Minggu, 06 Maret 2016

Orang-orang yang "Terhijab" (Terhalang) Menyaksikan "Penampakan Wajah" Allah Swt. di Dunia dan di Akhirat & Orang-orang yang Berwenang Menafsirkan Al-Quran



Bismillaahirrahmaanirrahiim

KITAB SUCI AL-QURAN

Kitab Suci Al-Quran adalah kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak menyadarinya

“Setiap saat hatiku merindukan untuk mencium Kitab  Engkau dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan Kabahku”

 (Al-Masih-al-Mau’ud a.s.)


Orang-orang yang “Terhijab” (Terhalang) Menyaksikan “Penampakan Wajah” Allah Swt. di Dunia dan di Akhirat &    Orang-orang yang Berwenang  Menafsirkan Al-Quran  

Bab 49

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam Bab sebelumnya telah kemukakan  mengenai  pentingnya keberadaan  dan kesinambungan wahyu Ilahi non-syariat    bagi pembukaan  rahasia-rahasia khazanah-khzanah ruhani Al-Quran yang baru, sebab jika manusia   -- bahkan umat Islam  --  jika hanya   mengandalkan   kecerdasan otak (akal/intelektual) saja tidak akan mampu “menyentuh” kandungan   khazanah-khazanah ruhani Al-Quran yang mendalam, sebab kecerdasan otak (akal/intektual) manusia  pun memerlukan “jodoh” (pasangan) yaitu wahyu  Ilahi, firman-Nya:
سُبۡحٰنَ الَّذِیۡ خَلَقَ الۡاَزۡوَاجَ کُلَّہَا مِمَّا تُنۡۢبِتُ الۡاَرۡضُ وَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ  مِمَّا لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Maha Suci Dzat Yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan  baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan  dari diri mereka sendiri, mau pun  dari apa yang  tidak mereka ketahui.  (Yā Sīn [36]:37).

Wahyu Ilahi Merupakan “Jodoh” (Pasangan) Bagi Akal Manusia

   Ilmu pengetahuan telah menemukan kenyataan bahwa pasangan-pasangan terdapat dalam segala sesuatu — dalam alam nabati (tumbuh-tumbuhan) dan malahan dalam zat anorganik. Bahkan yang disebut unsur-unsur pun tidak terwujud dengan sendirinya. Unsur-unsur itu pun bergantung pada zat-zat lain untuk dapat mengambil wujud.
     Kebenaran ilmiah ini berlaku juga untuk kecerdasan manusia. Sebelum nur-nur Samawi   berupa wahyu Ilahi turun maka manusia tidak dapat memperoleh ilmu sejati yang lahir dari perpaduan wahyu Ilahi dan kecerdasan otak manusia. Kenyataan tersebut sesuai dengan firman Allah Swt. sebelum ini mengenai  “terbukanya khazanah baru”  dari benda-benda di alam semesta ini yang diperlukan manusia bagi kesinambungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, firman-Nya: 
وَ  اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ   اِلَّا عِنۡدَنَا خَزَآئِنُہٗ ۫ وَ  مَا  نُنَزِّلُہٗۤ  اِلَّا بِقَدَرٍ  مَّعۡلُوۡمٍ ﴿﴾
Dan  tidak ada suatu pun benda melainkan pada Kami ada khazanah-khazanahnya yang tidak terbatas, dan  Kami sama sekali tidak menurunkannya melainkan dalam ukuran yang tertentu. (Al-Hijr [15]:22).  Lihat pula QS.40:14.
Jadi, orang-orang yang beranggapan bahwa setelah pengutusan Nabi  Besar Muhammad saw. dan pewahyuan Al-Quran sebagai  Kitab suci terakhir dan tersempurna  (QS.5:4) maka seluruh jenis  kenabian dan wahyu  telah tertutup sama sekali bagi umat Islam  (QS.40:35-36; QS.72:8), maka bagi mereka Kitab suci Al-Quran akan merupakan kumpulan kisah-kisah kaum purbakala belaka, sebagaimana tuduhan para penentang Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran (QS.6:26-28;  QS.8:32;  QS.16:25-26; QS.23:79-84; QS.25:5-6; QS.27:68-70; QS.46:18-19; QS. 68:11-17), firman-Nya:
وَیۡلٌ یَّوۡمَئِذٍ لِّلۡمُکَذِّبِیۡنَ ﴿ۙ﴾  الَّذِیۡنَ یُکَذِّبُوۡنَ بِیَوۡمِ الدِّیۡنِ ﴿ؕ﴾  وَ مَا یُکَذِّبُ بِہٖۤ  اِلَّا کُلُّ مُعۡتَدٍ اَثِیۡمٍ ﴿ۙ﴾  اِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿ؕ﴾  کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ ﴿﴾  کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ ﴿ؕ﴾  ثُمَّ  اِنَّہُمۡ  لَصَالُوا الۡجَحِیۡمِ ﴿ؕ﴾  ثُمَّ یُقَالُ ہٰذَا الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ تُکَذِّبُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,    yaitu orang-orang yang mendustakan Hari Pembalasan.    Dan sekali-kali tidak ada yang mendustakannya kecuali setiap pelanggar batas lagi sangat berdosaاِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ  --   Apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya  ia berkata: “Inilah dongeng orang-orang dahulu!”  کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ  --   Sekali-kali tidak, bahkan  apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka.  کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ  --   Sekali-kali tidak, bahkan se-sungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat  Rabb (Tuhan) mereka.     Kemudian sesungguhnya  mereka pasti masuk ke dalam Jahannam.   Kemudian  dikatakan: “Inilah apa yang senantiasa kamu  dustakan.”  (Al-Muthaffifīn [83]:11-18).

Pembuatan Dosa Mengakibatkan Kelumpuhan Indera-indera Ruhani

   “Karat-karat” yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa   itu pulalah yang mengakibatkan terjadinya “kebutaan hati” atau “kebutaan mata ruhani” para penentang Rasul Allah di berbagai zaman, sekali pun berbagai macam tanda   yang mendukung kebenaran rasul Allah tersbeut  -- termasuk berbagai bentuk bala bencana   -- telah muncul, seperti  yang juga terjadi di Akhir Zaman ini, firman-Nya:
فَکَاَیِّنۡ مِّنۡ قَرۡیَۃٍ  اَہۡلَکۡنٰہَا وَ ہِیَ ظَالِمَۃٌ  فَہِیَ خَاوِیَۃٌ عَلٰی عُرُوۡشِہَا وَ بِئۡرٍ  مُّعَطَّلَۃٍ   وَّ  قَصۡرٍ  مَّشِیۡدٍ ﴿﴾  اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَتَکُوۡنَ لَہُمۡ قُلُوۡبٌ یَّعۡقِلُوۡنَ بِہَاۤ  اَوۡ اٰذَانٌ یَّسۡمَعُوۡنَ بِہَا ۚ فَاِنَّہَا لَا تَعۡمَی الۡاَبۡصَارُ  وَ لٰکِنۡ  تَعۡمَی الۡقُلُوۡبُ الَّتِیۡ فِی الصُّدُوۡرِ ﴿﴾
Dan berapa banyak kota yang Kami telah  membinasakannya, yang penduduknya sedang berbuat zalim  lalu  dinding-dindingnya  jatuh atas atapnya, dan sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang menjulang tinggiMaka apakah mereka tidak berpesiar di bumi lalu  menjadikan hati mereka memahami dengannya   atau menjadikan telinga  mereka mendengar dengannya? Maka sesungguhnya bukan mata yang buta  tetapi yang buta adalah hati yang ada dalam dada.  (Al-Hajj  [22]:46-47).
     Dari ayat ini jelas bahwa orang-orang mati, orang-orang buta, dan orang-orang tuli, yang dibicarakan di sini atau di tempat lain dalam berbagai Surah Al-Quran  adalah orang-orang yang ditilik dari segi ruhani telah mati, buta, dan tuli, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ ذَرَاۡنَا لِجَہَنَّمَ کَثِیۡرًا مِّنَ الۡجِنِّ وَ الۡاِنۡسِ ۫ۖ  لَہُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا یَفۡقَہُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اَعۡیُنٌ لَّا یُبۡصِرُوۡنَ بِہَا ۫ وَ لَہُمۡ اٰذَانٌ لَّا یَسۡمَعُوۡنَ بِہَا ؕ اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ ؕ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah  menjadikan  untuk penghuni  Jahannam banyak di antara jin dan ins (manusia),   mereka memiliki hati tetapi mereka tidak mengerti dengannya, mereka  memiliki   mata tetapi  mereka tidak melihat dengannya, mereka memiliki telinga  tetapi me-reka tidak mendengar dengannya, اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ  --    mereka itu  seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ -- Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A’rāf [7]:180).
   Huruf lam   di sini lam ‘aqibat yang menyatakan kesudahan atau akibat. Dengan demikian ayat ini tidak ada hubungannya dengan tujuan kejadian manusia melainkan hanya menyebutkan kesudahan yang patut disesalkan mengenai kehidupan kebanyakan ins (manusia) dan jin (kata jin itu juga mempunyai arti golongan manusia yang istimewa, yakni penguasa-penguasa atau pemuka-pemuka atau orang-orang besar). Dari cara mereka menjalani hidup mereka dalam berbuat dosa dan kedurhakaan nampak seolah-olah mereka telah diciptakan untuk masuk neraka.

Bagaikan Berteriak Kepada Binatang Ternak

 Firman Allah Swt.: اُولٰٓئِکَ کَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ ہُمۡ اَضَلُّ  --    mereka itu  seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ -- Mereka itulah orang-orang yang lalai”  mengisyaratkan kepada firman-Nya berikut ini:
وَ اِذَا قِیۡلَ لَہُمُ  اتَّبِعُوۡا مَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ قَالُوۡا بَلۡ نَتَّبِعُ مَاۤ اَلۡفَیۡنَا عَلَیۡہِ اٰبَآءَنَا ؕ اَوَ لَوۡ کَانَ اٰبَآؤُہُمۡ لَا یَعۡقِلُوۡنَ شَیۡئًا وَّ لَا  یَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾  وَ مَثَلُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا کَمَثَلِ الَّذِیۡ یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ اِلَّا دُعَآءً  وَّ  نِدَآءً ؕ صُمٌّۢ  بُکۡمٌ عُمۡیٌ  فَہُمۡ  لَا  یَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan  apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”, mereka berkata:  “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati bapak-bapak kami biasa melakukannya.  Apakah sekali pun  bapak-bapak mereka itu tidak mengerti suatu apa pun, dan tidak pula mereka mendapat petunjuk?   Dan perumpamaan  keadaan orang-orang kafir itu seperti  seseorang yang berteriak kepada sesuatu yang tidak dapat mendengar kecuali hanya panggilan dan seruan belaka.  Mereka tuli, bisu, dan buta, karena itu  mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah [2]:171-172).
       Sungguh ganjil benar, namun demikian amat  disayangkan, bahwa dalam urusan agama yang begitu erat hubungannya dengan kehidupannya yang kekal di akhirat, manusia seringkali puas dengan mengikuti secara membabi-buta jejak orang-orang tuanya:  بَلۡ نَتَّبِعُ مَاۤ اَلۡفَیۡنَا عَلَیۡہِ اٰبَآءَنَا  -- “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati bapak-bapak kami biasa melakukannya.” 
     Tetapi dalam urusan duniawi, yang hanya bertalian dengan kepentingan hidup  di dunia ini saja -- dan itu pun hanya sebagian  --  ia berhati-hati sekali agar ia menempuh jalan yang tepat dan tidak mengikuti orang-orang lain dengan membabi buta.
      Ayat selanjutya menjelaskan bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  menyampaikan Amanat Allah Swt. kepada orang-orang kafir. Beliau saw. itu penyeru dan mereka mendengar suara beliau saw., tetapi mereka  tidak berusaha menangkap maknanya, sehingga kata-kata (seruan) beliau saw. seolah-olah sampai kepada telinga orang tuli dengan berakibat bahwa kemampuan ruhani mereka menjadi sama sekali rusak dan martabat mereka jatuh sampai ke taraf keadaan hewan dan binatang ternak (QS.7:180; QS.25:45) yang hanya mendengar teriakan si pengembala, tetapi tak mengerti apa yang dikatakannya (QS.7:199; QS.10:44).

Terhijab (Terhalang) dari Melihat Penampakan “Wajah” (Penjelmaan) Allah Swt.

  Kembali kepada Surah  Al-Muthaffifīn [83]:11-18: اِذَا  تُتۡلٰی عَلَیۡہِ  اٰیٰتُنَا  قَالَ اَسَاطِیۡرُ الۡاَوَّلِیۡنَ  --   Apabila Tanda-tanda Kami dibacakan kepadanya  ia berkata: “Inilah dongeng orang-orang dahulu!”  کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ  -- Sekali-kali tidak, bahkan  apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka”.   Makna ayat selanjutnya:   کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ -- “Sekali-kali tidak, bahkan sesungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat  Rabb (Tuhan) mereka.”
   Nikmat melihat Wajah Allah Swt. dianugerahkan kepada orang beriman  melalui dua tingkat. Tingkat pertama ialah tingkat keimanan, ketika memperoleh keyakinan teguh kepada Sifat-sifat Allah  Swt.. Tingkat kedua atau tingkat lebih tinggi berupa anugerah kenyataan mengenai Dzat Ilahi.
   Orang-orang berdosa disebabkan dosa-dosa mereka akan tetap luput dari makrifat Dzat Ilahi  sehingga pada Hari Pembalasan mereka tidak akan melihat Wajah Allah: کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ  -- Sekali-kali tidak, bahkan  apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka. کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ  --   Sekali-kali tidak, bahkan sesungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat  Rabb (Tuhan) mereka.”
 Orang-orang kafir seperti inilah yang di akhirat mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS.17:73), firman-Nya:
 وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ  اَعۡمٰی ﴿﴾  قَالَ رَبِّ  لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ  اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ  بَصِیۡرًا ﴿﴾  قَالَ  کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ  وَکَذٰلِکَ  الۡیَوۡمَ  تُنۡسٰی ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ  یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی  ﴿﴾ اَفَلَمۡ یَہۡدِ لَہُمۡ کَمۡ اَہۡلَکۡنَا قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ یَمۡشُوۡنَ فِیۡ مَسٰکِنِہِمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ  لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی  النُّہٰی ﴿﴾٪
Dan  barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.  Ia berkata: "Ya Rabb-ku (Tuhan­ku), mengapa Engkau mem­bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesung-guhnya dahulu aku dapat melihat?”   Dia  berfirman: "Demi­kianlah telah datang kepada engkau Tanda-tanda Kami  tetapi engkau melupakannya  dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini."   Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang me­langgar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda  Rabb-nya (Tuhan-nya), dan  niscaya azab  akhirat itu lebih keras dan lebih kekal.   Maka apakah tidak  mem­beri petunjuk kepada mereka   berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka,  mereka berjalan-jalan di tempat-tempat tinggal mereka yang telah hancur? Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu benar-benar ada Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thā Hā [2]:125-129).

Tubuh Baru”  yang Baik atau yang Buruk di Alam Akhirat

  Seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah Swt. di dunia serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya, dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. maka  ia akan dilahirkan dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat.
 Hal itu menjadi demikian  karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai tubuh  bagi ruh yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini, sesuai dengan firman Allah Swt. sebelumnya: کَلَّا بَلۡ ٜ رَانَ عَلٰی قُلُوۡبِہِمۡ مَّا کَانُوۡا یَکۡسِبُوۡنَ  -- Sekali-kali tidak, bahkan  apa yang mereka usahakan telah menjadi karat pada hati mereka. کَلَّاۤ  اِنَّہُمۡ عَنۡ رَّبِّہِمۡ یَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوۡبُوۡنَ  --   Sekali-kali tidak, bahkan se-sungguhnya pada hari itu mereka benar-benar terhalang dari melihat  Rabb (Tuhan) mereka.” (QS.83:15-16).
   Sebagai jawaban terhadap keluhan orang kafir mengapa ia dibangkit‑
kan
buta padahal dalam kehidupan di dunia ia memiliki penglihatan, Allah Swt.  
akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya di
dunia
(QS.17:73) sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
   Ayat ini dapat pula berarti bahwa karena orang-orang kafir di dunia ini tidak berusaha mengembangkan dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi  atau takhallaqu bi-akhlaqillāh    (memperagakan  Sifat-sifat Allah Swt.) dan tetap asing dari Sifat-sifat itu, maka pada hari kebangkitan — ketika Sifat-sifat Ilahi itu  akan dinampakkan  dengan segala keagungan dan kemuliaan —  maka keadaannya sebagai seseorang yang terasing dari Sifat­-sifat Ilahi  itu  ia tidak akan mampu mengenalinya dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada Sifat-sifat Ilahi  itu, firman-Nya:
وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ  اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ   اَعۡمٰی  وَ اَضَلُّ  سَبِیۡلًا ﴿﴾
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat  pun  ia akan buta juga  dan bahkan   lebih tersesat dari jalan  (Bani Israil [17]:73).
       Mereka yang tidak mempergunakan mata ruhani mereka dengan cara yang wajar di dunia ini akan tetap  luput dari penglihatan ruhani di dalam akhirat. Al-Quran menyebut mereka yang tidak merenungkan Tanda-tanda Allah serta tidak memperoleh manfaat darinya  sebagai “buta”. Orang-orang seperti itu di alam akhirat pun akan tetap dalam keadaan buta.

Al-Quran Mencakup Seluruh Kebenaran & Orang yang Berhak Menafsirkan Al-Quran

      Berkenaan dengan kesempurnaan Al-Quran dalam segala seginya serta siapa  yang berwenang menafsirkan Al-Quran,  selanjutnya Masih Mau’ud a.s. bersabda:
      “Menjadi keyakinanku bahwa Kitab Suci Al-Quran bersifat sempurna dalam ajarannya dan lengkap berisi semua kebenaran yang ada sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt.  bahwa:
وَ نَزَّلۡنَا عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ تِبۡیَانًا  لِّکُلِّ شَیۡءٍ
“Dan telah Kami turunkan kepada engkau kitab itu untuk menjelaskan segala sesuatu  (Al-Nahl [16]:90).
serta ayat:
مَا فَرَّطۡنَا فِی الۡکِتٰبِ مِنۡ شَیۡءٍ
 “Tiada sesuatu yang Kami alpakan dalam Kitab ini”  (Al-An’ām [6]:39).
    Tetapi aku juga berpendapat, bahwa bukanlah fungsi (tugas) dari setiap ulama atau maulvi untuk mengemukakan dan mencanangkan masalah-masalah keagamaan dari Al-Quran. Ini adalah fungsi (tugas) dari orang-orang yang secara khusus telah ditolong oleh wahyu Ilahi sebagai bagian dari semi kenabian atau kesucian.
    Mereka yang bukan penerima wahyu, sebenarnya tidak cukup kompeten untuk mengemukakan wawasan Al-Quran. Satu-satunya cara  terbaik bagi mereka adalah menerima semua ajaran yang telah diterima turun temurun tanpa berusaha ingin menafsirkan Al-Quran.
     Mereka yang memperoleh pencerahan dengan Nur wahyu suci termasuk di antara mereka yang disucikan. Kepada mereka inilah Allah Swt.  dari waktu ke waktu membukakan mutiara-mutiara hikmah yang tersembunyi di dalam Al-Quran serta menjelaskan kepada mereka bahwa Hadhrat Rasulullah Saw. tidak ada menambah-nambahkan apa pun pendapat beliau sendiri ke dalam Al-Quran, disamping mengemukakan bahwa hadits yang shahih hanya mengemukakan rincian dari prinsip-prinsip dan pengarahan yang ada di dalam Al-Quran.
      Dengan diungkapkannya wawasan ini maka mukjizat Al-Quran jadi merona nyata bagi mereka dan kebenaran dari ayat-ayat yang menurut Allah Swt. . ‘tiada sesuatu yang Kami alpakan dalam Kitab ini’ menjadi jelas bagi mereka.” (Al-Haq, Mubahisa Ludhiana, Qadian, 1903, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. IV, hlm. 80-81, London, 1984).
     Sabda Masih Mau’ud a.s.  mengenai orang-orang yang berhak menafsirkan Al-Quran tersebut  -- yaitu orang-orang yang “disucikan” Allah Swt. (QS.56:80-78-81),  terutama  yang telah meraih derajat kenabian ummati    (QS.4:70-71) --  firman-Nya:
فَلَاۤ   اُقۡسِمُ  بِمَوٰقِعِ  النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾  وَ  اِنَّہٗ  لَقَسَمٌ  لَّوۡ  تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾  تَنۡزِیۡلٌ  مِّنۡ  رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Maka  Aku benar-benar bersumpah demi bintang-bintang berjatuhan.  Dan sesungguhnya itu benar-benar  kesaksian agung, seandainya kamu mengetahui, Sesungguhnya itu  benar-benar  Al-Quran yang mulia, dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.       Wahyu yang diturunkan dari Rabb (Tuhan) seluruh alam. (Al-Wāqi’ah [56]: [76-81).

Jaminan Pemeliharaan Al-Quran & Makna “Orang-orang yang Disucikan”

   Ayat 76  bersumpah dengan dan berpegang kepada nujum yang berarti  juga bagian-bagian Al-Quran (Lexicon Lane), sebagai bukti untuk mendukung pengakuan bahwa Al-Quran luar-biasa cocoknya untuk memenuhi tujuan besar di balik kejadian (penciptaan) manusia, demikian pula untuk membuktikan keberasalan Al-Quran sendiri dari Allah Swt..
   Jika kata mawāqi’ diambil dalam arti tempat-tempat dan waktu bintang-bintang berjatuhan, maka ayat ini bermakna bahwa telah merupakan hukum Ilahi yang tidak pernah salah bahwa pada saat ketika seorang mushlih rabbani (reformer) atau seorang nabi Allah muncul  terjadi gejala meteorik berupa  bintang-bintang berjatuhan dalam jumlah luar biasa banyaknya, dan yang demikian itu telah terjadi juga di masa  Nabi Besar Muhammad saw..  
 Makna ayat:  فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ --  “dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara,“ bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10), merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad  tantangan itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan.
   Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya, tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil (kesimpulan) yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh   Nabi Besar Muhammad saw. kepada dunia 14  abad yang lalu, telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu huruf pun (Sir Williams Muir).
 Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara  dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan dalam ayat berikutnya (ayat 80). Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam.
  Seperti hukum alam, demikian juga  cita-cita dan asas-asas  dalam Al-Quran   juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman. Atau, ayat فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ --  “dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara“  ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31).
  Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya  ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran, sebagaimana dikemukakan ayat selanjutnya:  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ  -- “yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.
  Hanya  orang yang bernasib baik sajalah yang  diberi pengertian  mengenai dan dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih (QS.91:8-11), firman-Nya:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾  لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29). Lihat pula QS.3:180.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo

Pajajaran Anyar,   1 Maret  2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar