Bismillaahirrahmaanirrahiim
KITAB SUCI AL-QURAN
“Kitab Suci Al-Quran adalah
kotak besar yang berisi batu ratna mutu manikam, namun manusia tidak
menyadarinya ”
“Setiap saat hatiku
merindukan untuk mencium Kitab Engkau
dan melaksanakan thawaf mengelilingi Al-Quran karena Kitab ini merupakan
Kabahku”
(Al-Masih-al-Mau’ud
a.s.)
Superioritas (Keunggulan) Al-Quran Atas Kitab-kitab
Suci yang Diwahyukan Sebelumnya & Perumpamaan “Kalimah yang Baik” dan “Kalimah
yang Buruk”
Bab 51
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah kemukakan mengenai akibat buruk ketidak-bersyukuran kaum Nabi Nuh a.s.
terhadap nikmat-nikmat Allah Swt.
(QS.14:8) – terutama terhadap turunnya hujan
ruhani berupa wahyu Ilahi kepada rasul Allah yang kedatangannya
dijanjikan (QS.7:35-37; QS.61:10; QS.62:3-5) – maka Allah Swt. akan membukakan
“pintu-pintu langit” berupa curahan air hujan yang diluar qadar (ukuran) yang menyebabkan
terbukanya “pintu-pintu di muka bumi” berupa pancaran berbagai sumber mata
air, sehingga pertemuan air dari langit dan air yang memancar dari bumi tersebut mengakibatkan terjadi bencana banjir dahsyat sebagaimana yang
terjadi di zaman Nabi Nuh a.s.,
firman-Nya:
کَذَّبَتۡ
قَبۡلَہُمۡ قَوۡمُ نُوۡحٍ فَکَذَّبُوۡا عَبۡدَنَا وَ قَالُوۡا
مَجۡنُوۡنٌ وَّ ازۡدُجِرَ ﴿﴾ فَدَعَا رَبَّہٗۤ
اَنِّیۡ مَغۡلُوۡبٌ فَانۡتَصِرۡ ﴿﴾ فَفَتَحۡنَاۤ
اَبۡوَابَ السَّمَآءِ
بِمَآءٍ مُّنۡہَمِرٍ ﴿۫ۖ﴾ وَّ فَجَّرۡنَا الۡاَرۡضَ عُیُوۡنًا فَالۡتَقَی
الۡمَآءُ عَلٰۤی اَمۡرٍ قَدۡ
قُدِرَ ﴿ۚ﴾ وَ حَمَلۡنٰہُ
عَلٰی ذَاتِ اَلۡوَاحٍ وَّ دُسُرٍ
﴿ۙ﴾ تَجۡرِیۡ
بِاَعۡیُنِنَا ۚ جَزَآءً لِّمَنۡ
کَانَ کُفِرَ ﴿﴾ وَ لَقَدۡ
تَّرَکۡنٰہَاۤ اٰیَۃً فَہَلۡ مِنۡ مُّدَّکِرٍ ﴿﴾ فَکَیۡفَ کَانَ عَذَابِیۡ وَ
نُذُرِ ﴿﴾ وَ لَقَدۡ
یَسَّرۡنَا الۡقُرۡاٰنَ لِلذِّکۡرِ فَہَلۡ مِنۡ مُّدَّکِرٍ ﴿﴾
Sebelum
mereka pun kaum Nuh telah mendustakan, lalu mereka
mendustakan hamba Kami dan mereka berkata: “Ia orang
gila dan terusir.” Maka ia (Nuh) berdoa
kepada Rabb-nya (Tuhan-nya):
“Sesungguhnya aku dikalahkan maka tolonglah
aku.” Maka Kami membukakan pintu-pintu awan dengan air yang tercurah deras,
dan Kami memancarkan sumber-sumber air di bumi lalu kedua air itu bertemu untuk suatu perintah yang telah ditentukan. Dan Kami mengangkut dia (Nuh) di atas sesuatu yang terbuat dari papan
dan paku, yang berlayar di bawah pengawasan
Kami sebagai ganjaran bagi orang
yang senantiasa diingkari. Dan
sungguh Kami benar-benar telah meninggalkan peristiwa itu sebagai Tanda, maka apakah ada yang
mengambil peringatan? Maka betapa
dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku!
وَ لَقَدۡ
یَسَّرۡنَا الۡقُرۡاٰنَ لِلذِّکۡرِ فَہَلۡ مِنۡ مُّدَّکِرٍ
-- Dan sungguh Kami
benar-benar telah mempermudah Al-Quran untuk diingat, maka apakah
ada orang yang mengambil peringatan? (Al-Qamar [54]:10-18).
Berbagai Hikmah yang Tersembunyi Dalam Al-Quran
Kejadian-kejadian tentang kaum Nabi Nuh a.s., suku-suku
bangsa ‘Ad, Tsamud dan kaum Nabi Luth a.s. telah berulangkali dan dengan agak
terinci disebut-sebut dalam Al-Quran, sebab suku-suku
bangsa itu hidup di lingkungan wilayah Hijaz, dan kaum Quraisy sangat mengenal sejarah
mereka dan juga mempunyai hubungan niaga dengan mereka itu.
Kaum Nabi Nuh a.s. hidup di negeri Irak, yang terletak di
sebelah timur-laut Arabia, dan suku bangsa Tsamud berkembang subur makmur di
sebelah barat-laut Arabia, yang membentang dari Hijaz sampai ke Palestina, dan
kaum Nabi Luth a.s. yang
malang itu tinggal di Sodom dan Gomorah di Palestina.
Makna ayat:
فَفَتَحۡنَاۤ اَبۡوَابَ
السَّمَآءِ بِمَآءٍ مُّنۡہَمِرٍ -- “Maka Kami membukakan pintu-pintu awan dengan air yang tercurah deras,
وَّ فَجَّرۡنَا الۡاَرۡضَ عُیُوۡنًا فَالۡتَقَی
الۡمَآءُ عَلٰۤی اَمۡرٍ قَدۡ
قُدِرَ -- dan
Kami memancarkan sumber-sumber air di bumi lalu kedua air itu bertemu untuk suatu perintah yang telah ditentukan.” Air hujan yang tercurah dengan deras
dari angkasa dan air yang menyembur dari
dalam tanah, “kedua air itu”
menyebabkan banjir raksasa yang menenggelamkan seluruh negeri kaum Nabi Nuh a.s. yang mendustakan dan menentang beliau, dan dengan demikian
menjadi genaplah takdir Ilahi
menghancurkan kaum Nabi Nuh a.s. yang
takabbur dan durhaka.
Makna ayat selanjutnya: وَ لَقَدۡ یَسَّرۡنَا الۡقُرۡاٰنَ
لِلذِّکۡرِ فَہَلۡ مِنۡ مُّدَّکِرٍ -- “Dan sungguh Kami
benar-benar telah mempermudah Al-Quran untuk diingat, maka apakah
ada orang yang mengambil peringatan?”
Al-Quran telah dipermudah pula
dalam artian bahwa Kitab itu meliputi semua ajaran kekal abadi dan tidak termusnahkan yang terdapat di
dalam Kitab-kitab wahyu lainnya,
dengan banyak ajaran yang perlu
sekali sebagai petunjuk bagi manusia
hingga Hari Kiamat (QS.98:4).
Khazanah-khazanah makrifat Ilahi
dan rahasia-rahasia gaib yang tersembunyi
di dalam Al-Quran, hanya dapat dijangkau oleh sedikit bilangan hamba Allah yang bertakwa yang dilimpahi pengertian
ruhani istimewa dan yang telah menaiki jenjang ketinggian perhubungan dengan Dzat
Ilahi dan telah disucikan oleh
Allah Swt. (QS.56:80; QS.72:27-29).
Makna “Kitab yang Sangat Terpelihara”
Kembali kepada firman Allah Swt. mengenai pewahyuan Al-Quran kepada Nabi Besar
Muhammad saw.:
فَلَاۤ اُقۡسِمُ
بِمَوٰقِعِ النُّجُوۡمِ ﴿ۙ﴾ وَ
اِنَّہٗ لَقَسَمٌ لَّوۡ
تَعۡلَمُوۡنَ عَظِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ اِنَّہٗ
لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ کِتٰبٍ
مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا
یَمَسُّہٗۤ اِلَّا
الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾ تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ
رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Tidak demikian, Aku benar-benar bersumpah demi
bintang-bintang berjatuhan. Dan sesungguhnya itu benar-benar kesaksian agung,
seandainya kamu mengetahui, sesungguhnya
itu
benar-benar Al-Quran yang mulia,
dalam suatu kitab yang sangat terpelihara, yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Wahyu yang diturunkan dari Rabb
(Tuhan) seluruh alam. (Al-Wāqi’ah
[56]: [76-81).
Makna ayat: فِیۡ کِتٰبٍ
مَّکۡنُوۡنٍ --
“dalam suatu kitab yang sangat terpelihara,“ bahwa
Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik (QS.15:10), merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad tantangan
itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan.
Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela
kemurnian teksnya, tetapi semua daya
upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil (kesimpulan) yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak
dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab
yang disodorkan oleh Nabi Besar
Muhammad saw. kepada dunia 14 abad yang lalu, telah sampai kepada kita
tanpa perubahan barang satu huruf pun (Sir Williams Muir).
Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya (ayat 80). Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran
itu tercantum di dalam kitab alam,
yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam.
Seperti hukum alam, demikian juga cita-cita
dan asas-asas dalam Al-Quran juga kekal dan tidak berubah
serta hukum-hukumnya tidak dapat
dilanggar tanpa menerima hukuman.
Atau, ayat فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- “dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara“ ini
dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara
dalam fitrat yang telah dianugerahkan
Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31).
Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah
dilimpahi kemampuan untuk sampai
kepada keputusan yang benar. Orang
yang secara jujur bertindak sesuai
dengan naluri atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran, sebagaimana dikemukakan ayat
selanjutnya: لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan.”
Hanya orang yang
bernasib baik sajalah yang diberi pengertian mengenai dan dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki melalui cara menjalani kehidupan
bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan
dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani
makrifat Ilahi, yang tertutup
bagi orang-orang yang hatinya tidak
bersih (QS.91:8-11), firman-Nya:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ
یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ
اَنۡ قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ
بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ
عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang
mengetahui yang gaib, maka Dia tidak menzahirkan rahasia
gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada
Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya
barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia
mengetahui bahwa sungguh mereka
telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka
dan Dia membuat perhitungan mengenai
segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29). Lihat pula
QS.3:180.
Dua Tujuan Akbar Diwahyukan-Nya Al-Quran dan Pengutusan Nabi Besar Muhammad Saw.
& Cara Allah Swt. “Menjaga” Al-Quran
Sehubungan dengan jaminan
Allah Swt. akan senantiasa “menjaga” (memelihara) Al-Quran, Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Makna dari ayat:
ہُوَ الَّذِیۡ بَعَثَ فِی
الۡاُمِّیّٖنَ رَسُوۡلًا
مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ
وَ یُزَکِّیۡہِمۡ وَ یُعَلِّمُہُمُ
الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭
Dia-lah
yang telah mengutus di tengah-tengah bangsa yang butahuruf seorang rasul
dari antara mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan
mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah
(Al-Jumu’ah [62]:3), adalah
untuk menunjukkan bahwa Kitab Suci
Al-Quran mempunyai dua tujuan akbar yang
untuk itu maka telah diutus Hadhrat
Rasulullah Saw.. Yang pertama adalah hikmah
kebijaksanaan Al-Quran yaitu yang berkaitan dengan wawasan dan mutiara-mutiara
hikmah yang dikandungnya. Yang kedua adalah pengaruh dari Al-Quran dalam
mensucikan batin.
Penjagaan
Al-Quran tidak saja berarti memelihara
keutuhan teksnya, karena fungsi
seperti ini juga telah dilakukan oleh umat
Yahudi dan Kristiani berkaitan
dengan Kitab-kitab suci mereka sejak
dahulu sedemikian rupa, sehingga tekanan huruf-huruf hidup (vowel) dari
Kitab Taurat pun mendapat perhatian
mereka.
Yang dimaksud dengan penjagaan
Al-Quran tidak saja hanya memelihara
teksnya tetapi juga memelihara
kemaslahatan dan pengaruh Kitab
tersebut, dan hal ini bisa dilakukan sejalan
dengan pengelolaan Ilahi, jika dari
waktu ke waktu selalu didatangkan
wakil-wakil dari Hadhrat Rasulullah
Saw. dimana mereka ini memperoleh berkat
kerasulan sebagai refleksi
(pantulan) wujud beliau. Hal ini
diindikasikan dalam ayat:
وَعَدَ
اللّٰہُ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنۡکُمۡ وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ
لَیَسۡتَخۡلِفَنَّہُمۡ فِی الۡاَرۡضِ کَمَا اسۡتَخۡلَفَ الَّذِیۡنَ مِنۡ
قَبۡلِہِمۡ ۪ وَ لَیُمَکِّنَنَّ لَہُمۡ دِیۡنَہُمُ الَّذِی ارۡتَضٰی لَہُمۡ وَ لَیُبَدِّلَنَّہُمۡ
مِّنۡۢ بَعۡدِ خَوۡفِہِمۡ اَمۡنًا ؕ
یَعۡبُدُوۡنَنِیۡ لَا یُشۡرِکُوۡنَ بِیۡ
شَیۡئًا ؕ وَ مَنۡ کَفَرَ بَعۡدَ ذٰلِکَ
فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Allah
telah menjanjikan kepada orang-orang dari antara kamu yang beriman dan
bermuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu
khalifah-khalifah di muka bumi ini sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah-khalifah dari antara orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
mereka, yang telah Dia ridhai
bagi mereka dan niscaya Dia akan memberi mereka keamanan dan kedamaian sebagai pengganti sesudah ketakutan
mencekam mereka. Mereka akan
menyembah kepada-Ku dan mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu dengan Daku. Dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka’ (Al-Nūr [24]:56).
Ayat ini menjelaskan makna dari ayat
lainnya yaitu:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا
الذِّکۡرَ وَ اِنَّا
لَہٗ لَحٰفِظُوۡنَ
“Sesungguhnya Kami-lah
yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya” (Al-Hijr
[15]:10).
Sebagai jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana Al-Quran itu akan dijaga, Allah Yang Maha Agung telah berfirman bahwa dari waktu ke waktu Dia akan mengirimkan pewaris Hadhrat Rasulullah Saw..” (Shahadatul Quran, Panjab
Press, Sialkot, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. VI, hlm. 338-339, London, 1984).
Tanda-tanda Kebenaran Al-Quran
Sebagai Kitab Ilahi
Selanjutnya Masih Mau’ud a.s. menjelaskan mengenai
tanda-tanda kebenaran Al-Quran
sebagai Kitab Ilahi:
“Cara yang pasti, mudah, sempurna, tanpa kesulitan, tanpa susah-payah, tanpa
keraguan atau kecurigaan, tanpa kesalahan atau kealpaan -- berikut prinsip-prinsip yang benar yang dilengkapi dengan argumentasi yang mendukung serta memberikan keyakinan yang sempurna -- adalah
Kitab Suci Al-Quran. Tidak ada Kitab atau pun sarana lainnya yang bisa memberikan sarana guna pencapaian
tujuan akbar tersebut.” (Brahin-i- Ahmadiyah,
sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. I, hlm.
77, London, 1984).
Firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا بِالذِّکۡرِ لَمَّا جَآءَہُمۡ ۚ وَ اِنَّہٗ
لَکِتٰبٌ عَزِیۡزٌ ﴿ۙ﴾ لَّا یَاۡتِیۡہِ
الۡبَاطِلُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ لَا مِنۡ خَلۡفِہٖ ؕ تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ
حَکِیۡمٍ حَمِیۡدٍ ﴿﴾
Sesungguhnya
rugilah orang-orang yang ingkar
kepada Peringatan, yakni Al-Quran, ketika
ia datang kepada mereka, dan sesungguhnya
ia benar-benar Kitab yang mulia. لَّا یَاۡتِیۡہِ الۡبَاطِلُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ لَا مِنۡ
خَلۡفِہٖ -- Kebatilan tidak dapat mendekatinya,
baik dari depannya maupun dari belakangnya. تَنۡزِیۡلٌ مِّنۡ
حَکِیۡمٍ حَمِیۡدٍ -- Diturunkan
dari Tuhan Yang Maha Bijaksana,
Maha Terpuji. Hā Mīm – As-Sajdah
[41]:42-43).
Dalam
ayat tersebut – dan juga dalam berbagai Surah lainnya – mengapa Al-Quran disebut dzikr karena:
(a) Al-Quran
mengemukakan dan mengulang-ulangi asas-asas dan ajaran-ajarannya dalam berbagai
bentuk, dengan demikian membuat manusia terus mengingat asas-asas serta
ajaran-ajarannya;
(b) Al-Quran mengingatkan manusia akan ajaran-ajaran
mulia yang pernah diturunkan di dalam Kitab-kitab
Suci terdahulu; dan
(c) dengan beramal
atas ajaran-ajarannya manusia dapat
menaiki puncak-puncak keluhuran ruhani
(dzikr berarti pula kehormatan).
Al-Quran adalah Kitab suci yang sangat menakjubkan, ternyata tidak ada satu pun
di antara kebenaran-kebenaran, asas-asas, dan cita-cita agung yang diuraikan oleh Al-Quran pernah disangkal
atau ditentang oleh ajaran-ajaran zaman dahulu ataupun oleh ilmu pengetahuan modern.
Keadaan Kitab-kitab Suci
yang Diwahyukan Sebelum Al-Quran Superioritas Al-Quran
Lebih lanjut
Masih Mau’ud a.s. bersabda mengenai
keadaan Kitab-kitab suci yang
diwajyukan sebelum Al-Quran:
“Tanda jelas yang digunakan seorang yang berfikir untuk mengenali
suatu Kitab yang diwahyukan hanya bisa ditemukan di dalam Kitab Suci dari Allah Yang Maha Kuasa
yaitu Al-Quran. Di masa ini semua sifat yang seharusnya bisa ditemukan sebagai tanda yang jelas dari suatu Kitab Ilahi nyatanya tidak terdapat di dalam Kitab-kitab lainnya. Bisa jadi Kitab-kitab tersebut ada memiliki sifat-sifat tersebut di masa awalnya,
tetapi yang jelas sekarang ini sudah
tidak ada lagi.
Berdasarkan alasan yang telah
kami kemukakan, Kitab-kitab tersebut
masih kami anggap sebagai sesuatu
yang diwahyukan, namun dalam kondisinya sekarang ini sebenarnya Kitab-kitab itu sudah tidak ada gunanya.
Kitab-kitab itu lebih mirip istana
yang telah kosong dan tinggal puing-puingnya serta luput dari kekayaan dan kekuatan.” (artikel dilekatkan pada Chasma Ma’rifat, Qadian,
Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani
Khazain, jld. XXIII, hlm, 402, London, 1984).
Penjelasan Masih Mau’ud a.s. mengenai ketidak-berfungsian Kitab-kitab yang diwahyukan sebelum Al-Quran
tersebut sesuai dengan pernyataan Allah Swt. mengenai makna pembatalan
(nasikh-mansukh) dalam firman-Nya
berikut ini:
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ
اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا
نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ اَوۡ مِثۡلِہَا
ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿﴾
Ayat mana pun yang
Kami mansukhkan yakni
batalkan atau Kami biarkan terlupa,
maka Kami datangkan yang lebih baik
darinya atau yang semisalnya.
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Al-Baqarah
[2]:107).
Ayah berarti, pesan, tanda, perintah
atau ayat Al-Quran (Lexicon Lane).
Ada kekeliruan
dalam mengambil kesimpulan dari ayat
ini bahwa beberapa ayat Al-Quran
telah dimansukhkan (dibatalkan). Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan. Tidak ada sesuatu dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa
kata āyah itu maksudnya ayat-ayat Al-Quran, sebab dalam QS.5:4
dan QS.15:10 dengan tegas Allah Swt.
menyatakan bahwa agama Islam (Al-Quran) merupakan agama
dan Kitab suci terakhir dan tersempurna dan senantiasa mendapat jaminan pemelihraan Allah Swt. dalam
segala seginya.
Dalam ayat sebelum dan sesudah
ayat ini telah disinggung mengenai Ahlul
Kitab dan kedengkian mereka terhadap wahyu baru yang
menunjukkan bahwa āyah yang disebut dalam ayat ini sebagai mansukh
(batal) menunjuk kepada wahyu-wahyu terdahulu. Dijelaskan bahwa Kitab-kitab Suci terdahulu mengandung
dua macam perintah (aturan/hukum):
(a) yang menghendaki penghapusan karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversilan wahyu baru itu
menghendaki pembatalan;
(b) yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan kembali akan kebenaran yang terlupakan, karena itu perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu Kitab-kitab Suci itu dan mengganti
dengan perintah-perintah baru dan
pula menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah hilang, maka Allah Swt. menghapuskan
beberapa bagian wahyu-wahyu
terdahulu, menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan di samping itu memasukkan
lagi bagian-bagian yang hilang dengan
yang sama.
Itulah arti yang sesuai dan cocok
dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran Al-Quran. Al-Quran
telah membatalkan semua Kitab Suci
sebelumnya, sebab — mengingat keadaan umat manusia telah berubah — Al-Quran
membawa syariat baru yang bukan saja lebih baik daripada semua syariat lama, tetapi ditujukan pula
kepada seluruh umat manusia dari semua zaman. Karena itu ajaran yang lebih rendah dengan lingkup
tugas yang terbatas harus memberikan tempatnya kepada ajaran yang lebih baik dan lebih
tinggi dengan lingkup tugas universal.
Dalam ayat ini kata nansakh
(Kami membatalkan) bertalian dengan kata bi-khairin (yang lebih baik),
dan kata nunsiha (Kami biarkan terlupakan) bertalian dengan kata bi-mitslihā
(yang semisalnya), maksudnya bahwa jika Allah SWt. menghapuskan sesuatu maka Dia menggantikannya dengan yang lebih baik, dan bila untuk sementara
waktu Dia membiarkan sesuatu dilupakan
orang, Dia menghidupkannya kembali
pada waktu yang lain. Diakui oleh ulama-ulama Yahudi sendiri bahwa sesudah bangsa Yahudi diangkut sebagai tawanan
ke Babilonia oleh Nebukadnezar, seluruh Taurat
(lima Kitab Nabi Musa a.s.) telah hilang (Encyclopaedia
Biblica).
Superioritas
Al-Quran & Perumpamaan “Kalimat yang Baik” dan “Kalimat
yang Buruk”
Lebih jauh Masih Mau’ud a.s. bersabda lagi mengenai
keunggulan Al-Quran sebagai Kitab suci yang terakhir
dan tersempurna:
“Jika ada lawan Islam yang
berkeberatan atas superioritas
atau lebih baiknya Al-Quran dibanding
semua Kitab-kitab yang diwahyukan, karena hal itu berarti
bahwa Kitab-kitab lainnya itu mutunya
lebih rendah, padahal isinya bersumber pada Tuhan yang sama,
sehingga seharusnya tidak ada masalah
superioritas atau inferioritas
di antara Kitab-kitab tersebut, maka
jawaban untuk itu ialah bahwa dari sudut pandang pewahyuan memang semua Kitab itu sama adanya, namun nyatanya yang satu lebih tinggi dari yang lain berkaitan dengan kuantitas isi dan penyempurnaan
keimanan yang dikandungnya.
Dari sudut pandang ini, jelas bahwa Al-Quran
lebih unggul dibanding semua Kitab
Samawi lainnya, karena Kitab-kitab
tersebut tidak mengandung petunjuk guna
penyempurnaan agama, seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan Ketauhidan Ilahi, penyangkalan segala bentuk syirik,
obat penawar bagi penyakit-penyakit ruhani, argumentasi untuk menolak agama-agama palsu serta bukti-bukti dari akidah yang benar, sebagaimana secara tegas dikemukakan dalam Al-Quran.” (Brahin-i- Ahmadiyah,
sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, jld. I, hlm.
74, London, 1984).
Sungguh sangat menakjubkan perumpamaan yang dikemukakan Allah Swt.
berikut ini mengenai perbandingan
antara Al-Quran (Kalimah yang baik) yang senantiasa mendapat jaminan pemeliharaan Allah Swt. (QS.15:10) dengan Kitab-kitab
suci sebelumnya yang tidak mendapat jaminan
pemeliharaan Allah Swt. karena misinya
bersifat kaumi dan untuk sementara karena keadaannya bagaikan pakaian
anak-anak kecil yang tidak
dapat digunakan lagi ketika perkembangan
tubuh manusia telah mencapai kedewasaan
sepenuhnya, sehingga jika “pakaian kecil”
seperti itu dipaksakan untuk dipakai orang dewasa mutlak harus dilakukan berbagai macam perombakan dalam segala seginya
(QS.2:107), firman-Nya:
اَلَمۡ تَرَ
کَیۡفَ ضَرَبَ اللّٰہُ مَثَلًا کَلِمَۃً طَیِّبَۃً کَشَجَرَۃٍ
طَیِّبَۃٍ اَصۡلُہَا ثَابِتٌ وَّ فَرۡعُہَا فِی السَّمَآءِ ﴿ۙ﴾ تُؤۡتِیۡۤ
اُکُلَہَا کُلَّ حِیۡنٍۭ بِاِذۡنِ
رَبِّہَا ؕ وَ یَضۡرِبُ اللّٰہُ
الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾ وَ مَثَلُ کَلِمَۃٍ خَبِیۡثَۃٍ کَشَجَرَۃٍ خَبِیۡثَۃِۣ اجۡتُثَّتۡ مِنۡ
فَوۡقِ الۡاَرۡضِ مَا لَہَا مِنۡ قَرَارٍ ﴿﴾ یُثَبِّتُ اللّٰہُ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِالۡقَوۡلِ
الثَّابِتِ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ ۚ وَ یُضِلُّ اللّٰہُ
الظّٰلِمِیۡنَ ۟ۙ وَ یَفۡعَلُ
اللّٰہُ مَا یَشَآءُ ﴿٪﴾
Tidakkah
engkau melihat bagaimana Allah mengemukakan perumpamaan satu kalimat yang baik? Kalimat
itu seperti sebatang pohon yang baik,
yang akarnya kokoh kuat dan
cabang-cabangnya menjangkau langit? Ia memberikan buahnya setiap waktu
dengan izin Rabb-nya (Tuhan-nya), dan Allah
mengemukakan perumpamaan-perumpamaan
itu bagi manusia supaya mereka
mendapat nasihat. Dan perumpamaan
kalimah yang buruk adalah
seperti
pohon buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, ia sekali-kali tidak memiliki kemantapan. Allah meneguhkan orang-orang yang beriman
dengan firman yang kokoh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang zalim, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim [14]:25-28).
Sifat-sifat “Pohon
yang Baik” (Al-Quran)
Firman Allah
dalam ayat-ayat ini diumpamakan sebatang
pohon yang mempunyai empat macam
sifat yang penting:
(a) Kalam Ilahi itu baik,
artinya bersih dari segala ajaran-ajaran yang bertentangan dengan akal
dan kata hati manusia atau berlawanan dengan perasaan dan kepekaan tabiat
manusia.
(b) Seperti sebatang pohon yang baik, akarnya dalam serta buahnya subur; Kalam Ilahi itu mempunyai dasar
yang kuat dan kokoh, dan menerima hayat
serta jaminan hidup yang tetap segar
dari sumbernya; dan laksana sebatang
pohon yang kuat firman Ilahi itu tidak merunduk oleh tiupan angin perlawanan serta kecaman
yang timbul dari rasa permusuhan,
tetapi berdiri tegak di hadapan
segala taufan badai. Firman Allah itu
mendapat hayat dan jaminan hidup hanya dari satu sumber dan oleh karena itu tidak ada ketidak-serasian atau pertentangan dalam prinsip-prinsip dan ajarannya.
(c) Dahan-dahannya menjangkau sampai ke langit, yang berarti bahwa dengan mengamalkannya orang dapat
menanjak ke puncak-puncak kemuliaan
ruhani tertinggi.
(d) Kalam Ilahi itu menghasilkan buahnya
yang berlimpah-limpah di segala musim, yang berarti bahwa berkat-berkatnya nampak di sepanjang
masa. Kalam Ilahi itu di sepanjang
abad terus-menerus membuahkan orang-orang
yang karena beramal sesuai dengan ajaran-ajarannya mencapai perhubungan dengan Allah Swt., dan karena kejujurannya serta kesucian dalam tingkah
lakunya menjulang tinggi dan mengatasi orang-orang yang sezaman dengan mereka.
Al-Quran memiliki semua sifat itu dalam ukuran
(kadar) yang sepenuhnya: یُثَبِّتُ
اللّٰہُ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا بِالۡقَوۡلِ الثَّابِتِ فِی الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا
وَ فِی الۡاٰخِرَۃِ -- “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman
dengan firman yang kokoh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.“
Sifat-sifat “Pohon
yang Buruk”
Kemudian mengenai keadaan Kitab-kitab suci yang diwahyukan sebelum Al-Quran Allah Swt.
berfirman: وَ مَثَلُ کَلِمَۃٍ خَبِیۡثَۃٍ -- “Dan perumpamaan kalimah yang buruk اجۡتُثَّتۡ
مِنۡ فَوۡقِ الۡاَرۡضِ کَشَجَرَۃٍ خَبِیۡثَۃِۣ -- adalah seperti
pohon buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, مَا لَہَا مِنۡ قَرَارٍ -- ia sekali-kali tidak memiliki kemantapan.”
Jadi, berbeda dari pohon yang baik, kitab yang diciptakan
oleh seorang pemalsu, adalah seperti pohon yang buruk. Ia tidak memiliki kekekalan atau kemantapan. Ajarannya tidak didukung oleh akal maupun hukum-hukum alam. Kitab semacam itu tak dapat bertahan terhadap kritikan, dan asas-asas serta cita-citanya
terus berubah bersama dengan berubahnya keadaan manusia dan
lingkungannya.
Ia merupakan ajaran yang campur aduk, dikumpulkan dari sumber-sumber yang meragukan.
Kitab semacam itu tidak bisa melahirkan orang-orang yang dapat
menda'wakan pernah mengadakan perhubungan
yang hakiki dengan Allah Swt.. Kitab itu tidak menerima
daya hidup yang baru dari sumber Ilahi dan selamanya terancam keruntuhan dan kemunduran: وَ یُضِلُّ اللّٰہُ الظّٰلِمِیۡنَ ۟ۙ وَ یَفۡعَلُ اللّٰہُ
مَا یَشَآءُ -- “dan
Allah menyesatkan orang-orang zalim,
dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
oo0oo
Pajajaran
Anyar, 5 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar