُمۡ عَنۡ صَلَاتِہِمۡ سَاہُوۡنَ
-- yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, الَّذِیۡنَ ہُمۡ یُرَآءُوۡنَ
-- yaitu orang-orang yang berbuat pamer. وَ یَمۡنَعُوۡنَ
الۡمَاعُوۡنَ -- dan
mencegah diri mereka un-tuk memberi barang-barang kecil kepada
orang-orang miskin. (Al-Ma’ūn [107]:1-8).
Melaksanakan Haququl ‘ibād (Hablun- Minan-nās)
Sehubungan dengan pentingnya melaksanakan Haququl ‘ibād (Hablun- ninan-nās) itulah
selanjutnya Allah Swt. mengemukakan tanda
berikutnya dari orang-orang yang bertakwa
yang telah mendirikan shalat yang hakiki tersebut, firman-Nya:
یُنۡفِقُوۡنَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ وَ -- “dan mereka membelanjakan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka.”
Rizq berarti sesuatu yang dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia, baik anugerah itu,
bersifat kebendaan atau selain itu (Al-Mufradat).
Dengan
demikian Surah Al-Baqarah ayat 2-5 menentukan tiga
petunjuk dan menjelaskan tiga tingkat
kesejahteraan ruhani manusia:
(1) Ia harus beriman kepada kebenaran
yang tersembunyi dari pandangan mata dan di luar jangkauan pancaindera, sebab kepercayaan
demikian menunjukkan bahwa ia mempunyai ketakwaan yang sejati.
(2) Bila ia merenungkan keajaiban alam semesta dan tertib
serta rancangan menakjubkan yang
terdapat di dalamnya, dan bila sebagai hasil dari renungan itu ia menjadi yakin
akan adanya (eksitensi) Dzat Yang menciptakan tatanan alam
semesta yang sangat sempurna maka
suatu hasrat yang tidak dapat ditahan
untuk mempunyai perhubungan nyata dan
benar dengan Dzat itu menguasai dirinya. Hasrat tersebut terpenuhi dengan mendirikan shalat.
(3) Akhirnya, ketika orang beriman itu berhasil menegakkan perhubungan yang hidup dengan Khāliq-nya (Pencipta-nya), ia merasakan adanya dorongan batin untuk berbakti kepada sesama manusia
dalam bentuk “menafkahkan” apa pun yang Allah Swt rezekikan
kepada mereka sesuai petunjuk agama (Al-Quran) dan Sunnah Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ الٓـمّٓ ۚ﴿﴾ ذٰلِکَ الۡکِتٰبُ لَا رَیۡبَ ۚۖۛ فِیۡہِ ۚۛ ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ ۙ﴿﴾ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ وَ یُقِیۡمُوۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ مِمَّا رَزَقۡنٰہُمۡ یُنۡفِقُوۡنَ ۙ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ ۚ وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ ؕ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ عَلٰی ہُدًی مِّنۡ
رَّبِّہِمۡ ٭ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha
Pemurah, Maha Penyayang. Alif Lām Mīm. Inilah
Kitab yang sempurna itu, tidak
ada keraguan di dalamnya, ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ -- petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa. الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡغَیۡبِ -- Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, dan mendirikan
shalat, dan mereka membelanjakan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman
kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga
kepada apa yang telah diturunkan sebelum
engkau, dan kepada akhirat pun mereka
yakin. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk dari Rabb (Tuhan) mereka dan mereka itulah orang-orang yang berhasil. (Al-Baqarah [2]:1-6).
Makna ayat اُنۡزِلَ اِلَیۡکَ وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِمَاۤ -- “Dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan
kepada engkau, مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِکَ وَ -- juga
kepada apa yang telah diturunkan sebelum
engkau وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ -- dan kepada
akhirat pun mereka
yakin,” bahwa iman kepada Nabi
Besar Muhammad saw. – setelah beriman
kepada Allah Swt. merupakan inti sejauh menyangkut hubungan iman kepada Rasul-rasul
Allah (QS.2:286; QS.4:66, 137).
Bahkan ajaran Islam
(Al-Quran) mewajibkan para
pengikutnya beriman bahwa ajaran semua nabi Allah yang terdahulu bersumber dari Allah Swt., sebab Allah Swt. mengutus
utusan-utusan-Nya kepada semua kaum (QS.13:8; QS.35:25).
Al-ākhirah
(akhirat) dalam ayat وَ بِالۡاٰخِرَۃِ ہُمۡ یُوۡقِنُوۡنَ -- “dan
kepada akhirat pun mereka
yakin.” berarti: (a) tempat tinggal ukhrawi, yaitu kehidupan di hari kemudian; (b) al-akhirah
dapat juga berarti wahyu yang akan
datang. Arti kedua kata itu lebih lanjut diuraikan dalam QS.62:3-4; di sana
Al-Quran menyebut dua kebangkitan Nabi
Besar Muhammad saw., firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata, وَّ اٰخَرِیۡنَ
مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ
ہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ
-- Dan juga akan membangkitkannya
pada kaum lain dari antara mereka,
yang belum bertemu dengan mereka.
Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. ٰلِکَ
فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ -- Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar (Al-Jumu’ah
[62]:3-5).
Kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. untuk
pertama kali terjadi di tengah orang-orang
Arab dalam abad ke-7 Masehi, ketika Al-Quran diwahyukan kepada beliau saw., dan yang kedua terjadi di Akhir Zaman ini dalam wujud seorang dari antara para pengikut beliau saw.. Nubuatan ini menjadi sempurna dalam
wujud Mirza Ghulam Ahmad a.s. atau Masih
Mau’ud a.s., Pendiri Jemaat Ahmadiyah , yang juga merupakan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar, 30 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar