Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran
adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Orang-orang yang “Terhijab” (Terhalang) Menyaksikan
“Penampakan Wajah” Allah Swt. di
Dunia dan di Akhirat & Orang-orang
yang Berwenang Menafsirkan Al-Quran
Bab 49
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam Bab
sebelumnya telah kemukakan mengenai
pentingnya keberadaan dan kesinambungan wahyu Ilahi non-syariat bagi pembukaan rahasia-rahasia khazanah-khzanah ruhani Al-Quran yang baru, sebab jika manusia -- bahkan umat Islam -- jika hanya
mengandalkan kecerdasan otak (akal/intelektual) saja
tidak akan mampu “menyentuh”
kandungan khazanah-khazanah ruhani Al-Quran yang mendalam, sebab kecerdasan otak (akal/intektual)
manusia pun memerlukan “jodoh” (pasangan) yaitu wahyu
Ilahi, firman-Nya:
سُبۡحٰنَ
الَّذِیۡ خَلَقَ الۡاَزۡوَاجَ کُلَّہَا مِمَّا تُنۡۢبِتُ الۡاَرۡضُ وَ مِنۡ
اَنۡفُسِہِمۡ وَ مِمَّا لَا یَعۡلَمُوۡنَ
﴿﴾
Maha Suci Dzat Yang menciptakan
segala sesuatu berpasang-pasangan baik
dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka sendiri, mau pun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yā Sīn [36]:37).
Wahyu Ilahi Merupakan “Jodoh” (Pasangan) Bagi
Akal Manusia
Ilmu pengetahuan telah menemukan kenyataan
bahwa pasangan-pasangan terdapat
dalam segala sesuatu — dalam alam nabati (tumbuh-tumbuhan) dan malahan
dalam zat anorganik. Bahkan yang
disebut unsur-unsur pun tidak terwujud dengan sendirinya. Unsur-unsur itu pun bergantung pada zat-zat lain untuk dapat mengambil wujud.
Kebenaran ilmiah ini berlaku juga untuk kecerdasan
manusia. Sebelum nur-nur Samawi berupa wahyu
Ilahi turun maka manusia tidak dapat memperoleh ilmu sejati yang lahir dari perpaduan
wahyu Ilahi dan kecerdasan otak
manusia. Kenyataan tersebut sesuai dengan firman Allah Swt. sebelum ini
mengenai “terbukanya khazanah baru”
dari benda-benda di alam
semesta ini yang diperlukan manusia bagi kesinambungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, firman-Nya:
وَ اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ اِلَّا عِنۡدَنَا خَزَآئِنُہٗ ۫ وَ مَا نُنَزِّلُہٗۤ
اِلَّا بِقَدَرٍ مَّعۡلُوۡمٍ ﴿﴾
Dan tidak
ada suatu pun benda melainkan pada
Kami ada khazanah-khazanahnya yang tidak terbatas, dan Kami
sama sekali tidak menurunkannya melainkan dalam ukuran yang tertentu. (Al-Hijr [15]:22). Lihat pula QS.40:14.
Jadi, orang-orang yang beranggapan bahwa setelah pengutusan Nabi
Besar Muhammad saw. dan pewahyuan
Al-Quran sebagai Kitab suci terakhir dan tersempurna (QS.5:4) maka seluruh jenis kenabian dan wahyu telah tertutup
sama sekali bagi umat Islam (QS.40:35-36; QS.72:8), maka bagi mereka Kitab suci Al-Quran akan merupakan
kumpulan kisah-kisah kaum purbakala
belaka, sebagaimana tuduhan para penentang Nabi Besar Muhammad saw. dan
Al-Quran (QS.6:26-28; QS.8:32; QS.16:25-26; QS.23:79-84; QS.25:5-6;
QS.27:68-70; QS.46:18-19; QS. 68:11-17), firman-Nya:
وَیۡلٌ
یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾ وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾ اِذَا تُتۡلٰی
عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾ کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا
یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾ کَلَّاۤ
اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾ ثُمَّ
اِنَّہُمۡ لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ
﴿ؕ﴾ ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ
تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Celakalah pada hari itu bagi orang-orang
yang mendustakan, yaitu
orang-orang yang mendustakan Hari
Pembalasan. Dan sekali-kali tidak ada yang mendustakannya
kecuali setiap pelanggar batas lagi sangat berdosa, اِذَا
تُتۡلٰی عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ -- Apabila
Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya
ia berkata: “Inilah dongeng
orang-orang dahulu!” کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ
عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ
-- Sekali-kali tidak, bahkan apa yang mereka usahakan telah menjadi
karat pada hati mereka. کَلَّاۤ
اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ -- Sekali-kali
tidak, bahkan se-sungguhnya pada hari
itu mereka benar-benar terhalang dari melihat Rabb
(Tuhan) mereka. Kemudian sesungguhnya mereka pasti masuk
ke dalam Jahannam. Kemudian
dikatakan: “Inilah apa yang
senantiasa kamu dustakan.” (Al-Muthaffifīn [83]:11-18).
Pembuatan Dosa
Mengakibatkan Kelumpuhan Indera-indera
Ruhani
“Karat-karat” yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa itu pulalah yang mengakibatkan terjadinya “kebutaan hati” atau “kebutaan mata ruhani” para penentang Rasul Allah di berbagai zaman, sekali pun
berbagai macam tanda yang mendukung
kebenaran rasul Allah tersbeut -- termasuk berbagai bentuk bala bencana -- telah muncul, seperti yang juga terjadi di Akhir Zaman ini, firman-Nya:
فَکَاَیِّنۡ
مِّنۡ قَرۡیَۃٍ اَہۡلَکۡنٰہَا وَ ہِیَ
ظَالِمَۃٌ فَہِیَ خَاوِیَۃٌ عَلٰی
عُرُوۡشِہَا وَ بِئۡرٍ مُّعَطَّلَۃٍ وَّ
قَصۡرٍ مَّشِیۡدٍ ﴿﴾ اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَتَکُوۡنَ لَہُمۡ
قُلُوۡبٌ یَّعۡقِلُوۡنَ بِہَاۤ اَوۡ
اٰذَانٌ یَّسۡمَعُوۡنَ بِہَا ۚ فَاِنَّہَا لَا تَعۡمَی الۡاَبۡصَارُ وَ لٰکِنۡ
تَعۡمَی الۡقُلُوۡبُ الَّتِیۡ فِی الصُّدُوۡرِ ﴿﴾
Dan berapa banyak kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya
sedang berbuat zalim lalu dinding-dindingnya jatuh
atas atapnya, dan sumur yang
telah ditinggalkan dan istana
yang menjulang tinggi. Maka apakah mereka tidak berpesiar di bumi
lalu menjadikan hati mereka memahami dengannya atau menjadikan
telinga mereka mendengar dengannya?
Maka sesungguhnya bukan mata yang buta tetapi yang
buta adalah hati yang ada dalam dada. (Al-Hajj [22]:46-47).
Dari ayat ini jelas bahwa
orang-orang mati, orang-orang buta, dan orang-orang tuli, yang dibicarakan di sini atau di
tempat lain dalam berbagai Surah Al-Quran
adalah orang-orang yang ditilik dari segi ruhani telah mati, buta, dan tuli, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
ذَرَاۡنَا لِجَہَنَّمَ کَثِیۡرًا مِّنَ الۡجِنِّ وَ الۡاِنۡسِ ۫ۖ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا یَفۡقَہُوۡنَ بِہَا ۫ وَ
لَہُمۡ اَعۡیُنٌ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اٰذَانٌ لَّا یَسۡمَعُوۡنَ
بِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡغٰفِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah menjadikan
untuk penghuni Jahannam
banyak di antara jin dan ins (manusia), mereka memiliki hati tetapi mereka tidak mengerti dengannya,
mereka memiliki mata tetapi mereka tidak melihat dengannya, mereka memiliki telinga tetapi me-reka tidak mendengar
dengannya, اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ -- mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat. اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ -- Mereka itulah
orang-orang yang lalai. (Al-A’rāf
[7]:180).
Huruf lam
di
sini lam ‘aqibat yang menyatakan kesudahan
atau akibat. Dengan demikian ayat ini
tidak ada hubungannya dengan tujuan
kejadian manusia melainkan hanya menyebutkan kesudahan yang patut disesalkan
mengenai kehidupan kebanyakan ins (manusia) dan jin (kata jin itu
juga mempunyai arti golongan manusia yang istimewa, yakni penguasa-penguasa
atau pemuka-pemuka atau orang-orang besar). Dari cara mereka menjalani hidup
mereka dalam berbuat dosa dan kedurhakaan nampak seolah-olah mereka telah diciptakan
untuk masuk neraka.
Bagaikan Berteriak Kepada Binatang
Ternak
Firman Allah
Swt.: اُولٰٓئِکَ
کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ
-- mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat. اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ -- Mereka itulah orang-orang yang lalai” mengisyaratkan kepada firman-Nya berikut ini:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمُ اتَّبِعُوۡا مَاۤ اَنۡزَلَ
اللّٰہُ قَالُوۡا بَلۡ
نَتَّبِعُ مَاۤ اَلۡفَیۡنَا عَلَیۡہِ اٰبَآءَنَا ؕ اَوَ لَوۡ کَانَ اٰبَآؤُہُمۡ لَا یَعۡقِلُوۡنَ شَیۡئًا وَّ لَا یَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَثَلُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا کَمَثَلِ
الَّذِیۡ یَنۡعِقُ
بِمَا لَا یَسۡمَعُ اِلَّا دُعَآءً وَّ نِدَآءً ؕ صُمٌّۢ بُکۡمٌ عُمۡیٌ فَہُمۡ لَا یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”,
mereka berkata: “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati bapak-bapak kami biasa melakukannya.” Apakah sekali
pun bapak-bapak mereka itu tidak
mengerti suatu apa pun, dan tidak pula
mereka mendapat petunjuk? Dan perumpamaan
keadaan orang-orang kafir itu seperti seseorang yang berteriak kepada sesuatu yang tidak dapat mendengar
kecuali hanya panggilan dan seruan belaka. Mereka tuli, bisu, dan buta, karena itu mereka
tidak mengerti. (Al-Baqarah [2]:171-172).
Sungguh ganjil
benar, namun demikian amat disayangkan,
bahwa dalam urusan agama yang begitu
erat hubungannya dengan kehidupannya
yang kekal di akhirat, manusia seringkali puas
dengan mengikuti secara membabi-buta jejak orang-orang tuanya: بَلۡ
نَتَّبِعُ مَاۤ اَلۡفَیۡنَا عَلَیۡہِ اٰبَآءَنَا -- “Tidak,
bahkan kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati bapak-bapak kami biasa melakukannya.”
Tetapi dalam urusan duniawi, yang hanya bertalian dengan kepentingan hidup di dunia ini saja -- dan itu pun hanya
sebagian -- ia berhati-hati
sekali agar ia menempuh jalan yang
tepat dan tidak mengikuti orang-orang
lain dengan membabi buta.
Ayat selanjutya menjelaskan bahwa Nabi Besar
Muhammad saw. menyampaikan Amanat Allah Swt. kepada orang-orang kafir. Beliau saw. itu penyeru
dan mereka mendengar suara beliau
saw., tetapi mereka tidak berusaha menangkap maknanya, sehingga kata-kata (seruan) beliau saw. seolah-olah sampai kepada telinga orang tuli dengan berakibat
bahwa kemampuan ruhani mereka menjadi
sama sekali rusak dan martabat mereka jatuh sampai ke taraf
keadaan hewan dan binatang ternak (QS.7:180; QS.25:45)
yang hanya mendengar teriakan si pengembala, tetapi tak mengerti apa yang dikatakannya
(QS.7:199; QS.10:44).
Terhijab (Terhalang)
dari Melihat Penampakan “Wajah” (Penjelmaan) Allah Swt.
Kembali kepada Surah Al-Muthaffifīn [83]:11-18: اِذَا تُتۡلٰی
عَلَیۡہِ اٰیٰتُنَا قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ -- Apabila
Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya
ia berkata: “Inilah dongeng
orang-orang dahulu!” کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ
عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ -- Sekali-kali
tidak, bahkan apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka”.
Makna ayat selanjutnya: کَلَّاۤ
اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ -- “Sekali-kali
tidak, bahkan sesungguhnya pada hari itu
mereka benar-benar terhalang dari melihat Rabb
(Tuhan) mereka.”
Nikmat melihat Wajah Allah Swt. dianugerahkan
kepada orang beriman melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah tingkat keimanan,
ketika memperoleh keyakinan teguh
kepada Sifat-sifat Allah Swt.. Tingkat
kedua atau tingkat lebih tinggi berupa anugerah
kenyataan mengenai Dzat Ilahi.
Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap
luput dari makrifat Dzat Ilahi sehingga pada Hari Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah Allah: کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ
مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ -- Sekali-kali
tidak, bahkan apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka. کَلَّاۤ اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ
لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ
-- Sekali-kali
tidak, bahkan sesungguhnya pada hari itu
mereka benar-benar terhalang dari melihat Rabb
(Tuhan) mereka.”
Orang-orang kafir seperti inilah yang di akhirat
mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta
(QS.17:73), firman-Nya:
وَ مَنۡ اَعۡرَضَ
عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ
الۡقِیٰمَۃِ اَعۡمٰی ﴿﴾ قَالَ رَبِّ
لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ اَعۡمٰی وَ قَدۡ
کُنۡتُ بَصِیۡرًا ﴿﴾ قَالَ
کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ وَکَذٰلِکَ
الۡیَوۡمَ تُنۡسٰی ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ
الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿﴾ اَفَلَمۡ یَہۡدِ لَہُمۡ کَمۡ اَہۡلَکۡنَا
قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ یَمۡشُوۡنَ فِیۡ مَسٰکِنِہِمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ
ذٰلِکَ لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی
النُّہٰی ﴿﴾٪
Dan
barangsiapa berpaling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat
dalam keadaan buta. Ia
berkata: "Ya Rabb-ku (Tuhanku),
mengapa Engkau membangkitkan aku dalam
keadaan buta, padahal sesung-guhnya
dahulu aku dapat melihat?” Dia
berfirman: "Demikianlah
telah datang kepada engkau Tanda-tanda Kami tetapi engkau
melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari
ini." Dan demikianlah
Kami memberi balasan orang yang melanggar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Rabb-nya (Tuhan-nya), dan niscaya
azab akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. Maka apakah tidak memberi petunjuk kepada mereka berapa
banyak generasi yang telah Kami binasakan
sebelum mereka, mereka berjalan-jalan di tempat-tempat tinggal
mereka yang telah hancur? Sesungguhnya dalam
hal yang demikian itu benar-benar ada Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thā Hā [2]:125-129).
“Tubuh
Baru” yang Baik atau yang Buruk di
Alam Akhirat
Seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah Swt. di dunia
serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya, dan dengan demikian membuat
dirinya tidak layak menerima nur dari
Allah Swt. maka ia akan dilahirkan
dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya
kembali pada kehidupan di akhirat.
Hal itu menjadi
demikian karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai tubuh bagi ruh
yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia
ini, sesuai dengan firman Allah Swt. sebelumnya: کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ
عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ
-- Sekali-kali tidak,
bahkan apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka. کَلَّاۤ اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ
یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ -- Sekali-kali
tidak, bahkan se-sungguhnya pada hari
itu mereka benar-benar terhalang dari melihat Rabb
(Tuhan) mereka.” (QS.83:15-16).
Sebagai jawaban
terhadap keluhan orang kafir mengapa
ia dibangkit‑
kan buta padahal dalam kehidupan di dunia ia memiliki penglihatan, Allah Swt.
akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya di
dunia (QS.17:73) sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
kan buta padahal dalam kehidupan di dunia ia memiliki penglihatan, Allah Swt.
akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya di
dunia (QS.17:73) sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
Ayat ini
dapat pula berarti bahwa karena orang-orang
kafir di dunia ini tidak berusaha mengembangkan dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi atau takhallaqu
bi-akhlaqillāh (memperagakan Sifat-sifat Allah Swt.) dan tetap asing dari Sifat-sifat itu, maka pada hari
kebangkitan — ketika Sifat-sifat Ilahi
itu akan dinampakkan dengan segala keagungan dan kemuliaan — maka keadaannya sebagai
seseorang yang terasing dari Sifat-sifat Ilahi itu ia tidak
akan mampu mengenalinya dan dengan demikian
akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada Sifat-sifat
Ilahi itu, firman-Nya:
وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ اَعۡمٰی
فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ اَعۡمٰی
وَ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿﴾
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat pun ia akan buta juga dan bahkan lebih tersesat dari jalan (Bani Israil [17]:73).
Mereka yang tidak
mempergunakan mata ruhani mereka
dengan cara yang wajar di dunia ini akan tetap
luput dari penglihatan ruhani di dalam akhirat. Al-Quran menyebut mereka yang tidak merenungkan Tanda-tanda Allah
serta tidak memperoleh manfaat
darinya sebagai “buta”. Orang-orang seperti itu di alam akhirat pun akan tetap dalam keadaan buta.
Al-Quran Mencakup Seluruh Kebenaran & Orang
yang Berhak Menafsirkan Al-Quran
Berkenaan
dengan kesempurnaan Al-Quran dalam
segala seginya serta siapa yang berwenang
menafsirkan Al-Quran, selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Menjadi keyakinanku bahwa Kitab Suci Al-Quran bersifat sempurna dalam
ajarannya dan lengkap berisi semua
kebenaran yang ada sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt. bahwa:
وَ نَزَّلۡنَا عَلَیۡکَ
الۡکِتٰبَ تِبۡیَانًا لِّکُلِّ شَیۡءٍ
“Dan telah Kami
turunkan kepada engkau kitab itu untuk
menjelaskan segala sesuatu” (Al-Nahl [16]:90).
serta ayat:
مَا فَرَّطۡنَا فِی الۡکِتٰبِ
مِنۡ شَیۡءٍ
“Tiada sesuatu yang Kami alpakan dalam Kitab
ini” (Al-An’ām
[6]:39).
Tetapi aku juga berpendapat, bahwa bukanlah
fungsi (tugas) dari setiap ulama atau maulvi
untuk mengemukakan dan mencanangkan masalah-masalah keagamaan
dari Al-Quran. Ini adalah fungsi (tugas) dari orang-orang yang secara khusus telah ditolong oleh wahyu Ilahi sebagai bagian dari semi kenabian atau kesucian.
Mereka yang bukan penerima wahyu,
sebenarnya tidak cukup kompeten untuk
mengemukakan wawasan Al-Quran. Satu-satunya cara terbaik bagi mereka adalah menerima semua ajaran
yang telah diterima turun temurun
tanpa berusaha ingin menafsirkan
Al-Quran.
Mereka yang memperoleh pencerahan
dengan Nur wahyu suci termasuk di antara mereka yang disucikan. Kepada mereka inilah Allah Swt. dari waktu ke waktu
membukakan mutiara-mutiara hikmah yang tersembunyi di dalam Al-Quran serta menjelaskan kepada mereka bahwa Hadhrat Rasulullah Saw. tidak ada
menambah-nambahkan apa pun pendapat beliau sendiri ke dalam Al-Quran,
disamping mengemukakan bahwa hadits yang
shahih hanya mengemukakan rincian
dari prinsip-prinsip dan pengarahan yang ada di dalam Al-Quran.
Dengan diungkapkannya wawasan ini maka mukjizat Al-Quran jadi merona nyata bagi mereka dan kebenaran dari ayat-ayat yang menurut Allah Swt. . ‘tiada
sesuatu yang Kami alpakan dalam Kitab ini’ menjadi jelas
bagi mereka.” (Al-Haq,
Mubahisa Ludhiana, Qadian, 1903, sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. IV, hlm. 80-81, London, 1984).
Sabda Masih Mau’ud a.s. mengenai orang-orang yang berhak menafsirkan Al-Quran
tersebut -- yaitu orang-orang yang “disucikan” Allah Swt.
(QS.56:80-78-81), terutama yang telah meraih derajat kenabian ummati (QS.4:70-71) -- firman-Nya:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ
بِمَوٰقِعِ النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ
اِنَّہٗ لَقَسَمٌ لَّوۡ
تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ
لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ
مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ
رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Maka Aku
benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan. Dan sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung,
seandainya kamu mengetahui,
Sesungguhnya itu benar-benar
Al-Quran yang mulia, dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara, yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan. Wahyu
yang diturunkan dari Rabb (Tuhan) seluruh alam. (Al-Wāqi’ah [56]: [76-81).
Jaminan Pemeliharaan
Al-Quran & Makna “Orang-orang yang Disucikan”
Ayat 76 bersumpah
dengan dan berpegang kepada nujum yang berarti juga bagian-bagian Al-Quran (Lexicon Lane), sebagai bukti
untuk mendukung pengakuan bahwa Al-Quran luar-biasa cocoknya untuk memenuhi tujuan besar di balik kejadian (penciptaan) manusia, demikian pula untuk membuktikan
keberasalan Al-Quran sendiri dari Allah Swt..
Jika kata mawāqi’ diambil dalam arti tempat-tempat dan
waktu bintang-bintang berjatuhan,
maka ayat ini bermakna bahwa telah merupakan hukum Ilahi yang tidak pernah salah bahwa pada saat ketika seorang mushlih rabbani (reformer) atau seorang nabi Allah muncul terjadi gejala
meteorik berupa bintang-bintang berjatuhan dalam jumlah luar biasa banyaknya, dan
yang demikian itu telah terjadi juga di masa Nabi Besar Muhammad saw..
Makna ayat: فِیۡ
کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- “dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara,“ bahwa Al-Quran
itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10), merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad tantangan
itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan.
Tidak ada upaya yang
telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya, tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa
kepada satu-satunya hasil (kesimpulan)
yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. kepada dunia 14 abad yang lalu, telah sampai kepada kita
tanpa perubahan barang satu huruf pun (Sir Williams Muir).
Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya (ayat 80). Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran
itu tercantum di dalam kitab alam,
yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam.
Seperti hukum alam, demikian juga cita-cita
dan asas-asas dalam Al-Quran
juga kekal dan tidak berubah
serta hukum-hukumnya tidak dapat
dilanggar tanpa menerima hukuman.
Atau, ayat فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- “dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara“ ini
dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara
dalam fitrat yang telah dianugerahkan
Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31).
Fitrat
insani
berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar
dan telah dilimpahi kemampuan untuk
sampai kepada keputusan yang benar.
Orang yang secara jujur bertindak
sesuai dengan naluri atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran, sebagaimana dikemukakan ayat
selanjutnya: لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan.”
Hanya orang
yang bernasib baik sajalah yang
diberi pengertian mengenai dan dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki melalui cara menjalani kehidupan
bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan
dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani
makrifat Ilahi, yang tertutup
bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih
(QS.91:8-11), firman-Nya:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ
یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ
اَنۡ قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ
بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ
عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia
gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada
Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya
barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia
mengetahui bahwa sungguh mereka
telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka
dan Dia membuat perhitungan mengenai
segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29). Lihat pula
QS.3:180.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 1 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar