Senin, 14 Maret 2016

Empat Cara Allah Swt. Memelihara Kelestarian Kesempurnaan Al-Quran & Meluruskan Kekeliruan Faham Tertutupnya Pintu Semua Jenis "Kenabian dan Wahyu Ilahi"



Bismillaahirrahmaanirrahiim

KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


 Empat Cara Allah Swt.  Memelihara   Kelestarian Kesempurnaan Al-Quran &  Meluruskan Kekeliruan Tertutupnya Pintu Semua Jenis Kenabian dan Wahyu Ilahi

Bab 53


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah kemukakan  alasan     Masih Mau’ud a.s.  mengapa syariat yang paling sempurna tidak diturunkan di masa  awal penciptaan manusia:
      “Kitab yang diwahyukan pada awal penciptaan,  secara logika tidak mungkin merupakan Kitab yang sempurna. Kitab yang ada tentunya seperti buku pelajaran abjad atau alfabet bagi anak-anak yang baru mengenal huruf. Pasti untuk pelajaran yang bersifat sangat mendasar demikian tidak diperlukan kemampuan yang luar biasa.
    Ketika pengalaman umat manusia berkembang dan banyak dari antara mereka yang kemudian menyimpang, diperlukan petunjuk yang lebih terinci. Apalagi ketika kegelapan ruhani sudah demikian meluas dan kalbu manusia menjadi terjerat dalam berbagai bentuk penyelewengan intelektual dan pengamalan. Pada saat seperti itu diperlukan ajaran yang lebih tinggi dan sempurna sebagaimana yang dibawa Al-Quran.
   Di masa awal sejarah manusia tidak diperlukan petunjuk bermutu tinggi karena batin manusia waktu itu masih sederhana dan belum ada kegelapan atau kedurhakaan mengendap di hati mereka. Ajaran yang luhur diperlukan dalam Kitab yang diturunkan di masa penyelewengan yang sangat, guna perbaikan manusia yang terlanjur telah menganut akidah-akidah palsu dan dimana perilaku kejahatan telah menjadi kebiasaan sehari-hari.” (Chasma Ma’rifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XXIII, hlm. 70, London, 1984).

Makna Sifat Rabubiyyat Allah Swt. & Hukum Evolusi

      Pernyataan Masih Mau’ud a.s. mengenai terjadinya proses penyempurnaan syariat secara  bertahap tersebut selaras dengan sifat Rabubiyat Allah Swt. yang dikemukakan dalam Surah Al-Fatihah ayat 2 berkenaan penciptaan tatanan seluruh alam: اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ  -- Segala puji bagi Allah Rabb (Tuhan) seluruh alam.”   
  Kata kerja rabba berarti: ia mengelola urusan itu; ia memperbanyak, mengembangkan, memperbaiki, dan melengkapkan urusan itu; ia memelihara dan menjaga. Jadi Rabb berarti: (a) Tuhan, Yang Dipertuan, Khāliq (Yang menciptakan); (b) Wujud Yang memelihara dan mengembangkan; (c) Wujud Yang menyempurnakan, dengan cara se-tingkat demi setingkat (Al-Mufradat dan Lexicon Lane). Dan jika dipakai dalam rangkaian dengan kata lain, kata itu dapat dipakai untuk orang atau wujud selain Allah Swt., contohnya penyebutan terhadap raja  Mesir yang diucapkan oleh Nabi Yusuf a.s. (QS.12:51).
      Al-’ālamīn  adalah jamak dari al-’alam, berasal dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui.” Kata itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana itu orang dapat mengetahui Al-Khāliq  -  Maha Pencipta (Aqrab), kata tersebut dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi pula kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins, artinya: alam manusia atau ‘alam-ul-hayawan   yakni alam binatang.
     Kata al-’ālamīn tidak hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal — manusia dan malaikat — saja, Al-Quran  pun mengenakannya kepada semua benda yang diciptakan (QS.26:24-29 dan QS.41:10). Akan tetapi tentu saja kadang-kadang kata itu dipakai dalam arti yang terbatas (QS.2:123).
      Di sini kata al-’ālamīn itu dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah” yakni  benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa dan mencakup juga benda-benda langit — matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.
     Ungkapan “Segala puji bagi Allah”  lebih luas dan lebih mendalam artinya daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Allah Swt.  menurut pengetahuannya,  sedangkan  anak kalimat “Segala puji bagi Allahmeliputi bukan saja puji-pujian yang diketahui manusia bahkan juga puji-pujian  yang tidak diketahuinya. Allah  Swt.  layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran manusia yang tidak sempurna.
     Tambahan pula  kata al-hamd  adalah  masdar dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya, sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok, Al-hamdulillāhi berarti hanyalah Allah Swt.  Yang  berhak memberikan pujian sejati; dan diartikan secara tujuan kalimat, Alhamdulillāhi berarti bahwa segala pujian sejati dan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi Allah Swt.  semata-mata.
     Ayat  اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ  -- Segala puji bagi Allah Rabb (Tuhan) seluruh alam  menunjuk kepada hukum evolusi di dunia, artinya bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus — dan terlaksana secara bertahap. Rabb  adalah Wujud Yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang setingkat demi setingkat, termasuk penciptaan manusia (QS.22:6; QS.23:13-18).
    Ayat itu menjelaskan pula bahwa prinsip evolusi  tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Allah Swt..  Tetapi proses evolusi yang disebut di sini, tidak sama dengan teori evolusi seperti biasanya diartikan sebagaimana teori “evolusi”   Charles Darwin  bahwa manusia berasal dari kera, sebab kera adalah golongan ‘alam-ul hayawan (golongan hewan)  sedangkan manusia adalah dari ‘alam-ul-insan.    
     Selanjutnya  ayat  اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ  -- Segala puji bagi Allah Rabb (Tuhan) seluruh alam  menunjuk kepada kenyataan bahwa manusia dijadikan untuk kemajuan tidak terbatas (QS.51:57), sebab ungkapan Rabb-ul-’ālamīn itu mengandung arti bahwa Allah Swt.   mengembangkan segala sesuatu dari tingkatan rendah kepada yang lebih tinggi, dan hal itu hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan itu diikuti oleh tingkatan lain dalam proses yang tidak ada henti-hentinya.

Weda Bukan Kitab yang Diwahyukan di Awal Penciptaan Manusia

      Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. membantah pendapat bahwa  Weda merupakan Kitab yang diwahyukan di awal penciptaan   manusia:
    “Memang benar bahwa manusia dikaruniai dengan sebuah Kitab yang diwahyukan pada awal penciptaan, namun Kitab itu bukanlah  Weda. Mengatakan bahwa Kitab Weda sekarang ini sebagai wahyu dari Allah Yang Maha Kuasa, sama saja dengan menghina Wujud-Nya Yang Maha Suci.
      Kalau ada yang bertanya: Mengapa hanya satu Kitab saja yang diturunkan bagi manusia di masa awal itu,  dan mengapa tiap bangsa tidak diberikan masing-masing satu Kitab tersendiri, maka jawabannya adalah karena pada awalnya jumlah manusia masih sangat sedikit sehingga bahkan belum bisa dikatakan satu bangsa, sehingga satu Kitab saja sudah cukup bagi mereka.
        Ketika umat manusia kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh dunia dimana penghuni dari suatu daerah menjadi sebuah bangsa tersendiri, lalu karena faktor jarak tidak memungkinkan lagi satu bangsa tetap berhubungan dengan bangsa lain, maka kebijakan Ilahi menetapkan bahwa saat itu seharusnya sudah ada Rasul dan Kitab yang tersendiri bagi masing-masing bangsa.
       Setelah manusia berkembang lebih lanjut dan kemudian tercipta komunikasi beserta sarananya di antara bangsa-bangsa maka Allah Yang Maha Agung menetapkan bahwa sewajarnya mereka sekarang menjadi satu bangsa dimana mereka bersama-sama memperoleh satu Kitab saja sebagai pedoman hidup.
      Dalam Kitab tersebut terkandung perintah bahwa begitu Kitab itu sampai di berbagai belahan bumi maka  manusia setempat wajib menerima dan mengimaninya. Kitab tersebut bernama Al-Quran yang diwahyukan guna mencipta perhubungan di antara berbagai daerah dan bangsa. Kitab-kitab yang diwahyukan sebelum Al-Quran, masing-masing terbatas hanya bagi satu bangsa saja.
       Kitab Samawi dan para Rasul telah muncul di antara bangsa Syria, Persia, India, Cina, Mesir dan Roma,  dimana ajaran yang dibawanya hanya khusus bagi bangsa dimana mereka diturunkan. Yang terakhir dari semua Kitab itu adalah Al-Quran yang menjadi Kitab yang bersifat universal dan tidak terbatas bagi satu bangsa saja melainkan bagi seluruh penduduk bumi.
       Kitab itu diturunkan dengan tujuan antara lain menyatukan seluruh bangsa  menjadi satu kesatuan. Sekarang ini sudah ada cara-cara dan sarana guna mempersatukan bangsa-bangsa tersebut.  Hubungan antar bangsa yang menjadi dasar untuk mengkonversi (mengubah) umat manusia menjadi satu kesatuan telah menjadi demikian mudah, dimana tadinya perjalanan membutuhkan waktu bertahun-tahun, sekarang ini bisa dicapai dalam hitung harian. Begitu juga komunikasi yang tadinya bisa mengambil waktu setahun untuk mengkontak satu negeri dengan negeri lain, sekarang ini cukup dalam satu jam saja.
    Demikian dahsyatnya revolusi kemajuan yang diikuti derasnya perubahan dalam arus sungai kebudayaan, sehingga menjadi jelas bahwa memang menjadi maksud Tuhan agar segala bangsa yang tersebar di muka bumi ini menjadi satu kesatuan. Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran dimana memang hanya Kitab ini saja yang menyatakan bahwa ajarannya itu untuk seluruh bangsa di dunia, sebagaimana dikemukakan dalam ayat:
قُلۡ یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اِنِّیۡ رَسُوۡلُ اللّٰہِ اِلَیۡکُمۡ جَمِیۡعَۨا
Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku Rasul kepada kamu sekalian  (Al-A’rāf [7]:159).
Di tempat lain dinyatakan:
وَ مَاۤ  اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً  لِّلۡعٰلَمِیۡنَ
 Dan  Kami sekali-kali tidak  mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat (Al-Anbiya [21]:108).

Begitu pula dengan ungkapan dari ayat:
تَبٰرَکَ الَّذِیۡ نَزَّلَ الۡفُرۡقَانَ عَلٰی عَبۡدِہٖ لِیَکُوۡنَ  لِلۡعٰلَمِیۡنَ  نَذِیۡرَا ۙ
“Maha beberkat Dia Yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya supaya ia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam (Al-Furqān [2]:2).
      Tidak ada Kitab Samawi lainnya sebelum Al-Quran yang mengajukan klaim seperti itu. Masing-masing Kitab tersebut membatasi dirinya hanya bagi bangsanya sendiri. Bahkan nabi yang dipertuhan umat Kristen juga menyatakan bahwa beliau diutus hanya bagi domba-domba Israil yang hilang.[1]
    Kondisi dunia pada saat kedatangan Hadhrat Rasulullah Saw. juga telah membenarkan klaim Al-Quran sebagai pesan Ilahi yang bersifat universal dimana pintu penyebaran kebenaran telah dibukakan.” (Chasma Ma’rifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XXIII, hlm. 74-77, London, 1984).

Empat Macam Pemeliharaan Al-Quran
  
   Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai  cara-cara Allah Swt.  melakukan pemeliharaan Al-Quran:
      “Ada sebuah janji di dalam Al-Quran bahwa Allah Swt.  akan memelihara Islam saat menghadapi bahaya dan percobaan seperti diungkapkan dalam ayat:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya (Al-Hijr [15]:10).
      Sesuai dengan janji tersebut maka Allah Yang Maha Perkasa akan menjaga firman-Nya dengan empat cara.
      Pertama, melalui daya ingat mereka yang telah menghafal keseluruhan Al-Quran sehingga keutuhan teks dan urutannya tetap terjaga. Pada setiap zaman terdapat ratusan ribu orang yang menghafalkan Al-Quran di luar kepala dimana jika ada yang menanyakan satu kata saja, mereka ini dapat mentilawatkan kalimatnya. Melalui cara ini Al-Quran dipelihara terhadap penyimpangan verbal sepanjang masa.
   Kedua, melalui ulama-ulama akbar di setiap zaman yang memperoleh pemahaman Al-Quran, dimana mereka ini menafsirkan Al-Quran dengan bantuan hadits, sehingga dengan cara tersebut firman Tuhan terpelihara dari penyimpangan penafsiran dan arti.   
    Ketiga, melalui para cendekiawan yang mengungkapkan ajaran Al-Quran berdasarkan logika dan dengan demikian memeliharanya terhadap serangan dari para filosof yang berpandangan cupat.
     Keempat, melalui mereka yang mendapat karunia keruhanian dimana mereka di setiap zaman menjaga firman Suci Tuhan terhadap serangan-serangan dari mereka yang menyangkal mukjizat dan wawasan keruhanian.” (Ayyamus Sulh, Qadian, Ziaul Islam Press, 1899; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. XIV, hlm.  288, London, 1984).
     Cara penjagaan Al-Quran yang keempat  -- yakni melalui para wali Allah atau para mujaddid yang  bangkitkan di setiap awal abad  setelah masa  para Khulafa-ur- Rasyidin  -- sesuai dengan  firman Allah Swt. berikut ini:
فَلَاۤ   اُقۡسِمُ  بِمَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ  اِنَّہٗ  لَقَسَمٌ  لَّوۡ  تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾  تَنۡزِیۡلٌ  مِّنۡ  رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Tidak demikian Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan.  Dan sesungguhnya itu benar-benar  kesaksian agung, seandainya kamu mengetahui, sesungguhnya itu  benar-benar  Al-Quran yang mulia, dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan. Wahyu yang diturunkan dari Rabb (Tuhan) seluruh alam. (Al-Wāqi’ah [56]: [76-81).

Pemeliharaan Al-Quran Melalui Mujaddid ‘Azham (Agung)   atau  Rasul Akhir Zaman

    Di Akhir Zaman ini  pemeliharaan Al-Quran cara keempat tersebut melalui seorang  Mujaddid ‘azham (agung) yang juga   sebagai Rasul Akhir Zaman, yakni Masih Mau’ud a.s., firman-Nya:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾  لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun,  kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyam-paikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29). Lihat pula QS.3:180.
  Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.  Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang mukmin  bertakwai lainnya.
Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Tuhan dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib,  yakni penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang suci lainnya tidak menikmati kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi  yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa  lainnya tidak begitu terpelihara.

Meluruskan Kekeliruan Mengenai Tertutupnya   Wahyu Ilahi

    Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai kekeliruan pendapat umumnya umat Islam tentang  terhentinya kesinambungan wahyu Ilahi setelah pengutusan Nabi Besar Muhammad saw.:
     “Jangan sampai umat Muslim berpandangan bahwa turunnya wahyu dimulai dengan kedatangan Nabi Adam a.s. dan telah berakhir dengan selesainya penugasan Hadhrat Rasulullah Saw., sehingga setelah beliau lalu dianggap wahyu Ilahi tidak ada lagi.
      Janganlah kita mempunyai keyakinan seperti bangsa Hindu yang berpendapat bahwa firman Tuhan hanya terbatas kepada apa yang sudah disampaikan-Nya saja. Sejalan dengan akidah Islam, yang namanya firman, pengetahuan dan kebijakan-Nya -- sebagaimana juga Wujud-Nya --  adalah bersifat tidak terbatas. Allah Yang Maha Agung berfirman:
قُلۡ لَّوۡ کَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّکَلِمٰتِ رَبِّیۡ لَنَفِدَ الۡبَحۡرُ  قَبۡلَ اَنۡ تَنۡفَدَ کَلِمٰتُ رَبِّیۡ وَ لَوۡ  جِئۡنَا بِمِثۡلِہٖ  مَدَدًا
 Katakanlah: “Sekiranya setiap lautan menjadi tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Rabb-ku (Tuhan-ku), niscayalah lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat  Rabb-ku (Tuhan-ku),  habis, sekalipun Kami datangkan sebanyak itu lagi sebagai bantuan tambahan  (Al-Kahf 18]:110).
   Kami memahami telah berhentinya wahyu Ilahi turun ke bumi   dalam pengertian bahwa karena yang telah diturunkan berupa Al-Quran sudah sangat lengkap guna memperbaiki kondisi umat manusia,  maka tidak akan ada lagi kaidah (hukum) baru.
     Pada saat diturunkannya Al-Quran tersebut  segala hal yang berkaitan dengan akhlak, akidah dan perilaku manusia sudah rusak sama sekali dimana segala bentuk penyimpangan dan kejahatan telah mencapai puncaknya, karena itulah ajaran yang dibawa Al-Quran bersifat sangat komprehensif (lengkap).
    Dalam pengertian inilah dikatakan bahwa kaidah (hukum) yang dikemukakan Al-Quran bersifat sempurna dan terakhir atau final, sedangkan kaidah (hukum) yang dibawa oleh Kitab-kitab suci terdahulu itu tidak lengkap karena tingkat kejahatan manusia di masanya belum mencapai klimaks sebagaimana saat diturunkannya Al-Quran.
       Perbedaan di antara Al-Quran dengan Kitab-kitab yang diwahyukan lainnya adalah meskipun Kitab-kitab itu dipelihara dengan segala cara, tetapi karena ajaran yang dibawanya tidak sempurna maka masih diperlukan diwahyukannya Al-Quran sebagai ajaran yang paling sempurna. Hanya saja tidak akan ada lagi Kitab lain yang akan diwahyukan setelah Al-Quran karena tidak ada sesuatu yang bisa melampaui apa yang namanya kesempurnaan.
  Bilamana diandaikan bahwa prinsip-prinsip hakiki dari Al-Quran bisa disesatkan seperti halnya Veda dan Injil -- dimana manusia menciptakan sekutu bagi Tuhan-nya serta ajaran Ketauhidan Ilahi diselewengkan dan disesatkan  -- sehingga berjuta-juta umat Muslim lalu mengikuti syirik dan menjadi penyembah makhluk, maka dalam keadaan seperti itu bisa jadi perlu diwahyukan syariat baru dan diutus seorang rasul baru. Namun perandaian seperti ini jelas tidak masuk akal.
     Penyesatan ajaran Al-Quran tidak mungkin terjadi karena Allah yang Maha Agung telah berfirman:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ
Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya (Al-Hijr [15]:10).
     Kebenaran   nubuatan ini telah dibuktikan sepanjang sejarah selama 1300 tahun terakhir. Sejauh ini tidak ada ajaran pagan atau penyembahan berhala bisa berhasil menyusup ke dalam Al-Quran sebagaimana yang terjadi pada Kitab-kitab suci lainnya. Fikiran waras pun tidak bisa membayangkan bahwa hal seperti itu dapat terjadi.
      Berjuta-juta umat Muslim telah menghafalkan Al-Quran di luar kepala dan terdapat ribuan buku tafsir yang akan menjaga arti dan pengertiannya. Ayat-ayatnya ditilawatkan dalam shalat lima kali sehari dan Kitab ini dibaca orang setiap hari. Kitab ini dicetak di semua negeri-negeri di dunia dalam jumlah jutaan buku dimana ajarannya karena diketahui oleh setiap orang sehingga kita pun menyadari secara pasti bahwa adanya perubahan atau penyimpangan dalam ayat-ayat Al-Quran merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mungkin terjadi.” (Brahin-i- Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. I, hlm. 100-102, London, 1984).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran Anyar,10 Maret  2016







[1] Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Injil   Matius 15:24)

1 komentar: