Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Empat Cara
Allah Swt. Memelihara Kelestarian Kesempurnaan Al-Quran & Meluruskan Kekeliruan Tertutupnya Pintu Semua Jenis Kenabian
dan Wahyu Ilahi
Bab 53
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah kemukakan alasan Masih
Mau’ud a.s. mengapa syariat yang paling sempurna tidak diturunkan di masa awal penciptaan
manusia:
“Kitab yang diwahyukan pada awal penciptaan, secara logika
tidak mungkin merupakan Kitab yang
sempurna. Kitab yang ada tentunya seperti buku pelajaran abjad atau alfabet
bagi anak-anak yang baru mengenal huruf. Pasti untuk pelajaran yang bersifat sangat mendasar demikian tidak diperlukan kemampuan yang luar biasa.
Ketika pengalaman umat
manusia berkembang dan banyak dari
antara mereka yang kemudian menyimpang,
diperlukan petunjuk yang lebih terinci. Apalagi ketika kegelapan ruhani sudah demikian meluas
dan kalbu manusia menjadi terjerat dalam berbagai bentuk penyelewengan intelektual dan pengamalan. Pada saat seperti itu
diperlukan ajaran yang lebih tinggi
dan sempurna sebagaimana yang dibawa
Al-Quran.
Di masa awal sejarah manusia tidak diperlukan petunjuk bermutu tinggi karena batin
manusia waktu itu masih sederhana
dan belum ada kegelapan atau kedurhakaan mengendap di hati mereka. Ajaran yang luhur
diperlukan dalam Kitab yang
diturunkan di masa penyelewengan
yang sangat, guna perbaikan manusia
yang terlanjur telah menganut akidah-akidah
palsu dan dimana perilaku kejahatan
telah menjadi kebiasaan sehari-hari.” (Chasma Ma’rifat, Qadian,
Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. XXIII, hlm. 70, London, 1984).
Makna
Sifat Rabubiyyat Allah Swt. & Hukum Evolusi
Pernyataan Masih Mau’ud a.s. mengenai terjadinya proses penyempurnaan syariat secara bertahap
tersebut selaras dengan sifat Rabubiyat Allah
Swt. yang dikemukakan dalam Surah
Al-Fatihah ayat 2 berkenaan penciptaan
tatanan seluruh alam: اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- Segala puji bagi Allah Rabb (Tuhan) seluruh alam.”
Kata
kerja rabba berarti: ia mengelola urusan itu; ia memperbanyak,
mengembangkan, memperbaiki, dan melengkapkan urusan itu; ia memelihara dan
menjaga. Jadi Rabb berarti: (a) Tuhan, Yang Dipertuan, Khāliq (Yang
menciptakan); (b) Wujud Yang memelihara dan mengembangkan; (c) Wujud Yang
menyempurnakan, dengan cara se-tingkat demi setingkat (Al-Mufradat dan Lexicon
Lane). Dan jika dipakai dalam rangkaian dengan kata lain, kata itu
dapat dipakai untuk orang atau wujud selain Allah Swt., contohnya penyebutan
terhadap raja Mesir yang diucapkan oleh Nabi Yusuf a.s. (QS.12:51).
Al-’ālamīn adalah jamak dari al-’alam, berasal
dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui.” Kata itu bukan saja telah
dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana itu orang dapat
mengetahui Al-Khāliq - Maha Pencipta (Aqrab), kata
tersebut dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan,
tetapi pula kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata
‘alamul-ins, artinya: alam manusia atau ‘alam-ul-hayawan yakni alam binatang.
Kata al-’ālamīn tidak
hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal — manusia dan malaikat — saja,
Al-Quran pun mengenakannya kepada semua
benda yang diciptakan (QS.26:24-29 dan QS.41:10). Akan tetapi tentu saja
kadang-kadang kata itu dipakai dalam arti yang terbatas (QS.2:123).
Di sini kata al-’ālamīn itu dipakai
dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah” yakni benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa
dan mencakup juga benda-benda langit
— matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.
Ungkapan “Segala puji bagi Allah” lebih luas dan lebih mendalam artinya
daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Allah Swt.
menurut pengetahuannya, sedangkan
anak kalimat “Segala puji bagi Allah” meliputi bukan saja puji-pujian
yang diketahui manusia bahkan
juga puji-pujian yang tidak diketahuinya. Allah Swt. layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran
manusia yang tidak sempurna.
Tambahan pula kata al-hamd adalah
masdar dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya, sebagai pokok
kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok, Al-hamdulillāhi
berarti hanyalah Allah Swt. Yang berhak memberikan pujian sejati; dan diartikan secara tujuan kalimat, Alhamdulillāhi
berarti bahwa segala pujian sejati
dan tiap-tiap macam pujian yang
sempurna hanya layak bagi Allah Swt. semata-mata.
Ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- Segala
puji bagi Allah Rabb (Tuhan) seluruh alam” menunjuk kepada hukum evolusi di dunia, artinya bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus — dan
terlaksana secara bertahap. Rabb
adalah Wujud Yang membuat
segala sesuatu tumbuh dan berkembang setingkat demi setingkat,
termasuk penciptaan manusia (QS.22:6;
QS.23:13-18).
Ayat itu menjelaskan pula bahwa prinsip
evolusi tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Allah Swt.. Tetapi
proses evolusi yang disebut di sini,
tidak sama dengan teori evolusi
seperti biasanya diartikan sebagaimana teori “evolusi” Charles Darwin bahwa manusia
berasal dari kera, sebab kera adalah golongan ‘alam-ul hayawan (golongan hewan) sedangkan manusia
adalah dari ‘alam-ul-insan.
Selanjutnya ayat اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ -- Segala puji bagi Allah
Rabb (Tuhan) seluruh alam” menunjuk kepada kenyataan
bahwa manusia dijadikan untuk kemajuan tidak terbatas (QS.51:57), sebab ungkapan Rabb-ul-’ālamīn
itu mengandung arti bahwa Allah Swt. mengembangkan
segala sesuatu dari tingkatan rendah
kepada yang lebih tinggi, dan hal itu
hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan
itu diikuti oleh tingkatan lain dalam
proses yang tidak ada henti-hentinya.
Weda Bukan Kitab yang Diwahyukan di Awal Penciptaan Manusia
Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. membantah pendapat
bahwa Weda merupakan Kitab yang diwahyukan
di awal penciptaan manusia:
“Memang benar bahwa manusia
dikaruniai dengan sebuah Kitab yang diwahyukan pada awal penciptaan, namun Kitab itu bukanlah Weda. Mengatakan bahwa Kitab
Weda sekarang ini sebagai wahyu dari Allah Yang Maha Kuasa, sama saja dengan menghina Wujud-Nya Yang Maha Suci.
Kalau ada yang bertanya: Mengapa
hanya satu Kitab saja yang diturunkan bagi manusia di masa awal itu, dan
mengapa tiap bangsa tidak diberikan
masing-masing satu Kitab tersendiri,
maka jawabannya adalah karena pada awalnya jumlah
manusia masih sangat sedikit
sehingga bahkan belum bisa dikatakan satu
bangsa, sehingga satu Kitab saja
sudah cukup bagi mereka.
Ketika umat manusia kemudian berkembang
dan menyebar ke seluruh dunia dimana penghuni dari suatu daerah
menjadi sebuah bangsa tersendiri,
lalu karena faktor jarak tidak
memungkinkan lagi satu bangsa tetap
berhubungan dengan bangsa lain, maka
kebijakan Ilahi menetapkan bahwa
saat itu seharusnya sudah ada Rasul
dan Kitab yang tersendiri bagi masing-masing bangsa.
Setelah manusia berkembang
lebih lanjut dan kemudian tercipta komunikasi
beserta sarananya di antara bangsa-bangsa maka Allah Yang Maha Agung menetapkan bahwa sewajarnya mereka sekarang menjadi satu bangsa dimana mereka bersama-sama
memperoleh satu Kitab saja sebagai pedoman hidup.
Dalam Kitab tersebut
terkandung perintah bahwa begitu Kitab itu sampai di berbagai belahan
bumi maka manusia setempat wajib menerima dan mengimaninya. Kitab tersebut bernama Al-Quran yang diwahyukan guna mencipta
perhubungan di antara berbagai daerah
dan bangsa. Kitab-kitab yang diwahyukan sebelum Al-Quran, masing-masing terbatas hanya bagi satu
bangsa saja.
Kitab Samawi dan para Rasul telah muncul di antara bangsa Syria, Persia, India, Cina, Mesir dan Roma, dimana ajaran
yang dibawanya hanya khusus bagi bangsa dimana mereka diturunkan. Yang terakhir dari semua Kitab itu adalah Al-Quran yang menjadi Kitab
yang bersifat universal dan tidak terbatas bagi satu bangsa saja melainkan bagi seluruh penduduk bumi.
Kitab itu diturunkan dengan tujuan antara lain menyatukan seluruh bangsa
menjadi satu kesatuan.
Sekarang ini sudah ada cara-cara dan
sarana guna mempersatukan bangsa-bangsa tersebut. Hubungan
antar bangsa yang menjadi dasar
untuk mengkonversi (mengubah) umat manusia menjadi satu kesatuan telah menjadi demikian
mudah, dimana tadinya perjalanan
membutuhkan waktu bertahun-tahun,
sekarang ini bisa dicapai dalam hitung harian.
Begitu juga komunikasi yang tadinya
bisa mengambil waktu setahun untuk
mengkontak satu negeri dengan negeri lain, sekarang ini cukup dalam satu jam saja.
Demikian dahsyatnya revolusi kemajuan yang diikuti derasnya perubahan dalam arus sungai kebudayaan, sehingga
menjadi jelas bahwa memang menjadi maksud
Tuhan agar segala bangsa yang
tersebar di muka bumi ini menjadi satu
kesatuan. Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran
dimana memang hanya Kitab ini saja
yang menyatakan bahwa ajarannya itu untuk seluruh bangsa di dunia, sebagaimana
dikemukakan dalam ayat:
قُلۡ یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اِنِّیۡ رَسُوۡلُ اللّٰہِ
اِلَیۡکُمۡ جَمِیۡعَۨا
Katakanlah: “Hai manusia,
sesungguhnya aku Rasul kepada kamu sekalian” (Al-A’rāf
[7]:159).
Di tempat lain dinyatakan:
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ
Dan Kami sekali-kali tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh umat (Al-Anbiya [21]:108).
Begitu pula dengan ungkapan dari
ayat:
تَبٰرَکَ الَّذِیۡ نَزَّلَ
الۡفُرۡقَانَ عَلٰی عَبۡدِہٖ لِیَکُوۡنَ
لِلۡعٰلَمِیۡنَ نَذِیۡرَا ۙ
“Maha beberkat Dia
Yang telah menurunkan Al-Furqan kepada
hamba-Nya supaya ia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam” (Al-Furqān [2]:2).
Tidak ada Kitab Samawi
lainnya sebelum Al-Quran yang
mengajukan klaim seperti itu.
Masing-masing Kitab tersebut membatasi dirinya hanya bagi bangsanya sendiri. Bahkan nabi yang dipertuhan umat Kristen juga menyatakan bahwa beliau diutus hanya
bagi domba-domba Israil yang hilang.[1]
Kondisi dunia pada saat
kedatangan Hadhrat Rasulullah Saw.
juga telah membenarkan klaim Al-Quran
sebagai pesan Ilahi yang bersifat universal dimana pintu penyebaran kebenaran telah
dibukakan.” (Chasma Ma’rifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. XXIII, hlm. 74-77, London, 1984).
Empat Macam Pemeliharaan
Al-Quran
Selanjutnya Masih Mau’ud a.s.
bersabda mengenai cara-cara Allah
Swt. melakukan pemeliharaan
Al-Quran:
“Ada sebuah janji di dalam Al-Quran bahwa Allah Swt. akan memelihara
Islam saat menghadapi bahaya dan percobaan seperti diungkapkan dalam ayat:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا
الذِّکۡرَ وَ اِنَّا
لَہٗ لَحٰفِظُوۡنَ
“Sesungguhnya Kami-lah
yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya” (Al-Hijr [15]:10).
Sesuai dengan janji tersebut
maka Allah Yang Maha Perkasa akan menjaga firman-Nya dengan empat cara.
Pertama, melalui daya ingat mereka yang telah menghafal keseluruhan Al-Quran sehingga
keutuhan teks dan urutannya tetap terjaga. Pada setiap zaman terdapat ratusan ribu orang yang menghafalkan
Al-Quran di luar kepala dimana jika ada yang menanyakan satu kata saja,
mereka ini dapat mentilawatkan
kalimatnya. Melalui cara ini Al-Quran dipelihara terhadap penyimpangan verbal sepanjang masa.
Kedua, melalui ulama-ulama akbar di setiap zaman yang
memperoleh pemahaman Al-Quran,
dimana mereka ini menafsirkan Al-Quran
dengan bantuan hadits, sehingga
dengan cara tersebut firman Tuhan terpelihara dari penyimpangan penafsiran dan arti.
Ketiga, melalui para cendekiawan yang mengungkapkan ajaran Al-Quran berdasarkan logika dan dengan
demikian memeliharanya terhadap serangan dari para filosof yang berpandangan
cupat.
Keempat, melalui mereka yang mendapat karunia keruhanian
dimana mereka di setiap zaman menjaga
firman Suci Tuhan terhadap serangan-serangan
dari mereka yang menyangkal mukjizat
dan wawasan keruhanian.” (Ayyamus Sulh, Qadian, Ziaul
Islam Press, 1899; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XIV, hlm. 288, London,
1984).
Cara penjagaan Al-Quran yang keempat
-- yakni melalui para wali Allah
atau para mujaddid yang bangkitkan
di setiap awal abad setelah masa
para Khulafa-ur- Rasyidin -- sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ
بِمَوٰقِعِ النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ
اِنَّہٗ لَقَسَمٌ لَّوۡ
تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ
لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ
مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ
رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Tidak demikian, Aku benar-benar bersumpah demi
bintang-bintang berjatuhan. Dan sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung,
seandainya kamu mengetahui, sesungguhnya
itu
benar-benar Al-Quran yang mulia,
dalam suatu kitab yang sangat terpelihara, yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Wahyu yang diturunkan dari Rabb (Tuhan) seluruh alam. (Al-Wāqi’ah [56]: [76-81).
Pemeliharaan Al-Quran
Melalui Mujaddid ‘Azham (Agung) atau Rasul
Akhir Zaman
Di Akhir
Zaman ini pemeliharaan Al-Quran cara
keempat tersebut melalui seorang Mujaddid ‘azham (agung) yang juga sebagai Rasul
Akhir Zaman, yakni Masih Mau’ud a.s.,
firman-Nya:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ
یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ
اَنۡ قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ
بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ
عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia
gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di
hadapannya dan di belakangnya,
supaya Dia mengetahui bahwa sungguh
mereka telah menyam-paikan
Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin
[72]:27-29). Lihat pula QS.3:180.
Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah
mengenai rahasia gaib bertalian
dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting. Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang mukmin bertakwai
lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Tuhan dianugerahi izhhar
‘ala al-ghaib, yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang
suci lainnya tidak menikmati kehormatan
serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan
atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya
tidak begitu terpelihara.
Meluruskan Kekeliruan Mengenai Tertutupnya Wahyu Ilahi
Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai kekeliruan pendapat umumnya umat Islam tentang terhentinya
kesinambungan wahyu Ilahi setelah
pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.:
“Jangan sampai umat Muslim
berpandangan bahwa turunnya wahyu
dimulai dengan kedatangan Nabi Adam a.s. dan telah berakhir dengan selesainya penugasan Hadhrat Rasulullah Saw., sehingga setelah
beliau lalu dianggap wahyu Ilahi
tidak ada lagi.
Janganlah kita mempunyai keyakinan
seperti bangsa Hindu yang
berpendapat bahwa firman Tuhan hanya
terbatas kepada apa yang sudah
disampaikan-Nya saja. Sejalan dengan akidah
Islam, yang namanya firman, pengetahuan dan kebijakan-Nya -- sebagaimana juga Wujud-Nya -- adalah bersifat tidak terbatas. Allah Yang Maha Agung berfirman:
قُلۡ لَّوۡ کَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّکَلِمٰتِ رَبِّیۡ لَنَفِدَ الۡبَحۡرُ
قَبۡلَ اَنۡ تَنۡفَدَ کَلِمٰتُ رَبِّیۡ وَ
لَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِہٖ مَدَدًا
Katakanlah:
“Sekiranya setiap lautan menjadi tinta
untuk menuliskan kalimat-kalimat Rabb-ku
(Tuhan-ku), niscayalah lautan itu
akan habis sebelum kalimat-kalimat Rabb-ku (Tuhan-ku), habis, sekalipun Kami datangkan sebanyak itu lagi
sebagai bantuan tambahan”
(Al-Kahf 18]:110).
Kami memahami telah berhentinya
wahyu Ilahi turun ke bumi dalam pengertian bahwa karena yang telah diturunkan berupa Al-Quran sudah sangat lengkap guna memperbaiki kondisi umat manusia,
maka tidak akan ada lagi kaidah
(hukum) baru.
Pada saat diturunkannya Al-Quran
tersebut segala hal yang berkaitan
dengan akhlak, akidah dan perilaku manusia
sudah rusak sama sekali dimana
segala bentuk penyimpangan dan kejahatan telah mencapai puncaknya, karena itulah ajaran yang dibawa Al-Quran bersifat sangat komprehensif
(lengkap).
Dalam pengertian inilah
dikatakan bahwa kaidah (hukum) yang
dikemukakan Al-Quran bersifat sempurna
dan terakhir atau final, sedangkan kaidah (hukum) yang dibawa oleh Kitab-kitab suci terdahulu itu tidak
lengkap karena tingkat kejahatan
manusia di masanya belum mencapai klimaks
sebagaimana saat diturunkannya Al-Quran.
Perbedaan di antara Al-Quran dengan Kitab-kitab yang diwahyukan lainnya adalah meskipun Kitab-kitab itu dipelihara dengan segala
cara, tetapi karena ajaran yang
dibawanya tidak sempurna maka masih diperlukan diwahyukannya Al-Quran sebagai
ajaran yang paling sempurna. Hanya
saja tidak akan ada lagi Kitab lain yang akan diwahyukan
setelah Al-Quran karena tidak ada sesuatu yang bisa melampaui apa yang namanya kesempurnaan.
Bilamana diandaikan bahwa prinsip-prinsip hakiki dari Al-Quran bisa disesatkan seperti halnya Veda
dan Injil -- dimana manusia
menciptakan sekutu bagi Tuhan-nya serta ajaran Ketauhidan Ilahi diselewengkan
dan disesatkan -- sehingga berjuta-juta umat Muslim lalu mengikuti syirik dan menjadi penyembah makhluk, maka dalam keadaan seperti itu bisa jadi perlu diwahyukan syariat baru dan diutus seorang rasul baru. Namun perandaian seperti ini jelas tidak masuk akal.
Penyesatan ajaran Al-Quran tidak mungkin terjadi
karena Allah yang Maha Agung telah
berfirman:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ وَ
اِنَّا لَہٗ لَحٰفِظُوۡنَ
Sesungguhnya Kami-lah
yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya’ (Al-Hijr [15]:10).
Kebenaran nubuatan
ini telah dibuktikan sepanjang sejarah
selama 1300 tahun terakhir. Sejauh ini tidak ada ajaran pagan atau penyembahan
berhala bisa berhasil menyusup
ke dalam Al-Quran sebagaimana yang
terjadi pada Kitab-kitab suci
lainnya. Fikiran waras pun tidak bisa membayangkan bahwa hal
seperti itu dapat terjadi.
Berjuta-juta umat Muslim
telah menghafalkan Al-Quran di luar
kepala dan terdapat ribuan buku
tafsir yang akan menjaga arti
dan pengertiannya. Ayat-ayatnya ditilawatkan dalam shalat lima kali sehari
dan Kitab ini dibaca orang setiap hari. Kitab
ini dicetak di semua negeri-negeri
di dunia dalam jumlah jutaan buku
dimana ajarannya karena diketahui oleh setiap orang sehingga
kita pun menyadari secara pasti bahwa adanya perubahan atau penyimpangan
dalam ayat-ayat Al-Quran merupakan
suatu hal yang sama sekali tidak mungkin
terjadi.” (Brahin-i- Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. I, hlm.
100-102, London, 1984).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar,10 Maret 2016
[1]
Jawab Yesus: “Aku
diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Injil Matius 15:24)
Potongan Dipan Rotan
BalasHapusPotongan Dipan Rotan
Potongan Dipan Rotan
Potongan Dipan Rotan
Potongan Dipan Rotan Alami
Potongan Dipan Rotan Alami
Potongan Dipan Rotan Alami
Potongan Dipan Rotan Alami
Potongan Dipan Rotan Natural
Potongan Dipan Rotan Natural
Potongan Dipan Rotan Natural
Potongan Dipan Rotan Natural
Potongan Dipan Rotan Sintetik
Potongan Dipan Rotan Sintetik
Potongan Dipan Rotan Sintetik
Potongan Dipan Rotan Sintetik
Potongan Dipan Rotan Sintetis
Potongan Dipan Rotan Sintetis
Potongan Dipan Rotan Sintetis
Potongan Dipan Rotan Sintetis
Potongan Furniture Anyaman Rattan Synthetic
Potongan Furniture Anyaman Rattan Synthetic
Potongan Furniture Anyaman Rattan Synthetic
Potongan Furniture Anyaman Rattan Synthetic
Potongan Furniture Anyaman Rotan
Potongan Furniture Anyaman Rotan
Potongan Furniture Anyaman Rotan
Potongan Furniture Anyaman Rotan
Potongan Furniture Anyaman Rotan Alami
Potongan Furniture Anyaman Rotan Alami
Potongan Furniture Anyaman Rotan Alami
Potongan Furniture Anyaman Rotan Alami