Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Kebiasaan Mengubah-ubahMakna
Isi Kitab Suci di Kalangan
Golongan Ahli-Kitab
Bab 44
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam Bab
sebelumnya telah kemukakan ayat mengenai adanya keselarasan
antara peristiwa jasmani dan peristiwa ruhani dan mengenai munculnya Misal Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s. di kalangan Umat Islam, yakni perkembangan akhlak dan ruhani orang-orang yang bertakwa -- yang benar-benar menjaga
kesucian dirinya seperti Maryam binti ‘Imran (QS.66:13) --
memiliki keselarasan dengan peristiwa jasmani yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dalam firman-Nya
berikut ini dengan ayat-ayat
selanjutnya:
وَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا
فَنَفَخۡنَا فِیۡہَا مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ جَعَلۡنٰہَا وَ ابۡنَہَاۤ اٰیَۃً
لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
Maryam perempuan yang memelihara
kesuciannya, فَنَفَخۡنَا فِیۡہَا مِنۡ
رُّوۡحِنَا -- maka Kami
meniupkan kepadanya ruh Kami وَ
جَعَلۡنٰہَا وَ ابۡنَہَاۤ اٰیَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ -- dan Kami
menjadikan dia dan anaknya suatu Tanda
untuk seluruh alam. (Al-Anbiyā [21]:92).
Firman-Nya:
وَ جَعَلۡنَا ابۡنَ مَرۡیَمَ وَ اُمَّہٗۤ
اٰیَۃً وَّ اٰوَیۡنٰہُمَاۤ اِلٰی
رَبۡوَۃٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَّ مَعِیۡنٍ ﴿٪﴾
Dan
Kami menjadikan Ibnu Maryam dan ibunya suatu Tanda, dan Kami melindungi keduanya ke suatu dataran
yang tinggi yang memiliki lembah-lembah hijau dan sumber-sumber
mata air yang mengalir (Al-Mu’minūn
[23]:51).
Tidak mungkin ada lukisan
lebih bagus mengenai tempat di mana
sesudah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. terhindar dari kematian terkutuk di atas salib,
beliau dan ibunda
beliau tinggal dengan aman-sentausa dan pulang ke Rahmatullāh, daripada yang dikemukakan
oleh Al-Quran dalam kata-kata "dataran yang tinggi yang memiliki
lembah-lembah hijau dan sumber-sumber air yang mengalir" yang
merupakan lukisan yang sangat tepat mengenai
Lembah Kasymir yang indah itu.
Nicholas Notovitch menamakan Kasymir
"Lembah Kebahagiaan Abadi".
Firman Allah Swt. mengenai gambaran “surga jasmani” di dunia tersebut
memiliki hubungan dengan firman-Nya mengenai “surga ruhani” yang dikemukakan firman-Nya berikut ini:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ
جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah
kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau
ridha kepada-Nya dan Dia
pun ridha kepada engkau, maka masuklah
dalam golong-an hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]: 28-31).
Ini merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi, ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23).
Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat
surgawi ia menjadi kebal terhadap
segala macam kelemahan akhlak,
diperkuat dengan kekuatan ruhani yang
khas. Ia “manunggal” dengan Tuhan dan
tidak dapat hidup tanpa Dia.
Di dunia ini, dan bukan setelah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia
inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga. Dengan demikian benarlah
sabda Masih Mau’ud a.s. berikut ini:
“Kisah-kisah yang dikemukakan di dalam Kitab
Suci Al-Quran sesungguhnya adalah nubuatan-nubuatan
yang diutarakan dalam bentuk cerita.
Dalam Kitab Taurat, yang dimaksud
adalah memang kisah-kisah saja,
tetapi di dalam Al-Quran setiap kisah tersebut merupakan nubuatan berkaitan dengan Hadhrat Rasulullah Saw. dan agama Islam dimana kenyataannya semua nubuatan tersebut telah terpenuhi secara nyata.” (Chasma Marifat).
Perintah Allah Swt. Kepada Umat Islam Untuk Menjadi Para Penolong Al-Masih Mau’ud a.s. Mewujudkan
Kejayaan Islam di Akhir Zaman
Jadi, kembali kepada sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai tujuh kaidah
penafsiran Al-Quran, betapa pentingnya mengamalkan petunjuk dari Masih Mau’ud a.s. tersebut, sebab akibat kekeliruan menafsirkan firman Allah Swt. dalam Surah An-Nisa ayat 158-159 -- mengenai masalah penyaliban
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dan penyelamatan beliau -- telah mengakibatkan
umumnya umat Islam tidak mampu menghadapi gerakan Kristenisasi dengan
cara-cara yang efektif dan tanpa
harus menggunakan tindakan kekerasan,
sebab Allah Swt. dalam Al-Quran
dengan jelas telah menyatakan bahwa Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. telah wafat
(QS.3:56 & 145; QS.5:117-119; QS.21:35-36), dan makna kedatangan kedua kali beliau di Akhir
Zaman ini adalah kedatangan misal
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58)
dalam wujud Masih Mau’ud a.s.,
firman-Nya:
وَ لَمَّا
ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ مَثَلًا اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾ وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا
ضَرَبُوۡہُ لَکَ اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ
﴿﴾ اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ
جَعَلۡنٰہُ مَثَلًا لِّبَنِیۡۤ
اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Dan apabila
Ibnu Maryam dikemukakan
sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan penentangan terhadapnya, dan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?" Mereka tidak menyebutkan hal
itu kepada engkau melainkan perbantahan
semata. Bahkan mereka adalah kaum
yang biasa berbantah. Ia
tidak lain melainkan seorang hamba yang
telah Kami anugerahi nikmat kepadanya,
dan Kami menjadikan dia suatu
perumpamaan bagi Bani Israil. (Az-Zukhruf [43]:58-60).
Shadda (yashuddu) dalam
ayat وَ لَمَّا ضُرِبَ
ابۡنُ مَرۡیَمَ مَثَلًا اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ berarti: ia menghalangi dia dari
sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes)
(Al-Aqrab-ul-Mawarid). Bagi Bani Israil kedatangan Al-Masih a.s. adalah
tanda bahwa orang-orang Yahudi akan dihinakan
dan direndahkan serta akan kehilangan kenabian untuk
selama-lamanya. Karena matsal berarti sesuatu yang semacam dengan atau sejenis
dengan yang lain (QS.6:39).
Ayat tersebut di samping arti yang diberikan dalam terjemahannya
dapat pula berarti bahwa bila kaum Nabi Besar Muhammad saw. – yaitu kaum Muslimin
— diberitahu bahwa orang lain yang seperti dan merupakan sesama Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.53:48) akan dibangkitkan
di antara mereka untuk memperbaharui mereka
dan mengembalikan kejayaan ruhani
mereka yang telah hilang (QS.61:10), maka mereka bukannya bergembira atas kabar gembira itu malah mereka berteriak mengajukan protes. Jadi, ayat ini dapat dianggap mengisyaratkan kepada
kedatangan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. untuk kedua kalinya dalam wujud Masih Mau’ud a.s..
Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah
Allah Swt. telah memerintahkan umat Islam
untuk mengikuti sikap kaum hawariyyin terhadap Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yakni beriman kepada beliau (QS.3:53-54), bukannya mengikuti perbuatan
zalim para pemuka Yahudi
yang melakukan penolakan
terhadap beliau, bahkan berusaha membunuhnya
melalui penyaliban sehingga mereka menjadi sasaran kemurkaan
Allah Swt. (QS.4:156-159; QS.5:79-81), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡۤا اَنۡصَارَ
اللّٰہِ کَمَا قَالَ عِیۡسَی ابۡنُ
مَرۡیَمَ لِلۡحَوَارِیّٖنَ مَنۡ
اَنۡصَارِیۡۤ اِلَی اللّٰہِ ؕ
قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ اَنۡصَارُ
اللّٰہِ فَاٰمَنَتۡ طَّآئِفَۃٌ مِّنۡۢ
بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ وَ
کَفَرَتۡ طَّآئِفَۃٌ ۚ فَاَیَّدۡنَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا عَلٰی
عَدُوِّہِمۡ فَاَصۡبَحُوۡا ظٰہِرِیۡنَ ﴿٪﴾
Hai orang-orang yang beriman, کُوۡنُوۡۤا اَنۡصَارَ اللّٰہِ کَمَا قَالَ عِیۡسَی
ابۡنُ مَرۡیَمَ لِلۡحَوَارِیّٖنَ -- jadilah
kamu penolong-penolong Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam berkata kepada pengikut-pengikutnya,
مَنۡ اَنۡصَارِیۡۤ
اِلَی اللّٰہِ -- “Siapakah penolong-penolongku di jalan Allah?” قَالَ الۡحَوَارِیُّوۡنَ نَحۡنُ
اَنۡصَارُ اللّٰہِ -- Pengikut-pengikut
yang setia itu berkata: “Ka-milah
penolong-penolong Allah.” Maka segolongan
dari Bani Israil beriman sedangkan segolongan
lagi kafir, kemudian Kami
membantu orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka lalu mereka
menjadi orang-orang yang
menang. (Ash-Shaf [61]:15).
Dari ketiga golongan agama di antara kaum Yahudi yang terhadap mereka Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. menyampaikan tablighnya – yakni kaum Parisi, kaum Saduki, dan kaum Essenes
– Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. termasuk golongan Essenes
sebelum beliau diutus sebagai rasul Allah.
Kaum Essenes adalah kaum yang sangat bertakwa,
hidup jauh dari kesibukan dan keramaian dunia, dan melewatkan waktu mereka
dalam berzikir dan berdoa, dan berbakti kepada sesama manusia. Dari kaum inilah
berasal bagian besar dari para pengikut beliau di masa permulaan (“The Dead Sea Community,” oleh
Kurt Schubert, dan “The Crucifixion
by an Eye-Witness”). Mereka disebut “Para Penolong” oleh Eusephus.
Kata-kata
penutup Surah ini sungguh sarat dengan nubuatan.
Sepanjang zaman para pengikut Nabi
Isa IBnu Maryam a.s. telah menikmati kekuatan dan kekuasaan atas musuh abadi mereka – kaum Yahudi.
Mereka telah menegakkan dan memerintah kerajaan-kerajaan luas dan
perkasa, sedang kaum Yahudi tetap
merupakan kaum yang cerai-berai
sehingga mendapat julukan “the Wandering
Jew” (“Yahudi Pengembara”).
Tujuh Kaidah Penafsiran Al-Quran
yang Benar
Demikianlah penjelasan mengenai kebenaran kaidah
pertama dari tujuh kaidah penafsiran Al-Quran yang dikemukakan Masih Mau’ud a.s., beliau bersabda:
“Acuan pokok suatu tafsir
yang benar dari Kitab Suci Al-Quran
adalah kesaksian Al-Quran itu
sendiri. Patut diperhatikan bahwa Al-Quran
berbeda dengan Kitab-kitab Samawi
lainnya yang tergantung kepada sesuatu di luar dirinya untuk pembuktian atau pengungkapan kebenaran yang dikandungnya.
Al-Quran tersusun dalam suatu struktur yang rapi dimana keseluruhannya akan terganggu jika ada satu saja batu-bata yang salah tempat. Kitab ini setiap mengemukakan suatu kebenaran selalu didukung 10 atau 20 kesaksian
termaktub yang mendukungnya.
Setiap kali kita menafsirkan suatu ayat Al-Quran, kita perlu memperhatikan keberadaan kesaksian di ayat lain yang mendukung
pengertian yang telah kita peroleh. Bila kesaksian tersebut tidak ada
sedangkan pengertian yang kita dapat
itu bertentangan dengan ayat-ayat lainnya, kita harus
menyimpulkan bahwa tafsir itu salah,
karena tidak mungkin terdapat kontradiksi
di dalam Al-Quran. Tanda suatu tafsir
yang benar ialah jika keseluruhan
kesaksian dari Kitab Suci Al-Quran
memang jelas mendukung.
Acuan kedua dari pengertian yang benar mengenai Al-Quran
adalah tafsir yang dikemukakan oleh Hadhrat Rasulullah Saw.. Tidak
diragukan lagi bahwa sosok yang paling memahami pengertian Al-Quran
adalah Nabi Besar kita yang tercinta.
Dengan demikian jika memang sudah ada tafsir
dari Hadhrat Rasulullah Saw. maka
menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menerimanya tanpa ragu-ragu lagi, sedangkan mereka yang menolak termasuk murtad dan mengada-ada.
Acuan ketiga adalah penafsiran
dari para sahabat Hadhrat Rasulullah Saw..
Para sahabat tersebut merupakan pewaris pertama dari Nur dan pengetahuan yang dibawa Hadhrat
Rasulullah Saw.. Mereka ini mendapat rahmat
akbar dari Allah Swt. dimana persepsi
mereka dibantu oleh-Nya karena
mereka ini tidak saja telah beriman tetapi juga telah melaksanakan apa yang diimani.
Acuan keempat adalah perenungan
Al-Quran dengan ruhani yang suci
mengingat juga Al-Quran berkaitan
dengan kesucian ruhani seseorang
sebagaimana dinyatakan Allah yang Maha
Agung dalam firman-Nya:
لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ
“(Kitab)
yang tiada orang boleh menyentuhnya
kecuali mereka yang disucikan”
(Al-Wāqi’ah [56]:80).
Berarti hanya seorang yang memiliki hati
yang telah disucikan yang dapat menghargai wawasan suci dari Al-Quran karena kedekatannya dengan Kitab tersebut.
Ia mengenali segala kebenaran dan keharuman yang dikandung Kitab
tersebut dan batinnya bersaksi bahwa
inilah jalan yang lurus.
Nur hati orang seperti itulah
yang menjadi acuan guna menguji kebenaran. Kecuali seseorang telah disucikan dalam amalannya dan telah berhasil melewati jalan sempit yang dilalui oleh para nabi, sebaiknya janganlah ia menjadi penafsir isi Al-Quran,
apalagi jika didasari oleh sikap kurang ajar dan kesombongan karena hasil tafsirnya nanti didasarkan pada opini dirinya sendiri. Tafsir
seperti itu dilarang oleh Hadhrat Rasulullah Saw. yang
menyatakan:
“Ia yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan opininya sendiri
berada dalam kesalahan, meskipun ia mengemukakan tafsir yang menurutnya adalah
yang benar.”
Acuan kelima adalah kosa-kata
bahasa Arab, hanya saja Al-Quran
terkadang memberi arti yang beragam
sekali sehingga tidak sepenuhnya bisa bersandar pada lexicon (kamus) atau kosa-kata
tersebut. Terkadang dengan memperhatikan kosa-katanya,
perhatian bisa dibimbing kepada
suatu rahasia sehingga yang
bersangkutan dapat mengungkapkan hal
yang tersembunyi dalam Al-Quran.
Acuan keenam adalah perbandingan sistem
keruhanian dengan sistem jasmaniah
karena ada keselarasan di antara
keduanya.
Acuan ketujuh adalah wahyu
dan kasyaf para orang suci. Acuan ini sebenarnya merangkum keseluruhan acuan-acuan
lainnya, karena seorang penerima wahyu
adalah refleksi (pantulan) sempurna dari Nabi yang diikutinya,
dimana dengan kekecualian pemberian status kenabian dan adanya syariat baru, ia mendapatkan semua sebagaimana yang diterima sang Nabi.
Akidah yang benar dan pasti akan dibukakan
kepadanya dan ia akan menerima
segala karunia berupa berkat dan rahmat sebagaimana yang diberikan
Tuhan kepada Nabi yang diikutinya.
Ia tidak akan mengada-ada, tetapi
hanya berbicara atas dasar apa yang dilihatnya dan mengemukakan apa yang didengarnya. Jalan ini terbuka bagi setiap umat Muslim, karena jika tidak maka tidak akan ada lagi pewaris Nabi Besar Muhammad Saw.” (Barakatud-Du’a, Qadian, Riyaz
Hind Press, 1310 H; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VI, hlm. 17-21, London,
1984).
Semua karunia Ilahi tersebut terbuka bagi para pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada
mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang
shalih, dan mereka itulah
sahabat yang sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70-71).
Dilarang
Mengubah Susunan Isi Al-Quran & Kebiasaan
Buruk di Kalangan Sebagian Golongan Ahli Kitab
Selanjutnya Masih Mau’ud a.s.
bersabda mengenai pentingnya menjaga
susunan Surah-surah dan ayat-ayat Al-Quran
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Nabi Besar Muhammad asw. atas petunjuk Allah Swt.:
“Perlu diperhatikan, bahwa kita tidak diizinkan untuk mengadakan
perubahan apa pun dalam teks ayat atau urutan
di dalam firman Tuhan, kecuali Hadhrat
Rasulullah Saw. ada melakukannya
dan ini bisa dibuktikan. Tanpa
adanya bukti itu maka kita tidak boleh mengusik urut-urutan
Al-Quran ataupun menambahkan sesuatu
padanya. Kalau dilakukan maka kita dianggap bersalah dan akan dimintakan pertanggungjawabannya.”
(Itmamul
Hujjah, Gulzar Muhammadi Press, Lahore, 1311 H,
sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VIII, hlm. 29, London, 1984).
Mengubah-ubah isi Kitab suci serta menyimpangkan maknanya yang benar merupakan kebiasaan di kalangan golongan Ahli
Kitab, sehingga keaslian Kitab-kitab suci
mereka menjadi semakin sulit
dipertahankan, firman-Nya:
وَ اِنَّ
مِنۡہُمۡ لَفَرِیۡقًا یَّلۡوٗنَ اَلۡسِنَتَہُمۡ بِالۡکِتٰبِ لِتَحۡسَبُوۡہُ مِنَ
الۡکِتٰبِ وَ مَا ہُوَ مِنَ الۡکِتٰبِ ۚ وَ یَقُوۡلُوۡنَ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ
اللّٰہِ وَ مَا ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ۚ وَ یَقُوۡلُوۡنَ عَلَی
اللّٰہِ الۡکَذِبَ وَ ہُمۡ یَعۡلَمُوۡنَ
﴿﴾ مَا کَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ یُّؤۡتِیَہُ اللّٰہُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ
النُّبُوَّۃَ ثُمَّ یَقُوۡلَ لِلنَّاسِ کُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّیۡ مِنۡ دُوۡنِ
اللّٰہِ وَ لٰکِنۡ کُوۡنُوۡا رَبّٰنِیّٖنَ بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ
وَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَدۡرُسُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَاۡمُرَکُمۡ
اَنۡ تَتَّخِذُوا الۡمَلٰٓئِکَۃَ وَ النَّبِیّٖنَ اَرۡبَابًا ؕ اَیَاۡمُرُکُمۡ
بِالۡکُفۡرِ بَعۡدَ اِذۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿٪﴾
Dan
sesungguhnya di kalangan mereka
benar-benar ada segolongan yang
memutar-mutar lidahnya dengan membaca
Kitab, supaya kamu
menyangka hal itu dari Kitab,
padahal itu sekali-kali bukan dari Kitab. Dan mereka
berkata: “Itu adalah dari sisi Allah,”
padahal itu sekali-kali bukan dari sisi Allah, dan mereka berkata dusta terhadap Allah dan
mereka mengetahui. Sekali-kali tidak mungkin bagi
seorang manusia yang kepadanya Allah memberi Kitab, Kekuasaan, dan kenabian, kemudian ia berkata kepada manusia: “Jadilah kamu hamba-hamba-Ku,
bukannya hamba-hamba Allah”, tetapi ia akan berkata: “Jadilah
kamu orang yang berbakti hanya
kepada Allah, karena kamu senantiasa
mengajarkan Kitab, dan kamu
senantiasa mempelajarinya, dan kamu
senantiasa membacanya.” Dan tidak pula ia akan menyuruh kamu supaya kamu menjadikan malaikat-malaikat dan
nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Apakah
ia akan menyuruhmu kafir setelah kamu
menjadi orang-orang yang berserah diri
kepada Allah? (Ali ‘Imran [3]:79-81).
Ayat 79 merupakan suatu sindiran terhadap kebiasaan
jahat sebagian orang Yahudi di
zaman Nabi Besar Muhammad saw.. Mereka
membaca suatu kalimat dalam bahasa Ibrani
dengan cara bacaan demikian rupa,
sehingga para pendengar akan terpedaya
dan menyangka bahwa Taurat yang sedang dibacakan itu.
Kata “Alkitab” yang dipakai
tiga kali dalam ayat ini maksudnya “sebuah
kalimat dalam bahasa Ibrani”
dalam sebutan yang pertama, dan
mengisyaratkan kepada “Taurat”
dalam sebutan yang kedua dan ketiga. Kalimat itu disebut “Alkitab” sebab orang-orang Yahudi berusaha membuatnya
nampak seperti itu.
Dalam ayat 80 pengulangan
mā kāna lahu (tidak mungkin
baginya) dipakai dalam tiga pengertian: (a) tidak
layak baginya berbuat demikian; (b) tidak
mungkin baginya berbuat demikian; atau tidak masuk akal ia sampai berbuat
demikian; (c) tidak ada kemungkinan
ia dapat berbuat demikian, yakni secara fisik mustahil ia berbuat demikian, firman-Nya:
مَا کَانَ
لِبَشَرٍ اَنۡ یُّؤۡتِیَہُ اللّٰہُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ثُمَّ
یَقُوۡلَ لِلنَّاسِ کُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّیۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ لٰکِنۡ
کُوۡنُوۡا رَبّٰنِیّٖنَ بِمَا کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا
کُنۡتُمۡ تَدۡرُسُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَا یَاۡمُرَکُمۡ
اَنۡ تَتَّخِذُوا الۡمَلٰٓئِکَۃَ وَ النَّبِیّٖنَ اَرۡبَابًا ؕ اَیَاۡمُرُکُمۡ
بِالۡکُفۡرِ بَعۡدَ اِذۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ﴿٪﴾
Sekali-kali tidak mungkin bagi seorang manusia yang kepadanya Allah memberi Kitab, Kekuasaan,
dan kenabian, kemudian ia berkata kepada manusia: “Jadilah kamu hamba-hamba-Ku,
bukannya hamba-hamba Allah”, tetapi ia akan berkata: “Jadilah
kamu orang yang berbakti hanya
kepada Allah, karena kamu senantiasa
mengajarkan Kitab, dan kamu
senantiasa mempelajarinya, dan kamu
senantiasa membacanya.” Dan tidak pula ia akan menyuruh kamu supaya kamu menjadikan malaikat-malaikat dan
nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Apakah
ia akan menyuruhmu kafir setelah kamu
menjadi orang-orang yang berserah diri
kepada Allah? (Ali ‘Imran [3]:80-81).
Makna Rabbaniyyīn &
Munculnya Kemusyrikan di Kalangan Ahli Kitab
Makna kata Rabbaniyyīn dalam ayat 80 itu jamak dari Rabbaniy
yang berarti: (1) orang yang mewakafkan
diri untuk mengkhidmati agama
atau menyediakan dirinya untuk menjalankan ibadah;
(2) orang yang memiliki ilmu Ilahiyyat (Ketuhanan);
(3) orang yang ahli dalam pengetahuan agama, atau seorang yang baik dan bertakwa; (4) guru yang
mulai memberikan kepada orang-orang pengetahuan
atau ilmu yang ringan-ringan sebelum
beranjak ke ilmu-ilmu yang
berat-berat; (5) induk semang atau majikan atau pemimpin; (6) seorang mushlih (pembaharu). (Lexicon Lane; Sibawaih, dan Al-Mubarrad).
Kata-kata: بِمَا
کُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡکِتٰبَ وَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَدۡرُسُوۡنَ -- Karena
kamu senantiasa mengajarkan Al-Kitab dan karena kamu senantiasa mempelajarinya,
menunjukkan bahwa telah menjadi kewajiban
bagi semua yang telah meraih ilmu
keruhanian (Rabbaniyyīn)
agar mereka meneruskannya kepada
orang-orang lain dan jangan membiarkan orang-orang meraba-raba dalam kegelapan,
kejahilan atau kebodohan.
Namun dalam kenyataannya di kalangan Ahli Kitab terjadi penyembahan terhadap wujud-wujud
selain Allah Swt., yakni mereka telah mempertuhankan Nabi Uzair a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam
a.s., -- bahkan mempertuhankan Maryam binti
‘Imran, ibunda Nabi Isa Ibnu Maryam (QS.5:117-119), firman-Nya:
وَ قَالَتِ
الۡیَہُوۡدُ عُزَیۡرُۨ ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ
اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ
قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾ اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا
مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ
وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ
مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا
لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ
بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ
اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی
الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ
کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ﴿﴾
Dan orang-orang
Yahudi berkata: “Uzair adalah anak
Allah”, dan orang-orang Nasrani
berkata: “Al-Masih adalah anak Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya,
mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipa-lingkan dari
Tauhid? اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ
الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ -- Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah, dan begitu juga Al-Masih
ibnu Maryam, وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا -- padahal mereka
tidak diperintahkan melainkan supaya
mereka menyembah Tuhan Yang Mahaesa. لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ -- Tidak ada Tuhan
kecuali Dia. Maha-suci Dia dari apa yang
mereka sekutukan. یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ -- Mereka
berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut
mereka, tetapi Allah menolak bahkan
menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun
orang-orang kafir tidak menyukai.
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ -- Dia-lah
Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama
walau-pun orang-orang musyrik tidak
menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).
“Imam Ezra” (Uzair)
‘Uzair atau Ezra
hidup pada abad kelima sebelum Masehi. Beliau keturunan Seraya, imam agung, dan karena beliau sendiri pun anggota Dewan Imam dan dikenal sebagai Imam Ezra. Beliau termasuk seorang tokoh
terpenting di masanya dan mem-punyai pengaruh yang luas sekali dalam
mengembangkan agama Yahudi. Beliau men-dapat kehormatan khas di antara
nabi-nabi Israil.
Orang-orang Yahudi di Medinah dan suatu mazhab
Yahudi di Hadramaut, mempercayai beliau sebagai anak Allah. Para Rabbi (pendeta-pendeta Yahudi)
menghubungkan nama beliau dengan beberapa lembaga-lembaga penting. Renan
mengemukakan dalam mukadimah bukunya “History
of the People of Israel” bahwa bentuk agama Yahudi yang-pasti dapat dianggap berwujud semenjak masa Ezra.
Dalam kepustakaan golongan Rabbi,
beliau dianggap patut jadi wahana pengemban
syariat seandainya syariat itu
tidak dibawa oleh Nabi Musa a.s.. Beliau bekerjasama dengan Nehemya dan wafat pada usia 120 tahun di
Babil (Yewish Encyclopaedia
& Encyclopaedia Biblica).
Ahbar
adalah ulama-ulama Yahudi dan Ruhban
adalah para rahib agama Nasrani: اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ -- “Mereka
telah menjadikan ulama-ulama mereka
dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah, dan begitu juga Al-Masih
ibnu Maryam.”
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 23 Februari
2016
2016